Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu ( 40 – 60% )
kematian ibu melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan atau
hemorragic post partum (HPP) adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang
terjadi setelah bayi lahir.
Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan
primer dan sekunder. Perdarahan pascapersalinan primer (Early HPP) terjadi
dalam 24 jam pertama. Sedangkan perdarahan pascapersalinan sekunder (Late
HPP) terjadi setelah 24 jam pertama.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%). Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Pada kasus perdarahan, maintenance cairan perlu diperhatikan untuk
menjaga hemodinamik dan perfusi jaringan, cairan yang dipakai biasanya
merupakan cairan resusitasi.

1
BAB II
DESKRIPSI KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 14 Maret 1992
Usia : 27 tahun
Alamat : Anggrek Kebidanan
No. Rekam Medis : 0252XXXX
Tanggal Masuk RS : 15 November 2019
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Status : Menikah

1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Keluar air dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan keluar air dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS.
Mules dirasakan hilang timbul. Keluar lendir dan darah disangkal.
HPHT 8/2/1029, TP : 15/11/2019. Pasien kontrol ke RS dan bidan 1x
c. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan ataupun debu.
d. Riwayat Penyakit Dahulu/Komorbid Lain
Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar,
hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma.
e. Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik

2
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Berat Badan : 67 kg
d. Tinggi Badan : 151 cm
e. Tanda Vital:
 TD : 120/80 mmHg
 RR : 20 x/menit
 N : 102 x/ menit
 S : 360C
f. Kepala dan Leher: normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
g. Thorax
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi :
o Batas atas kiri : ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan : ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan : ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
 Paru
Inspeksi :Pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi
(-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular breath sound (+), rhonkhi (-),wheezing -
 Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)

3
 Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-),
turgor kulit cukup, akral hangat
h. Evaluasi Airway (LEMON Law)
 Look Externally : Tidak tampak trauma wajah, gigi incisal
besar (-), lidah besar (-), leher pendek (-)
 Evaluate 3-3-2 :
o Bukaan mulut : 3 jari pasien
o Jarak mento-hyoid : 3 jari pasien
o Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien
 Mallampati Skor : 2 (tampak palatum mole dan sebagian
uvula)
 Obstruksi : deviasi trakea (-), tumor (-)
 Neck Mobility : Range of Motion baik

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (15 November 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah perifer lengkap
Hb 12,6 12,0-14,0 g/dL
Ht 36,7 L 37,0-43,0 %
Eritrosit 4,44 4,00 -5,00 juta/uL
Leukosit 9.680 5000-10000 /uL
Trombosit 279.000 150.000-400.000 /uL
MCV 82,7 82-92 fL
MCH 28,4 27-31 g/dL
MCHC 34,3 32-36 g/dL

HITUNG JENIS
Basofil 0,2 0-1 %
Eosinofil 1,4 1-3 %
Neutrophil 72,4 52,0-76,0 %
Limfosit 17,6 L 20-40 %

4
Monosit 8,4 H 2-8 %
RDW-CV 16,8 H 11,5-14,5 %

HEMOSTASIS
Masa Perdarahan IVY 3,00 1,00-6,00 menit
Masa Pembekuan Lee & 10,00 10-15 menit
White

ELEKTROLIT
Natrium Darah 136 135 – 145 mEq/L
Kalium Darah 3,80 3,50 – 5,00 mEq/L
Klorida Darah 102 98 – 107 mEq/L

5
II.2 Diagnosis Klinis
Gagal induksi pada G2P1A1 hamil 39-40 minggu, KPD 1 hari, Atonia uteri

II.3 Tindakan
Sectio Caesarea, Insersi IUD, B-lynch

II.4 Hasil Konsul


IPD : Toleransi operasi risiko ringan
Jantung : Toleransi operasi risiko ringan
Paru : Toleransi operasi risiko ringan
Anestesi : Puasa 6 jam sebelum operasi dilaksanakan

II.5 Kesan ASA (The American Society of Anethesiologist)


ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan)

II.6 Status Anestesi


Anestesi dilakukan pada posisi terlentang. Lama anestesi 2 jam dan lama
operasi 1 jam 55 menit.
1. Rencana Anestesi : Spinal
 Pastikan alat dan obat untuk induksi dan intubasi telah siap
 STATICS : Scope (stetoskop dan laringoskop), Tube (pipa trakea ETT
kinking ukuran 7) , airway (sungkup ukuran 5 adult, guedel), tape
(plester), introducer (mandrin atau stillet dari kawat), connector,
suction apparatus.
 Monitor : tekanan darah, nadi, respirasi, pulse oxymetry, dan EKG
Lead II
 Posisi tidur telentang
 Memasang tensi meter pada tangan kanan, elektroda EKG di dada dan
pulse oxymetry di tangan kanan yang telah terpasang infus ukuran 18G
 Memposisikan pasien duduk

6
a. Teknik regional
- Jenis : Sub Arachnoid Blok
- Lokasi L3-L4, dengan jarum spinocan 26G
- Obat :
o Bupivacain heavy 12,5 mg
o Fentanyl 25 mcg
b. Tata laksana jalan napas
Nasal kanul 3 lpm, ventilasi spontan
c. Maintenance
O2 = 3 lpm
d. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
o Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
o Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum tindakan
anestesi
o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa Infus
Output : Perdarahan, urin

Perhitungan :
Maintenance: (4x10) + (2x10) + (1x47) = 107 ml
Puasa (6 jam): 6 x 107 = 642 ml
Operasi (6 ml/kg/jam): 6 x 67 = 402 ml

Pemberian cairan :
Jam I: Maintenance + ½ Puasa + Operasi = 107 + 321 + 402 = 830 ml
Jam II: Maintenance + ¼ Puasa + Operasi = 107 + 160,5 + 402 = 669,5 ml

Kebutuhan cairan selama operasi: 830 + 669,5 = 1.499,5 ml = 1.500 ml

7
Cairan yang diberikan selama anestesi:
o Asering : 2 x 500 ml = 1.000 ml
o Gelofusine: 1 x 500 ml = 500 ml

Cairan yang keluar selama operasi


o Urin  ± 200 ml
o Perdarahan  ± 1.250 ml
o Total jumlah cairan keluar ± 1.450 ml
Replacing Blood Loss
o Estimated Blood Volume = ABV x BB = 65 ml/kg x 67 kg = 4.355
ml
o RBCV pre-op = EBV x Ht pre-op = 4.355 x 36.7% = 1.598,2 =
1.598 ml
o RBCV 30% = 4.355 x 30% = 1.306,5 ml = 1.307 ml
o RBCV lost = RBCV pre-op – RBCV 30% = 1.598 – 1.307 = 291
ml
o Allowed blood loss = RBCV lost x 3 = 291 x 3 = 873 ml

Sehingga, transfusi harus dilakukan bila perdarahan pada pasien melebihi


873 ml, namun pada pasien ini tidak diberikan transfusi darah saat operasi.

Tabel 1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi


Tekanan darah Tekanan darah
Waktu Nadi RR
sistolik diastolik MAP
17.00 130 70 85 18 90
17.05 110 60 80 12 76
17.10 90 50 80 14 63
17.15 100 50 83 16 66
17.30 108 52 84 16 70
17.45 107 69 78 16 81
18.00 115 68 85 14 83
18.15 93 60 81 14 71
18.30 89 50 79 12 63
18.45 100 60 80 12 73
19.00 110 70 85 12 83

o Lain-lain :
 Inj. Ondansentron 4 mg IV
 Inj. Oxytocin 40 IU IV

8
 Inj. Methergine 0,4 gr IV
 Inj. Asam Tranexamat 1 gr IV
 Inj. Ca Gluconate 1 gr IV
 Inj. Tramadol 100 mg IV

e. Post Operasi
Rawat inap

f. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi tiap 60 menit selama 2 jam
o Observasi perdarahan aktif pervaginam
o O2 nasal kanul 2 liter/menit
o Mobilisasi bertahap

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Evaluasi Volume Intravaskular


Volume intravaskular dapat diperkirakan berdasarkan riwayat pasien,
pemeriksaan fisik, dan analisis laboratorium. Terlepas dari metode yang
digunakan, evaluasi serial diperlukan untuk mengkonfirmasi kesan awal dan
untuk memandu terapi cairan, elektrolit, dan komponen darah. Berbagai modalitas
harus saling melengkapi satu sama lain, karena seluruh parameter bersifat tidak
langsung, pengukuran volume yang tidak spesifik, dan ketergantungan pada salah
satu parameter dapat menyebabkan kesimpulan yang salah.
1. Riwayat Pasien
Riwayat pasien merupakan hal penting dalam penilaian status
volume sebelum operasi. Faktor-faktor penting termasuk asupan oral,
muntah atau diare persisten, pengisapan lambung, kehilangan darah yang
signifikan atau drainase luka, pemberian cairan intravena, pemberian
darah, dan hemodialisis jika pasien mengalami gagal ginjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan indikasi hipovolemia
yakni termasuk turgor kulit abnormal, dehidrasi mukosa, pulsasi denyut
nadi perifer, peningkatan denyut jantung istirahat dan penurunan tekanan
darah, denyut jantung ortostatik dan perubahan tekanan darah dari posisi
terlentang ke posisi duduk atau berdiri, dan penurunan laju aliran kemih.
Sayangnya, banyak obat yang diberikan selama anestesi, serta respon stres
neuroendokrin terhadap prosedur operasi, mengubah tanda ini dan
menjadikannya tidak dapat diandalkan dalam periode pasca operasi.
Secara intraoperatif, kualitas nadi perifer (isi cukup atau tidak), produksi
urin, respons tekanan darah terhadap ventilasi tekanan positif dan
vasodilatasi terhadap efek anestetik negatif atau inotropik, merupakan
pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi
hipovolemia.

10
Sementara pitting edema presacral pada pasien yang berbaring di
tempat tidur atau pada pretibial pada pasien rawat jalan, peningkatan
produksi urin adalah tanda kelebihan cairan ekstraseluler dan
kemungkinan adanya hipervolemia pada pasien dengan fungsi jantung,
hati, dan ginjal normal. Tanda keterlambatan mengetahui hipervolemia
dalam pengaturan seperti gagal jantung kongestif mungkin termasuk
takikardia, peningkatan tekanan nadi jugularis, radang paru-paru dan rales,
mengi, sianosis, dan sekresi paru yang berbusa.

3. Evaluasi Lab
Beberapa pengukuran laboratorium dapat digunakan untuk menilai volume
intravaskular dan kecukupan perfusi jaringan yakni termasuk hematokrit
serial, pH darah arterial, gravitasi atau osmolalitas urin, konsentrasi
natrium atau klorida urin, natrium serum, dan nitrogen urea darah (BUN)
terhadap rasio kreatinin serum.
Namun, pengukuran ini hanya merupakan indeks tidak langsung volume
intravaskular, dan sering tidak dapat diandalkan secara intraoperatif karena
dipengaruhi oleh banyak faktor perioperatif dan karena hasil laboratorium

11
sering tertunda. Tanda dehidrasi laboratorium meliputi peningkatan
hematokrit dan hemoglobin, asidosis metabolik progresif (termasuk
asidosis laktat), gravitasi spesifik urin lebih besar dari 1,010, natrium urin
kurang dari 10 mEq / L, osmolalitas urin lebih besar dari 450 mOsm / L,
hipernatremia, dan BUN terhadap kreatinin lebih besar dari 10: 1.
Hemoglobin dan hematokrit biasanya tidak berubah pada pasien dengan
hipovolemia akut sekunder karena kehilangan darah akut memiliki jangka
waktu untuk cairan ekstravaskular berpindah ke ruang intravaskular.
Indikator radiografi volume berlebih atau hipervolemi mencakup
peningkatan vaskular dan interstitial marking pada paru (garis Kerley "B")
atau peningkatan infiltrat alveolar difus.

III.2 Pengukuran Hemodinamik


Pemantauan tekanan vena sentral (CVP) telah digunakan pada pasien
dengan fungsi jantung dan paru normal ketika status volume sulit untuk dinilai
dengan cara lain atau ketika terjadi perubahan cepat atau besar. Namun,
pembacaan statis CVP tidak memberikan indikasi status volume yang akurat atau
dapat diandalkan.
Pemantauan tekanan arteri pulmoner telah digunakan dalam pengaturan di
mana tekanan vena sentral tidak berkorelasi dengan penilaian klinis atau ketika
pasien memiliki disfungsi ventrikel kanan primer atau sekunder; terakhir biasanya
disebabkan oleh penyakit paru atau ventrikel kiri. Pembacaan tekanan oklusi
arteri pulmonalis (PAOP) kurang dari 8 mm Hg mengindikasikan hipovolemia
dengan adanya tanda klinis; Namun, nilai kurang dari 15 mm Hg dapat dikaitkan
dengan hipovolemia relatif pada pasien dengan daya komplians ventrikel yang
buruk. Pengukuran PAOP lebih besar dari 18 mm Hg umumnya menyiratkan
volume ventrikel yang berlebihan. Hubungan normal antara tekanan oklusi arteri
pulmonalis dan volume akhir diastolik ventrikel kiri berhubungan dengan adanya
penyakit katup mitral (terutama steosis), stenosis aorta yang parah, atau mixoma
atrium kiri atau trombus, serta dengan adanya peningkatan tekanan intratoraks
dan pulmonal. tekanan jalan nafas. Semua pengukuran tekanan oklusi arteri
pulmonalis harus diperoleh pada akhir ekspirasi dan ditafsirkan dalam konteks

12
pengaturan klinis. Akhirnya, harus diakui bahwa banyak penelitian telah gagal
untuk menunjukkan bahwa pemantauan tekanan arteri pulmonalis mengarah pada
hasil yang lebih baik pada pasien yang sakit kritis, dan bahwa ekokardiografi
memberikan perkiraan yang jauh lebih akurat dan kurang invasif dari penilaian
fungsi pengisian dan fungsi jantung.
Status volume intravaskuler sulit untuk dinilai, namun terapi hemodinamik
serta cairan yang diarahkan pada tujuan menggunakan analisis kontur nadi arteri
dan estimasi variasi stroke volume harus dipertimbangkan. Karena penentuan
akurat status hemodinamik dan cairan adalah penting. Variasi stroke volume
(SVV) dihitung sebagai berikut:
SVV = SV max – SV min / SV rata-rata

Stroke volume maksimum, minimum dan rata-rata dihitung untuk


periode waktu tertentu oleh berbagai perangkat pengukur. Selama ventilasi
spontan tekanan darah berkurang saat inspirasi. Selama ventilasi tekanan positif
terjadi sebaliknya. SVV normal kurang dari 10-15% untuk pasien dengan ventilasi
terkontrol. Pasien dengan derajat SVV yang lebih besar cenderung responsif
terhadap terapi cairan. Selain memberikan penilaian yang lebih baik tentang
volume dan status hemodinamik pasien daripada yang diperoleh dengan
pemantauan CVP, modalitas ini menghindari beberapa risiko yang terkait dengan
kateter vena sentral dan arteri pulmonalis.

III.3 Cairan Intravena


Terapi cairan intravena terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan ion (garam) dengan atau
tanpa glukosa, sedangkan larutan koloid merupakan larutan ion (garam) dengan
atau tanpa glukosa, dan mengandung zat dengan berat molekul tinggi seperti
protein atau polimer glukosa besar. Solusi koloid membantu mempertahankan
tekanan onkotik koloid plasma dan sebagian besar tetap berada di intravaskular,
sedangkan larutan kristaloid dengan cepat menyeimbangkan dan terdistribusi ke
seluruh ruang cairan ekstraseluler.

13
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid versus
kristaloid untuk pasien bedah. Para pendukung koloid hanya berpendapat bahwa
dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efisien (yaitu,
volume koloid yang lebih kecil diperlukan daripada kristaloid untuk menghasilkan
efek yang sama) dalam memulihkan volume intravaskular normal dan output
jantung. Sebaliknya, para pendukung kristaloid berpendapat bahwa larutan
kristaloid sama efektifnya jika diberikan dalam jumlah yang sesuai. Kekhawatiran
bahwa kristaloid dapat meningkatkan pembentukan edema paru pada pasien
dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Beberapa generalisasi dapat
dibuat sebagai berikut:

1. Kristaloid, bila diberikan dalam jumlah yang cukup, sama efektifnya


dengan koloid dalam memulihkan volume intravaskular.
2. Mengganti volume darah intravaskular dengan kristaloid biasanya
membutuhkan tiga hingga empat kali volume yang dibutuhkan saat
menggunakan koloid.
3. Pasien bedah memiliki defisit cairan ekstraseluler yang melebihi defisit
intravaskular
4. Defisit cairan intravaskular yang parah dapat lebih cepat dikoreksi
menggunakan larutan koloid.
5. pemberian cepat kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) lebih sering
dikaitkan dengan edema jaringan.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa edema jaringan dapat mengganggu
transportasi oksigen, penyembuhan jaringan, dan kembalinya fungsi usus setelah
operasi besar.

a. Cairan Kristaloid
Kristaloid biasanya dianggap sebagai cairan resusitasi awal pada pasien
dengan syok hemoragik dan septik, pada pasien luka bakar, pada pasien dengan
cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi otak), dan pada pasien
yang menjalani plasmaferesis dan reseksi hati. Koloid dapat dimasukkan dalam
upaya resusitasi setelah pemberian awal larutan kristaloid tergantung pada
preferensi penyedia anestesi dan protokol institusional.

14
Cairan kristaloid tersedia beragam jenis pilihannya bergantung pada
kehilangan cairan yang akan diganti. Bila terutama kehilangan yang melibatkan
air, penggantian dilakukan dengan larutan hipotonik, juga disebut solusi tipe
pemeliharaan atau cairan maintenance. Jika kehilangan melibatkan air dan
elektrolit, penggantian dengan larutan elektrolit isotonik, juga disebut solusi tipe
pengganti atau cairan replacement. Glukosa disediakan dalam beberapa solusi
untuk mempertahankan tonisitas, atau mencegah ketosis dan hipoglikemia akibat
puasa, atau berdasarkan tradisi. Anak-anak cenderung mengalami hipoglikemia
(<50 mg / dL) setelah puasa 4-8 jam.
Karena sebagian besar kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
larutan pengganti biasanya digunakan. cairan yang paling umum digunakan yaitu
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL air per
liter dan cenderung menurunkan natrium serum, Ringer laktat umumnya memiliki
efek paling kecil pada komposisi cairan ekstraseluler dan tampaknya menjadi
solusi paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Laktat dalam larutan ini
dikonversi oleh hati menjadi bikarbonat.

15
b. Cairan Koloid
Aktivitas osmotik dari high-molecular-weight substances dalam koloid
cenderung mempertahankan cairan ini secara intravaskular. Meskipun waktu
paruh intravaskular larutan kristaloid adalah 20-30 menit, sebagian besar larutan
koloid memiliki waktu paruh intravaskuler antara 3- 6 jam. Komplikasi yang lebih
besar terkait dengan koloid dapat membatasi penggunaannya. Indikasi yang
diterima secara umum untuk koloid meliputi
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deifisit cairan intravaskular berat
(misal: syok hemorargik) sebelum datangnya darah transfusi
2. Resusitasi cairan dengan hipoalbuminemia berat atau kondisi yang terkait
dengan kehilangan protein besar seperti luka bakar.
Banyak dokter juga menggunakan larutan koloid dalam hubungannya
dengan kristaloid ketika kebutuhan penggantian cairan melebihi 3-4 L sebelum
transfusi. Perlu dicatat bahwa larutan koloid disiapkan dalam salin normal (Cl−
145-154 mEq / L) dan dengan demikian juga dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik. Beberapa dokter menyarankan bahwa selama anestesi,
perawatan kebutuhan cairan diberikan dengan larutan kristaloid dan kehilangan
darah diganti dengan larutan koloid (termasuk produk darah).
Beberapa larutan koloid umumnya tersedia. Semua berasal dari protein
plasma atau polimer glukosa sintetis dan disuplai dalam larutan elektrolit isotonik.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid alami:
Fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat
dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin.
2. Koloid sintetis:
- Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh

16
dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro
karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
- Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 –


1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan
onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal
akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau
jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
- Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat


molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3
macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin

17
III.4 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif meliputi penggantian cairan maintenance,
preexisting deficit (defisit puasa), dan perdarahan selama proses pembedahan.
a. Kebutuhan Cairan Maintenance
Perkiraan kebutuhan cairan maintenance normal:

b. Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah puasa semalam tanpa input cairan
akan memiliki defisit yang sebanding dengan durasi puasa yang
dilakukan.
Jumlah cairan pengganti puasa = jumlah jam puasa x perkiraan
kebutuhan cairan maintenance
c. Penggantian Cairan Intraoperatif
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat
pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau
evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. Untuk menggantinya
tergantung trauma jaringan selama pembedahan, dibagi menjadi tiga
jenis pembedahan yakni pembedahan minimal, pembedahan sedang
dan pembedahan berat, berdasarkan tabel berikut:

18
III.5 Transfusi
Transfusi dapat ditentukan sebelum operasi dari hematokrit dan dengan
memperkirakan volume darah. Pasien dengan hematokrit normal umumnya harus
ditransfusikan hanya setelah kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah
mereka. Jumlah yang dibutuhkan untuk kehilangan darah dari hematokrit yang
turun hingga 30% dapat dihitung sebagai berikut:
1. Hitung estimated blood volume (Volume Darah Rata-Rata dikali
berat badan)

2. Perkirakan volume sel darah merah (RBCV) sebelum operasi


(RBCVpreop)
3. Perkirakan RBCV pada hematokrit 30% (RBCV30%),
4. Hitung RBCV yang hilang ketika hematokrit 30%
RBCVlost = RBCVpreop - RBCV30%
5. Allowable blood loss = RBCVlost × 3

Transfusi harus dilakukan menggunakan hematokrit yang turun hingga 24% bila
hemoglobin <8 g/dL dan perlu diperhatikan komorbid lain seperti penyakit
jantung.
Pedoman klinis yang umum digunakan meliputi:
1. Satu unit sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1 g / dL dan
hematokrit 2–3% pada orang dewasa
2. Transfusi sel darah merah 10 mL / kg akan meningkatkan konsentrasi
hemoglobin sebesar 3 g / dL dan hematokrit sebesar 10%.

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang perempuan usia 27 tahun datang ke ruang operasi untuk


menjalankan operasi Sectio Caesarea pada tanggal 15 November 2019 dengan
diagnosis yaitu Gagal induksi pada G2P1 hamil 39-40 minggu, KPD 1 hari,
Atonia uteri. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%). Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak
berkontraksi.
 Pre-operatif
- Pasien berusia 27 tahun, tidak memiliki riwayat asma maupun alergi,
riwayat operasi sebelumnya disangkal dan memiliki keluhan keluar air dari
jalan lahir sejak 1 hari SMRS. Mules dirasakan hilang timbul. Keluar lendir
dan darah disangkal. Pasien tidak memiliki risiko sulit airway dengan hasil
pemeriksaan penunjang dalam batas normal. Pada pasien termasuk ASA II
dengan adanya kehamilan dan riwayat TB on OAT.
- Pada pasien dilakukan pemberian maintenance cairan sesuai berat badan
serta dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk
memperkecil kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah.
 Intraoperatif
- Metode anestesi yang dipilih adalah teknik regional yaitu spinal. Metode
ini dipilih karena pertimbangan waktu operasi yang tidak memakan waktu
lama.
- Perhitungan cairan maintenance didapatkan dari 10 kg berat badan pertama
di kali 4, lalu 10 kg berat badan kedua dikali 2, lalu sisa berat badan dikali
1, pada pasien ini berat badan 67 kg sehingga didapatkan 107 ml.
- Cairan diberikan untuk menggantikan cairan yang hilang selama puasa 6
jam. Cairan pengganti puasa didapatkan dari lama puasa dikali dengan
jumlah cairan maintanance sehingga didapatkan 642 ml.
- Perhitungan penggantian cairan berdasarkan jenis operasi sebesar 402 ml.

20
- Pemberian cairan :
o Jam I: Maintenance + ½ Puasa + Operasi = 107 + 321 + 402 = 830 ml
o Jam II: Maintenance + ¼ Puasa + Operasi = 107 + 160,5 + 402 = 669,5
ml
- Kebutuhan cairan selama operasi: 830 + 669,5 = 1.499,5 ml = 1.500 ml
- Hemodinamik dimonitor dengan melihat frekuensi nadi, frekuensi nafas,
tekanan darah, saturasi oksigen dan produksi urin.
- Pada kasus ini perlu dilakukan tranfusi karena jumlah perdarahan masuk
indikasi dilakukan transfusi, yang didapatkan dari Allowable Blood Loss
sebanyak 873 ml. Pada pasien tidak dilakukan transfusi darah yang
seharusnya pasien mendapatkan transfusi saat perdarahan mencapai 873
ml.
- Pemberian cairan dilakukan dengan 2 jenis cairan, yaitu kristaloid, asering
dan koloid, gelofusine. Asering merupakan cairan kristaloid yang berfungsi
untuk resusitasi. Asering dipilih karena memiliki kandungan cairan yang
mirip plasma darah. Kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang
interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Penggunaan koloid
bertujuan untuk mempertahankan cairan intravaskular, dalam kasus
digunakan karena adanya gangguan hemodinamik didapat dari tanda vital
pasien.
 Postoperatif
- Diberikan tramadol 1 gr IV sebagai analgesia post operasi. Untuk
pengelolaan mual-muntah diberikan ondansetron 4 mg yang bekerja
mempengaruhi CTZ. Diberikan Ca Gluconate 1 gr IV untuk mencegah
hipokalemia. Pada pasien diberikan asam traneksamat 1 gr, Oxytocin 40 IU
dan Methergine 0,4 mg secara intravena untuk menghentikan perdarahan.
- Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke rawat inap untuk observasi
lebih lanjut.

21
BAB V
KESIMPULAN

Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu ( 40 – 60% )


kematian ibu melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan atau
hemorragic post partum (HPP) adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang
terjadi setelah bayi lahir.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Pada perdarahan, maintenance cairan perlu diperhatikan untuk menjaga
hemodinamik dan perfusi jaringan. Dalam penggantian cairan perlu diperhatikan
beberapa hal seperti evaluasi volume intravaskular, pengukuran hemodinamik,
serta pemilihan cairan pengganti yang tepat serta transfusi jika diperlukan.
Seluruh hal tersebut akan memengaruhi kondisi dan prognosis pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange

Stamford. 2006

2. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009

3. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Ikatan

Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah;

2010.p.259-64

4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2009;

133-9

5. Sunatrio. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta; 2000

6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang

7. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien

kritis. Second Fundamental Course on Fluid Therapy. PT. Widatra Bhakti.

Jakarta; 2003.

23

Anda mungkin juga menyukai