Anda di halaman 1dari 23

LAPAROTOMI ILEUS OBSTRUKTIF

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti


Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Anestesi dan Reaminasi
RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Disusun oleh :
Robin Perdana Saputra
08711054

Pembimbing :
dr. Awal Tunis Yantoro, SKM, Sp.An

SMF ILMU ANESTESI DAN REAMINASI


RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
PURBALINGGA

1
2013
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN :
Nama               : Ny N
Umur               : 35 tahun
Alamat             : Candiwulan 8/4
Kelamin           : Perempuan
No. RM : 556245
Ruang : Dahlia 7.1
Masuk RS : 23 Oktober 2013
Operasi : 25 Oktober 2013

II. PRIMARY SURVEY


1. Airway
Clear, mallampati I, tidak terdapat gigi ompong. Jarak antara gigi atas
dan bawah kira-kira 2 jari, deviasi septum (-), discharge (-), polip (-),
leher pendek (-), trakhea teraba di tengah/deviasi (-), tidak ada
perbesaran kelenjar tiroid.
2. Breathing
Nafas spontan, normochest, tidak tampak ketertinggalan gerak pada
dada (gerak dada simetris). RR 18 kali per menit, reguler, tidak
terdapat retraksi, trakea terletak di median, suara nafas vesikuler +/+,
tidak terdapat wheezing maupun ronki.
3. Circulation
Kulit hangat, TD 114/71, nadi 116 kali per menit, reguler, S1>S2
reguler, gallop (-), murmur (-).
4. Disability
Keadaan umum baik, gizi cukup, kesadaran  Compos mentis, pupil
bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, reflek cahaya +/+.

2
III. SECONDARY SURVEY
1. Anmanesa
a. Keluhan utama
Nyeri ulu hati
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli Bedah RSGT dengan keluhan nyeri ulu hati sejak
1 HSMRS, disertai mual dan muntah serta nafsu makan menurun.
Pasien mengaku tidak terdapat gangguan BAB dan BAK. Pasien
mengaku tidak demam.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa (-), Riwayat Asma (-), Riwayat Alergi
(-).riwayat DM dan HT tidak diketahui
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat pada keluarga Asma (-), Alergi (-).DM (-), HT (-)

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Cukup
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : E4V5M6
d. Vital sign :
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 76 x/mnt
- Suhu : 36,7˚C
- Respirasi : 18 x/mnt
e. Status Generalis :
- Kulit : Warna kulit cokelat sawo matang, tidak ikterik, tidak
sianosis, turgor kulit cukup, capilari refill kurang dari 2 detik.
- Kepala :
o Rambut hitam dan distribusi merata serta tidak mudah dicabut.
o Muka : tidak terdapat jejas.

3
o Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor Ø 3 mm / 3 mm, reflek cahaya +/+
o Hidung : deviasi septum (-), discharge (-), nafas cuping hidung
(-).
o Tenggorokan : Mallampati I, Cormack and Lehane grade I
- Leher : Tidak terdapat jejas, deviasi trakea(-), nyeri tekan leher
bagian kiri (+), bengkak (+), hiperemis (+), tidak terdapat
pembesaran kelenjar tiroid maupun limfe.
- Thorax
Paru                 : Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Simetris, vokal fremitus simetris.
Perkusi : Sonor
Auskultasi :Vesikuler +/+, wheezing (-), ronkhi
(-)
Jantung            : Inspeksi : Tampak ictus cordis
Palpasi : IC teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen        : Inspeksi : Flat(-),
Distensi (-), Jejas (-), Masa (-)
Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Ekstremitas : Akral Hangat, Edema (-)

4
3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan 27 Agustus 2013 Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 15,7 11,7 – 15,3 g/dL
Leukosit 14,8 2,6 – 11 103/uL
Hematokrit 47 35-47 %
Eritrosit 5,1 3.8 – 5,2 106/uL
Trombosit 245 150 – 440 103/uL
Hitung Jenis
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 1–3%
Neutrofil Segmen 91 50 – 70 %
Limfosit 6 25 – 40 %
Monosit 4 2–8%
Golongan Darah A
CT 4,30’’ 3 – 5 Menit
BT 3,45’’ 2 – 5 Menit
GDS 151 100-150 mg/dl
4. Pemeriksaan Elektrokardiograf
Sinus rhythm, Heart rate 100 x/menit, gelombang P normal, axis normal,
PR interval 0,16 detik,
5. Pemeriksaan Foto Thorax
Pada foto rongxen 3 posisi tak tampak pneumoperitonium, tak tampak
perforasi usus. Peritoneal fat line baik, tak tampak peritonitis. Udara usus
prominent, cenderung meteorismus. Tampak perselubungan di luar usus
DD: Asites. Struktur tulang tampak baik. Kesan : Cpr dalam batas
normal, Gambaran pulmo dalam batas normal, Tak tampak gambaran
metastasis pada tulang yang terlihat

5
6. Pemeriksaan Ultrasongrafi
Asites (+), Efusi pleura dextra minimal, Hepatomegali, Hipoechoik,
penyebab belum diketahui. Tampak cholecystitis. Lien ren kanan kiri
VU dan Uterus tampak dalam batas normal

IV. DIAGNOSIS
Ileus Ostruktif
V. KESIMPULAN
Acc ASA I
VI. LAPORAN ANESTESI
Keadaan pre-operarif : Pasien sudah terpasang NGT sejak tanggal 23
oktober 2013. Keadaan pasien tampak kesakitan, kooperatif, tensi 120/ 75
mmHg, nadi 85 x/ menit. Pasien sudah mulai puasa sejak masuk RSGT
1. Diagnosis Pra Bedah
Ileus Obstrutik
2. Diagnosis Pasca Bedah

6
Ileus obstruktif ec adhesi omentum
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a. Informed consent
b. Puasa 6 jam pre operasi
c. Pasang IVFD RL 20 tpm
4. Penatalaksanaan Operasi
a. Jenis pembedahan : Laparotomi
b. Jenis anestesi : Regional
c. Teknik anestesi : General
d. Mulai anestesi : 09.30
e. Mulai operasi : 09.35
f. Selesai anastesi : 09.45
g. Premedikasi : Ondansetron 4 mg, Fentanyl 100mg,
Noveron 30mg
h. Medikasi induksi : Recofol 100 mg
i. Maintenance : O2 3 liter/menit dengan Sevoflurance 2%
j. Medikasi tambahan : ketorolac 60 mg, Dexa II ampul
k. Respirasi : Spontan
l. Posisi : Supine
m. Cairan durante operasi : RL 1500 ml

Monitoring Anestesi
Waktu Hasil Pantauan Tindakan
09.00 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg Pasein masuk ruang OK
SaO2 93% kemudian diberikan injeksi
Ondancetron.
09:20 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg Pasien diberikan injeksi
SaO2 93% Fentanyl 100mg
09:25 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg Pasien diberikan injeksi
SaO2 93% Noveron 30mg
09.30 N 88 x/m ; TD 118/75 mmHg Dimulai anastesi dengan
SaO2 93% pemberian recofol 100mg dan
pemasangan kanul O2.
09:33 N 90 x/m ; TD 111/78 mmHg Mulai dialirkan inhalasi sevo

7
SaO2 94% 2%
09.35 N 87 x/m ; TD 118/75 mmHg Dimulai pembedahan incise
SaO2 96%
09.38 N 123x/m ; TD 157/89 mmHg Injeksi Fentanyl 30mg
SaO2 99%
09.40 N 122x/m ; TD 119/78 mmHg monitoring
SaO2 96%
09.45 N 121x/m ; TD 167/98 mmHg Injeksi Fentanyil 20mg
SaO2 93%
09.50 N 101x/m ; TD 139/88 mmHg Monitoring, inhalasi sevo di
SaO2 93% stop, injeksi ketorolac
09.55 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg Pembedahan selesai
SaO2 93%
10.05 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg Pasien belum sadar nafas
SaO2 90% terengah engah
10.10 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg Suara paru ronkhi basah,
SaO2 87% injeksi dexa 2 amp
10.15 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg Pasien mulai sadar , nafas
SaO2 93% teratur masuk RR lnajut foto
rongxen dan masuk ICU

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda


adanya obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter.
Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia

8
inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh
peritonitis. Keduanya membutuhkan tindakan operatif.
Merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering
dijumpai 60-70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan
apendisitis akut. Ileus memiliki mortalitas tinggi jika tidak segera
didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam.
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh
pembedahan darurat,dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung
pada pengenalan awal dan diagnosis yang tepat. Perlekatan usus
sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama.
Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah
perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun
2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan usus,
kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%

Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi
lumen usus atau gangguan peristalsis usus. Secara garis besar dibagi menjadi dua
yaitu Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi
disebut juga ileus mekanik, dan memiliki angka kejadian tersering.
Klasifikasi
Lokasi Obstruksi
 Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
 Letak Tengah : Ileum Terminal
 Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

9
Stadium
 Parsial : menyumbat lumen sebagian
 Simple/Komplit: menyumbat lumen total
 Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa
Etiologi
i. Penyempitan lumen usus
 Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis.
 Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan.
 Ekstra lumen : Tumor intraabdomen.
ii. Adhesi
iii. Invaginasi
iv. Volvulus
v. Malformasi Usus

Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan


vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan
udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian
usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan kongesti.
Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan
progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian. (Purnawan, 2009)
2.4.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis.
 Nyeri (Kolik)
Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus
Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik.
 Muntah
Stenosis Pilorus : Encer dan asam
Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan

10
Obstruksi kolon : onset muntah lama.
 Perut Kembung (distensi)
 Konstipasi
Tidak ada defekasi
Tidak ada flatus
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali
menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh
riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya
dapat menjurus pada adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung
cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat
menjurus kepada ileus letak rendah.
1. Pada pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan :
 Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : 
Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness, nyeri lokal, hilangnya
suara usus local. Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi. 
 Adanya obstruksi ditandai dengan :
Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal,
femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi
dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila
ada bekas luka operasi sebelumnya.
Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising
usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
Perkusi
Hipertimpani
Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.
Rectal Toucher
- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma
- Feses yang mengeras : skibala

11
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

2. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis,
tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu
dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit
yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan.10 Leukositosis
menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% -
50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non
strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu
dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis
bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis.

Radiologik
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid
level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi.
Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus
halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.
Foto Polos Abdomen
Dapat ditemukan gambaran ”step ladder dan air fluid level” terutama pada
obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi
stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mucosa
yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Pelebaran udara usus halus atau
usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level. Penggunaan kontras

12
dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan
untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.

Gambar 2.4 Radiolagi dari Ileus obstruktif (American Gastroenterological


Association, 2003)
2.4.2.6 Diagnosis banding
Ileus obstruksi harus dibedakan dengan:

1. Carcinoid gastrointestinal.
2. Penyakit Crohn.
3. Intussuscepsi pada anak.
4. Divertikulum Meckel.
5. Ileus meconium.
6. Volvulus.
7. Infark Myocardial Akut.
8. Malignansi, Tumor Ovarium.
9. TBC Usus.
2.4.2.7 Penatalaksanaan
Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera
setelah keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu
pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit
dan dekompresi pipa lambung. Tindakan bedah dilakukan apabila terdapat
strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata dan tidak ada perbaikan pada
pengobatan konservatif. (Purnawan,2009)

13
1. Persiapan penderita
Persiapan penderita berjalan bersama dengan usaha menegakkan diagnosa
obstruksi ileus secara lengkap dan tepat. Sering dengan persiapan penderita yang
baik, obstruksinya berkurang atau hilang sama sekali. Persiapan penderita
meliputi :
 Balance Penderita dirawat di rumah sakit.
 Penderita dipuasakan
 Kontrol status airway, breathing and circulation.
 Dekompresi dengan nasogastric tube.
 Intravenous fluids and electrolyte
 Dipasang kateter urin untuk menghitung cairan.
2. Operatif
Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang perlu :
 Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.
 Bagaimana keadaan/fungsi organ vital lainnya, baik sebagai akibat
obstruksinya maupun kondisi sebelum sakit.
 Apakah ada risiko strangulasi.
Kewaspadaan akan resiko strangulasi sangat penting. Pada obstruksi ileus
yang ditolong dengan cara operatif pada saat yang tepat, angka kematiannya
adalah 1% pada 24 jam pertama, sedangkan pada strangulasi angka kematian
tersebut 31%.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus :
a) Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
b) Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease,
dan sebagainya.
c) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.

14
d) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulate dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
3. Pasca Operasi
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi
usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan
yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh
karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat
diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,
walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah
berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali
belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare
pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta
menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan
pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi
strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7
hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan
sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah.
Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur
kuman sangatlah penting. (Purnawan, 2009)

GENERAL ANESTESI

General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang
mengakibatkan depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan

15
obat-obatan secara intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya. Trias
anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi.

Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan
akan berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang
memiliki kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar
pasien tersebut tetap tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahaan.

Tahapan General Anestesi

- Induksi (awal pembiusan)


- Konduksi (maintenance pembiusan)
- Recovery (sadar kembali setelah anestesi)

Prosedur Anestesi Umum


Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.
Persiapan pasien
A. Anamnesis

16
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita,Riwayat
obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi
dengan obat-obat anestetik, Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami
diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya,Kebiasaan buruk sehari-hari
yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang
akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan
ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.
D. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia

17
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.

PREMEDIKASI

Premedikasi adalah pemberian obat-obat tertentu sebelum tindakan


anestesia, untuk membantu induksi anestesia, pemeliharaan, dan pemulihan yang
baik. Adapun tujuan premedikasi adalah dapat mengurangi kegelisahan /
kecemasan, mengurangi sekresi saliva, mencegah refleks-refleks yang tidak
diinginkan, memudahkan induksi anestesia, mengurangi dosis obat yang
diperlukan untuk anesthesia, menghasilkan amnesia, menghasilkan analgesia, ,
mencegah muntah post-operatif

1. Cendantron 4 mg i.v. : anti emetik

Cendantron (Ondancetron) adalah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat


selektif dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan
radiasi. Mekanisme kerjanya diduga langsung mengantagonisasi reseptor 5-HT
yang terdapat pada chemoreseptor trigger zone didaerah postrema otak dan
mungkin juga pada affern vagal saluran cerna. Ondansetron mempercepat
pengosongan lambung, bila kecepatan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran
cerna memanjang sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.
Ondansetron dimetabolisme di hati.

Digunakan untuk mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan


operasi dan pengobatan kanker dengan radiografi dan sitotastika. Dosis yang
digunakan 0,1 – 0,2 mg/kg i.v.

Efek samping biasanya ditoleransi dengan baik. Keluhan yang sering


ditemukan adalah konstipasi. Gejala lain berupa sakit kepala, mengantuk,
gangguan saluran cerna. Kontraindikasi pada hipersensitifitas, sebaiknya tidak

18
digunakan pada ibu hamil dan menyusui karena kemungkinan disekresikan ke
dalam ASI. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi.

2.Fentanyl :
Mempunyai potensi analgesi 75-125 kali morfin, Mempunyai mula kerja
yang cepat dan mempunyai waktu eliminasi yang cepat juga dalam tubuh. Efek
terhadap jantung sangat minimal tetapi dapat terjadi bradi yang dapat di
tanggulangi dengan pemberian sufas atropine. Mempunyai efek samping
ketergantungan, euforia, perlambatan EKG, mual dan muntah
Penggunaan secara klinis diberikan untuk analgesik nakotik , sebagai
tambahan pada general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan
neuroleptik (droperidol) sebagai premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan
pemeliharaan general anestesi maupun regional anestesi.

Digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mg / kg IV


memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mg/kg IV, biasanya digunakan untuk
tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi,
digunakan dengan, a) Laryngoskopi untuk intubasi trakea ,atau b) Stimulasi
operasi yang tiba – tiba.

Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau


menatalaksana beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu
equilibrationnya. Injeksi opioid seperti fentanil sebelum stimulasi operasi yang
menyakitkan, mungkin dapat mengurangi dari jumlah opioid yang dibutuhkan
untuk periode postoperasi untuk menyediakan analgesia.

INDUKSI ANASTESI

Adapun obat-obat indikasi yang diberikan adalah : Recofol 90 mg

1. Recofol 100 mg (propofol) i.v.

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan


karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol
merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol

19
menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah
obat anestesi umum yangbekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30
detik. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse.
Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55
tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis
yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa
secara suntikan bolus IV atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan
pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di
bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih rendah dan
kecepatan tetesan juga lebih lambat.

OBAT LAINNYA (DURANTEE OPERASI)

1. Ketorolac 60 mg sebagai analgesik

Farmakodinamik:

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini


merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik
yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis
prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena
tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

Farmakokinetik:

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah


pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma
sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh
terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia
rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang
beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara
intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma
dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang
tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena,
volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat

20
dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya
(rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral
tidak mengubah hemodinamik pasien.

Diberian secara oral, intramuskular, intravena. Efek analgesia dicapai


dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja 4-6 jam. Dosis awal 10-
30mg/hari dosis maks. 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan BB
<50kg dibatasi maks. 60mg/hari. 30mg ketorolak=12mg morfin=100mg petidin,
dapat digunakan bersama opioid. Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di
perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Tidak untuk
wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita menyusui, usia lanjut, anak
usia <4th, gangguan perdarahan, tonsilektomi.

Dosis Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular


atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal
15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai
timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30
menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median
analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan
keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian
multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih
dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka
panjang.

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, Pasien Ny N dengan diagnosis ileus obtruktif, dilakukan


tindakan laparotomi. Persiapan darah dan cek laboatorium penting pada
laparotomi karena termasuk operasi dengan resiko besar.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik general anestesi menggunakan semi
closed face mask. Sebagai medikasi induksi diberikan noveron 30mg,
fentanyl 100mg, propofol 100 mg dan o2. Maintenecenya dengan
sevoflurance, medikasi tambahan diberikan Ketorolac 60 mg sebagai
analgesic dan Ondansetron 4 mg sebagai anti muntah.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak
1500ml.
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 30 menit.
5. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di
ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan
adekwat serta kesadaran masih belum sadar betul. Kemudian digunakan
penilaian pemulihan anestesi dengan menggunakan skala aldrette. Pada

22
pasien ini, total penilaian dengan menggunakan skala aldrette adalah 9
sehingga pasien dapat di bawa ke ruang perawatan akan tetapi SaO2 pasien
tidak maksimal sehingga masuk ICU guna perawatan lebih lanjut.

23

Anda mungkin juga menyukai