Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Anestesi LMA pada pasien dengan


Limfadenopati Colli Dextra

Pembimbing:

dr. Irwan Hadi, SpAn

Disusun oleh:

Niko Hizkia Simatupang (406151007)

Fakultas KedokteranUniversitas Tarumanagara

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi

Rumah Sakit Husada Jakarta

Periode 17 Juli 2017 19 Agustus 2017


I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D

Umur : 34 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Tanah tinggi I No.53, Jakarta Pusat

Agama : Islam

Suku : Jawa

Ruang : Operasi One day Care

No.RM : 00-60-xx-xx

Golongan darah :B

Masuk Rumah Sakit : 4 Agustus 2017 jam 08.00 WIB

Keluar Rumah Sakit : 4 Agustus 2017 jam 10.00 WIB


II. ANAMNESIS (02-08-2017 Pukul 08:30 WIB)
Keluhan utama:
Terdapat benjolan pada leher kanan sejak 2 bulan sebelum dilakukan operasi di
Rumah Sakit Husada.

Keluhan tambahan :
Nyeri pada benjolan dan teraba hangat.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke instalasi penyakit dalam Rumah Sakit Husada dengan keluhan
terdapat benjolan pada leher kanan serta dirasakannya sakit dan hangat pada
benjolan tersebut sejak 2 bulan sebelum dilakukan operasi di Rumah Sakit
Husada. Pasien sebelumnya sudah berobat ke bagian penyakit dalam Rumah
Sakit Husada, namun pasien diberikan rujukan intern ke bagian bedah Rumah
Sakit Husada untuk dilakukan pengangkatan benjolan dan dilakukannya
pemeriksaan terhadap benjolan tersebut. Pasien mengatakan tidak adanya trauma
dan keluhan lainnya.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat Penyakit serupa : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Maag : disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
III. PEMERIKSAAN PRE-ANESTESI (04-08-2017 Pukul 08:45 WIB)
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
- Tekanan darah: 112/71 mmHg
- HR : 81x/menit
- RR : 18 x/menit
- Suhu : 37,1 C
SpO2 : 100%
Data antropometri :
- Berat badan : 53 kg
- Tinggi Badan : 150 cm
Penyulit : Asma dan alergi obat disangkal

B. Pemeriksaan Sistem
L : tidak ada kelainan pada kepala dan leher, tidak ada kelainan
gigi atau pemakaian gigi palsu
E : 3-3-2-1
M : class1
O : tidak ada obstruksi atau penyulit jalan napas
N : tidak ada trauma cervical

Pemeriksaan sistem didapatkan dalam batas normal

C. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI 31-07-2017 Angka normal
Hemoglobin (g/dL) 14,5 13,2 17,3 g/dL
Hematokrit (%) 43 40 - 52 %
MCV 83 80 100 fL
MCH 28 28-33 pg/mL
MCHC 34 32-36 g/dL
Eritrosit 5,20 4,60- 6,20
Trombosit (/uL) 193.000 150.000 450.000
Leukosit (/uL) 8.700 3.800 10.600
KIMIA KLINIK 31-07-2017 Angka normal
Glukosa Sewaktu 81 70 200 mg/dL
Ureum Darah 20 19 49 mg/dL
Creatinin Darah 0,91 0,9 1,3 mg/dL
HEMOSTASIS 31-07-2017 Angka normal
PT 9,7 9,0 12,1detik
APTT 36 31 47 detik

D. Penilaian Status Fisik Menurut ASA


Kelas I Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk
transplantasi.
ASA Score : 2

IV. RESUME
Telah diperiksa seorang perempuan berusia 34 tahun dengan keluhan terdapat
benjolan pada leher kanan serta dirasakannya sakit dan hangat pada benjolan
tersebut sejak 2 bulan sebelum dilakukan operasi di Rumah Sakit Husada. Pasien
mengatakan tidak adanya trauma dan keluhan lainnya.
Pasien belum pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya, serta tidak
memilki riwayat alergi obat, asma, hipertensi maupun diabetes mellitus
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital tidak ditemukan
kelainan. Pada pemeriksaan sistem LEMON tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan status fisik
menurut ASA didapatkan ASA II.

V. DIAGNOSIS KERJA
Limfadenopati Colli Dextra

VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Pre medikasi : -

Operasi
- Infus RL
- Fentanil 2 cc
- Lidokain 1cc
- Diprivan 100mg
- Tramus 30 mg
- Fendex 25 mg
- SA/prost 2 amp / 2 amp

Post operasi
- Ceftriaxon 125mg
Non Medikamentosa
- Jaga kebersihan luka

VII. EVALUASI
- Keadaan umum dan tanda tanda vital
- Awasi timbulnya komplikasi

VIII. KOMPLIKASI
Infeksi pasca operasi
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

X. OBSERVASI ANESTESI OPERASI


Aldrete Score
Kriteria Skor Kondisi

2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa


perintah

Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa perintah

0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas

Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas

1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas

0 Apnea

Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia

1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia

0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia

Kesadaran 2 Sadar penuh

1 Bangun ketika dipanggil

0 Tidak berespon

Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2> 92% dengan udara


kamar

1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi O2> 90


%

0 Saturasi O2> 90 % meski dengan suplemen O2

Score: 10

XI. FOLLOW UP
Pasien tidak ke ruang perawatan namun langsung kontrol luka ke poli bedah.
Anestesi Umum

I. Definisi
Suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang
dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.

II. Komponen Dalam Anestesia Umum


Dahulu dikenal istilah Trias Anestesia yaitu hipnosis, analgesia, dan arefleksia.
Sekarang anestesia umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun
lebih luas, yaitu :
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)
Dalam praktis klinis sehari-hari tidak semua komponen di atas harus terpenuhi.
Sebagai contoh dalam prosedur endoskopi yang dilakukan di bawah anestesia
umum, yang penting bagi pasien adalah hipnosis, analgesia, dan imobilisasi.
Sedangkan pada pasien yang menjalani CT scan atau kateterisasi jantung di bawah
anestesia mungkin hanya hipnosis dan imobilisasi yang diperlukan. Bagi
kebanyakan prosedur bedah, analgesia menduduki peringkat teratas komponen
anestesia yang harus dipenuhi.

III. Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Keuntungan Anestesia Umum
Pasien tidak sadar, mencegah anestesia pasien selama prosedur medis
berlangsung
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
anestesia dan berbagai kejadi intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis
Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Kerugian Anestesia Umum


Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesia umum.
Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

IV. Fisiologi Hilangnya Kesadaran


Teori Meyer-Overton menyatakan anestesia terjadi jika sejumlah anestetika
inhalasi berdifusi dan larut dalam membran lipid sel. Teori lain Pauiling menyatakan
sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan molekul air membentuk Clathrates
(mikrokristal yang terhidrasi). Molekul inilah yang menginhibisi reseptor-reseptor di
SSP.
Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan tonus
GABA atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamat. GABA bersigat menginhibisi
impuls di otak, ssedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.

Gamma Aminobutyric Acid (GABA)


Gamma Aminobutyric Acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori di SSP,
bekerja dengan cara berikatan dengan reseptornya di membran sel. Ikatan ini
menyebabkan terbukanya kanal ion yang memungkinkan masuknya ion Cl- atau
keluarnya ion K+. Terjadi hiperpolarissasi sel. Obat yang bekerja pada reseptor GABA
(GABAergic / GABA analogue drugs) memiliki efek depresif di SSP. Obat-obat ini
biasanya bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan sebagainya.
Contoh obat tipikal GABAergik adalah golongan benzodiazepin, barbiturat,
etomidat, kloralhidrat dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada glisin (glycine),
neurotransmiter inhibitori juga di medula spinalis dan batang otak. Greenblatt dan
Meng (2001) menyimpulkan bahwa anestetika inhalasi menimbulkan potensiasi pada
reseptor GABA dan glisin. Sebagian besar obat anestetik intravena pun bekerja dengan
memodulasi GABA.

Reseptor yang Diaktivasi Glutamat


Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia.
Reseptornya termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl- D-
aspartate receptor) adalah satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamat.
Reseptor lain adalah AMPA. Kedua reseptor sering dijumpai pada sinaps yang sama
meskipun mempunyai fisiologi yang berbeda. Fungsi reseptor kainat dan hubungannya
dengan anestesia belum diketahui jelas. Antagonis reseptor NMDA umumnya
digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efeknya yang unik di SSP adalah disosiasi.
Sekarang golongan ini sering pula disalahgunakan sebagai recreational drug karena
efek halusinogeniknya. Diantara antagonis NMDA yang terkenal adalah ketamin, N2O,
dekstrometorfan, etanol, dan xenon. Beberapa obat memiliki sifat antagonis NMDA
bersama dengan agonis opioid, misalnya tramadol.
Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, semakin banyak ditemukan bukti
bahwa mekanisme terjadinya anestesia jauh lebih rumit daripada yang disangka. Zat
anestetik tidak lagi dipercaya hanya bekerja pada molekul tunggal di SSP, namun
kemungkinan juga bekerja di medula spinalis. Ditemukan bukti bahwa ketiga reseptor
glutamat tidak sensitif terhadap anestetika inhalasi.

V. Stadium Anestesia
Stadium anestesia dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat anestetik
volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa penggunaan ether
yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesia yang
terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi
:
1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas. Terjadi
REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga dapat
muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung
pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium
2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal.Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan
menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi terlalu
dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Stadium
ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha untuk
memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang menjadi
prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa kini bekerja
cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium dalam anestesi
umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.

VI. Manajemen Perioperatif/Perianestesia


Keseluruhan prosedur anestesia dimulai sejak periode pra-anestesia/ prabedah
dan diakhiri pada periode pasca anestesia/ pascabedah. Ketiga periode ini dikenal
dengan periode perioperatif. Karena hal ini sangat penting, telah berkembang menjadi
ilmu tersendiri, yaitu perioperative medicine. Tujuan utama perioperative medicine
adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin serta meminimalkan
komplikasi anestesia dan / atau pembedahan yang akan dijalankan.

Periode Prabedah
Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan penyulit
anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan
pemakaian obat-obatan.
Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan anatomi,
terutama anatomi jalan nafas. Kelainan gfungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu
diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat anestetik. Penyakit
kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering menimbulkan
komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan morbiditas bahkan
mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini adalah
hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:

ANAMNESIS:
Indentitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.
Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga di
tanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan
untuk mengatasinya.
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)
Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi.

PEMERIKSAAN FISIS:
Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain

STATUS FISIS:
Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk
menjalani anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Status fisis menurut klasifikasi ASA
Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
Kelas III :Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu.
Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam
Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.

PUASA:
Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.

Periode intrabedah
Persiapan Anestesia
Di dalam ruang bedah, anestesiologis biasanya di antara personel yang pertama
kali hadir. Berbagai persiapan harus dilakukan sebelum pasien tiba. STATICS adalah
akronim untuk memudahkan mengingat kelengkapan alat yang harus disediakan
sebelum anestesia:
S= Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop.
T= Tubes. Yang dimaksud adalah Sungkup Laring (Laryngeal Mask
Airway)
A= Airway. Yang dimaksud adalah alat-alat yang digunakan untuk
menahan lidah agar tidak jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau
pipa nasofaringeal
T= Tapes. Tapes ada pita atau plester
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan kedalam
ETT untuk memudahkan tindakan intubasi namun karena LMA jadi
tidak ada kawat atau tongkat kecil tersebut.
C= Connector, penguhubung alat LMA dengan sirkuit nafas
S= Suction. Disamping mesin anestesia harus tersedia mesin pengisap
yang berguna untuk membersihkan jalan nafas ketika laringoskop
intubasi dengan LMA.
Semua perubahan selama anestesia dicatat dalam rekam medis anestesia.
Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, misalnya tiap 15 menit.
Demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan juga dicatat. Transfusi produk darah, jika ada, dicatat jenis dan
jumlahnya. Produksi urin diamati dan dicatat. Jika dilakukan pemeriksaan laboratorium
intraoperatif pun dicatat waktu dan hasilnya.

Periode Pascabedah
Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus
diobservasi di ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette.
Sistem skor ini diciptakan oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA.
Kriteria Aldrette original adalah:
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan
/ tanpa perintah
1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan
Aktivitas
/ tanpa perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua
ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan
bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2> 92%
dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk
mempertahankan saturasi O2> 90 %
0 Saturasi O2> 90 % meski dengan suplemen
O2
Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai 9.

Penyebab tersering morbiditas pascabedah adalah analgesia yang tidak adekuat


dan hipoksia. Hipoksia pascabedah dapat merupakan akibat dari tingginya konsumsi/
kebutuhan O2 (misalnya akibat shivering/ menggigil atau akibat takikardia), dapat pula
akibat turunnya suplai O2 (misalnya akibat metabolit aktif pelumpuh otot yang
menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apnea). Komplikasi pasca-anestesia yang
juga sering terjadi adalah mual-muntah (post operative nausea and vomitus, PONV).
PONV adalah salah satu komplikasi tersering anestesia umum inhalasi, oleh karenanya
harus dilakukan antisipasi sejak awal.

VII. Manajemen Jalan Nafas, Ventilasi dan Oksigenasi


Dahulu, ketika masih digunakan teknik open drop, jalan nafas dan pernafasan
pasien sangat tak terlindung dan di luar kendali praktisi anestesia. Ether hanya
diteteskan secara intermitten di atas "sungkup" kawat yang dilapisi beberapa lembar
kain kassa. Cara ini sangat tidak aman, bukan hanya bagi pasien, namun juga bagi
personil di sekitarnya. Bukan hanya akibat polusi ether, namun juga bahaya kebakaran.
Begitu banyaknya bahaya yang mengancam selama anestesia umum jaman
dahulu, mendorong dikembangkannya mesin vaporizer EMO dan manajemen jalan
nafas. Dalam perkembangannya, ether kini telah digantikan oleh berbagai anestetika
inhalasi yang lebih aman dan tidak mudah terbakar.
Dalam keadaan terhipnosis, kemampuan pasien untuk mempertahankan patensi
jalan nafasnya dapat terganggu. Sumbatan jalan nafas tersering pada pasien tak sadar
adalah akibat jatuhnya pangkal lidah. Sumbatan jalan nafas lain dapat disebabkan sekret
jalan nafas yang tidak dapat keluar dengan mekanisme batuk. Sumbatan jalan nafas,
meskipun parsial dapat menyebabkan penumpukan CO2 (hiperkabia) dan gangguan
oksigenasi (hipoksia).

Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O2 tubuh. Jika kondisi ini terbukti
di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni pemberian
suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.

Ventilasi
Ventilasi sebenarnya merupakan salah satu komponen respirasi, yaitu respirasi
eksternal. Ventilasi menggambarkan keluar-masuknya udara pernafasan yang dikenal
dengan volum tidal. Banyaknya udaara yang keluar-masuk dalam semenit disebut
ventilasi semenit.
MV= TV x RR
MV = Minute Ventilation
TV = Tidal Volume
RR= Respiratory Rate
Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik

Alat Bantu Pernafasan


a. Pipa Endotrakeal (ETT)
Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa endotrakeal
atau melalui sungkup laring (laryngeal mask airway). Pemberian ventilasi mekanik
dengan cara memompa gas melalui sungkup muka tidak dapat dilakukan untuk jangka
lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi cara ini
biasanya hanya persiapan sebelum manajemen definitif jalan nafas dengan ETT atau
LMA.
Di antara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas
(terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan sekret. ETT termasuk
invasif, pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan jalan nafas yang
hipereaktif dapat mencetuskan asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam
di salah satu bronkus, justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelektasis satu paru.
Intubasi endotrakeal juga terkadang salah arah, masuk ke esofagus. Hal ini harus segera
diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi
esofagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk esofagus, tidak akan
terdeteksi kadar ETCO2 (end-tidal CO2) melalui kapnografi. Hal ini dikarenakan CO2
hanya diekskresikan oleh paru-paru.

Komplikasi Intubasi Endotrakeal


Tidak ada prosedur medis yang sama sekali tidak berisiko. Demikian pula
tindakan laringoskopi dan intubasi. Meskipun prosedur ini sangat penting dalam
anestesia, salah satu komplikasi tersering anestesia berhubungan dengan laringoskopi
dan intubasi. Sebagian besar komplikasi jalan nafas adalah akibat trauma, baik karena
tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan yang lama.
Tindakan laringoskopi sangat berisiko menyebabkan spasme laring, terutama jika
anestesia (atau analgesia) tidak adekuat). Spasme laring sebenarnya adalah refleks
protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi jalan nafas.
Laring dipersarafi oleh nervus vagus. Serabut sensoriknya merupakan cabang
internal saraf laringeal superior (untuk daerah di atas pita suara) dan saraf laringeal
rekuren (untuk area di bawah pita suara). Spasme laring terjadi karena rangsang
nosiseptif (nyeri) yang diterima ujung saraf-saraf ini yang tersebar luas di jalan nafas,
terutama sekitar laring. Rangsang nosiseptif disini akan disalurkan ke otak kemudian
ke saraf eferen. Saraf eferen yang terlibat juga bagian dari n. vagus, yaitu n. laringeus
superior cabang eksternal dan n. laringeus rekuren. Efek lain adalah bradikaardia akibat
saraf eferen vagus yang berujung di jantung.
Terapi tercepat laringospasema adalah ventilasi tekanan positif dengan O2
100%. Mendalamkan anestesia termasuk salah satu cara mendepresi refleks protektif
ini. Bila diperlukan, pelumpuh otot dengan awitan cepat seperti suksinilkolin atau
rokuronium dapat membantu. Untuk pencegahan, tentu dengan membuat rangsang
nosiseptif ini tidak menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Lidokain topikal maupun
intravena dikatakan dapat membantu. Laringoskopi dan intubasi juga sebaiknya
dilakukan pada kedalaman anestesia yang cukup. Jika awake intubation, harus
dipastikan analgesia adekuat sebelum laringoskopi dilakukan. Atropin selain dapat
mengurangi sekresi jalan nafas (sekresi termasuk pemicu laringospasme) juga berguna
untuk efek vagolitiknya, mencegah bradikardia.
Selain laringoskopi ETT sendiri adalah iritan saluran nafas yang dapat memicu
laringospasme atau bronkospasme, terutama pada pasien dengan asma bronkiale atau
hipersensitivitas saluran nafas. Penempatan ETT yang terlalu dalam dapat
menyebabkan atelektasis satu paru, hipoksia bahkan kematian. Penggunaan ETT dalam
jangka lama (di ICU) juga dapat menyebabkan kerusakan struktur laring.

b. Sungkup Laring (Laryngeal Mask Airway)


Dipicu kenyataan banyaknya potensi komplikasi akibat laringoskopi dan
intubasi, terus dicoba alternatif manajemen jalan nafas. Salah satu inovasi yang
spektakular adalah sungkup laring atau Laryngeal Mask Airway. LMA pertama
dicobakannya pada diri sendiri, tanpa anestesia. Percobaan itu sukses dan sejak itu
LMA terus dikembangkan. Ujung LMA yang terbuat dari karet akan berada pada
posterior laring, menutup pangkal esofasgus. Lubangnya di bagian anterior akan berada
tepat di depan rima glotis. Oleh karena LMA tidak dimasukkan melewati pita suara,
dengan sendirinya kurang iritatif terhadap saluran nafas dan kurang traumatik.
Kerugiannya, jalan nafas tidak sepenuhnya terlindung. Di samping itu, karena esofasus
terhalang, maka tidak dapat dilakukan pemeriksaan trans esophageal
echocardiography (TEE) atau pemasangan pipa nasogastrik.
Indikasi

1. Jalan napas susah


a. Setelah tidak berhasil di intubasi, LMA bisa sebagai gantinya
b. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi tapi bisa di ventilasi
c. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi atau pun di ventlasi. Untuk
persiapan cricothyroideotomy
2. Cardiac Arrest
a. Tahun 2005, America Heart Association guidelines mengindikasikan
LMA sebagai alternatif tindakan yang bisa diterima untuk manajemen
jalan napas pada pasien henti jantung (Class IIa)
3. Pada pasien anak-anak
Kontra Indikasi

1. Absolut :
a. Tidak bisa membuka mulut
b. Obstruksi total jalan napas bagian atas
2. Relatif :
a. Meningkatnya resiko aspirasi
i. Prolonged bag-valve-mask ventilation
ii. Obesitas
iii. Kehamilan semester dua dan tiga
iv. Perdarahan gastrointestinal bagian atas
b. Abnormalitas anatomi dari supraglotic

LMA : Keuntungan Kerugian

Dibandingkan Tangan operator bebas Lebih invasif

dengan Face Fiksasi yang lebih baik Resiko trauma pada jalan

Mask pada penderita yang nafas lebih besar

berjenggot Membutuhkan

Lebih leluasa pada operasi keterampilan baru

THT Membutuhkan tingkatan

Lebih mudah untuk astesi lebih dalam

mempertahankan jalan Lebih membutuhkan

nafas kelenturan TMJ

Terlindung dari sekresi (temporo-mandibular

jalan nafas joint)

Trauma pada mata dan Difusi N2O pada balon

saraf wajah lebih sedikit Ada beberapa

Polusi ruangan lebih kontraindikasi

sedikit
Dibandingkan Kurang invasif Meningkatkan resiko

dengan ETT Kedalaman astesi yang aspirasi gastrointestinal

dibutuhkan lebih dangkal Harus dalam posisi prone

Berguna pada intubasi atau jackknife

sulit Tidak aman pada pasien

Trauma pada gigi dan obesitas berat

laryngx rendah Maksimum PPV (positive

Mengurangi kejadian pressure ventilation)

bronkhospasme dan terbatas

laryngospasme Keamanan jalan nafas

Tidak membutuhkan kurang terjaga

relaksasi otot Resiko kebocoran gas dan

Tidak membutuhkan polusi ruangan lebih

mobilitas leher tinggi

Mengurangi efek pada Dapat menyebabkan

tekanan introkular distensi lambung

Mengurangi resiko

intubasi ke esofagus atau

endobronchial

Komplikasi

1. Aspirasi dari isi lambung


2. Iritasi lokal
3. Trauma jalan napas bagian atas
4. Bila penempatannya salah : obstruksi, laryngospasm
VIII. Obat Anestetik Umum
Anestesia umum dilakukan dengan pemberian obat-obat anestetik inhalasi
atau intravena, atau kombinasi keduanya. Pada umumnya dapat digunakan untuk
induksi anestesia dan diteruskan untuk fase rumatan.

Tiopental
Tiopental adalah golongan barbiturat yang sangat popular dalam dunia anestesia. Obat
ini bekerja sebagai modulator GABA di SSP. Awitan sangat cepat dan durasinya
pendek.

Propofol
Setelah kehadiran propofol, popularitas tiopental sedikit turun sebagai obat induksi
anestesia. Propofol juga bekerja dengan meningkatkan tonus GABA di SSP. Awitan
sangat cepat dan durasinya sangat singkat.

Ketamin
Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.

Etomidat
Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan diberikan lebih
dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak dibolehkan untuk
diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi penggunaan etomidat
adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.

Midazolam
Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang sangat digemari dalam anestesia.
Berbeda dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan yang cepat. Efek lain
adalah amnesia anterograd.
Opioid
Reseptor opioid terdapat pada terminal prasinaps serabut nosiseptik C dan A-delta.
Jika diaktivasi akan menginhibisi kanal Ca yang bergantung voltase, menurunkan
cAMP dan memblokade neurotransmiter nyeri seperti glutamat dan substansi P dari
serabu-serabut nosiseptif, dengan hasil akhir analgesia. Opioid (sintetik maupun
endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-neuron GABA, menghambat
pelepasan GABA. Di Indonesia opioid yang sering digunakan adalah fentanyl dan
sufentanil.

Pelumpuh Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anestesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas
penggunaannya.
o Pelumpuh otot depolarisasi
Bekerja seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh
kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.
Contohnya : suksinilkolin dan dekametonium.
o Pelumpuh otot nondepolarisasi
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga tidak
dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, dibagi menjadi kerja panjang (d-
turbokurarin, pankuronium), sedang (atrakurium, rokuronium) dan pendek
(mivakurium, ropacuronium).
Pembahasan

Pada kasus ini didapatkan pasien dengan Limfadenopati colli dextra. Adanya
faktor resiko yang nyata maka dimasukkan ke dalam ASA2. Lalu dilanjutkan dengan
tindakan eksisi dengan anestesi umum.
Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi dengan LMA,
dan tidak ditemukan penyulit untuk dilakukannya intubasi. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan adanya penyakit kronis ataupun penyulit tindakan anestesi seperti
asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu
diprivan yang berisi propofol. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya
kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh diprivan (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat
menimbulkan efek sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.Sebagian besar propofol terikat
dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam
plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit)
kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit).
Dosis induksi diprivan (propofol) dapat menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik.
Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung
cepat namun dapat menyebabkan perubahan mood tetapi tidak sehebat thiopental.
Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak
35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
bidang anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil
bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri
dan respons emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4 jam
dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh
hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam
1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa
hari.
Tramus digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tramus bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah
saraf otot sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tramus
termasuk dalam pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5 menit
hingga obat bekerja. Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi maka
diperlukan penawar. Penawar yang digunakan prostigmin sehingga ditambahkan sulfas
atropine untuk mengurangi efek dari prostigmin dimana dapat menyebabkan
hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
Cairan yang diberikan pada pasien berupa Ringer Laktat dan pemberian
resusitasi cairan dengan perhitungan maintenance cairan untuk operasi kecil.
Yaitu :
o 2cc /kg/hr
o 2x53=106 cc/hr
o Total cairan yang diberikan perhari 106 cc/hari
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-
2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
2. Zambourl A. Preoperative Evaluation and Preparation for Anesthesia and
Surgery. Hippokratia. 2007; 1 : 13-21.
3. Burnbaumer DM, Pollack CV. Troubleshooting and Managing The Difficult
Airway. Semin Respir Crit Care Med. 2002; 23(1).

Anda mungkin juga menyukai