Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

Anestesi Umum pada


Lymphadenopati Colli Sinistra

Disusun oleh:

Keisha Maeko / 406171033

Evan Albert / 406171016

Pembimbing:

dr. Irwan Hadi, SpAn

Fakultas Kedokteran

Universitas Tarumanagara

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi

Rumah Sakit Husada Jakarta

Periode 30 Desember 2018

1
BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 26 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Rumah Susun Karang Anyar No.24 – Jakarta Utara

Agama : Islam
Suku : Sunda
Ruang : Operasi
Masuk Rumah Sakit : 8 Desember 2018
No.RM : 00487331
Jaminan : BPJS
I. ANAMNESIS (Catatan medis 8/12/2018 Pukul 08.00 WIB)
II.
Keluhan utama:
Benjolan pada leher sebelah kiri.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien mempunyai keluhan benjolan pada leher sisi kiri yang dirasakan sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Saat awal timbul benjolan pasien demam, mual, muntah.
Nyeri tekan (+).

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, alergi obat atau makanan disangkal.
Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, alergi obat atau makanan disangkal.
Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

III. PEMERIKSAAN PRE-ANESTESI (8/12/2018 Pukul 08.00 WIB)


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
2
Vital Sign :
- Tekanan darah: 120/80 mmHg
- HR : 86 x/menit (kuat, regular)
- Suhu : 36,5 ºC
- RR : 12 x/menit (regular)

Data antropometri :
- Berat badan : 46 kg
- Tinggi Badan : 160 cm
-
Pemeriksaan Sistem

Kepala : Normocephal

Mata : Pupil bulat, isokor, cekung -/-, diameter 3mm/ 3mm, reflex
cahaya langsung (+) dan tidak langsung (+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-)

Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), mukosa hiperemis (-), gigi
tidak ada kelainan, lidah besar (-)

Tenggorok : T1-T1 mukosa hiperemis (-), mukosa faring hiperemis (-),


Mallampati score: 1
Leher : Teraba perbesaran KGB pada colli sinistra

Thorax : simetris dan datar.

Jantung

o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial dari
midclavicula line sinistra
o Perkusi : Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra
Batas jantung kanan ICS VI sternal line dextra
Batas jantung atas ICS III parasternal line sinistra
o Auskultasi : BJ I - II (N), regular, murmur (-), gallop (-).

Paru – paru

o Inspeksi : Gerakan simetris dalam keadaan statis dan dinamis


simetris, retraksi suprasternal (-), intercostalis (-)
 Palpasi : Stem fremitus dextra et sinistra sama kuat
3
 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-/-)
Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : Bising Usus (+) 18 x/ menit, peristaltik normal
o Perkusi : Timpani
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) kuadran kanan bawah,
nyeri lepas (+) kudran kanan bawah, McBurney sign (+), turgor
kulit baik

Ekstremitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2 detik

Kulit : turgor baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Px. Darah Angka normal


Hemoglobin (g/dL) 16,2 13,2-17,3 g/dL
Hematokrit (%) 45 40-52 %
Trombosit (/uL) 361.000 150.000 – 450.000
Leukosit (/uL) 10.300 3.800 – 10.600
HEMOSTASIS
PT (Pasien) 40,7 9,0 -12,1 detik
APTT (Pasien) 36,0 31,0-47,0 detik
KIMIA DARAH
GDS 96 70-200 mg/dL
Kalium 4,4 3,5-5,0 mmol/L
Natrium 142 136-146 mmol/L
Kesan : PT Memanjang

4
Penilaian Status Fisik Menurut ASA

Kelas I Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.


Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.

ASA Score: 2

V. RESUME
Telah diperiksa seorang pria dengan keluhan benjolan pada leher kiri. Benjolan
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan serupa belum pernah dirasakan
sebelumnya. Riwayat penyakit DM, HT, Asma disangkal. Hingga saat ini untuk
keluhan pasien belum mendapatkan tindakan / pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik pada regio colli sinistra ditemukan benjolan teraba
dengan ukuran 2 cm x 1 cm teraba lunak, mobile, berbatas tegas, nyeri tekan (-) Pada
pemeriksaan fisik secara generalis dalam batas normal. Pemeriksaan penunjuang lain
dalam batas normal

VI. DIAGNOSIS KERJA


Lympadenopati Colli Sinistra

VII. DIAGNOSIS BANDING


Soft Tissue Tumor

VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- 1 kolf RL

Non Medikamentosa
Ekstirpasi lympadenopati colli sinistra

5
IX. EVALUASI
- Keadaan umum dan tanda – tanda vital post ops
- Evaluasi perdarahan pada luka insisi

X. KOMPLIKASI
 Abses lympadenopati colli

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

XII. Observasi Anestesi - Operasi

Aldrete Score
Kriteria Skor Kondisi

2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan /


tanpa perintah

Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan /


tanpa perintah

0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas

Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan


bebas

1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas

0 Apnea

Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia

1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia

0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia

6
Kesadaran 2 Sadar penuh

1 Bangun ketika dipanggil

0 Tidak berespon

Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%


dengan udara kamar

1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan


saturasi O2 > 90 %

0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2

Score: 10

7
BAB II
Tinjauan Pustaka Anestesi Umum
I. Definisi

Suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang


dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.

II. Komponen Dalam Anestesia Umum

Dahulu dikenal istilah Trias Anestesia yaitu hipnosis, analgesia, dan


arefleksia. Sekarang anestesia umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen
tersebut namun lebih luas, yaitu :

1. Hipnosis (hilangnya kesadaran).

2. Analgesia (hilangnya rasa sakit).

3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi


pasien).

4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi


trakeal.

5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).

Dalam praktis klinis sehari-hari tidak semua komponen di atas harus


terpenuhi. Sebagai contoh dalam prosedur endoskopi yang dilakukan di bawah
anestesia umum, yang penting bagi pasien adalah hipnosis, analgesia, dan imobilisasi.
Sedangkan pada pasien yang menjalani CT scan atau kateterisasi jantung di bawah
anestesia mungkin hanya hipnosis dan imobilisasi yang diperlukan. Bagi kebanyakan
prosedur bedah, analgesia menduduki peringkat teratas komponen anestesia yang
harus dipenuhi.

III. Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum

Keuntungan Anestesia Umum

 Pasien tidak sadar, mencegah anestesia pasien selama prosedur medis


berlangsung.

 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat anestesia
dan berbagai kejadi intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.

 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.

 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.


8
Kerugian Anestesia Umum

 Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul


di bawah anestesia umum.

 Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.

 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan


kesadaran.

 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.

 Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

Fisiologi Hilangnya Kesadaran

Teori Meyer-Overton menyatakan anestesia terjadi jika sejumlah anestetika


inhalasi berdifusi dan “larut” dalam membran lipid sel. Teori lain Pauiling
menyatakan sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan molekul air
membentuk Clathrates (mikrokristal yang terhidrasi). Molekul inilah yang
menginhibisi reseptor-reseptor di SSP.

Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan tonus


GABA atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamat. GABA bersigat menginhibisi
impuls di otak, ssedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.

Gamma Aminobutyric Acid (GABA)

Gamma Aminobutyric Acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori di SSP,


bekerja dengan cara berikatan dengan reseptornya di membran sel. Ikatan ini
menyebabkan terbukanya kanal ion yang memungkinkan masuknya ion Cl- atau
keluarnya ion K+. Terjadi hiperpolarissasi sel. Obat yang bekerja pada reseptor GABA
(GABAergic / GABA analogue drugs) memiliki efek depresif di SSP. Obat-obat ini
biasanya bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan sebagainya.

Contoh obat tipikal GABAergik adalah golongan benzodiazepin, barbiturat,


etomidat, kloralhidrat dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada glisin (glycine),
neurotransmiter inhibitori juga di medula spinalis dan batang otak. Greenblatt dan
Meng (2001) menyimpulkan bahwa anestetika inhalasi menimbulkan potensiasi pada
reseptor GABA dan glisin. Sebagian besar obat anestetik intravena pun bekerja
dengan memodulasi GABA.

Reseptor yang Diaktivasi Glutamat

Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia.


Reseptornya termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl- D-
aspartate receptor) adalah satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamat.
Reseptor lain adalah AMPA. Kedua reseptor sering dijumpai pada sinaps yang sama
9
meskipun mempunyai fisiologi yang berbeda. Fungsi reseptor kainat dan
hubungannya dengan anestesia belum diketahui jelas. Antagonis reseptor NMDA
umumnya digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efeknya yang unik di SSP
adalah disosiasi. Sekarang golongan ini sering pula disalahgunakan sebagai
recreational drug karena efek halusinogeniknya. Diantara antagonis NMDA yang
terkenal adalah ketamin, N2O, dekstrometorfan, etanol, dan xenon. Beberapa obat
memiliki sifat antagonis NMDA bersama dengan agonis opioid, misalnya tramadol.

Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, semakin banyak ditemukan bukti


bahwa mekanisme terjadinya anestesia jauh lebih rumit daripada yang disangka. Zat
anestetik tidak lagi dipercaya hanya bekerja pada molekul tunggal di SSP, namun
kemungkinan juga bekerja di medula spinalis. Ditemukan bukti bahwa ketiga reseptor
glutamat tidak sensitif terhadap anestetika inhalasi.

IV. Stadium Anestesia

Stadium anestesia dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat


anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa
penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap
mengenai anestesia yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel
pada tahun 1937, meliputi :

1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.

2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia
jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium 2 adalah stadium yang berisiko tinggi.

3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :

Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi

Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang

Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang

Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan


dangkal.

Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan menjadi teratur.
Pembedahan dapat dimulai.

10
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Stadium ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha
untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang
menjadi prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa
kini bekerja cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium
dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.

V. Manajemen Perioperatif/Perianestesia

Keseluruhan prosedur anestesia dimulai sejak periode pra-anestesia/ prabedah


dan diakhiri pada periode pasca – anestesia/ pascabedah. Ketiga periode ini dikenal
dengan periode perioperatif. Karena hal ini sangat penting, telah berkembang menjadi
ilmu tersendiri, yaitu perioperative medicine. Tujuan utama perioperative medicine
adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin serta meminimalkan
komplikasi anestesia dan / atau pembedahan yang akan dijalankan.

Periode Prabedah

Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan penyulit


anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan
pemakaian obat-obatan

Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan


anatomi, terutama anatomi jalan nafas. Kelainan gfungsi tubuh dan penyakit penyerta
juga perlu diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat
anestetik. Penyakit kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering
menimbulkan komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan
morbiditas bahkan mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.

Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini
adalah hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:

ANAMNESIS:

 Indentitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.

 Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga di


tanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan
untuk mengatasinya.

 Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)

 Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi.

PEMERIKSAAN FISIS:
11
 Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.

 Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2

 Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain

STATUS FISIS:

Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk menjalani
anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of Anesthesiologists
(ASA):

Status fisis menurut klasifikasi ASA

 Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi.

 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa


pembatasan aktivitas

 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi


aktivitas rutin

 Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan


ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam nyawanya
setiap waktu.

 Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan


diperkirakan meninggal dalam 24 jam

PUASA:

Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.

Periode intrabedah

Persiapan Anestesia

Di dalam ruang bedah, anestesiologis biasanya di antara personel yang


pertama kali hadir. Berbagai persiapan harus dilakukan sebelum pasien tiba. STATICS
12
adalah akronim untuk memudahkan mengingat kelengkapan alat yang harus
disediakan sebelum anestesia:

 S= Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop.

 T= Tubes. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT).

 A= Airway. Yang dimaksud adalah alat-alat yang digunakan untuk menahan


lidah agar tidak “jatuh”, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau pipa
nasofaringeal

 T= Tapes. Tapes ada pita atau plester

 I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan kedalam ETT
untuk memudahkan tindakan intubasi.

 C= Connector, penguhubung alat ETT dengan sirkuit nafas

 S= Suction. Disamping mesin anestesia harus tersedia meisn pengisap yang


berguna untuk membersihkan jalan nafas ketika laringoskop – intubasi.

Semua perubahan selama anestesia dicatat dalam “rekam medis anestesia”.


Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, misalnya tiap 5 atau 10 menit.
Demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan juga dicatat. Transfusi produk darah, jika ada, dicatat jenis dan
jumlahnya. Produksi urin diamati dan dicatat. Jika dilakukan pemeriksaan
laboratorium intraoperatif pun dicatat waktu dan hasilnya.

Periode Pascabedah

Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus diobservasi di
ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette. Sistem skor ini diciptakan
oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA. Kriteria Aldrette original adalah:

Kriteria Skor Kondisi

2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan /


tanpa perintah

Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan /


tanpa perintah

0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas

Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas

1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas

0 Apnea

13
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia

1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia

0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia

Kesadaran 2 Sadar penuh

1 Bangun ketika dipanggil

0 Tidak berespon

Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%


dengan udara kamar

1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan


saturasi O2 > 90 %

0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2

Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai ≥ 9.

Penyebab tersering morbiditas pascabedah adalah analgesia yang tidak


adekuat dan hipoksia. Hipoksia pascabedah dapat merupakan akibat dari tingginya
konsumsi/ kebutuhan O2 (misalnya akibat shivering/ menggigil atau akibat
takikardia), dapat pula akibat turunnya suplai O2 (misalnya akibat metabolit aktif
pelumpuh otot yang menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apnea). Komplikasi
pasca-anestesia yang juga sering terjadi adalah mual-muntah (post operative nausea
and vomitus, PONV). PONV adalah salah satu komplikasi tersering anestesia umum
inhalasi, oleh karenanya harus dilakukan antisipasi sejak awal.

VI. Manajemen Jalan Nafas, Ventilasi dan Oksigenasi

Dahulu, ketika masih digunakan teknik open drop, jalan nafas dan pernafasan
pasien sangat tak terlindung dan di luar kendali praktisi anestesia. Ether hanya
diteteskan secara intermitten di atas "sungkup" kawat yang dilapisi beberapa lembar
kain kassa. Cara ini sangat tidak aman, bukan hanya bagi pasien, namun juga bagi
personil di sekitarnya. Bukan hanya akibat polusi ether, namun juga bahaya
kebakaran.

Begitu banyaknya bahaya yang mengancam selama anestesia umum jaman


dahulu, mendorong dikembangkannya mesin vaporizer EMO dan manajemen jalan
nafas. Dalam perkembangannya, ether kini telah digantikan oleh berbagai anestetika
inhalasi yang lebih aman dan tidak mudah terbakar.

Dalam keadaan terhipnosis, kemampuan pasien untuk mempertahankan


patensi jalan nafasnya dapat terganggu. Sumbatan jalan nafas tersering pada pasien
tak sadar adalah akibat jatuhnya pangkal lidah. Sumbatan jalan nafas lain dapat
14
disebabkan sekret jalan nafas yang tidak dapat keluar dengan mekanisme batuk.
Sumbatan jalan nafas, meskipun parsial dapat menyebabkan penumpukan CO2
(hiperkabia) dan gangguan oksigenasi (hipoksia).

Hipoksia

Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O 2 tubuh. Jika kondisi ini
terbukti di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni
pemberian suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.

Ventilasi

Ventilasi sebenarnya merupakan salah satu komponen respirasi, yaitu respirasi


eksternal. Ventilasi menggambarkan keluar-masuknya udara pernafasan yang dikenal
dengan volum tidal. Banyaknya udaara yang keluar-masuk dalam semenit disebut
ventilasi semenit.

MV= TV x RR

MV = Minute Ventilation

TV = Tidal Volume

RR= Respiratory Rate

Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO 2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik

Alat Bantu Pernafasan

Pipa Endotrakeal (ETT)

Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa endotrakeal atau
melalui sungkup laring (laryngeal mask airway). Pemberian ventilasi mekanik dengan
cara memompa gas melalui sungkup muka tidak dapat dilakukan untuk jangka lama.
Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi cara ini biasanya
hanya persiapan sebelum manajemen definitif jalan nafas dengan ETT atau LMA.

Di antara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas (terutama
jika menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan sekret. ETT termasuk invasif,
pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan jalan nafas yang hipereaktif
15
dapat mencetuskan asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam di salah satu
bronkus, justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelektasis satu paru. Intubasi
endotrakeal juga terkadang salah arah, masuk ke esofagus. Hal ini harus segera
diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi
esofagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk esofagus, tidak
akan terdeteksi kadar ETCO2 (end-tidal CO2) melalui kapnografi. Hal ini
dikarenakan CO2 hanya diekskresikan oleh paru-paru.

Komplikasi Intubasi Endotrakeal

Tidak ada prosedur medis yang sama sekali tidak berisiko. Demikian pula tindakan
laringoskopi dan intubasi. Meskipun prosedur ini sangat penting dalam anestesia,
salah satu komplikasi tersering anestesia berhubungan dengan laringoskopi dan
intubasi. Sebagian besar komplikasi jalan nafas adalah akibat trauma, baik karena
tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan yang lama.
Tindakan laringoskopi sangat berisiko menyebabkan spasme laring, terutama jika
anestesia (atau analgesia) tidak adekuat). Spasme laring sebenarnya adalah refleks
protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi jalan nafas.

Laring dipersarafi oleh nervus vagus. Serabut sensoriknya merupakan cabang


internal saraf laringeal superior (untuk daerah di atas pita suara) dan saraf laringeal
rekuren (untuk area di bawah pita suara). Spasme laring terjadi karena rangsang
nosiseptif (nyeri) yang diterima ujung saraf-saraf ini yang tersebar luas di jalan nafas,
terutama sekitar laring. Rangsang nosiseptif disini akan disalurkan ke otak kemudian
ke saraf eferen. Saraf eferen yang terlibat juga bagian dari n. vagus, yaitu n. laringeus
superior cabang eksternal dan n. laringeus rekuren. Efek lain adalah bradikaardia
akibat saraf eferen vagus yang berujung di jantung.

Terapi tercepat laringospasema adalah ventilasi tekanan positif dengan O2


100%. Mendalamkan anestesia termasuk salah satu cara mendepresi refleks protektif
ini. Bila diperlukan, pelumpuh otot dengan awitan cepat seperti suksinilkolin atau
rokuronium dapat membantu. Untuk pencegahan, tentu dengan membuat rangsang
nosiseptif ini tidak menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Lidokain topikal
maupun intravena dikatakan dapat membantu. Laringoskopi dan intubasi juga
sebaiknya dilakukan pada kedalaman anestesia yang cukup. Jika awake intubation,
harus dipastikan analgesia adekuat sebelum laringoskopi dilakukan. Atropin selain
dapat mengurangi sekresi jalan nafas (sekresi termasuk pemicu laringospasme) juga
berguna untuk efek vagolitiknya, mencegah bradikardia.

Selain laringoskopi ETT sendiri adalah iritan saluran nafas yang dapat memicu
laringospasme atau bronkospasme, terutama pada pasien dengan asma bronkiale atau
hipersensitivitas saluran nafas. Penempatan ETT yang terlalu dalam dapat
menyebabkan atelektasis satu paru, hipoksia bahkan kematian. Penggunaan ETT
dalam jangka lama (di ICU) juga dapat menyebabkan kerusakan struktur laring.

Sungkup Laring (Laryngeal Mask Airway)


16
Dipicu kenyataan banyaknya potensi komplikasi akibat laringoskopi dan
intubasi, terus dicoba alternatif manajemen jalan nafas. Salah satu inovasi yang
spektakular adalah sungkup laring atau Laryngeal Mask Airway. LMA pertama
dicobakannya pada diri sendiri, tanpa anestesia. Percobaan itu sukses dan sejak itu
LMA terus dikembangkan. Ujung LMA yang terbuat dari karet akan berada pada
posterior laring, menutup pangkal esofasgus. Lubangnya di bagian anterior akan
berada tepat di depan rima glotis. Oleh karena LMA tidak dimasukkan melewati pita
suara, dengan sendirinya kurang iritatif terhadap saluran nafas dan kurang traumatik.
Kerugiannya, jalan nafas tidak sepenuhnya terlindung. Di samping itu, karena
esofagsus terhalang, maka tidak dapat dilakukan pemeriksaan trans esophageal
echocardiography (TEE) atau pemasangan pipa nasogastrik.

VII. Obat Anestetik Umum

Anestesia umum dilakukan dengan pemberian obat-obat anestetik inhalasi atau


intravena, atau kombinasi keduanya. Pada umumnya dapat digunakan untuk induksi
anestesia dan diteruskan untuk fase rumatan.

Tiopental

Tiopental adalah golongan barbiturat yang sangat popular dalam dunia


anestesia. Obat ini bekerja sebagai modulator GABA di SSP. Awitan sangat cepat dan
durasinya pendek.

Propofol

Setelah kehadiran propofol, popularitas tiopental sedikit turun sebagai obat


induksi anestesia. Propofol juga bekerja dengan meningkatkan tonus GABA di SSP.
Awitan sangat cepat dan durasinya sangat singkat.

Ketamin

Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.

Etomidat

Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan
diberikan lebih dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak
dibolehkan untuk diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi
penggunaan etomidat adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.

Midazolam

Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang sangat digemari dalam


anestesia. Berbeda dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan yang cepat. Efek
lain adalah amnesia anterograd.

17
Opioid

Reseptor opioid terdapat pada terminal prasinaps serabut nosiseptik C dan A-


delta. Jika diaktivasi akan menginhibisi kanal Ca yang bergantung voltase,
menurunkan cAMP dan memblokade neurotransmiter nyeri seperti glutamat dan
substansi P dari serabu-serabut nosiseptif, dengan hasil akhir analgesia. Opioid
(sintetik maupun endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-neuron GABA,
menghambat pelepasan GABA. Di Indonesia opioid yang sering digunakan adalah
fentanyl dan sufentanil.

Pembahasan

Pada kasus ini berdasarkan anamnesa ditemukan keluhan benjolan pada leher sisi kiri
yang dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Saat awal timbul benjolan pasien
demam, mual, muntah. Nyeri tekan (+).
Anestesi umum dipilih untuk tindakan ini karena Karena tidak memungkinkan untuk
dilakukan TIVA karena regio operasi tepat pada angulus mandibula sinistra - regio colli
sinistra sehingga bila digunakan metode TIVA ⇒ menyulitkan operator bekerja karena untuk
melakukan pengamanan Airway dengan Jaw Trust Manuver durante anestesia.
Pada pemeriksaan pre-anestesi pasien menyatakan bahwa tidak memiliki riwayat
alergi, riwayat asma, riwayat tekanan darah tinggi, riwayat kencing manis, riwayat penyakit
paru, riwayat penyakit jantung, ataupun sesak apabila pasien baru berjalan sebentar. Pasien
juga tidak ada riwayat pengobatan, merokok, alkohol, serta penggunaan obat-obatan
terlarang. Hal tersebut ditanyakan kepada pasien untuk mencegah adanya berbagai

18
komplikasi yang ditimbulkan akibat obat anestesi. Pasien juga telah menjalankan puasa
selama 6 jam untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
 Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan
leher.
 Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
 Malampati Score yaitu 1
 Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
 Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien (tidak ada
RA ataupun cedera tulang servikal)
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Manajemen airway yang dipilih untuk tindakan anestesi umum pada pasien ini adalah
intubasi atas dasar intubasi dapat mencegah terjadinya aspirasi dibandingkan dengan LMA.
Berdasarkan standar ukuran ETT yang dipakai pada laki-laki dewasa yaitu antara ukuran 7,5
-9,0, maka pada pasien ini memakai ETT dengan ukuran 8.
Obat-obatan yang digunakan pada anestesia umum untuk laparaskopi terdiri atas obat
inhalasi, intravena, dan pelumpuh otot. Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi
secara intravena yaitu diprivan yang berisi propofol dan secara inhalasi digunakan obat
sevofluran. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya kejadian post operative
nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan, sedangkan etiomidat sebaliknya.
Dengan waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik)
dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf
pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu
paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit).
Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat
ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak
dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Pelumpuh otot yang digunakan untuk pasien ini yaitu tracurium yang berisi
atracurium dengan dosis 0,5cc/kgBB. Selain atracurium terdapat pelumpuh otot lain yaitu
19
suksinilkolin. Tetapi, suksinilkolin sering menyebabkan nyeri otot pascabedah. Pada pasien
ini juga diberikan obat untuk mengatasi nyeri yaitu fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-
3µgr/kgBB. Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
anestesi, kekuatannya 100 X morfin. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam dan dapat
memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-
dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah
pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari. Fentanil bekerja pada
reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons
emosional terhadap nyeri.
Selain itu diberikan juga prostigmin sebagai antagonis pelumpuh otot non-depol
(atracurium) dan sulfas atropin sebagai antagonis prostigmin. Sulfas atropin ini selain untuk
antagonis prostigmin, berguna pada saat terjadi potensi peningkatan refleks vagal saat
laparakopi. Pencegahan dan penatalaksanaan nyeri dan PONV sangat penting bagi pasien
rawat jalan. Anti nyeri yang digunakan pada pasien ini yaitu fendex yang berisi
dexketoprofen trometamol dan paracetamol drip. Sedangkan antiemetik yang digunakan
untuk pasien ini yaitu narfoz yang berisi ondansentron.

20

Anda mungkin juga menyukai