PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstik ≥ 2+), Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL).1,2,3,4
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1,2,3,4
Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.
2.2 Epidemiologi
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun ,dengan prevalensi berkisar 12-16
kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.1,4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) / Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, SN merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik
Khusus Nefrologi dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang
2
dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan SN pada anak laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Hasil penelitian retrospektif di bagian IKA Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil periode 1997- 2000, mendapatkan bahwa
perbandingan kejadian sindrom nefrotik antara anak laki-laki dan perempuan
1,7:1.6
Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 2–3 kasus per 100.000 anak < 16
tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per
100.000 anak < 14 tahun. Anak dengan SNKM sekitar 90% kasus berumur < 7
tahun dengan usia rerata 2–5 tahun.2
2.3 Etiologi
3
Diffuse mesangial sclerosis ( WT1, PLCE1)
Autosomal recessive, glomerulosklerosis fokal segmental familial
( NPHS2, podocin)
Autosomal dominant, glomerulosklerosis fokal segmental familial
( ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
Nail-patella syndrome ( LMX1B)
Pierson syndrome ( LAMB2)
Schimke immuno-osseous dysplasia ( SMARCAL1)
Galloway-Mowat syndrome
Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
4
2.4 Gambaran Patologi Anatomi
5
gambaran patologi anatomi menurut ISKDC mengalami perubahan beberapa kali
meskipun tidak banyak dan saat ini yang disepakati adalah
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Proteinuria
6
Sistem filtrasi glomerolus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel,
membran basal glomerolus, dan lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan
lapisan barier terluar dari sistem filtrasi glomerolus. Dalam kondisi patologis,
podosit mengalami berbagai perubahan bentuk struktural seperti FP effacement,
pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerolus dan
apoptosis. Foot process effacement merupakan karakteristik perubahan paling
dominan dijumpai pada SN dan penyakit glomerular lainnya yang disertai
proteinuria. Foot process effacement dapat reversibel atau ireversibel apabila
injuri sel podosit berkelanjutan. SN terutama disebabkan oleh unjuri sel podosit
dengan proteinuria masif, pada beberapa keadaan dapat progresif menuju penyakit
ginjal kronik.8
7
2.5.2 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
meningkatkan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin, namun masih belum jelas mengapa meningkatan sintesis albumin hati
tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia juga
dapat terjadi karena peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.8
2.5.3 Edema
8
Kedua mekanisme underfill dan overfill tersebut ditemukan secara
bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi
steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan
dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih
berperan.8
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat
akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai
oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit
perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada pemeriksaan
fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan
tekanan darah.1
9
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang
bersifat sementara.1
2.7 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Biakan urin hanya dilakukan bila
didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih,
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari,
3. Pemeriksaan darah yaitu arah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung
jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED), albumin dan kolesterol serum,
ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz, kadar komplemen C3 (bila dicurigai lupus eritematosus
sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4), ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
10
2.9 Tatalaksana
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid
dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya 4 positif diberikan
profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberi obat anti
tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.1
2.9.1 Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan
menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak.
Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.1
2.9.2 Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari.
Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit darah (kalium dan natrium).1
11
Gambar 2. Algoritma pemberian diuretik.1
2.9.4 Imunisasi
12
imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir
dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.1
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 3).1
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi
13
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.1
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.1
14
Gambar 5. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid.1
15
2.9.5.5 Pengobatan SN yang Resisten Steroid
16
Gambar 6. Pengobatan SN yang Resisten Steroid.1
17
Tabel 2. Protokol metilprednisolon dosis tinggi.1
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat
dilakukan penanggulangan yang cepat.1
18
2.10.1 Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen
faktor B dan D di urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risiko
terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan
penisilin parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.1
2.10.2 Tromboemboli
2.10.3 Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL dan
VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN
sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup
dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid dapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivat fibrat dan inhibitor
HMgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatan kadar lemak tersebut
berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebut masih diperdebatkan.1
19
2.10.4 Hipokalsemia
2.10.5 Hipovolemia
2.11 Prognosis
Pada umumnya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan
pengobatan steroid.4,5
20
BAB 3
KESIMPULAN
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid yaitu dapat berupa infeksi, tromboemboli,
hiperlipidemia, hipokalsemia dan hipovolemia. Deteksi dini sangat diperlukan
sehingga dapat dilakukan penanggulangan yang cepat.1 Pada umumnya sebagian
besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid.4,5
21
DAFTAR PUSTAKA
22