Disusun oleh:
Pembimbing:
Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara
1
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 26 tahun
Agama : Islam
Suku : Sunda
Ruang : Operasi
Masuk Rumah Sakit : 8 Desember 2018
No.RM : 00487331
Jaminan : BPJS
I. ANAMNESIS (Catatan medis 8/12/2018 Pukul 08.00 WIB)
II.
Keluhan utama:
Benjolan pada leher sebelah kiri.
Data antropometri :
- Berat badan : 46 kg
- Tinggi Badan : 160 cm
-
Pemeriksaan Sistem
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat, isokor, cekung -/-, diameter 3mm/ 3mm, reflex
cahaya langsung (+) dan tidak langsung (+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), mukosa hiperemis (-), gigi
tidak ada kelainan, lidah besar (-)
Jantung
Paru – paru
Ekstremitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2 detik
Pemeriksaan Laboratorium
4
Penilaian Status Fisik Menurut ASA
ASA Score: 2
V. RESUME
Telah diperiksa seorang pria dengan keluhan benjolan pada leher kiri. Benjolan
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan serupa belum pernah dirasakan
sebelumnya. Riwayat penyakit DM, HT, Asma disangkal. Hingga saat ini untuk
keluhan pasien belum mendapatkan tindakan / pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik pada regio colli sinistra ditemukan benjolan teraba
dengan ukuran 2 cm x 1 cm teraba lunak, mobile, berbatas tegas, nyeri tekan (-) Pada
pemeriksaan fisik secara generalis dalam batas normal. Pemeriksaan penunjuang lain
dalam batas normal
VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- 1 kolf RL
Non Medikamentosa
Ekstirpasi lympadenopati colli sinistra
5
IX. EVALUASI
- Keadaan umum dan tanda – tanda vital post ops
- Evaluasi perdarahan pada luka insisi
X. KOMPLIKASI
Abses lympadenopati colli
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Aldrete Score
Kriteria Skor Kondisi
0 Apnea
6
Kesadaran 2 Sadar penuh
0 Tidak berespon
Score: 10
7
BAB II
Tinjauan Pustaka Anestesi Umum
I. Definisi
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat anestesia
dan berbagai kejadi intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.
1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia
jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium 2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :
Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan menjadi teratur.
Pembedahan dapat dimulai.
10
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Stadium ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha
untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang
menjadi prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa
kini bekerja cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium
dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.
V. Manajemen Perioperatif/Perianestesia
Periode Prabedah
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini
adalah hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:
ANAMNESIS:
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)
PEMERIKSAAN FISIS:
11
Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain
STATUS FISIS:
Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk menjalani
anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of Anesthesiologists
(ASA):
PUASA:
Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.
Periode intrabedah
Persiapan Anestesia
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan kedalam ETT
untuk memudahkan tindakan intubasi.
Periode Pascabedah
Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus diobservasi di
ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette. Sistem skor ini diciptakan
oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA. Kriteria Aldrette original adalah:
0 Apnea
13
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
0 Tidak berespon
Dahulu, ketika masih digunakan teknik open drop, jalan nafas dan pernafasan
pasien sangat tak terlindung dan di luar kendali praktisi anestesia. Ether hanya
diteteskan secara intermitten di atas "sungkup" kawat yang dilapisi beberapa lembar
kain kassa. Cara ini sangat tidak aman, bukan hanya bagi pasien, namun juga bagi
personil di sekitarnya. Bukan hanya akibat polusi ether, namun juga bahaya
kebakaran.
Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O 2 tubuh. Jika kondisi ini
terbukti di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni
pemberian suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.
Ventilasi
MV= TV x RR
MV = Minute Ventilation
TV = Tidal Volume
Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO 2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik
Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa endotrakeal atau
melalui sungkup laring (laryngeal mask airway). Pemberian ventilasi mekanik dengan
cara memompa gas melalui sungkup muka tidak dapat dilakukan untuk jangka lama.
Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi cara ini biasanya
hanya persiapan sebelum manajemen definitif jalan nafas dengan ETT atau LMA.
Di antara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas (terutama
jika menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan sekret. ETT termasuk invasif,
pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan jalan nafas yang hipereaktif
15
dapat mencetuskan asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam di salah satu
bronkus, justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelektasis satu paru. Intubasi
endotrakeal juga terkadang salah arah, masuk ke esofagus. Hal ini harus segera
diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi
esofagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk esofagus, tidak
akan terdeteksi kadar ETCO2 (end-tidal CO2) melalui kapnografi. Hal ini
dikarenakan CO2 hanya diekskresikan oleh paru-paru.
Tidak ada prosedur medis yang sama sekali tidak berisiko. Demikian pula tindakan
laringoskopi dan intubasi. Meskipun prosedur ini sangat penting dalam anestesia,
salah satu komplikasi tersering anestesia berhubungan dengan laringoskopi dan
intubasi. Sebagian besar komplikasi jalan nafas adalah akibat trauma, baik karena
tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan yang lama.
Tindakan laringoskopi sangat berisiko menyebabkan spasme laring, terutama jika
anestesia (atau analgesia) tidak adekuat). Spasme laring sebenarnya adalah refleks
protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi jalan nafas.
Selain laringoskopi ETT sendiri adalah iritan saluran nafas yang dapat memicu
laringospasme atau bronkospasme, terutama pada pasien dengan asma bronkiale atau
hipersensitivitas saluran nafas. Penempatan ETT yang terlalu dalam dapat
menyebabkan atelektasis satu paru, hipoksia bahkan kematian. Penggunaan ETT
dalam jangka lama (di ICU) juga dapat menyebabkan kerusakan struktur laring.
Tiopental
Propofol
Ketamin
Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.
Etomidat
Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan
diberikan lebih dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak
dibolehkan untuk diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi
penggunaan etomidat adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.
Midazolam
17
Opioid
Pembahasan
Pada kasus ini berdasarkan anamnesa ditemukan keluhan benjolan pada leher sisi kiri
yang dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Saat awal timbul benjolan pasien
demam, mual, muntah. Nyeri tekan (+).
Anestesi umum dipilih untuk tindakan ini karena Karena tidak memungkinkan untuk
dilakukan TIVA karena regio operasi tepat pada angulus mandibula sinistra - regio colli
sinistra sehingga bila digunakan metode TIVA ⇒ menyulitkan operator bekerja karena untuk
melakukan pengamanan Airway dengan Jaw Trust Manuver durante anestesia.
Pada pemeriksaan pre-anestesi pasien menyatakan bahwa tidak memiliki riwayat
alergi, riwayat asma, riwayat tekanan darah tinggi, riwayat kencing manis, riwayat penyakit
paru, riwayat penyakit jantung, ataupun sesak apabila pasien baru berjalan sebentar. Pasien
juga tidak ada riwayat pengobatan, merokok, alkohol, serta penggunaan obat-obatan
terlarang. Hal tersebut ditanyakan kepada pasien untuk mencegah adanya berbagai
18
komplikasi yang ditimbulkan akibat obat anestesi. Pasien juga telah menjalankan puasa
selama 6 jam untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan
leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien (tidak ada
RA ataupun cedera tulang servikal)
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Manajemen airway yang dipilih untuk tindakan anestesi umum pada pasien ini adalah
intubasi atas dasar intubasi dapat mencegah terjadinya aspirasi dibandingkan dengan LMA.
Berdasarkan standar ukuran ETT yang dipakai pada laki-laki dewasa yaitu antara ukuran 7,5
-9,0, maka pada pasien ini memakai ETT dengan ukuran 8.
Obat-obatan yang digunakan pada anestesia umum untuk laparaskopi terdiri atas obat
inhalasi, intravena, dan pelumpuh otot. Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi
secara intravena yaitu diprivan yang berisi propofol dan secara inhalasi digunakan obat
sevofluran. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya kejadian post operative
nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan, sedangkan etiomidat sebaliknya.
Dengan waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik)
dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf
pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu
paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit).
Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat
ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak
dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Pelumpuh otot yang digunakan untuk pasien ini yaitu tracurium yang berisi
atracurium dengan dosis 0,5cc/kgBB. Selain atracurium terdapat pelumpuh otot lain yaitu
19
suksinilkolin. Tetapi, suksinilkolin sering menyebabkan nyeri otot pascabedah. Pada pasien
ini juga diberikan obat untuk mengatasi nyeri yaitu fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-
3µgr/kgBB. Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
anestesi, kekuatannya 100 X morfin. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam dan dapat
memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-
dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah
pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari. Fentanil bekerja pada
reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons
emosional terhadap nyeri.
Selain itu diberikan juga prostigmin sebagai antagonis pelumpuh otot non-depol
(atracurium) dan sulfas atropin sebagai antagonis prostigmin. Sulfas atropin ini selain untuk
antagonis prostigmin, berguna pada saat terjadi potensi peningkatan refleks vagal saat
laparakopi. Pencegahan dan penatalaksanaan nyeri dan PONV sangat penting bagi pasien
rawat jalan. Anti nyeri yang digunakan pada pasien ini yaitu fendex yang berisi
dexketoprofen trometamol dan paracetamol drip. Sedangkan antiemetik yang digunakan
untuk pasien ini yaitu narfoz yang berisi ondansentron.
20