INFEKSI POLIO
Pembimbing :
dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S
Penyusun:
Niko Hizkia Simatupang
406151007
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya,
hingga referat berjudul Infkesi Polio ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Referat ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf
di RSUD Semarang pada periode 31 Oktober 2016 3 Desember 2016 dengan berbekal
pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan
maupun pada saat kuliah pra-klinik.
Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan referat ini, dan
untuk itu penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
dr. Dyah Nuaraini Widhiana, Sp.S selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf dan
pembimbing referat
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan di masa
mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................1
Daftar Isi.........................................................................................................................2
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................4
Etiologi........................................................................................4
Epidemiologi...............................................................................4
Patogenesis..................................................................................5
Gambaran klinis...........................................................................6
Jenis Polio....................................................................................10
Diagnosis Polio............................................................................12
Terapi .........................................................................................13
Rehabilitasi..................................................................................13
Prognosis.....................................................................................13
Vaksinasi polio.............................................................................14
BAB III
KESIMPULAN..........................................................................28
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA.................................................................29
LEMBAR PENGESAHAN
2
Nama
NIM
: 406151007
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Tarumanagara
Tingkat
Bidang Pendidikan
: Infeksi Polio
Pembimbing
Mengetahui
Pembimbing
BAB I
dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S
PENDAHULUAN
Poliomelitis atau infantile paralysis, lebih dikenal dengan sebutan polio, adalah
kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat mempengaruhi seluruh
tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan
kematian.1,2,3,4
Populasi beresiko polio terutama menyerang kelompok umur anakanak berusia di
bawah lima tahun (balita). Di banyak negara dengan tingkat polio yang tinggi, 70%80%
penderita di bawah usia 3 tahun dan 80% - 90% dari kasus terjadi pada balita. Setelah
pemberian vaksin polio telah terjadi penurunan infeksi polio yang drastis. Meskipun
program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih
sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika Subsahara dan Asia, di mana
kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Di Indonesia masih ditemukan kasus polio baru,
hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar di Indonesia belum berhenti.
World Health Organization (WHO) memperkirakan sampai saat ini total kasus virus
polio
liar
secara
tersebar
di
10
provinsi
BAB II
PEMBAHASAN
POLIOMIELITIS
Etiologi
Virus poliomielitis tergolong dalam genus enterovirus dan famili picornaviridae,
mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi
dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Pada sebagian besar kasus dan
ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi
maupun imunisasi bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe.1
Penyebaran infeksi virus polio terjadi secara fekal oral dan pernafasan. Transmisi
perinatal bisa terjadi dari ibu kepada bayinya. Faktor predisposisi virus polio tergantung
pada status imunitas, neurovirulensi virus dan faktor host.1,2
Epidemiologi
Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadik, dimana tingkat
kejadian polio yang tinggi pertama kali dilaporkan dari daerah Eropa Barat, kemudian
Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950 tingkat kejadian yang tinggi
poliomielitis secara teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus
kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90 % kasus pada anak <5 tahun, sedangkan
di awal tahun 1950 kejadian tertinggi adalah usia 5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih
dari sepertiga kasus yang terjadi pada usia >15 tahun.1,3,4,5
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi
penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat, angka kejadian turun dari
17,6 kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000
di tahun 1962. Sejak tahun 1972 kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per
tahun.1,2,6,7
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk
menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus
polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah
kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur,
Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa.6,8,9
Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio
meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003.
Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763 penderita,
India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun 2006 ditemukan kasus liar poliovirus tipe I di
Kenya, pada saat itu ditemukan 216 kasus yang dibawa oleh pendatang dari Somalia yang
merupakan negara tetangga dari Kenya.10
Di Indonesia perkembangan polio sejak ditemukannya kasus polio pertama Maret
2005 lalu setelah 10 tahun (1995-2005) tidak ditemukannya lagi kasus polio. Namun
penyakit polio ini kembali mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga tanggal 21
november 2005, ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40 kabupaten dari 10 propinsi
yakni Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, sumut, Jawa Timur, Sumatera Selatan,
DKI, Riau, dan Aceh.5
Patogenesis
Polio dapat menyebar melalui kontak dengan kotoran yang terkontaminasi
(misalnya,
dengan
mengganti
popok
bayi
yang
terinfeksi)
atau
melalui
udara, dalam makanan, atau dalam air. Virus masuk melalui mulut dan hidung (portal of
entry), berkembang biak di dalam tenggorokan dan mukosa saluran cerna (Peyers
patches), lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah
bening. Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembang biak
dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotelial.
Masa inkubasi ini berlangsung antara 7-14 hari, tetapi dapat pula merentang dari 2 sampai
35 hari. Setelah 3-5 hari sejak terjadinya paparan, virus dapat ditemukan dari tenggorok,
darah dan tinja. Dalam keadaan ini timbul perkembangan virus, tubuh bereaksi dengan
membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat antibodi mencukupi dan cepat maka
virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat
sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Dalam kebanyakan kasus, hal ini
dapat mengakibatkan terhentinya perkembangan virus dan keuntungan individu memiliki
kekebalan permanen terhadap polio. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari
pembentukan zat anti maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan
terdapat dalam feses untuk beberapa minggu lamanya. Apabila manusia yang rentan
terpapar dengan poliovirus maka satu dari beberapa respons berikut ini akan terjadi, yaitu:
infeksi tidak nyata dan tanpa gejala-gejala, timbul sakit ringan (abortive poliomyelitis,
nonparalytic poliomyelitis, paralyticpoliomyelitis.1,2,16
Berbeda dengan virus lain yang menyerang susunan saraf, maka neuropatologi
poliomeilitis biasanya patognomonik dan virus hanya menyerang sel-sel dan daerah
tertentu susunan saraf, tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama
dan bila ringan, dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah
timbul gejala.
6
rubra.
Talamus dan hipotalamus
Korteks serebri, hanya daerah motorik
Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla
spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan
Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas
silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan
yang menetap terhadap virus tersebut.1,2
Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi penyebaran termasuk ke
susunan saraf pusat. Penyebaran virus polio melalui saraf belum jelas diketahui. Penyakit
yang ringan (minor illness) terjadi pada saat viremia yaitu kira-kira hari ketujuh,
sedangkan major illness ditemukan bila konsentrasi virus di susunan saraf pusat mencapai
puncaknya yaitu pada hari ke 12 sampai 14.1,11
Gambaran klinis
Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh polio ada beberapa gejala khas.
Namun hampir 95 persen dari semua orang yang terkena virus polio tidak akan
menunjukkan gejala apapun. Sekitar 5 persen orang yang terinfeksi akan mengalami
gejala ringan, seperti sakit tenggorokan, leher kaku, sakit kepala, dan demam, dan
seringkali terdiagnosis sebagai pilek atau flu. Kelumpuhan otot telah diperkirakan terjadi
pada sekitar satu dari setiap 1.000 orang yang terkena.1
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 3-35
hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai
dengan yang paling berat, yaitu antara lain :2,3,11
maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan. Penyakit ini hanya
diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya titer antibodi.
Infeksi abortif
Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu daerah yang tingkat
kejadiannya cukup tinggi. Tidak dijumpai gejala khas poliomielitis. Timbul mendadak
dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala minor illness seperti demam bisa mencapai
39,5 oC, malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan, anoreksia, muntah, nyeri otot dan
nyeri perut serta kadang-kadang diare. Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit
virus lainnya, hanya dapat diduga bila terjadi di daerah yang epidemik polio.
Diagnosis pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan. Diagnosis
banding adalah influenza atau infeksi tenggorokannya lainnya.
Poliomielitis paralitik
Gambaran klinis sama dengan poliomielitis non paralitik disertai dengan kelemahan
satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa menghilang
selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali diserta dengan kelumpuhan
(paralitik) yaitu berupa flaccid paralysis yang biasanya unilateral dan simetris yaitu
paling sering terkena adalah tungkai. Keadaan ini bisa disertai kelumpuhan vesika
urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus paralitik. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi kelumpuhan otot pernafasan.
Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada
a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung, diafragma, ada
ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah. Tersering yaitu otototot besar, pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada lengan deltoid. Sifat
kelumpuhannya ini adalah asimetris. Refleks tendon menurun sampai menghilang
dan tidak ada gangguan sensibilitas.
b. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bulbar.
c. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial
dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi dan temperatur
tubuh. Bila kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII maka akan
menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan konsekuensi terjadi
sumbatan jalan nafas.
d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan kadangkadang kejang.
termasuk didalamnya
10
sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika
disentuh.
2. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel
tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.
Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu
penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling
sering ditemukan terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini
akan diserap oleh pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh
tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik yang
mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,
pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini
biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang
otak. Infeksi ini akan memengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang serabut
saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat,virus
akan menghancurkan syaraf motorik. Syaraf motorik tidak memiliki kemampuan
regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap
11
perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai
menjadi lemas kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada
sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot
pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
3. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga
batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur
pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang
mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang
berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori
yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan
dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang
mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan
kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan
meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya
terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim
'perintah bernapas' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan
pada fungsi penelanan; korban dapat 'tenggelam' dalam sekresinya sendiri kecuali
dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan
yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga
sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan 'paru-paru besi' (iron lung).
Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi
tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan
mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan
demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah
pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung usia
penderita. Hingga saat ini, mereka yang bertahan hidup dari polio jenis ini harus
hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernapasan. Polio bulbar dan spinal
sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas dari polio paralisis. Polio
paralisis tidak bersifat permanen. Penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi
tubuh yang mendekati normal.
12
Diagnosis Polio
I.
II.
Terapi
Pengobatan pada penyakit polio sampai sekarang belum ditemukan cara atau
metode yang paling tepat. Sedangkan penggunaan vaksin yang ada hanya untuk mencegah
dan mengurangi rasa sakit pada penderita.
Rehabilitasi
13
14
VAKSINASI POLIO
Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum
konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun berbagai cara
penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang kontroversial, namun
akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini tidak mempunyai manfaat yang
bermakna secara klinis.5,6
Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal.
Penelitian berkembang menjadi dua arah yaitu virus yang dimatikan dengan menggunakan
feno/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine OPV) dengan cara
melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara tersebut menghasilkan dua
macam vaksin yaitu yang pertama adalah Inactivated Polio Vaccine dan disusul dengan
Oral Polio Vaccine. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan
angka kesakitan akibat virus polio. Kriteria vaksin yang baik adalah vaksin itu harus
antigenik, proporsi vaksin trivalent harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkunan,
replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih
hidup sehingga bisa hidup dan berkembangbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya
membentuk antibodi humoral yang dapat menghambat virus polio menimbulkan infeksi di
sistem saraf pusat, namun juga merangsang sekretori IgA, antibodi sekretori yang
mencegah perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus dapat bertahan sampai 17
bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulin, bahkan dapat bereplikasi
terus sampai 684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang
tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan interstinal yang cukup, IPV tidak bisa
menghentikan trasmisi virus polio liar.5,6,
Eliminasi
Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang
bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di
suatu
wilayah
geografis.
Upaya
intervensi
berkelanjutan
diperlukan
untuk
15
Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk mencapai
eradikasi global.5,6
Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO membuat
rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Indonesia melakukan PIN
dengan memberikan satu dosis polio pada bulan September 1995, 1996, dan 1997. Pada
tahun 2002, PIN dilaksanakan kembali dengan menambahkan imunisasi campak di
beberapa daerah. Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP)
pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan tiga dosis polio
saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada tahun 2006 PIN diulang kembali
dua kali/dosis polio yang dilakukan pada bulan September dan Oktober 2006. Dengan
adanya PIN tersebut, frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi WHO
menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk imunisasi dasar polio.5,6
Eradikasi
Berbagai manfaat akan diperoleh apabila eradikasi polio global berhasil dicapai,
terutama dunia terbebas dari penyakit polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat
penyakit tersebut, mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan
untuk menyelenggarakan imunisasi dan perawatan kasus-kasus polio yang diperkirakan
mencapai US S 1.5 milyar pertahun.5
Pada tahun 1988, dalam sidangnya yang ke 41, WHO telah menetapkan program
eradikasi polio global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk
mengeradikasikan penyakit polio pada tahun 2000 (ERAPO 2000). Target ini kemudian
diformulasikan lagi pada pertemuan World Summit for Children yang berlangsung tanggal
29-30 September 1990 di New York, yakni dalam sasaran kesejahteraan anak.3,5,6
Terbukanya peluang untuk melaksanakan eradikasi polio dimungkinkan oleh
karena :5,6,9
a. Infeksi polio hanya berlangsung pada manusia, tidak ada binatang reservoir
(binatang pengidap polio) maupun pengidap kronis (chronic carrier).
b. Sumber virus polio dari lingkungan yang dapat bertahan lama tidak ada; virus
polio didaerah tropis diluar tubuh hanya bertahan sekitar 48 jam.
c. Kekebalan berlangsung seumur hidup.
d. Vaksin polio yang efektif telah berhasil dikembangkan, yakni vaksin polio
inaktif pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk dan vaksin polio oral (life
attenuated) tahun 1960 oleh Dr. Albert Sabin.
Untuk mencapai eradikasi polio tersebut WHO menetapkan 4 strategi global untuk
mengeradikasi polio pada tahun 2000, yakni:
1. Imunisasi rutin dengan cakupan > 80%
16
pelaksanaan PIN tahun 1997 masih belum lengkap, karena pada tahun 1987 dilaporkan
sebanyak 2.319 kasus, namun pelaporan masih belum lengkap sehingga angka terakhir
kemungkinan lebih dari 3.500.4
Tipe 1 : 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture infective
sekali
udara,
Departemen
Kesehatan
manganjurkan
bahwa
kebijaksanaan
Kesejahteraan
polio
yang
imunisasi
Sosial
telah
(pasca
terbuka
dibuka,
botolnya
vaksin
pada
akhir
akan
&
vaksin
sesi
imunisasi
berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, apabila tanggal
kadarluwarsa tidak terlampui, vaksin di simpan dalam keadaan yang sangat dingin (28C), botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu harus dibuang.9,11
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru. Di
unit pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu
dengan ketentuan : 9,12
Cara pemberian :
19
Diberikan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis)
pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Pada daerah yang tingkat kasus
polionya tinggi (seperti Indonesia) merupakan daerah endemik polio, pemberian extra
imunisasi polio segera setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan
meningkatkan cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan dipulangkan
dari rumah sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus
polio hidup dapat dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak
imunisasi polio 4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).5,6,9
Penyimpanan OPV
Oral polio vaccine (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 2-8C. Vaksin
yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan
digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai orange muda
(sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah
terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dapt dipakai lagi sampai warna berubah dengan
catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.5,9
Kontra indikasi OPV
harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA sekretori
di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi polio liar dan tidak dapat
menghentikan trasmisi virus tersebut.2,5,8
Indikasi
Indikasi pemberian Inactivated polio vaccine :5,11
Semua anak harus menerima empat dosis IPV pada bulan 2, 4 dan 6,
minggu.
Tidak ada dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu dari yang
Streptomycin
Polymyxin B
IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuscular pada paha, sebaiknya
paha kanan
Menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap penyuntikan
Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval minimal 4 (empat)
minggu
IPV diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin DPT/HB
IPV dapat diberikan dengan aman berbarengan denga vaksin DPT, DT, TT, Td,
Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau Hib dan tidak mempengaruhi
pembentukan respon imunologik yang dihasilkan masing-masing vaksin
Kontraindikasi
Bayi dengan riwayat
Penyimpanan
Inactivated polio virus merupakan vaksin yang freeze sensitive (tidak kuat terhadap
suhu beku) sehingga harus disimpan dan ditransportasikan pada kondisi suhu 2 8 C.5,9
-
suhu 2-8 C
Pada tingkat kabupaten/kota dan puskesmas, vaksin harus disimpan di lemari es
23
imunisasi
yang
meliputi
kesalahan
program
penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi
pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
Dosis antigen (terlalu banyak)
Lokasi dan cara menyuntik
Sterilisasi semprit dan jarum suntik
Jarum bekas pakai
Tindakan aseptik dan antiseptik
Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
Penyimpanan vaksin
Pemakaian sisa vaksin
Jenis dan jumlah pelarut vaksin
Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung
misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan
reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh
produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau
vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh
pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
24
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam
salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini
sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi
tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI dapat terjadi pasca imunisasi IPV tetapi
reaksi ini jarang terjadi, antara lain :5,9
- Reaksi lokal : reaksi eritema kemerahan (pembengkakan pada suntikan).
- Reaksi sistemik : demam, mual dan muntah, iritabilitas, anoreksia, menangis
yang menetap dan keletihan. Polio paralisis, polio paralisis pada resipien
-
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak
menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau
sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka
panjang). Jenis
vaksin hidup
merupakan
indikasi
kontra untuk
pasien
26
BAB III
KESIMPULAN
Polio adalah kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat
menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Meskipun program eradikasi polio secara
global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa
negara seperti India, Afrika dan Asia, teritama di Indonesia masih ditemukan kasus polio
baru hal ini menunjukkan bahwa penyebran virus polio liar di Indonesia belum berhenti.
Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio
vaccine (OPV). Inactivated polio vaccine merupakan vaksin polio yang dimatikan dan
diberikan secara intramuscular dengan dosis 0,5 ml. Sedangkan Oral polio vaccine
merupakan vaksin polio yang dilemahkan dan diberikan secara oral dengan 1 dosis atau 2
tetes. Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan kejadian sakit atau kematian setelah
mendapatkan imunisasi .Pemberian vaksin merupakan pemasukan antigen ke dalam tubuh,
sehingga tubuh dapat memiliki berbagai respon terhadap antigen tersebut.
27
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Pasaribu S. Aspek diagnostik poliomyelitis. Sumatra utara: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara; 2005.
2. Sutiko A, Rahmawaty. Acute flaccid paralysis. Medan: Muslim Indonesia
University; 2005
3. Miller N. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history, efficacy, and
long-term health-related consequences. N.Z. Miller/Medical Veritas 1;2004. 239
51.
4. Australian Government. Imunisasi. Australia: Department of health and ageing;
2005. 21-5.
5. Anonymous. Eradikasi polio dan permasalahannya. Ilmu kesehatan anak XXXV.
Jakarta: Kapita selekta ilmu kesehatan anak IV; 2005.
6. Rina O, Ritarwan K. Upaya eradikasi polio di Indonesia. Jakarta; 2005. 198-203.
7. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomyelitis eradication in
Indonesia. Surabaya: Department of Child Health, School of Medicine: Airlangga
University Surabaya Indonesia. Vol 34;3: 2003. 598-604.
8. Anonymous. Cessation of routine oral polio vaccine use after global polio
eradication. World Heart Organisztion; 2005.
9. Anonymous. Penyelenggaraan pilot proyek inactivated polio vaccine di provinsi
daerah istimewa Yogyakarta; 2007.
10. Anonymous. Issues from the final push. UNICEF Country Office EPI Update:
Nigeria Press; 2008.
11. Herremans T, Reimerink J, Buisman A, Kimman T, Koopmasn T. Induction of
mucosal immunity by inactivated poliovirus vaccine is dependent on previous
mucosal contact with live virus. Chapter 5; 2007: 73-86.
12. Anonymous. Poliomyelitis. Chapter 13. American Academy of Pediatric : Red book
online; 2011.
13. Anonymous. Poliomyelitis vaccine. German : Medical Diagnostic Center Press;
2008.
14. Weckx L, Schmidt, Hermann, Miyasaki C, Novo. Early immunization of neonates
with trivalent oral poliovirus vaccine. Bulletin of the world health Organization.
1992;7(1): 85-91.
15. Racaniello VR. One hundred years poliovirus pathogenesis. Virology 344: 9-16.
16. Julius E. Suryawidjaja. Resurgensi poliomyelitis :status terkini dari infeksi
poliovirus di Indonesia. Universa Medicina; 2005:24(2): 93-101.
17. Lisnawati L. Generasi sehat melalui imunisasi. Jakarta: trasinfomedia; 2011. 15-56.
28