Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

SINDROM NEFROTIK

Diajukan kepada Yth:


dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp. PD

Disusun oleh :
Irvianna Hamdja
Noni Frista Al Azhari
Nurul Setiawan

G4A013078
G4A013079
G4A013080

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2015

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
SINDROM NEFROTIK

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh :
Irvianna Hamdja
Noni Frista Al Azhari
Nurul Setiawan

G4A013078
G4A013079
G4A013080

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal :

2015

Dokter Pembimbing :

dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp. PD

BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri


atas proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40mg/m2/hari
pada anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperlipidemia (Alldredge
dkk., 2012; Behrman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu
gangguan pada membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya
kebocoran protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hiperlipidemia (Okada dan Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering
ditemukan pada anak dari pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk.,
2007).
Secara keseluruhan prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar 2-5
kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5 per
100.000 anak. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik
pada anak, sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder.Menurut Kidney
Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical practice guideline (2012),
13 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita sindrom nefrotik. Lima
dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom nefrotik idiopatik
(Okada dan Takemura, 2009). Prevalensi sindrom nefrotik di Indonesia yaitu 6
dari 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan
berkisar 2:1, dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun (Handayani
dkk., 2007). Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan

menjadi 3 yaitu: sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau


primer (tanpa diketahui pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder
(sebagai

akibat

dari

suatu

penyakit

sistemik

seperti

Systemic

Lupus

Erythemathosus). Dari keseluruhan pasien anak dengan sindrom nefrotik, kurang


lebih 90% diantaranya mengalami sindrom nefrotik idiopatik (Behrman dkk.,
2004; Okada dan Takemura, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah salah satu manifestasi klinik dari


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif
3,5gr/ hari, hipoalbuminemia < 3,5 gram/ dl, hiperkolesterolemia, dan
lipiduria (Sudoyo, 2006). Hipoalbuminemia merupakan gejala yang penting
dalam menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Semakin rendah kadar
albumin dalam plasma, semakin berat manifestasi klinis yang timbul pada
pasien dengan sindrom nefrotik (Alpers, 2006).

Insidensi

Glomerulonefritis primer atatu idiopatik merupakan penyebab SN


yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan
GN mmbranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang
sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang
dikumpulkan di Jakarta antara 1990- 1999 dan representative untuk
dilaporkan,

GNLM

didapatkan

pada

44,7%,

GNMsP

(GN

mesangioproliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan
GNMN pada 6,5% (Sudoyo, 2006).

Etiologi dan Klasifikasi

Sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan jika dibedakan secara


klinis, yaitu:
a

Sindrom nefrotik primer


Faktor etiologi dari sindrom nefrotik primer tidak diketahui.
Sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik yang secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak-anak (Sukandar,
2006). Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak-anak
biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (Wirya, 2002).
Glomerulonefritis primer atatu idiopatik merupakan penyebab
SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal
(GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa
(GNMN), dan GN mmbranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan
histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN
dewasa

yang

dikumpulkan

di

Jakarta

antara

1990-1999

dan

representative untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7%, GNMsP


(GN mesangio proliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada
8,0% dan GNMN pada 6,5% (Sudoyo, 2006).
b

Sindrom nefrotik sekunder


Sindrom nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang timbul
sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau dari berbagai sebab yang
nyata misalnya efek samping obat (Sukandar, 2006).

Penyebab sekunder akibat in feksi yang sering dijumpai misalnya


pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat
obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik,
dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik
atau diabetes mellitus (Sudoyo, 2006).

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan


sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit connective tissue, obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik:
1.

Glomerulonefritis primer
-

Glomerulonefritis lesi minimal

Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranoproliferatif

Glomerulonefritis proliferatif lain

Glomerulosklerosis fokal

2.

Glomerulonefritis sekunder akibat:


a.

Infeksi
-

HIV, Hepatitis virus B dan C

Sfilis, malaria, skistosoma

Tuberkulosis, lepra

b.

Keganasan
Adeno karsinoma paru, Adeno karsinoma payudara, Adeno
karsinoma kolon, limfoma Hodgkin, mieloma multiple, karsinoma
ginjal

c.

Penyakit connective tissue


SLE, artritis reumatoid, mixed connective tissue dissease

d.

Efek obat dan toksin


-

OAINS, Penisilamin, probenesid, kaptopril, heroin

Air raksa, preparat emas organik

e.

Lain-lain
DM, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks vesikoureter, sengatan lebah
(Sudoyo, 2006)

4
a

Patogenesis

Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal


membrane basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG (Sudoyo, 2006).

Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif


berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin, sedangkan non selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul besar seperti immunoglobulin. Elektivitas proteinuria ditentukan
oleh keutuhan struktur MBG (Sudoyo, 2006).
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemui proteinuria
selektif. Pemeriksaan mikroskop electron memperlihatkan fusi foot
processus sel epitel visceral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur
MBG. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM
menyebabkan muatan negative MBG menurun dan albumin dapat lolos
ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan
oleh suatu factor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan
sel

epitel

visceral

glomerulus

terlepas

dari

MBG

sehingga

permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG


terjadi akibat endapan kelompok imun di sub epitel. Komplek C5b-9
yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG,
walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui (Sudoyo, 2006).
b

Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein,

sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN


hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.

Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya


hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis
albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan
reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal (Sudoyo,
2006).
c

Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan

plasma terjadi

hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan


retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium,
efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi

gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan


menentukan mekanisme mana yang lebih berperan (Sudoyo, 2006).
Mekanisme underfill dapat dilihat pada gambar 1 dan Overfill
pada gambar 2.

Gambar 1: Skema mekanisme underfill


(Sumber: Effendi I.& Pasaribu R., 2006)

Defek tubulus primer


Retensi Na
Volume plasma
ADH/N

ANP
aldosteron

Tubulus resisten terhadap ANP

EDEMA

Gambar 2: Skema mekanisme Overfill


(Sumber: Effendi I.& Pasaribu R., 2006)

Patofisiologi
Antigen

Antigen-Antibodi

Aktivasi komplemen

C3-Antigen-Antibodi

Terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman

Permeabilitas MBG
terganggunegative ion pada lapisan sialo-protein gromerulu
hilangnyafixed

Proteinuria

Hipoproteinemia

defisiensi nutrisi

Katabolisme protein berlebih

Hipoalbumin
apolipoprotein plasma
produksi
albumin+ VLDL oleh sel hepar
tekanan onkotik
plasma

Volume plasma
Ekstravasasi cairan plasma ke ruang intertisial
Sekresi renin
edema
Retensi Na+H2O

Produksi urin menurun, pekat

VLDL

LDL

aktivitas lipase

degradasi lemak

hiperlipidemia

Bagan 1. Patofisiologi Sindrom Nefrotik


(Pramana, 2013; Silbernagl dan Lang, 2007)

Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur


glomerulus yang dapat terjadi karena kerusakan permukaan endotel,
kerusakan membrana basalis dan atau kerusakan podosit oleh beberapa
faktor yang disebutkan diatas. Satu atau lebih mekanisme ini akan terjadi
pada salah satu tipe SN (Cohen E.P., 2009).

Gambar 3: Gambar Skematik Barier Glomeruler


(Sumber: Cohen E.P., 2009)

Manifestasi Klinik
Gejala utama yang ditemukan adalah (Mansjoer A.,dkk., 2001):
1

Proteinuri >3.5 g/ hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anakanak.

Hipoalbuminemia < 30 g/ l

Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat


ditemukan edema muka, ascites dan efusi pleura.

Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.

Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan


arteri.

Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas


ditemukan.

Ada

yang

berpendapat

bahwa

proteinuria,

terutama

albuminuria yang masif serta hipoalbuminemia sudah cukup untuk


menengakkan diagnosis SN (Himawan S., 1979).

Penegakan Diagnosis
Anamnesis, didapatkan :
a. Menurunnya nafsu makan
b. Malaise
c. Bengkak seluruh tubuh
d. Sesak napas, dapat terjadi karena adanya cairan di rongga pleura ataupun
akibat tekanan abdominal yang meningkat karena ascites.
e. Produksi urin dapat menurun
Pemeriksaan fisik, didapatkan :
a. Tekanan darah umumnya tinggi
b. Bengkak pada kelopak mata, kedua tangan, kedua kaki, perut, alat
genital.
c. Hepatomegali, dapat terjadi karena terjadinya sintesis protein yang
meningkat.
Pemeriksaan penunjang :
a. Urinalisis (proteinuria 3,5 gr/hari)
b. Albumin serum<2,5gr/dL
c. Kolesterol yang meningkat
d. Trigliserida

e. Biopsi ginjal sering digunakan untuk menegakkan diagnosis dan


menyingkirkan kemungkinan penyebab glomerulonephritis sekunder
(Sudoyo, 2006).

Tatalaksana
a. Pengobatan spesifik
Terapi kortikosteroid
Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan
inisial dan pengobatan relaps. Regimen penggunaan kortikosteroid pada
sindrom nefrotik bermacam-macam. Pada orang dewasa menggunakan
prednisone/prednisolone 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 4-8 minggu diikuti
1 mg/kgBB selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering off di 4 bulan
berikutnya.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
1) Remisi lengkap
Proteinuria minimal (< 200 mg/hari), albumin serum > 3 g/dL,
kolesterol serum < 300 mg/dL, diuresis lancar, dan edema hilang.
2) Remisi parsial
Proteinuria < 3,5 g/hari), albumin serum > 2,5 g/dL, kolesterol serum
< 350 mg/dL, diuresis kuranglancar, dan edema belum hilang.
3) Resisten
Klinis dan hasil laboratorium tidak memperlihatkan perbaikan
setelah pengobatan selama 4 bulan dengan kortikosteroid.

Sindrom nefrotik dalam perjalanan penyakitnya dapat dibagi


menjadi 4 kelompok, yaitu:
1) Sindrom nefrotik non-relaps : penderita tidak pernah mengalami
relaps setelah mengalami episode perlama sindrom nefrotik.
2) Sindrom nefrotik relaps jarang : pasien mengalami relaps < 2 kali
dalam 6 bulan atau < 4 kali dalam 12 bulan setelah pengobatan
inisial.
3) Sindrom nefrotik relaps sering : pasien mengalami relaps > 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau > 4 kali dalam 12
bulan.
4) Sindrom nefrotik dependen steroid : pasien mengalami relaps 2 kali
berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14
hari setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan untuk pasien non-responsif terhadap steroid dapat
menggunakan siklofosfamid, klorambusil, siklosporin, dan levamisol
(Gulati, 2010).
b. Pengobatan non Spesifik
1) Pengontrolan edema
a) Diet rendah garam
b) Tirah baring
c) Diuretik
Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi
dengan tiazid, metalazon, asetazolamid.

2) Pengontrolan proteinuria pembatasan asupan protein 0,8-1,0


g/kgBB/hari
3) Penanganan dislipidemia obat penurun lemak golongan statin
seperti

simvastatin,

pravastatin,

lovastatin

dapat

menurunkan

kolesterol LDL, trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL.


4) Penurunan tekanan darah dapat menggunakan angiotensin
converting enzyme inhibitors ataupun angiotensin II receptor
antagonist (Sudoyo, 2006).

Komplikasi
1. Chronic Kidney Disease dengan penurunan GFR, dari perlukaan
glomerulus dan pembuangan protein yang berlebihan melalui nefron
2. Hiperlipidemia dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan
ischemic heart disease
3. Imunosupresi dapat meningkatkan risiko infeksi
4. Hiperkoagulasi meningkatkan risiko terjadinya Deep Vein Thrombosis
(DVT), emboli pulmonal, dan trombosis vena renalis (Stevenson, 2003).

10 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab, usia pasien, dan jenis
kerusakan ginjal yang diketahui dari pemeriksaan mikroskopik dengan cara
biopsi. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid (Rauf, 2002). Prognosis dapat bertambah buruk
jika terjadi peningkatan insidensi gagal ginjal dan komplikasi sekunder

sindrom nefrotik termasuk episode trombotik dan infeksi, serta kondisi terkait
pengobatan seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupresan (Wirya,
2002).

BAB III
STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama

: Sdr. A

No. CM

: 00042863

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 22 tahun

Alamat

: Kalibagor

Pekerjaan

: Mahasiswa

Agama

: Islam

Berat Badan

: 50 kg

Tinggi Badan

: 160 cm

Tanggal Masuk RS : 22 Januari 2015


Tanggal Periksa

: 24 Januari 2015

B. Anamnesis
1. Keluhan utama

: Bengkak-bengkak

2. Keluhan tambahan

: BAK sedikit dan berwarna keruh, demam, nyeri

pinggang sebelah kiri


3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSMS pada tanggal 22
Januari 2015 dengan keluhan bengkak-bengkak. Bengkak muncul sejak 3
hari hari sebelum ke RSMS. Bengkak terjadi pada kedua kelopak mata,

wajah, dan kedua kaki. Awalnya bengkak dirasakan muncul pada kedua
kelopak mata lalu semakin lama bengkak merambah ke seluruh wajah dan
kedua kaki.
Selain bengkak, pasien juga mengeluhkan buang air kecil sedikit
dan berwarna coklat keruh. Pasien tidak merasakan sakit sebelum, saat, dan
sesudah buang air kecil. Sejak 4 hari sebelum periksa ke RSMS, pasien
buang air kecil sebanyak 2x/hari dengan jumlah air yang dikeluarkan
sedikit.
Pasien juga mengeluh demam. Demam dirasakan sejak 1 minggu
sebelum periksa ke RSMS. Demam sering muncul pada malam hari dan
mulai turun sejak pagi sampai sore, setelah itu demam muncul lagi pada
malam harinya. Pasien tidak mengeluhkan sakit perut dan buang air besar
dalam batas normal. Akan tetapi pasien pada awal demam mengeluh
tenggorokannya sakit khususnya saat digunakan untuk menelan makanan.
Ketika pasien periksa ke RSMS, keluhan tersebut sudah sembuh.
Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri di pinggang sebelah kiri.
Nyeri dirasakan sejak 3 hari sebelum periksa ke RSMS. Awalnya nyeri
dirasakan hilang timbul, tetapi semakin lama nyeri dirasakan terus menerus
dan terasa seperti tertusuk jarum. Nyeri tersebut tidak hilang walaupun
pasien beristirahat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa
pasien berumur 14 tahun

: pasien mengalami keluhan serupa ketika

b. Riwayat opname

: pasien sudah 1x opname di RSMS pada

tahun 2006
c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal


e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat kencing manis

: disangkal

g. Riwayat alergi

: disangkal

h. Riwayat keganasan sebelumnya

: disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa

: disangkal

b. Riwayatmondok

: disangkal

c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal


e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat kencing manis

: disangkal

g. Riwayat asma

: disangkal

h. Riwayat alergi

: disangkal

i. Riwayat keganasan

: disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community

: pasien tinggal di daerah pedesaan.

b. Home

: pasien tinggal di rumah bersama orangtua dan

kedua kakaknya.
c. Occupational

: pasien adalah seorang mahasiswa.

d. Personal habbit

: pasien tidak memiliki kebiasan merokok maupun

minum alkohol
e. Diet

: pasien memiliki pola makan yang cukup dengan

nutrisi yang baik


f. Drugs

: pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Kesadaran
3. Tanda Vital

: sedang
: compos mentis

a. Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

b. Nadi

: 84 x/menit

c. RR

: 22 x/menit

d. Suhu

: 36, 7oC

4. Status Generalis
a. Kepala

: bentuk mesochepal, simetris, rambut hitam, tidak

mudah dicabut, terdistribusi merata dan tidak rontok


b. Mata

: edema palpebra (+/+), ptosis (-/-), konjungtiva

anemis (+/+), skera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
exopthalmus (-/-), lensa keruh (-/-), gerak dan tekanan bola mata
normal, nistagmus (-/-)
c. Telinga

: otore (-/-), deformitas (-/-), nyeritekan (-/-)

d. Hidung

: nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),

discharge (-/-)
e. Mulut

: bibirsianosis (-), bibirkering (-), lidahkotor (-)

f. Leher

: deviasi trakhea (-), limfonodi tidak membesar,

kelenjar tiroid tidak membesar, JVP tidak meningkat


5. Status Lokalis
a. Paru
1) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-),
jejas (-)
2) Palpasi

: vokal fremitus apex dextra = sinistra, vokal fremitus basal

dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-)


3) Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru, batas peranjakan paru

hepar di SIC V LMCD


4) Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi basah
halus(-), ronkhi basah kasar (-)
b. Jantung
1) Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS, pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrik (-)
2) Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, kuat

angkat (-)
3) Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD, kanan bawah di
SIC IV LPSD, kiri atas di SIC II LPSS, kiri bawah di SIC V 2 jari
medial LMCS
4) Auskultasi : S1> S2, regular, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen
1) Inspeksi : datar, venektasi abdomen (-)
2) Auskultasi : bising usus (+) normal

3) Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)


4) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien teraba
d. Ginjal

: nyeri tekan (+) di regio hipochondriaca sinistra posterior,

Nyeri ketok kostovertebrae sinistra (+)


e. Ekstremitas
1) Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
2) Inferior : edema (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
f. Lain-lain

: akral hangat, capillary refill time < 2 detik, turgor kulit < 1

detik

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Klinik

Diperiksa tanggal 22 Januari 2015


Pemeriksaan
Hemoglobin (g/dl)
Leukosit (/uL)
Hematokrit(%)
Eritrosit (/uL)
Trombosit (/uL)
Indeks Eritrosit
MCV (fL)
MCH (pg)
MCHC (%)
HitungJenis
Basofil (%)
Eosinofil (%)
Neutrofil batang
(%)
Neutrofil segmen
(%)
Limfosit (%)
Monosit (%)
Ureum darah
Kreatinin darah
Natrium
Kalium
Clorida
Kalsium

Hasil pemeriksaan
11,6
12710 (H)
31
4,2 x 106
344000
73,1
27,8
38,0
0,6
0,7
1,0
57,8
28,3
6,4
46,2 (H)
1,56 (H)
131
4,0
100
8,8

2. Pemeriksaan Urin Lengkap


Diperiksa tanggal 23 Januari 2015
Pemeriksaan
Fisik

Hasil pemeriksaan

Warna
Kejernihan
Bau
Kimia
Berat Jenis
PH
Leukosit
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Eritrosit
Sedimen
Eritrosit
Leukosit
Epitel
Bakteri
Trikomonas
Jamur

Kuning
Keruh
Khas
1,015
6,5
Negatif
Negatif
350 (H)
Normal
Negatif
Normal
Negatif
50 (H)
2-4
1-2
1-2
Negatif
Negatif
Negatif

3. Pemeriksaan Albumin
Diperiksa tanggal 24 Januari 2015
Pemeriksaan
Total Protein
Albumin

Hasil pemeriksaan
3,24 (L)
2,99 (L)

4. Pemeriksaan Kolesterol
Diperiksa tanggal 24 Januari 2015
Pemeriksaan
Kolesterol Total
Trigliserid
HDL kolesterol

Hasil pemeriksaan
299 (H)
481 (H)
23,9 (L)

E. Diagnosis Kerja
Sindrom Nefrotik
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
-

IVFD D5% 20 tpm

Inj. Impugan 1x2 amp IV

P.O. Furosemid 2x1 tab

P.O. Captopril 2x6,25 mg

P.O. Simvastatin 1x10 mg

2. Non Farmakologi
-

Diet rendah garam

Tirah baring

Pembatasan asupan protein 0,8-1g/kgBB/hari

G. Prognosis
Ad vitam

: ad bonam

Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam

: ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Ketepatan Diagnosis
Diagnosis : Sindrom Nefrotik

Jawaban :
Penegakkan diagnosis sudah tepat, dilihat dari :
1. Anamnesis :
a. Pasien mengeluhkan bengkak pada kelopak mata, wajah, dan kedua
kaki
b. Pasien mengeluhkan frekuensi BAK yang sedikit per harinya, yaitu
2x/hari dengan warna air seni coklat keruh.
c. Pasien juga mengeluh demam dan nyeri pinggang sebelah kiri
2. Pemeriksaan fisik :
Ditemukan adanya nyeri tekan (+) di regio hipochondriaca sinistra
posterior dan nyeri ketok kostovertebrae sinistra (+). Selain itu, didapatkan
edem palpebra (+/+) disertai edem pada ekstrimitas inferior (+/+)
3. Pemeriksaan penunjang :
Didapatkan adanya proteinuria masif sebanyak 350mg, hipoalbuminemia
(albumin 2,99), hiperkolesterolemia (kolesterol 299), dan kadar trigliserida
yang tinggi (481).
B. Ketepatan tatalaksana
Pada saat perawatan di bangsal, pasien mendapat terapi :
-

IVFD D5% 20 tpm

Inj. Impugan 1x2 amp IV

P.O. Furosemid 2x1 tab

P.O. Captopril 2x6,25 mg

P.O. Simvastatin 1x10 mg

Jawaban :

Pemberian IVFD D5% 20 tpm dilakukan pada pasien dengan oliguria ringan
sampai sedang. Pada pasien ini, terdapat oliguria karena frekuensi buang air
kecil hanya 2x/hari dengan jumlah air seni yang keluar sedikit. Pemberian
injeksi Impugan 1x2 ampul IV dan furosemid 2x1 tablet per oral berfungsi
untuk mengontrol dan mengatasi edem yang terdapat pada pasien. Pemberian
obat captorpil 2x6,25 mg yang merupakan obat jenis angiotensin converting
enzyme inhibitor dengan dosis kecil dimaksudkan untuk menjaga agar
tekanan darah tetap stabil dan tidak terjadi peningkatan tekanan darah yang
berakibat munculnya komplikasi. Pada pasien ini tekanan darahnya normal
yaitu 120/80. Pemberian simvastatin yang merupakan obat golongan statin,
obat penurun lemak, dilakukan pada pasien ini untuk menurunkan kolesterol
total dan kadar trigliserid serta meningkatkan kolesterol HDL. Pada pasien
ini, terjadi peningkatan kolesterol dan kadar trigliserida, sedangkan kolesterol
HDL mengalami penurunan. Oleh karena itu, pemberian obat-obatan pada
pasien ini dinilai sudah tepat (Prodjosudjadi, 2006).

BAB V
KESIMPULAN

1. Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonephritis


ditandai

dengan

edema

anasarka,

proteinuria

massif

3,5

g/hari,

hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.


2. Penegakkan diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui anamnesis
mengenai gambaran klinis sindrom nefrotik, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
3. Pentalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk menangani
penyakit dasarnya dan terapi non-spesifik untuk mengontrol edema,
proteinuria, dislipidemia, dan tekanan darah.
4. Prognosis tergantung pada penyebab, usia pasien, dan jenis kerusakan ginjal
yang diketahui dari pemeriksaan mikroskopik dengan cara biopsi.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and Youngs
Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &
Wilkins
Alpers, A. 2006. Sindrom Nefrotik dalam Buku Ajar Pediatrik Rudolph Edisi ke20. Jakarta: EGC.
Behrman, R.E., Kliegman, R., dan Jenson, H.B., 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics 17th Eddition, 17th ed. Elseviers Health Science, USA.
Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com.
Effendi I.& Pasaribu R., 2006. Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
Gulati, A., et al. 2010. Efficacy and safety of Treatment with Rituximab for
Difficult Steroid-Resistant and Dependent Nephrotic Syndrome: Multicentric
Report. Clin J Am Soc Nephrol. 5 (12):2207-12

Handayani, I., Rusli, dan Hardjoeno, 2007. Gambaran Kadar Kolesterol Albumin
dan Sedimen Urin Penderita Anak Sindroma Nefrotik. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 13: 4952.

Himawan S., 1979. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-65

Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Sindrom
nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta.
Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 525-27

Okada, M. dan Takemura, T., 2009. Strategies to Treat Nephrotic Syndrome in


Children. Acta Medical Kinki University, 34: 6370.

Pramana, P.D., Kadri Mayeti. 2013. Hubungan antara proteinuria dan


hipoalbuminemia pada anak dengan sindrom nefrotik yang dirawat di RSUP
dr. M. Djamil Padang Periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan Andalas
2(2).FK Unand Padang.

Prodjosudjadi, wiguna. 2006. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV.Jakarta : PAPDI.

Rauf, S. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK Universitas Hasanudin.

Silbernagil, S., Florian Lang. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
EGC.

Stevenson, F, Shreelata Datta. 2003. Crash Course Renal and Urinary System
Second Edition. Philadelphia: Elsevier.

Sudoyo, A.W., Bambang S, Idrus A, Marcellus S.K., Siti S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Sukandar, E. 2006.Nefrologi Klinik Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit


Dalam FK UNPAD.
Wirya. 2002. Sindrom Nefrotik dalam Buku Ajar Nefrologi Anak Jilid 2. Jakarta:
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai