SECTIO CAESAREA
DENGAN REGIONAL ANESTESI SPINAL
Diajukan Kepada :
dr. Meriwijanti, Sp. An, KIC
dr. Beta Raditya, Sp. An
dr. Adi Sucipto, Sp.An.
dr. Fendy, Sp.An
Disusun Oleh :
Cut Putri Siti Shara H3A019038
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. HAN
2. Umur : 25 Tahun 5 bulan 5 hari
3. Tanggal Lahir : 10 Juni 1996
4. Alamat : Wonosari, Semarang
5. Agama : Islam
6. No RM : 226XXX
B. PRIMARY SURVEY
1) Airway
Bicara spontan (+)
Nafas stridor (-)
Nafas snoring (-)
Nafas gargling (-)
Cervical control
Fraktur cervical (-)
2) Breathing
Look Flail chest (-)
Retraksi / otot bantu pernafasan (-)
Nafas cuping hidung (-)
Respiratory rate 20 x/mnt
Listen Suara nafas (+)
Snoring (-)
Stridor (-)
Gargling (-)
Feel Ada hembusan nafas (+)
3) Circulation
Nadi 80 x/mnt, regular, isi dan tegangan cukup
Perdarahan (-)
CRT (+) merah muda <2 detik, normal
Ekstermitas pucat (-), warna merah muda, normal
3
4) Disability
GCS : E4M5V6
Kesadaran : Compos mentis
Reflek pupil :
Kanan Kiri
Direct (+) (+)
Indirect (+) (+)
Isokor 3 mm 3 mm
5) Expossure
Logroll Perdarahan external (-), jejas (-), vertebra teraba (normal).
C. SECONDARY SURVEY
1. Anamnesis
a) Riwayat Perjalanan Penyakit
Autoanamnesis : 12 november 2021
Keluhan Utama : kenceng-kenceng
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kenceng-kenceng didaerah perut sejak
sabtu malam, kenceng-kenceng dirasakan paling hebat saat minggu
malam. Pasien diketahui sedang hamil anak pertama dengan usia
kehamilan 38 minggu. Pasien dibawa ke IGD RS Tugurejo dan dirawat
inap di bangsal VK. Saat hari senin pagi, pasien diketahui mengalami
partus tak maju, dimana pembukaan servik terhenti di pembukaan 5.
Akhirnya pasien diputuskan untuk dilakukan SC.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Darah Tinggi : Disangkal
Riwayat Kencing Manis: Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Jantung : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal
4
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Darah Tinggi : Disangkal
Riwayat Kencing Manis: Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Jantung : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal
e) Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien menggunakan BPJS. Kesan ekonomi: cukup.
f) Riwayat Pribadi
Riwayat Merokok : Disangkal
Riwayat Konsumsi Alkohol : Disangkal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 121 / 70 mmHg
Nadi : 90 x / menit, reguler isi tegangan cukup
Pernapasan : 20 x / menit, teratur
Suhu : 36,5 0C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),
mata cekung (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Hidung : Septum deviasi (-), sumbatan (-)
nafas cuping hidung (-/-)
Telinga : Tidak dilakukan
Leher : Gerakan bebas (+)
Thoraks : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
5
Status Lokalis (ekstremitas bawah)
Dextra Sinistra
Edema + +
Akral hangat + +
Perdarahan aktif - -
Fraktur - -
Dislokasi - -
Ruptur - -
6
Radiologi (USG)
OPERASI
7
Jenis Anestesi : Regional anestesi (anestesi spinal) di L3 – L4,
median
Lama Anestesi : 13.35 – 14.40 WIB
Premedikasi : Ondancetron 4mg/2ml (iv)
Induksi : Bunascan spinal 0,5% (Bupivacaine HCL)
20mg/4ml
Maintenance : O2 2 liter/menit
Adjuvantia : Oxytocin 10 IU, methylergometrine maleate 0,2
mg, ephedrine 20 mg
Cairan : HAES 500 cc
8
Pasca bedah di Recovery Room (RR)
Bromage Score : 1
No. Kriteria Skor
1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2. Tidak dapat menekuk lutus, tetapi dapat mengangkat kaki 1
3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah, tetapi dapat menekuk lutut 2
4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3
Score <2, pasien boleh pindah ruangan
Keadaan umum : Baik
Respon kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal canule
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Hangat
Posisi pasien : Supinasi
Nadi : Teratur
Infus : RL
9
c) Inj. Ketorolac 3 x 30 mg iv
d) Bila sudah tidak mual dan muntah pasien boleh makan dan minum
e) Bila TD ≤ 90 mmHg (systole), beri :
Loading cairan Nacl 250 ml iv
Inj. Ephendrine HCL 10 mg iv
Hubungi dokter anestesi
Terapi lainnya sesuai dokter operator
10
BAB II
PEMBAHASAN
1. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang
intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke
dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara
vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat
dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal
dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang
intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan
keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (Peter Dunn, 2007)
Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)
11
menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang
pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta
komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang
banyak. (Morgan, 2006)
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian
sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan
amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan
oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit
menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh
hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak
menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine
dan etidocaine. (Morgan, 2006)
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah
ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain
menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat
dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal.
Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi
pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar
berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat
injeksi. Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi
lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan
dengan hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase
(tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan
serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan
penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan
serebrospinal), volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita
saat atau sesudah penyuntikan. (Butterworth, 2004)
Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan
anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat
jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan
12
menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja
larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi,
yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari
larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan
demikian larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar
akan cepat ke daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan
bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat penyebaran larutan
bupivakain hiperbarik tersebut. (Butterworth, 2004)
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain
hiperbarik pada Anestesi spinal: (Butterworth, 2004)
1. Gravitasi
Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003- 1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan
13
saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi
spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin
tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat
ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
6. Manuver valsava
Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan
dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat
Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang
dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa penyebaran maksimal
obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua
jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya
blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya
volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat
Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik
akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih tinggi beberapa
segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat
akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat
bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda
bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
9. Posisi tubuh
Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada
pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh, sedangkan
pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan
hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk
hanya mencapai T8.
10. Lateralisasi
Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
14
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5
menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai
T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T7.
a. Indikasi anestesi spinal 1
1) Bedah ekstremitas bawah
2) Bedah panggul
3) Tindakan sekitar rektum perineum
4) Bedah obstetrik-ginekologi
5) Bedah urologi
6) Bedah abdomen bawah
7) Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan
b. Kontra indikasi absolut anestesi spinal 1
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat suntikan
3) Hipovolemia berat, syok
4) Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5) Tekanan intrakranial meningkat
6) Fasilitas resusitasi minim
7) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
c. Kontra indikasi relative anestesi spinal 1
1) Infeksi sistemik
2) Infeksi sekitar tempat suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Bedah lama
6) Penyakit jantung
7) Hipovolemia ringan
8) Nyeri punggung kronik
15
d. Persiapan anestesi spinal
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan
pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah
akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang
punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini: 3,4
1) Informed consent : kita tidak boleh memaksa pasien untuk
menyetujui anesthesia spinal
2) Pemeriksaan fisik : meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya scoliosis atau kifosis.
3) Pemeriksaan laboratorium : penilaian hematokrit. Masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium
anjuran Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op
yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan status fisik ASA & risiko. Diputuskan
kondisi fisik pasien termasuk ASA.
16
e. Peralatan anestesi spinal
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian
anestesi umum, dan tindakan resusitasi. 4
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan
adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Dikenal 2 macam
jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo
runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya
seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan1,4
f. Teknik anestesi spinal 2,4
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat.
Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3 ml.
17
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.
g. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah
1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css
disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css
disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari
css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah
jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi. Pada anestesi spinal jika berat
jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil
(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila
sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. 3
18
Anestetik local yang paling sering digunakan2
Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric,
dosis 20-100mg (2-5ml)
Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5 % dalam dextrose 7.5 %: berat
jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
Bupivakaine (markaine) 0.5 % dalam air: berat jenis 1.005, sifat
isobaric, dosis 5-20mg
Bupivakaine (markaine) 0.5 % dalam dextrose 8.25 %: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3 ml)
h. Komplikasi anestesia spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi delayed.
1) Hipotensi berat : akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada
dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml
atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2) Bradikardia : dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau
hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2.
3) Hipoventilasi : akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas
Trauma pembuluh saraf
Trauma saraf
Mual-muntah
Gangguan pendengaran
i. Komplikasi pasca tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
j. Pencegahan komplikasi anestesi spinal
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
19
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
Hidrasi adekuat, minum / infuse 3L selama 3 hari
k. Pengobatan komplikasi anestesi spinal
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat
Hindari mengejan
Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural.
Obat – obat yang diberikan pada saat dilauan pembedahan pada kasus ini
adalah :
1) Ondancetron 6
Indikasi : mual mntah akibat kemoterapi dan radioterapi, pencegahan
mual dan muntah pasca operasi.
Kontrindikasi : hipersensitivitas, sindrom perpanjang interval QT
bawaan.
Efek samping : sangat umum (sakit kepala), umum (sensasi hangat
atau kemerahan, konstipasi, reaksi lokasi injeksi), tidak umum
(kejang, gangguan gerakan) dan jarang (reaksi hipersensitivitas).
Dosis : Ondancetron 4mg/ml
2) Ketorolac 6
Ketorolac merupakan OAINS yang memiliki aktivitas sebagai
analgetik dan anti – inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis
prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer
karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Indikasi : Penatalaksaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur bedah
Kontraindikasi :
- Riwayat alergi terhadap acetosal atau OAINS lain
- Ulkus peptikum aktif atau perdarahan gastrointestinal
- Penyakit ginjal sedang sampai berat
- Hamil
20
- Laktasi
- Anak < 16 tahun
- Penyakit cerebrovaskular
- Gangguan koagulasi
- Hipovolemia
Efek samping :
- Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, perdarahan
saluran cerna, nausea.
- Susunan saraf pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk,
berkeringat
- Reaksi hipersensitivitas
Dosis (Injeksi IM atau IV)
- Injeksi iv diberikan dalam waktu tidak kurang dari 15 detik.
Sediaan ampul 10mg/mL; 30 mg/mL.
- Dosis awal 10 mg, kemudian 10 – 30 mg setiap 4 – 6 jam apabila
diperlukan.
- Dosis maksimal 90 mg sehari (Pasien lansia, gangguan fungsi
ginjal dan BB < 50 kg maksimal 60 mg/hari). Lama pengobatan
maksimal 2 hari. Gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin.
3) Asam traneksamat 5.6
Asam tranexamat merupakan competitive inhibitor dari activator
plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan
menghancurkan fibrinogen, fibrin dari faktor pembekuan darah lain, oleh
karena itu asam tranexamat dapat digunakan untuk membantu mengatasi
perdarahan akibat fibrinolysis yang berlebihan.
Indikasi :
- fibrinolisis local seperti : epistaksis, prostatektomi, konisasi
serviks.
- Edema angioneurotic herediter.
- Perdarahan abnormal sesudah operasi.
21
- Perdarahan sesudah operasi gigi pada penderita hemofilia
Kontra indikasi
- Hipersensitif pada asam tranexamat
- Penderita perdarahan subarachnoid
- Penderita dengan riwayat tromboembolik
- Tidak diberikan pada pasien dengan pembekuan intravascular aktif
- Penderita buta warna
Dosis
- Oral, dosis umum dewasa: 1 tablet (500 mg) diberikan 3-4 kali
sehari, Perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan
ginjal.
- Injeksi: fibrinolisis lokal: dosis yang dianjurkan adalah 500-1.000
mg (iv) dengan injeksi lambat ( 1 ml/menit ) 3 kali sehari. Untuk
pengobatan lebih dari 3 hari dapat dipertimbangkan pemberian
secara oral.
Target organ : vaskuler dan hepar
4) Tramadol
Tramadol hidroklorid (tramadol) adalah obat analgetik sintetik yang
bekerja secara sentral, golongan aminocyclohexanol dengan efek kerja
mirip opioid. Mekanisme kerja tramadol dengan inhibisi pengambilan
kembali (reuptake) noradrenalin dan serotonin 5-HT (5-hidroksitriptimin)
diujung saraf, bekerja terutama pada reseptor µ-opioid agonist dan juga
memiliki efek pada reseptor κ meskipun lemah
Indikasi
- Nyeri akut, nyeri kronik berat, dan nyeri pasca operasi
Kontra Indikasi
- Depresi nafas akut, penyakit hati akut, ileus paralitik, peningkatan
tekanan intracranial, dan cedera kepala apabila penggunaan obat
bersama SSP lainnya
Efek Samping
22
- Mual, muntah, depresi nafas, hipotensi, kekauan otot, bradikardi,
halusinasi, dan disforia
Dosis
- Dewasa : oral 50-100mg/4-6jam, maksimal 400mg/hari
- Injeksi : IM/IV 50-100mg/4-6jam, maksimal 400mg/hari
- Anak : tidak direkomendasikan
Sediaan
- Ampul 50 mg/mL
- Kapsul 50 mg/mL
6) Vitamin C (asam askorbat)
Indikasi : Pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin C. gejala
awal defisiensi vitamin C adalah malaise, mudah tersinggung,
gangguan emosi, atralgia, perdarahan hidung dn ptekie
7) Vitamin K (phytonadione)
Berguna untuk mencegah atau mengatasi perdarahan akibat
defisiensi vitamin K. defisiensi vitamin K dapat terajdi akibat gangguan
absorbs vitamin K, berkurangnya bakteri yang mensistesis vitamin K
pada usus dan pemakaian anti koagulan tertentu
Dosis : profilaksis dan pengobatan perdarahan pada bayi baru lahir :
0,5-1mg IM, 1-6 jam sesudah lahir
Sediaan : ampul 2mg/ml
8) Bupivacaine
Merupakan anestesi local yang mempunyai masa kerja panjang,
dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar disbanding motoric.
Karena efek ini bupivacaine lebih popular digunakan untuk
memperpanjang analgetik selama persalian dan massa pasca
pembedahan. Mula kerjanya lebih lambat, dibutuhkan sampai 30 menit
untuk mencapai efeknya secara penuh. Bupivacain adalah obat pilihan
untuk anestesi spinal.
Indikasi : anestesi blok saraf perifer, blok epidural (pada pembedahan,
dan persalinan)
23
Kontraindikasi : blok paraservical obstetric dan anestesi regional iv,
hipersensitif terhadap anestesi local tipe amida.
Efek samping: hipotensi, bradikardi, sakit kepala pasca spinal,
gangguan kardiovaskular, depresi pernafasan.
Sediaan : ampul 5mg/ml (bucain, decain, spinal 0,5%), vial
10mg/20ml: buvanes 0,5 %.
24
2. SECTIO CAESAREA
A. Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan- kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam.
B. Epidemiologi
Seksio sesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk
melahirkan janin melalui sayatan perut dan dinding rahim. Seksio sesaria makin
meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan. Indikasi
yang banyak dikemukakan adalah; persalinan lama sampai persalinan macet,
ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum.
Sejak tahun 1986 di Amerika satu dari empat persalinan diakhiri dengan
seksio sesaria. Di Inggris angka kejadian seksio sesaria di Rumah Sakit
Pendidikan relatif stabil yaitu antara 11- 12 %, di Italia pada tahun 1980 sebesar
3,2% - 14,5%, pada tahun 1987 meningkat menjadi 17,5%. Dari tahun 1965
sampai 1988, angka persalinan sesarea di Amerika Serikat meningkat progresif
dari hanya 4,5% menjadi 25%. Sebagian besar peningkatan ini terjadi sekitar
tahun 1970-an dan tahun 1980-an di seluruh negara barat. Pada tahun 2002
mencapai 26,1%, angka tertinggi yang pernah tercatat di Amerika Serikat.7-10
Di Indonesia angka persalinan dengan seksio sesaria di 12 Rumah Sakit
Pendidikan berkisar antara 2,1%-11,8%. Di RS Sanglah Denpasar insiden seksio
sesaria selama sepuluh tahun (1984-1994) 8,06%-20,23%; rata-rata pertahun
13,6%, sedangkan tahun 1994-1996 angka kejadian seksio sesaria 17,99% dan
angka kejadian persalinan bekas seksio 18,40%.7,12,13
25
Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:
1. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan
dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus (Prawiroharjo, 2002).
Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran
dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa
keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak
menimbulkan perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan
dalam mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan
luka insisi dan dapat menimbulkan perdarahan (Manuaba, 1999). Arah
insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang (secara Kronig).
2. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak
dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada
vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan
kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2005).
Teknik ini juga memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi
relatif sulit, kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan
berikutnya dan kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding
abdomen lebih besar (Manuaba, 1999).
3. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus
setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau
pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan (Cunningham
dkk, 2005).
4. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior
ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam
praktek obstetri (Charles, 2005).
5. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan
26
insisi di segmen bawah (Charles, 2005).
27
D. Indikasi Seksio Sesarea
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan
ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu
faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar
bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan
janin jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba, 1999).
28
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain- lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi
(Cunningham dkk, 2005).
Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea
terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%, gawat
janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2% kasus seksio
sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari
10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%, diikuti oleh
distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%, sedangkan
gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio sesarea
sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio sesarea yang
terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi bokong 2,6%,
gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2% (Cunningham dkk, 2005). Sebaran indikasi
seksio sesarea di negara-negara maju tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut :
29
terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %) (Birza, 2003).
30
bed akibat atoni uteri (Karsono dkk, 1999). Komplikasi pada bayi dapat
menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan
trauma persalinan (Mochtar, 1988).
31
150 mg atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.
5. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu
jalanya penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya
thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10
jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur
terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies dapat didukukan
selama 5 menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu
menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan
pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia
mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk
(semi fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3
sampai 5 pasca bedah.
32
DAFTAR PUSTAKA
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Kehamilan multijanin. Dalam: Hartono A, Suyono YJ, Pendit BU
(alih bahasa). Obstetri Williams. Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC, 2006. h. 852-897 33
8. Liewellyn-Jones D. Kelainan presentasi janin. Dalam: Hadyanto, editor
edisi bahasa Indonesia. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Hipokrates, Jakarta. 2002: 160-162
9. Zach T. Multiple births. Dalam: emedicine from WebMD, 2006. Available
at URL http://www.emedicine.com/med/topic2599.htm
10. Morales AJ et al. Multifetal pregnancy reduction. Dalam: Ethics in
Obstetric and Gynecology, 1999. Available at URL
http://www.acog.com/from_home/publications/ethics/ethics041.pdf
11. Suririnah. Proses terjadinya kehamilan kembar atau kehamilan lebih dari
satu. 2005. Available at URL http:////ww.infoibu.com/mod.php
33
12. Guttmacher AF, Schuyler GK. The Fetus of Multiple Gestations. Obstet
Gynecol, 1958; 528- 41.
13. Kalaichandran S. Twin Pregnancy Double Trouble or Twice The Jay.
Lecturere Unversity of Ottawa Obstetric and Gynaecology, 1999 in
http://www.teinspregnancy/obstetric.html
14. Kliegman RM. Kehamilan multipel. Dalam: Wahab AS, editor bahasa
Indonesia. Ilmu kesehatan anak Nelson. Volume 1 edisi 15. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC, 2000. h. 559-561Thilo EH, Rosenberg
AA. Multiple births. Dalam: Hay WW (ed). Current pediatric diagnosis &
treatment. 16thedition. Europe: McGraw Hill Education, 2002. h. 56-57
34