Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstik ≥ 2+), Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL).1,2,3,4

Sindrom nefrotik merupakan manifestasi kelainan glomerulus yang paling


sering ditemukan di anak atau 15 kali lebih sering daripada orang dewasa.2,3
Insidens sindrom nefrotik pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4
kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus
per 100.000 anak. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak
berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1,4

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik dan sekunder yang


merupakan penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein dan lain lain.1 Sebagian besar (90%) SN pada anak-
anak merupakan SN yang primer/idiopatik.3 SN primer (80-90%) mempunyai
gambaran patologi anatomi berupa sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM).1,2
Pada umumnya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid.4,5

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1,2,3,4

Sindrom nefrotik juga terbagi dalam beberapa batasan yaitu:1

 Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
 Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
 Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
 Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.
 Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
 Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
 Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.

2.2 Epidemiologi

Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun ,dengan prevalensi berkisar 12-16
kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.1,4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) / Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, SN merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik
Khusus Nefrologi dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang

2
dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan SN pada anak laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Hasil penelitian retrospektif di bagian IKA Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil periode 1997- 2000, mendapatkan bahwa
perbandingan kejadian sindrom nefrotik antara anak laki-laki dan perempuan
1,7:1.6

Sindrom nefrotik idiopatik pada anak sebagian besar (80-90%)


mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM).
Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 1,9 – 2,3%, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%.
Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami
remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten
steroid).1

Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 2–3 kasus per 100.000 anak < 16
tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per
100.000 anak < 14 tahun. Anak dengan SNKM sekitar 90% kasus berumur < 7
tahun dengan usia rerata 2–5 tahun.2

2.3 Etiologi

Berdasarkan etiologi sindrom nefrotik bisa dibagi menjadi kongenital,


primer dan sekunder. SN kongenital terjadi karena kelainan genetik. SN primer
merupakan penyakit yang terjadi spesifik pada ginjal dan SN sekunder
merupakan manifestasi penyakit pada ginjal yang disebabkan oleh kelainan
sistemik tubuh. Pada semua kasus, kerusakan pada glomerolus adalah penanda
yang penting. Penyakit ginjal yang mempengaruhi tubulus dan interstitium,
seperti nefritis interstisial tidak akan menyebabkan sindrom nefrotik.7

Etiologi sindrom nefrotik kongenital dapat disebabkan oleh:7

 Finnish-type congenital nephrotic syndrome ( NPHS1, nephrin)


 Denys-Drash syndrome ( WT1)
 Frasier syndrome ( WT1)

3
 Diffuse mesangial sclerosis ( WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, glomerulosklerosis fokal segmental familial
( NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, glomerulosklerosis fokal segmental familial
( ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
 Nail-patella syndrome ( LMX1B)
 Pierson syndrome ( LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia ( SMARCAL1)
 Galloway-Mowat syndrome
 Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

Etiologi sindrom nefrotik primer dapat disebabkan oleh:7

 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM),


 Glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS),
 Glomerulonefritis membranoploriferatif (GNPM),
 Glomerulonefritis membranosa (GPM),
 Glomerulonefritis C3,
 Nefropati IgA,
 Glomerulonefritis kresentik idiopatik.

Etiologi sindrom nefrotik sekunder disebabkan oleh:7

 Infeksi (hepatitis B, hepatitis C, HIV, sifilis kongenital, toxoplasmosis,


cytomegalovirus, rubella, malaria),
 Penyakit sistemik SLE,
 Glomerulonefritis poststreptococcus (postinfeksi),
 Vaskulitis (Wegener granulomatosis, Churg-Strauss syndrome,
polyarteritis nodosa, polyangiitis mikroskopis, Henoch-Schönlein
purpura/HSP),
 Keganasan (limfoma, leukimia),
 Toksin Obat (pramidronate, obat antiinflamasi nonsteroid/OAINS,
penisilamin, heroin) dan Logam berat (emas, air raksa, litium)

4
2.4 Gambaran Patologi Anatomi

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) segera membuat


pengumpulan data prospektif dari seluruh negara di dunia. Semua negara boleh
ikut dengan persyaratan tertentu misalnya pemeriksaan preparat patologi anatomi
(PA) harus dikirim ketiga pusat PA ISKDC yaitu Perancis (Dr. Rene Habib),
Amerika (Dr. Churg) dan Inggris (Dr. RHR White). Semua pasien sindrom
nefrotik harus dibiopsi. Pada tahun 1978 (pengumpulan data mulai 1967)
diterbitkan publikasi mengenai hasil pengobatan sindrom nefrotik anak oleh
ISKDC tertera pada Tabel 1 dan Gambar 1.5

Gambar 1. Hasil pengobatan SN pada anak.5

Tabel 1. Distribusi SN pada anak.5

Penyeragaman nomenklatur gambaran patologi anatomi pada sindrom


nefrotik telah dilakukan oleh Churg, Habib dan White pada tahun 1970.
Gambaran patologi anatomi ginjal pada sindrom nefrotik tersebut, telah pula
dipublikasi, sehingga terdapat kesamaan persepsi di seluruh dunia. Pembagian

5
gambaran patologi anatomi menurut ISKDC mengalami perubahan beberapa kali
meskipun tidak banyak dan saat ini yang disepakati adalah

 Kelainan minimal (SNKM) = minimal change disease (MCD)


 Glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS)
 Glomerulonefritis proliferatif mesangial (GPM)
 Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNPM)
 Glomerulonefritis kresentik
 Nefropati membranosa (NM)
 Glomerulonefritis kronik lanjut

Hasil patologi anatomi yang didapatkan dari sebagian besar sindrom


nefrotik pada anak adalah kelainan minimal, maka ISKDC tidak lagi
merekomendasi dilakukan biopsi pada semua pasien sindrom nefrotik. Biopsi
ginjal dianjurkan dilakukan pada kasus sindrom nefrotik yang resisten terhadap
steroid atau pada presentasi awal terdapat komponen nefritis yaitu, hematuria
nyata, peningkatan kadar ureum kreatinin atau penurunan fungsi ginjal, dijumpai
hipertensi yang menetap, serta penurunan kadar C3. Selanjutnya karena ternyata
penentuan prognosis lebih baik dilakukan dengan penilaian respons terhadap
steroid daripada gambaran PA, maka akhirnya pembagian klasifikasi sindrom
nefrotik adalah sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS).5

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Proteinuria

Ada 3 jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan


protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria pada
penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul
melewati dinding kapiler glomerolus. Hal ini sering disebabkan oleh kelainan
pada podosit glomerular meliputi retraksi dari foot process dan atau reorganisasi
dari slit diaphgram. Perbedaan potensial listrik transglomerular akan memodulasi
flux makromolekul melewati dinding kapiler glomeerolus.8

6
Sistem filtrasi glomerolus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel,
membran basal glomerolus, dan lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan
lapisan barier terluar dari sistem filtrasi glomerolus. Dalam kondisi patologis,
podosit mengalami berbagai perubahan bentuk struktural seperti FP effacement,
pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerolus dan
apoptosis. Foot process effacement merupakan karakteristik perubahan paling
dominan dijumpai pada SN dan penyakit glomerular lainnya yang disertai
proteinuria. Foot process effacement dapat reversibel atau ireversibel apabila
injuri sel podosit berkelanjutan. SN terutama disebabkan oleh unjuri sel podosit
dengan proteinuria masif, pada beberapa keadaan dapat progresif menuju penyakit
ginjal kronik.8

Dalam keadaan normal membran basal glomerolus mempunyai


mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik. Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran
molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil seperti albumin, sedangkan proteinuria non selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Pada
SN lesi minimal ditemukan proteinuria selektif. Berkurangnya kandungan heparan
sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif membran basal
glomerolus menurun dan albumin dapat lolos ke urin.8

Patogenesis utama yang terjadi pada GSFS adalah kerusakan dan


kehilangan podosit. Rusaknya podosit akan memicu terjadinya apoptosis dan
terlepasnya podosit dari membran basal. Akibatnya berlanjut pada kerusakan lain
yang diperantarai sitokin, stress mekanik dan polaritas yang semakin menurun
sehingga terbentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerolus.8

Pada nefropati membranosa kerusakan struktur membran basal glomerolus


terjadi akibat endapan kompleks imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang
terbentuk pada nefropati membranosa akan meningkatkan permeabilitas membran
basal glomerolus, walaupun mekanis yang pasti belum diketahui.8

7
2.5.2 Hipoalbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
meningkatkan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin, namun masih belum jelas mengapa meningkatan sintesis albumin hati
tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia juga
dapat terjadi karena peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.8

2.5.3 Edema

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.


Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.8
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal
akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-
angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang
akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler
sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.8

8
Kedua mekanisme underfill dan overfill tersebut ditemukan secara
bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi
steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan
dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih
berperan.8

2.5.4 Hiperlipidemia dan Lipiduria

Hiperlipidemia adalah keadaan yang sering menyertai SN. Respon hiperlipidemik


sebagian dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta derajat
hiperlipidemia berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menurunnya
tekanan onkotik. Kondisi hiperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi
dari SN yang terjadi baik secara spontan maupun yang diinduksi dengan obat.
Tekanan onkotik yang rendah secara langsung menstimulasi transkripsi gen
apoprotein di hepar.8

Peningkatan kadarkolestrol disebabkan meningkatnya LDL (low density


lipoprotein). Kadar trigliserid yang tinggi dikatikan dengan peningkatan VLDL
(very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan peningkatan IDL
(intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high
density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia
pada SN dihubungkan dengan peningkatan sistesis lipid dan lipoprotein di hati.8

2.6 Gambaran Klinik

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat
akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai
oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit
perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada pemeriksaan
fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan
tekanan darah.1

Dalam laporan ISKDC (International study of kidney diseases in children),


pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai

9
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang
bersifat sementara.1

2.7 Diagnosis

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:

1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+),
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL,
3. Edema,
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:1

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Biakan urin hanya dilakukan bila
didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih,
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari,
3. Pemeriksaan darah yaitu arah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung
jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED), albumin dan kolesterol serum,
ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz, kadar komplemen C3 (bila dicurigai lupus eritematosus
sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4), ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

Indikasi biopsi ginjal pada sindrom nefrotik anak adalah:1

 Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan


ureum dalam plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun,
 Sindrom nefrotik resisten steroid,
 Sindrom nefrotik dependen steroid.

10
2.9 Tatalaksana

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid
dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya 4 positif diberikan
profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberi obat anti
tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.1

2.9.1 Diitetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan
menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak.
Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.1

2.9.2 Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari.
Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit darah (kalium dan natrium).1

Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema


refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat
(kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri
dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.1

11
Gambar 2. Algoritma pemberian diuretik.1

2.9.3 Antibiotik Profilaksis

Antibiotik profilaksis Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites


diberikan antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari,
sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik
profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda
infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis
amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.1

2.9.4 Imunisasi

Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu


setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih
dari 6 minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin hidup.1

Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae pada beberapa


negara dianjurkan, tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di
Indonesia belum dianjurkan. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak
dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak dengan penderita varisela, diberikan
profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 72
jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal

12
imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir
dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.1

2.9.5 Pengobatan dengan Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada


kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.1

2.9.5.1 Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 3).1

Gambar 3. Pengobatan inisial kortikosteroid.1

2.9.5.2 Pengobatan SN Relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi

13
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.1

Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

2.9.5.3 Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.1

14
Gambar 5. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid.1

2.9.5.4 Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka
dapat diberikan sitostatik siklofosfamid (CPA) oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan).1

15
2.9.5.5 Pengobatan SN yang Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada


pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.1

2.9.5.5.1 Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan


remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA,
bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten
steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin.1

16
Gambar 6. Pengobatan SN yang Resisten Steroid.1

2.9.5.5.2 Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total


sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA
adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap kadar CyA dalam darah
dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL, kadar kreatinin darah secara berkala,
biopsi ginjal setiap 2 tahun. Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah
banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka
pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.1

2.9.5.5.3 Metilprednisolon Plus

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon


puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan
dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam (Tabel 1).1

17
Tabel 2. Protokol metilprednisolon dosis tinggi.1

Gambar 7. Tatalaksana Sindrom Nefrotik.1

2.10 Komplikasi dan Penanganannya

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat
dilakukan penanggulangan yang cepat.1

18
2.10.1 Infeksi

Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen
faktor B dan D di urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risiko
terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan
penisilin parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.1

2.10.2 Tromboemboli

Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi, peningkatan kadar


fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III. Trombosis
dapat terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya dehidrasi meningkatkan
kemungkinan terjadinya trombosis. Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan
dengan pemberian aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai
saat ini belum ada studi terkontrol terhadap efektivitas pengobatan ini. Heparin
diberikan bila sudah terjadi trombosis.1

2.10.3 Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL dan
VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN
sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup
dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid dapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivat fibrat dan inhibitor
HMgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatan kadar lemak tersebut
berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebut masih diperdebatkan.1

19
2.10.4 Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang


yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia serta kebocoran metabolit vitamin
D. Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.1

2.10.5 Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat


mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl
fisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 ml/kgBB (tetesan
lambat 10 per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria,
diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.1

2.11 Prognosis

Pada umumnya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid.4,5

Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun


menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS
25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya
disertai penurunan fungsi ginjal.1

20
BAB 3

KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala


proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema dan
dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL).1,2,3,4 Berdasarkan etiologi
sindrom nefrotik bisa dibagi menjadi kongenital, primer dan sekunder. SN
kongenital terjadi karena kelainan genetik. SN primer merupakan penyakit yang
terjadi spesifik pada ginjal dan SN sekunder merupakan manifestasi penyakit
pada ginjal yang disebabkan oleh kelainan sistemik tubuh.7

Gambaran pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau


pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum.
Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan
diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
peritonitis. Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah.1

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien SN adalah


urinalisis dan bila perlu biakan urin, protein urin kuantitatif, pemeriksaan darah
yaitu darah tepi lengkap, albumin dan kolesterol serum, ureum, kreatinin serta
klirens kreatinin, kadar komplemen C3, ANA dan anti ds-DNA. Tatalaksana yang
dapat dilakukan adalah diit protein, diuretik, antibiotik profilaksis, imunisasi dan
pengobatan dengan steroid.1

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid yaitu dapat berupa infeksi, tromboemboli,
hiperlipidemia, hipokalsemia dan hipovolemia. Deteksi dini sangat diperlukan
sehingga dapat dilakukan penanggulangan yang cepat.1 Pada umumnya sebagian
besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid.4,5

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsesnsus Tatalaksana


Sindrom Nefrotim Idiopatik pada Anak. Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI;
2012.
2. Handayani I, Rusli B, Hardjoeno. Gambaran kadar kolestrol, albumin dan
sedimen urin penderita anak sindrom nefrotik. IJCP & ML; Maret 2007;
13(2): 49-52.
3. Nilawati GAP. Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak RSUP
Sanglah Denpasar. Sari Pediatri; Desember 2012; 14(4): 269-72.
4. Mamesah RS, Umboh A, Gunawan S. Hubungan aspek klinis dan
laboratorik dengan tipe sindrom nefrotik pada anak. eCI; Januari-Juni
2016; 4(1): 349-53.
5. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Hidayati EL.
Pengobatan terkini sindrom nefrotik (SN) pada anak. Sari Pedriati;
Agustus 2015; 17(2): 155-62.
6. Pramana PD, Mayetti, Kadri H. Hubungan antara proteinuria dan
hipoalbuminemia pada anak dengan sindrom nefrotik yang dirawat di
RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan
Andalas; 2013; 2(2): 90-3.
7. Medscape. Pediatric Nephrotic Syndrome Treatment & Management.
(updated 2017 desember 7).
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/982920-treatment
8. Lydia A, Marbun MB. Sindrom Nefrotik. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-4. 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai