PENDAHULUAN
1
BAB II
DESKRIPSI KASUS
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Keluar air dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan keluar air dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS.
Mules dirasakan hilang timbul. Keluar lendir dan darah disangkal.
HPHT 8/2/1029, TP : 15/11/2019. Pasien kontrol ke RS dan bidan 1x
c. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan ataupun debu.
d. Riwayat Penyakit Dahulu/Komorbid Lain
Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar,
hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma.
e. Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
2
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Berat Badan : 67 kg
d. Tinggi Badan : 151 cm
e. Tanda Vital:
TD : 120/80 mmHg
RR : 20 x/menit
N : 102 x/ menit
S : 360C
f. Kepala dan Leher: normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
g. Thorax
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi :
o Batas atas kiri : ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan : ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan : ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru
Inspeksi :Pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi
(-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular breath sound (+), rhonkhi (-),wheezing -
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
3
Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-),
turgor kulit cukup, akral hangat
h. Evaluasi Airway (LEMON Law)
Look Externally : Tidak tampak trauma wajah, gigi incisal
besar (-), lidah besar (-), leher pendek (-)
Evaluate 3-3-2 :
o Bukaan mulut : 3 jari pasien
o Jarak mento-hyoid : 3 jari pasien
o Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien
Mallampati Skor : 2 (tampak palatum mole dan sebagian
uvula)
Obstruksi : deviasi trakea (-), tumor (-)
Neck Mobility : Range of Motion baik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (15 November 2019)
HITUNG JENIS
Basofil 0,2 0-1 %
Eosinofil 1,4 1-3 %
Neutrophil 72,4 52,0-76,0 %
Limfosit 17,6 L 20-40 %
4
Monosit 8,4 H 2-8 %
RDW-CV 16,8 H 11,5-14,5 %
HEMOSTASIS
Masa Perdarahan IVY 3,00 1,00-6,00 menit
Masa Pembekuan Lee & 10,00 10-15 menit
White
ELEKTROLIT
Natrium Darah 136 135 – 145 mEq/L
Kalium Darah 3,80 3,50 – 5,00 mEq/L
Klorida Darah 102 98 – 107 mEq/L
5
II.2 Diagnosis Klinis
Gagal induksi pada G2P1A1 hamil 39-40 minggu, KPD 1 hari, Atonia uteri
II.3 Tindakan
Sectio Caesarea, Insersi IUD, B-lynch
6
a. Teknik regional
- Jenis : Sub Arachnoid Blok
- Lokasi L3-L4, dengan jarum spinocan 26G
- Obat :
o Bupivacain heavy 12,5 mg
o Fentanyl 25 mcg
b. Tata laksana jalan napas
Nasal kanul 3 lpm, ventilasi spontan
c. Maintenance
O2 = 3 lpm
d. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
o Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
o Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum tindakan
anestesi
o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa Infus
Output : Perdarahan, urin
Perhitungan :
Maintenance: (4x10) + (2x10) + (1x47) = 107 ml
Puasa (6 jam): 6 x 107 = 642 ml
Operasi (6 ml/kg/jam): 6 x 67 = 402 ml
Pemberian cairan :
Jam I: Maintenance + ½ Puasa + Operasi = 107 + 321 + 402 = 830 ml
Jam II: Maintenance + ¼ Puasa + Operasi = 107 + 160,5 + 402 = 669,5 ml
7
Cairan yang diberikan selama anestesi:
o Asering : 2 x 500 ml = 1.000 ml
o Gelofusine: 1 x 500 ml = 500 ml
o Lain-lain :
Inj. Ondansentron 4 mg IV
Inj. Oxytocin 40 IU IV
8
Inj. Methergine 0,4 gr IV
Inj. Asam Tranexamat 1 gr IV
Inj. Ca Gluconate 1 gr IV
Inj. Tramadol 100 mg IV
e. Post Operasi
Rawat inap
f. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi tiap 60 menit selama 2 jam
o Observasi perdarahan aktif pervaginam
o O2 nasal kanul 2 liter/menit
o Mobilisasi bertahap
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
Sementara pitting edema presacral pada pasien yang berbaring di
tempat tidur atau pada pretibial pada pasien rawat jalan, peningkatan
produksi urin adalah tanda kelebihan cairan ekstraseluler dan
kemungkinan adanya hipervolemia pada pasien dengan fungsi jantung,
hati, dan ginjal normal. Tanda keterlambatan mengetahui hipervolemia
dalam pengaturan seperti gagal jantung kongestif mungkin termasuk
takikardia, peningkatan tekanan nadi jugularis, radang paru-paru dan rales,
mengi, sianosis, dan sekresi paru yang berbusa.
3. Evaluasi Lab
Beberapa pengukuran laboratorium dapat digunakan untuk menilai volume
intravaskular dan kecukupan perfusi jaringan yakni termasuk hematokrit
serial, pH darah arterial, gravitasi atau osmolalitas urin, konsentrasi
natrium atau klorida urin, natrium serum, dan nitrogen urea darah (BUN)
terhadap rasio kreatinin serum.
Namun, pengukuran ini hanya merupakan indeks tidak langsung volume
intravaskular, dan sering tidak dapat diandalkan secara intraoperatif karena
dipengaruhi oleh banyak faktor perioperatif dan karena hasil laboratorium
11
sering tertunda. Tanda dehidrasi laboratorium meliputi peningkatan
hematokrit dan hemoglobin, asidosis metabolik progresif (termasuk
asidosis laktat), gravitasi spesifik urin lebih besar dari 1,010, natrium urin
kurang dari 10 mEq / L, osmolalitas urin lebih besar dari 450 mOsm / L,
hipernatremia, dan BUN terhadap kreatinin lebih besar dari 10: 1.
Hemoglobin dan hematokrit biasanya tidak berubah pada pasien dengan
hipovolemia akut sekunder karena kehilangan darah akut memiliki jangka
waktu untuk cairan ekstravaskular berpindah ke ruang intravaskular.
Indikator radiografi volume berlebih atau hipervolemi mencakup
peningkatan vaskular dan interstitial marking pada paru (garis Kerley "B")
atau peningkatan infiltrat alveolar difus.
12
pengaturan klinis. Akhirnya, harus diakui bahwa banyak penelitian telah gagal
untuk menunjukkan bahwa pemantauan tekanan arteri pulmonalis mengarah pada
hasil yang lebih baik pada pasien yang sakit kritis, dan bahwa ekokardiografi
memberikan perkiraan yang jauh lebih akurat dan kurang invasif dari penilaian
fungsi pengisian dan fungsi jantung.
Status volume intravaskuler sulit untuk dinilai, namun terapi hemodinamik
serta cairan yang diarahkan pada tujuan menggunakan analisis kontur nadi arteri
dan estimasi variasi stroke volume harus dipertimbangkan. Karena penentuan
akurat status hemodinamik dan cairan adalah penting. Variasi stroke volume
(SVV) dihitung sebagai berikut:
SVV = SV max – SV min / SV rata-rata
13
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid versus
kristaloid untuk pasien bedah. Para pendukung koloid hanya berpendapat bahwa
dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efisien (yaitu,
volume koloid yang lebih kecil diperlukan daripada kristaloid untuk menghasilkan
efek yang sama) dalam memulihkan volume intravaskular normal dan output
jantung. Sebaliknya, para pendukung kristaloid berpendapat bahwa larutan
kristaloid sama efektifnya jika diberikan dalam jumlah yang sesuai. Kekhawatiran
bahwa kristaloid dapat meningkatkan pembentukan edema paru pada pasien
dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Beberapa generalisasi dapat
dibuat sebagai berikut:
a. Cairan Kristaloid
Kristaloid biasanya dianggap sebagai cairan resusitasi awal pada pasien
dengan syok hemoragik dan septik, pada pasien luka bakar, pada pasien dengan
cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi otak), dan pada pasien
yang menjalani plasmaferesis dan reseksi hati. Koloid dapat dimasukkan dalam
upaya resusitasi setelah pemberian awal larutan kristaloid tergantung pada
preferensi penyedia anestesi dan protokol institusional.
14
Cairan kristaloid tersedia beragam jenis pilihannya bergantung pada
kehilangan cairan yang akan diganti. Bila terutama kehilangan yang melibatkan
air, penggantian dilakukan dengan larutan hipotonik, juga disebut solusi tipe
pemeliharaan atau cairan maintenance. Jika kehilangan melibatkan air dan
elektrolit, penggantian dengan larutan elektrolit isotonik, juga disebut solusi tipe
pengganti atau cairan replacement. Glukosa disediakan dalam beberapa solusi
untuk mempertahankan tonisitas, atau mencegah ketosis dan hipoglikemia akibat
puasa, atau berdasarkan tradisi. Anak-anak cenderung mengalami hipoglikemia
(<50 mg / dL) setelah puasa 4-8 jam.
Karena sebagian besar kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
larutan pengganti biasanya digunakan. cairan yang paling umum digunakan yaitu
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL air per
liter dan cenderung menurunkan natrium serum, Ringer laktat umumnya memiliki
efek paling kecil pada komposisi cairan ekstraseluler dan tampaknya menjadi
solusi paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Laktat dalam larutan ini
dikonversi oleh hati menjadi bikarbonat.
15
b. Cairan Koloid
Aktivitas osmotik dari high-molecular-weight substances dalam koloid
cenderung mempertahankan cairan ini secara intravaskular. Meskipun waktu
paruh intravaskular larutan kristaloid adalah 20-30 menit, sebagian besar larutan
koloid memiliki waktu paruh intravaskuler antara 3- 6 jam. Komplikasi yang lebih
besar terkait dengan koloid dapat membatasi penggunaannya. Indikasi yang
diterima secara umum untuk koloid meliputi
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deifisit cairan intravaskular berat
(misal: syok hemorargik) sebelum datangnya darah transfusi
2. Resusitasi cairan dengan hipoalbuminemia berat atau kondisi yang terkait
dengan kehilangan protein besar seperti luka bakar.
Banyak dokter juga menggunakan larutan koloid dalam hubungannya
dengan kristaloid ketika kebutuhan penggantian cairan melebihi 3-4 L sebelum
transfusi. Perlu dicatat bahwa larutan koloid disiapkan dalam salin normal (Cl−
145-154 mEq / L) dan dengan demikian juga dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik. Beberapa dokter menyarankan bahwa selama anestesi,
perawatan kebutuhan cairan diberikan dengan larutan kristaloid dan kehilangan
darah diganti dengan larutan koloid (termasuk produk darah).
Beberapa larutan koloid umumnya tersedia. Semua berasal dari protein
plasma atau polimer glukosa sintetis dan disuplai dalam larutan elektrolit isotonik.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid alami:
Fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat
dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin.
2. Koloid sintetis:
- Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh
16
dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro
karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
- Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
17
III.4 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif meliputi penggantian cairan maintenance,
preexisting deficit (defisit puasa), dan perdarahan selama proses pembedahan.
a. Kebutuhan Cairan Maintenance
Perkiraan kebutuhan cairan maintenance normal:
b. Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah puasa semalam tanpa input cairan
akan memiliki defisit yang sebanding dengan durasi puasa yang
dilakukan.
Jumlah cairan pengganti puasa = jumlah jam puasa x perkiraan
kebutuhan cairan maintenance
c. Penggantian Cairan Intraoperatif
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat
pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau
evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. Untuk menggantinya
tergantung trauma jaringan selama pembedahan, dibagi menjadi tiga
jenis pembedahan yakni pembedahan minimal, pembedahan sedang
dan pembedahan berat, berdasarkan tabel berikut:
18
III.5 Transfusi
Transfusi dapat ditentukan sebelum operasi dari hematokrit dan dengan
memperkirakan volume darah. Pasien dengan hematokrit normal umumnya harus
ditransfusikan hanya setelah kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah
mereka. Jumlah yang dibutuhkan untuk kehilangan darah dari hematokrit yang
turun hingga 30% dapat dihitung sebagai berikut:
1. Hitung estimated blood volume (Volume Darah Rata-Rata dikali
berat badan)
Transfusi harus dilakukan menggunakan hematokrit yang turun hingga 24% bila
hemoglobin <8 g/dL dan perlu diperhatikan komorbid lain seperti penyakit
jantung.
Pedoman klinis yang umum digunakan meliputi:
1. Satu unit sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1 g / dL dan
hematokrit 2–3% pada orang dewasa
2. Transfusi sel darah merah 10 mL / kg akan meningkatkan konsentrasi
hemoglobin sebesar 3 g / dL dan hematokrit sebesar 10%.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
20
- Pemberian cairan :
o Jam I: Maintenance + ½ Puasa + Operasi = 107 + 321 + 402 = 830 ml
o Jam II: Maintenance + ¼ Puasa + Operasi = 107 + 160,5 + 402 = 669,5
ml
- Kebutuhan cairan selama operasi: 830 + 669,5 = 1.499,5 ml = 1.500 ml
- Hemodinamik dimonitor dengan melihat frekuensi nadi, frekuensi nafas,
tekanan darah, saturasi oksigen dan produksi urin.
- Pada kasus ini perlu dilakukan tranfusi karena jumlah perdarahan masuk
indikasi dilakukan transfusi, yang didapatkan dari Allowable Blood Loss
sebanyak 873 ml. Pada pasien tidak dilakukan transfusi darah yang
seharusnya pasien mendapatkan transfusi saat perdarahan mencapai 873
ml.
- Pemberian cairan dilakukan dengan 2 jenis cairan, yaitu kristaloid, asering
dan koloid, gelofusine. Asering merupakan cairan kristaloid yang berfungsi
untuk resusitasi. Asering dipilih karena memiliki kandungan cairan yang
mirip plasma darah. Kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang
interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Penggunaan koloid
bertujuan untuk mempertahankan cairan intravaskular, dalam kasus
digunakan karena adanya gangguan hemodinamik didapat dari tanda vital
pasien.
Postoperatif
- Diberikan tramadol 1 gr IV sebagai analgesia post operasi. Untuk
pengelolaan mual-muntah diberikan ondansetron 4 mg yang bekerja
mempengaruhi CTZ. Diberikan Ca Gluconate 1 gr IV untuk mencegah
hipokalemia. Pada pasien diberikan asam traneksamat 1 gr, Oxytocin 40 IU
dan Methergine 0,4 mg secara intravena untuk menghentikan perdarahan.
- Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke rawat inap untuk observasi
lebih lanjut.
21
BAB V
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange
Stamford. 2006
2010.p.259-64
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
133-9
Jakarta; 2003.
23