Pembimbing:
Disusun oleh:
Nama : Ny. D
Umur : 34 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
No.RM : 00-60-xx-xx
Golongan darah :B
Keluhan tambahan :
Nyeri pada benjolan dan teraba hangat.
B. Pemeriksaan Sistem
L : tidak ada kelainan pada kepala dan leher, tidak ada kelainan
gigi atau pemakaian gigi palsu
E : 3-3-2-1
M : class1
O : tidak ada obstruksi atau penyulit jalan napas
N : tidak ada trauma cervical
C. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI 31-07-2017 Angka normal
Hemoglobin (g/dL) 14,5 13,2 17,3 g/dL
Hematokrit (%) 43 40 - 52 %
MCV 83 80 100 fL
MCH 28 28-33 pg/mL
MCHC 34 32-36 g/dL
Eritrosit 5,20 4,60- 6,20
Trombosit (/uL) 193.000 150.000 450.000
Leukosit (/uL) 8.700 3.800 10.600
KIMIA KLINIK 31-07-2017 Angka normal
Glukosa Sewaktu 81 70 200 mg/dL
Ureum Darah 20 19 49 mg/dL
Creatinin Darah 0,91 0,9 1,3 mg/dL
HEMOSTASIS 31-07-2017 Angka normal
PT 9,7 9,0 12,1detik
APTT 36 31 47 detik
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk
transplantasi.
ASA Score : 2
IV. RESUME
Telah diperiksa seorang perempuan berusia 34 tahun dengan keluhan terdapat
benjolan pada leher kanan serta dirasakannya sakit dan hangat pada benjolan
tersebut sejak 2 bulan sebelum dilakukan operasi di Rumah Sakit Husada. Pasien
mengatakan tidak adanya trauma dan keluhan lainnya.
Pasien belum pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya, serta tidak
memilki riwayat alergi obat, asma, hipertensi maupun diabetes mellitus
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital tidak ditemukan
kelainan. Pada pemeriksaan sistem LEMON tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan status fisik
menurut ASA didapatkan ASA II.
V. DIAGNOSIS KERJA
Limfadenopati Colli Dextra
VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Pre medikasi : -
Operasi
- Infus RL
- Fentanil 2 cc
- Lidokain 1cc
- Diprivan 100mg
- Tramus 30 mg
- Fendex 25 mg
- SA/prost 2 amp / 2 amp
Post operasi
- Ceftriaxon 125mg
Non Medikamentosa
- Jaga kebersihan luka
VII. EVALUASI
- Keadaan umum dan tanda tanda vital
- Awasi timbulnya komplikasi
VIII. KOMPLIKASI
Infeksi pasca operasi
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
0 Apnea
0 Tidak berespon
Score: 10
XI. FOLLOW UP
Pasien tidak ke ruang perawatan namun langsung kontrol luka ke poli bedah.
Anestesi Umum
I. Definisi
Suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang
dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.
V. Stadium Anestesia
Stadium anestesia dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat anestetik
volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa penggunaan ether
yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesia yang
terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi
:
1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas. Terjadi
REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga dapat
muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung
pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium
2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal.Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan
menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi terlalu
dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Stadium
ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha untuk
memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang menjadi
prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa kini bekerja
cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium dalam anestesi
umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.
Periode Prabedah
Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan penyulit
anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan
pemakaian obat-obatan.
Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan anatomi,
terutama anatomi jalan nafas. Kelainan gfungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu
diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat anestetik. Penyakit
kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering menimbulkan
komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan morbiditas bahkan
mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini adalah
hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:
ANAMNESIS:
Indentitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.
Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga di
tanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan
untuk mengatasinya.
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)
Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi.
PEMERIKSAAN FISIS:
Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain
STATUS FISIS:
Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk
menjalani anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Status fisis menurut klasifikasi ASA
Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
Kelas III :Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu.
Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam
Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.
PUASA:
Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.
Periode intrabedah
Persiapan Anestesia
Di dalam ruang bedah, anestesiologis biasanya di antara personel yang pertama
kali hadir. Berbagai persiapan harus dilakukan sebelum pasien tiba. STATICS adalah
akronim untuk memudahkan mengingat kelengkapan alat yang harus disediakan
sebelum anestesia:
S= Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop.
T= Tubes. Yang dimaksud adalah Sungkup Laring (Laryngeal Mask
Airway)
A= Airway. Yang dimaksud adalah alat-alat yang digunakan untuk
menahan lidah agar tidak jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau
pipa nasofaringeal
T= Tapes. Tapes ada pita atau plester
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan kedalam
ETT untuk memudahkan tindakan intubasi namun karena LMA jadi
tidak ada kawat atau tongkat kecil tersebut.
C= Connector, penguhubung alat LMA dengan sirkuit nafas
S= Suction. Disamping mesin anestesia harus tersedia mesin pengisap
yang berguna untuk membersihkan jalan nafas ketika laringoskop
intubasi dengan LMA.
Semua perubahan selama anestesia dicatat dalam rekam medis anestesia.
Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, misalnya tiap 15 menit.
Demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan juga dicatat. Transfusi produk darah, jika ada, dicatat jenis dan
jumlahnya. Produksi urin diamati dan dicatat. Jika dilakukan pemeriksaan laboratorium
intraoperatif pun dicatat waktu dan hasilnya.
Periode Pascabedah
Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus
diobservasi di ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette.
Sistem skor ini diciptakan oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA.
Kriteria Aldrette original adalah:
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan
/ tanpa perintah
1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan
Aktivitas
/ tanpa perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua
ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan
bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2> 92%
dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk
mempertahankan saturasi O2> 90 %
0 Saturasi O2> 90 % meski dengan suplemen
O2
Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai 9.
Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O2 tubuh. Jika kondisi ini terbukti
di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni pemberian
suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.
Ventilasi
Ventilasi sebenarnya merupakan salah satu komponen respirasi, yaitu respirasi
eksternal. Ventilasi menggambarkan keluar-masuknya udara pernafasan yang dikenal
dengan volum tidal. Banyaknya udaara yang keluar-masuk dalam semenit disebut
ventilasi semenit.
MV= TV x RR
MV = Minute Ventilation
TV = Tidal Volume
RR= Respiratory Rate
Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik
1. Absolut :
a. Tidak bisa membuka mulut
b. Obstruksi total jalan napas bagian atas
2. Relatif :
a. Meningkatnya resiko aspirasi
i. Prolonged bag-valve-mask ventilation
ii. Obesitas
iii. Kehamilan semester dua dan tiga
iv. Perdarahan gastrointestinal bagian atas
b. Abnormalitas anatomi dari supraglotic
dengan Face Fiksasi yang lebih baik Resiko trauma pada jalan
berjenggot Membutuhkan
sedikit
Dibandingkan Kurang invasif Meningkatkan resiko
Mengurangi resiko
endobronchial
Komplikasi
Tiopental
Tiopental adalah golongan barbiturat yang sangat popular dalam dunia anestesia. Obat
ini bekerja sebagai modulator GABA di SSP. Awitan sangat cepat dan durasinya
pendek.
Propofol
Setelah kehadiran propofol, popularitas tiopental sedikit turun sebagai obat induksi
anestesia. Propofol juga bekerja dengan meningkatkan tonus GABA di SSP. Awitan
sangat cepat dan durasinya sangat singkat.
Ketamin
Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.
Etomidat
Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan diberikan lebih
dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak dibolehkan untuk
diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi penggunaan etomidat
adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.
Midazolam
Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang sangat digemari dalam anestesia.
Berbeda dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan yang cepat. Efek lain
adalah amnesia anterograd.
Opioid
Reseptor opioid terdapat pada terminal prasinaps serabut nosiseptik C dan A-delta.
Jika diaktivasi akan menginhibisi kanal Ca yang bergantung voltase, menurunkan
cAMP dan memblokade neurotransmiter nyeri seperti glutamat dan substansi P dari
serabu-serabut nosiseptif, dengan hasil akhir analgesia. Opioid (sintetik maupun
endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-neuron GABA, menghambat
pelepasan GABA. Di Indonesia opioid yang sering digunakan adalah fentanyl dan
sufentanil.
Pelumpuh Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anestesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas
penggunaannya.
o Pelumpuh otot depolarisasi
Bekerja seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh
kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.
Contohnya : suksinilkolin dan dekametonium.
o Pelumpuh otot nondepolarisasi
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga tidak
dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, dibagi menjadi kerja panjang (d-
turbokurarin, pankuronium), sedang (atrakurium, rokuronium) dan pendek
(mivakurium, ropacuronium).
Pembahasan
Pada kasus ini didapatkan pasien dengan Limfadenopati colli dextra. Adanya
faktor resiko yang nyata maka dimasukkan ke dalam ASA2. Lalu dilanjutkan dengan
tindakan eksisi dengan anestesi umum.
Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi dengan LMA,
dan tidak ditemukan penyulit untuk dilakukannya intubasi. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan adanya penyakit kronis ataupun penyulit tindakan anestesi seperti
asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu
diprivan yang berisi propofol. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya
kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh diprivan (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat
menimbulkan efek sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.Sebagian besar propofol terikat
dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam
plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit)
kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit).
Dosis induksi diprivan (propofol) dapat menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik.
Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung
cepat namun dapat menyebabkan perubahan mood tetapi tidak sehebat thiopental.
Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak
35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
bidang anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil
bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri
dan respons emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4 jam
dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh
hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam
1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa
hari.
Tramus digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tramus bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah
saraf otot sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tramus
termasuk dalam pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5 menit
hingga obat bekerja. Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi maka
diperlukan penawar. Penawar yang digunakan prostigmin sehingga ditambahkan sulfas
atropine untuk mengurangi efek dari prostigmin dimana dapat menyebabkan
hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
Cairan yang diberikan pada pasien berupa Ringer Laktat dan pemberian
resusitasi cairan dengan perhitungan maintenance cairan untuk operasi kecil.
Yaitu :
o 2cc /kg/hr
o 2x53=106 cc/hr
o Total cairan yang diberikan perhari 106 cc/hari
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-
2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
2. Zambourl A. Preoperative Evaluation and Preparation for Anesthesia and
Surgery. Hippokratia. 2007; 1 : 13-21.
3. Burnbaumer DM, Pollack CV. Troubleshooting and Managing The Difficult
Airway. Semin Respir Crit Care Med. 2002; 23(1).