Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

RUPTUR URETRA POSTERIOR TOTALIS POST STRADDLEINJURY

Oleh:
dr. Nur Arfannyah Azizi

Pendamping:

dr. Aspar Rafiq

Pembimbing:
dr. Heru Nurdianto, Sp.U

RUMAH SAKIT BUDI KEMULIAAN BATAM

DOKTER INTERNSIP ANGKATAN 2 PERIODE TAHUN 2023


DAFTAR ISI

HALAMAN
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I LAPORAN KASUS................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 2
2.1 Anatomi ............................................................................................................. 2
2.2 Definisi .............................................................................................................. 4
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................... 4
2.4 Epidemiologi...................................................................................................... 5
2.5 Etiologi .............................................................................................................. 5
2.6 Patofisiologi....................................................................................................... 6
2.7 Manifestasi klinis............................................................................................... 7
2.8 Penegakkan diagnosis........................................................................................ 8
2.9 Diagnosis banding.............................................................................................. 15
2.10 Tatalaksana........................................................................................................ 15
2.11 Komplikasi......................................................................................................... 19
2.12 Prognosis............................................................................................................ 20
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 22

i
BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RD
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.Rekam Medik : 413803
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan :
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 30/09/2023

ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 30 September 2023

Keluhan Utama
Tidak bisa BAK

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan tidak bisa buang air kecil
setelah terjatuh saat di tempat kerja tanggal 13 September 2023 (kurang lebih 14
hari sebelum masuk rumah sakit). Menurut keterangan pasien terjatuh dengan
manuver bagian kemaluan terkena besi (straddle injury) saat sedang melakukan
perbaikan di kapal. Setelah kejadian pasien tidak dapat buang air kecil selama 1
hari, lalu pasien datang ke Unit Gawat Darurat di negara Serbia dimana tempat
pasien bekerja dan dilakukan pemasangan sistostomi. Menurut keterangan pasien
dan keluarga pasien dokter di negara tersebut mendiagnosa cedera urethra. Nyeri
(+) keluar darah (-), demam (-) BAB tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asma dan alergi disangkal
pasien. Riwayat operasi sebelumnya disangkal pasien.

2
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama dikeluarga, hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan
alergi pada keluarga disangkal pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaraan : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 132/77 mmHg
Frekueni nadi : 66 kali/menit
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36 ºC

Status Generalis
- Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Pembesaran KGB (-)
- Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid dan kelenjar gatah
bening tidak teraba membesar
- Paru :
Inspeksi : Simetris saat statis maupun dinamis
Palpasi : Ekspansi dada baik, vocal fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
- Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V 1 jari medial
linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
Inspeksi : Datar, tampak selang sistostomi, jejas (-)

3
Palpasi : Turgor baik, defans muscular (-), nyeri tekan (+) pada
regio supra pubis, hepar dan limpa tidak teraba membesar
Perkusi : timpani pada seluruh abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas : Akral hangat ++/++, edema --/--,CRT < 2‟

Status Urologi
- Sudut costo vertebrae :
Inspeksi : massa -/-, jejas +/+
Palpasi : massa -/-, nyeri tekan -/-
Perkusi : nyeri ketok -/-
- Regio suprapubis :
Inspeksi : massa (-), jejas (-)
Palpasi : buli-buli kosong, nyeri tekan (-)
Perkusi : redup

- Genitalia eksterna :
Hiperemis (-), bengkak (-), nyeri (-), sekret (+) darah, OUE letak normal,
Skrotum : benjolan (-), tanda radang (-), tidak membesar

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (30/09/23)

Tanggal 01/05/2013
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,1 g/dl 11-16,5
Hematokrit 31.1 % 35-50
Leukosit 6,2 ribu/ul 4,0-10,0
Trombosit 311 ribu/ul 150-460
Eritrosit 3.53 juta/ul 4,00-6,00
Kimia klinik
Kreatinin darah 0,84 mg/dl 0,5-1,2
GDS 86 mg/dl 70-140
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135-145

4
Klorida 110 mmol/L 97-111
Kalium 4,2 mmol/L 5,5-5,1

5
Foto Thorax (01/05/2013)

Interpretasi:
- Identitas sesuai
- Thorax PA
- Bentuk dan ukuran jantung tidak membesar
- Trakea terletak di tengah
- Aorta dan mediastinum tidak melebar
- Kedua hilus dengan bercak kalsifikasi hiler bilateral.
- Corakan bronchovaskuler kedua paru kasar
- Tidak tampak infiltrate maupun nodul di kedua lapangan paru
- Diafrgama kanan dan kiri tampak licin
- Sudut kostofrenikus kanan tampak lancip dan kiri tampak lancip
- Jaringan lunak dinding dada serta tulang-tulang tampak baik
Kesan : Tidak terdapat kelainanradiologis pada jantung dan paru

RESUME

Pasien laki-laki usia 53 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil setelah terjatuh saat di tempat kerja tanggal 13 September 2023 (kurang
lebih 14 hari sebelum masuk rumah sakit). Menurut keterangan pasien terjatuh dengan
manuver bagian kemaluan terkena besi (straddle injury) saat sedang melakukan
perbaikan di kapal. Setelah kejadian pasien tidak dapat buang air kecil selama 1 hari,
lalu pasien datang ke Unit Gawat Darurat di negara Serbia dimana tempat pasien bekerja
dan dilakukan pemasangan sistostomi. Menurut keterangan pasien dan keluarga pasien
dokter di negara tersebut mendiagnosa cedera urethra. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit sebelumnya baik penyakit kronis ataupun penyakit akut.

1
Setelah dilakukan anamnesa pasien melakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan
tekanan darah pasien 132/70 mmHg, suhu 36,7 C, kecepatan denyut nadi 89 x lalu
saturasi darah oksigen normal. Pada bagian abdomen telah terpasang sistostomi yang
dilakukan di negara Serbia. Pasien melakukan pemeriksaan penunjang diantaranya cek
darah lengkap. Pasien direncanakan rawat inap dan tindakan PER (Primary Endoscopic
Re-Alignment).

DIAGNOSIS KERJA
Ruptur uretra posterior totalis post straddle injury

PENATALAKSANAAN
Terapi IGD :
 IVFD RL 20 tpm
Konsul dr, Heru, Sp. U :
 IVFD RL : D5% = 1 : 1
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi asam tranexamat 3 x 500 mg
 Injeksi ketorolac 3x 30 mg

PROGNOSIS
 Ad vitam : Bonam
 Ad functionam : Dubia ad bonam
 Ad sanactionam : Dubia ad bonam

LAPORAN OPERASI
Tanggal operasi : 30/09/23

Lama operasi : 11.30 12.00

Operator : dr.Heru, Sp.U

D/ pre operasi : post sistostomi e.c ruptur uretra posterior

D/ post operasi : ruptur total uretra posterior

Nama operasi : Primary Endoscopy Re-Alignment (PER)

2
INSTRUKSI POST OPERASI
 Awasi tanda vital, produksi sistostomi dan kateter.
 Pasien tidak puasa.
 Tirah baring 24 jam post operasi.
 Infus RL : D5 = 3 : 1
 Ceftriaxone 1x2 gr IV
 Ketorolac 3x1 IV
 Ondansentrom 3x8mg IV
 Asam tranexamat 2x500 IV
 Kateter dipertahankan 2-4 minggu

FOLLOW UP PASIEN
No Tanggal S O A P
1. 01/10/20 Nyeri pada Tampak sakit IVFD RL : D5%
Ruptur
bekas operasi
23 sedang, uretra 3:1/24 jam
posterior
GCS : E4,M6,V5 Inj. Ceftriaxone 2x1
totalis post
= 15 straddle Inj. Asam Tranexamat
injury
KU : TSS 3x500mg
Inj. Ondancentron 3x1
TD : 100/60 mmHg
Inj. Ketorolac 3x1
HR : 60 x/i

RR : 20 x/i

T: 36,8 C

SPO2: 99%

2. 01/10/20 Nyeri pada Tampak sakit IVFD RL : D5%


Ruptur
bekas operasi
23 sudah mulai sedang, uretra 3:1/24 jam
berkurang posterior
GCS : E4,M6,V5 Inj. Ceftriaxone 2x1
totalis post
= 15 straddle Inj. Asam Tranexamat
injury
KU : TSS 3x500mg
Inj. Ondancentron 3x1
TD : 130/80 mmHg
Inj. Ketorolac 3x1
HR : 66 x/i
Obat pulang :
RR : 20 x/i -Cefixime 2x200
-Dexketoprofen
T: 36,6 C
3x1

3
SPO2: 99% Edukasi :
-Minum obat rutin
-Jangan lupa
kontrol
-Pertahankan
kateter

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

4
Sistem saluran kemih seluruhnya terletak di bagian retroperitoneal, sehingga proses
patologi seperti obstruksi, radang, dan pertumbuhan tumor terjadi di luar rongga abdomen,
tetapi gejala dan tandanya dapat tampak di abdomen yang menembus peritoneum parietal
belakang. Gajala dan tanda jarang disertai tanda rangsangan pada peritoneum. Uretra adalah
saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesica urinaria untuk menyalurkan urin
dari vesica urinaria hingga meatus dan bermuara ke meatus urinarius externus.3
Uretra merupakan saluran fibromuskular yang berawal di leher vesika urinaria dan
menyalurkan urin ke bagian luar tubuh. Lapisan luminal uretra merupakan suatu membran
mukosa pelindung, dimana terdapat glandula uretral yang menghasilkan musin. Dinding
uretra terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan otot polos yang merupakan kelanjutan otot polos dari
vesica urinaria dan mengandung jaringan elastis serta otot polos, lapisan submukosa yang
merupakan lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf, serta lapisan mukosa.3
Secara anatomis, uretra pada pria terbagi dua menjadi pars anterior dan pars posterior,
yang saling berbatasan pada diafragma urogenital. Uretra proksimal dimulai dari perbatasan
dengan vesica urinaria, orificium uretra internum, dan uretra prostatica. Uretra postatica
seluruhnya terdapat di dalam prostat dan berlanjut menjadi uretra membranaceus. Struktur
yang menjaga tersebut adalah ligamentum puboprostatika yang melekatkan prostat membran
pada arkus anterior pubis. Uretra membranaceus terdapat pada ujung anterior diafragma
urogenital dan menjadi bagian proksimal uretra anterior setelah melewati membran perineum.
Uretra bulbosa, agak menonjol pada proksimal anterior, berjalan di sepanjang bagian
proksimal korpus spongiosum dan berlanjut menjadi uretra pendulosa di sepanjang uretra
anterior. Duktus dari glandula Cowper bermuara di uretra bulbosa. Uretra penil atau
pendulosa berjalan di sepanjang penis dimana berakhir pada fossa naviculare dan meatus
uretra eksternus.3
Pada pria, uretra pars prostatica mendapat suplai darah terutama dari arteri vesicalis
inferior dan arteri rectalis media. Uretra pars membranosa mendapat suplai darah dari cabang-
cabang arteri dorsalis penis dan arteri profunda penis. Aliran darah venous menuju pleksus
venosus prostaticus dan ke vena pudenda interna. Aliran limfe dari uretra pars prostatika dan
pars membranosa dibawa oleh pembuluh-pembuluh limfe yang berjalan mengikuti vasa
pudenda interna menuju ke lymphonodus iliaca interna (sebagian besar) dan ke lymphonodus
iliaca eksterna (sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa, sebagian besar
dibawa menuju lymphonodus inguinalis profunda dan sebagian besar dibawa menuju ke
lymphonodus iliaca interna. Uretra pars prostatica menerima persarafan dari pleksus nervosus
prostaticus. Uretra pars membranosa dipersarafi oleh nervus cavernosus penis, pars spongiosa

5
dipersarafi oleh pleksus nervosus vesicalis dan pleksus nervosus uretrovaginalis, dan pars
kaudalis dipersarafi oleh nervus pudendus.4

Gambar 1. Potongan sagital organ pelvis pada pria dan wanita5


Pada uretra terdapat sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan vesica
urinaria dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan antara uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh
sistem simpatis sehingga pada saat vesica urinaria penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra
eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah
sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi, sfingter ini terbuka dan tertutup saat
menahan kemih.4
Panjang uretra pada pria sekitar 8 inci (20 cm), sedangkan pada wanita sekitar 11/2
inci (4cm) dengan diameter 8 mm, yang berada di bawah simfisis pubis dan bermuara di
sebelah anterior vagina. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan
pengeluaran urin lebih sering terjadi pada pria. Di dalam uretra bermuara kelenjar pariuretra,
diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter
uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus
otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam vesica urinaria
pada saat muncul perasaan ingin berkemih. Miksi terjadi jika tekanan intravesica melebihi
tekanan intrauretra yang mengakibatkan terjadinya kontraksi otot detrusor, dan relaksasi
sfingter uretra eksterna.3

6
2.2 Definisi
Ruptur uretra merupakan terjadinya robekan karena trauma atau jejas baik langsung
maupun karena adanya fraktur tulang panggul yang mengakibatkan memar dinding dengan
atau tanpa robekan mukosa baik parsial ataupun total. Ruptur uretra dibagi berdasarkan
anatomi, yaitu ruptur uretra anterior dan ruptur uretra posterior dengan etiologi yang berbeda
diantara keduanya.6

2.3 Klasifikasi
Ruptur uretra dibagi berdasarkan anatomi, antara lain:6
a. Ruptur uretra posterior
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu bulbous
urethra, pendulous urethra, dan fossa navicularis. Namun yang paling sering terjadi adalah
ruptur uretra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh saddle injury, dimana robekan uretra
terjadi antara ramus inferior os pubis dan benda yang menyebabkannya. Menurut Collpinto
dan McCallum cedera uretra posterior dapat diklasifikasikan berdasarkan luas dari cederanya,
menjadi:2
- Tipe I : Cedera tarikan uretra
- Tipe II : Cedera pada proksimal diafragma genitourinaria
- Tipe III : Cedera uretra pada proksimal dan distal diafragma genitourinaria
b. Ruptur uretra anterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur tulang
pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan
uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea
terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga
vesica urinaria dan prostat terlepas ke kranial. Klasifikasi ruptur uretra anterior menurut
McAninch dan Armenakas berdasarkan gambaran radiologi adalah sebagai berikut:

a. Kontusio: secara klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi uretrografi retrograde normal
b. Incomplete disruption: pada uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi masih ada
kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra proksimal atau vesica urinaria.

7
c. Complete disruption: pada uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak ada kontras
mengisi uretra proksimal atau vesica urinaria. Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu.

2.4 Epidemiologi
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan
angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah
kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian
lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%), dan kecelakaan kerja
(6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal
ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ
terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera
hepar (6,1%-10,2%) dan cedera lien (5,2%-5,8%).7
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada pria yang menyebabkan cedera
uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita dengan
fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi beberapa insiden sekitar 4-6%. Angka kejadian
cedera uretra karena fraktur pelvis ditemukan pada umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12
tahun) angka kejadiannya sekitar 8%. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang
merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra. Trauma uretra lebih sering terjadi
pada pria dibanding wanita, perbedaan ini disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih
mobilitas dan mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku.7

2.5 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra seperti akibat pemasangan kateter, businasi, bedah
endoskopi, trauma tembus (luka tembak atau luka tusuk), maupun adanya benda asing.
Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars
membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang
kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan,
demikian pula tindakan operasi transuretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik.
Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial. Ketika uretra mengalami
trauma kemungkinan juga berkaitan dengan perkembangan penyakit obstruksi atau striktur
uretra. Striktur uretra ketika uretra mengalami trauma atau luka karena infeksi dalam jangka

8
panjang, mengakibatkan terganggunya saluran berkemih dan semen. 4 Terjadinya ruptur uretra
dapat disebabkan oleh cedera eksternal dan iatrogenik meliputi:1
a. Fraktur pelvis
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih stabil bila
dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertikal. Pada fraktur tipe III ini
seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan bersifat tidak stabil. Fraktur
pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis anterior disertai kerusakan pada tulang
posterior dan ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke depan
dibanding sisi lainnya (fraktur Malgaigne). Cedera uretra posterior terjadi akibat terkena
segmen fraktur atau paling sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus
dan ligamentum puboprostatika.
b. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema atau
bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin
dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada ekstravasasi ini, mudah timbul infiltrate
urin yang mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.

2.6 Patofisiologi
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra anterior. Trauma
tumpul adalah diagnosis yang sering dan cedera pada segmen uretra pars bulbosa paling
sering (85%), karena fiksasi uretra pars bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra
pars pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars bulbosa biasanya disebabkan
oleh straddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra pars bulbosa terjepit diantara
ramus inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau laserasi pada uretra. Tidak
seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, trauma tumpul uretra anterior jarang
berhubungan dengan trauma organ lainnya. Pasien biasanya datang dengan striktur uretra
setelah kejadian yang intervalnya bulan atau tahun. Trauma uretra posterior terjadi sebagai
akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas
dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars
membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat
yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan
uretra pars prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum.7
a. Ruptur uretra anterior

9
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika
terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin akan keluar dari uretra tetapi
masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinik terlihat hematom yang terbatas pada penis.
Tetapi jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Karena itu robekan
ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.2

Gambar 2. Butterfly hematoma


b. Ruptur uretra posterior
Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibatnya terjadi
robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama
fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat pada diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada ruptur total, uretra terpisah seluruhnya
dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga vesica urinaria dan prostat terlepas ke
kranial.2

2.7 Manifestasi klinis


Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram, yaitu
terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma.
Perdarahan peruretram ini harus dibedakan dengan hematuria, yaitu urin yang bercampur
dengan darah. Pada trauma uretra yang berat, pasien seringkali mengalami retensio urin bila
terdapat ruptur uretra total. Ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis, pada
daerah suprapubik, dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas hematom dan nyeri tekan. Bila
disertai ruptur pada vesica urinaria, dapat ditemukan tanda rangsangan peritoneum. Pada
ruptur uretra anterior pria terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. 7
Ruptur uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema atau
bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat menimbulkan gejala demam. Ekstravasasi
10
urin dengan atau tanpa adanya darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak.
Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan
selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi. 7 Pasien seringkali datang dengan keadaan syok
karena terdapat fraktur pelvis atau cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan.
Ruptur uretra posterior tidak jarang memberi gambaran khas berupa perdarahan peruretram,
retensi urin, dan floating prostat (prostat melayang) dalam hematom pada pemeriksaan colok
dubur.

Gambar 3. Pemeriksaan rectal toucher pada ruptur uretra posterior

2.8 Penegakkan diagnosis


Dalam menentukan diagnosis cedera uretra dapat dilakukan anamnesis atau
pemeriksaan trauma yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar,
riwayat miksi perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urin, nyeri
saat miksi dan adanya hematuria. Ruptur uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda
fraktur pelvis, seperti:7,8
- Perdarahan peruretram merupakan tanda utama dari ruptur uretra posterior, ditemukan
pada 37%-93% penderita dengan cedera uretra posterior. Dengan timbulnya darah, setiap
instrumentasi terhadap uretra ditunda sampai keseluruhan uretra sudah dilakukan
pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada 80% penderita
perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera uretra.

11
Gambar 4. Perdarahan peruretram ruptur uretra posterior
- Retensi urin
- Pada pameriksaan recctal toucher didapatkan floating prostat, yaitu prostat seperti
mengapung karena tidak terfiksasi pada diafragma urogenital
- Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan terdapat fraktur pelvis

Gambar 5. Pemeriksaan uretrografi

12
Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars pendulans, dan pars
bulbosa. Pada ruptur uretra anterior, didapatkan:7,8
- Perdarahan peruretram atau hematuria

Gambar 6. Perdarahan peruretram ruptur uretra antrior


- Kadang terjadi retensi urine
- Hematom kupu-kupu atau butterfly hematoma atau jejas perineum
Uretra anterior terbungkus dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika
terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih
terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis.
Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu
robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma
atau hematoma kupu-kupu.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan pada curiga trauma uretra antara lain: 7,8
a. Foto polos pelvis
Setiap pemeriksaan trauma uretra sebaiknya dibuat terlebih dahulu foto polos pelvis.
Yang harus diperhatikan pada foto ini adalah melihat adanya fraktur pelvis.

13
Gambar 8. Rontgen pelvis
b. Uretrografi retrograde
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera
uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma yang merupakan
jenis X-ray yang memungkinkan visualisasi vesica urinaria, ureter, dan pelvis ginjal. Indikasi
urografi retrograd adalah untuk melihat anatomi traktus urinarius bagian atas dan lesi-lesinya.
Pemeriksaan ini dilakukan jika pielografi intravena tidak berhasil menyajikan anatomi dan
lesi-lesi traktus urinarius bagian atas. Pemeriksaan ini harus dilakukan sebelum pemasangan
kateter uretra untuk menghindari trauma lebih lanjut pada uretra.
Teknik pemeriksaan urografi retrograd memerlukan prosedur sistoskopi. Kateter
dimasukan oleh seorang ahli urologi. Kerjasama antara ahli urologi dan radiologi diperlukan,
karena waktu memasukan kontras, posisi pasien dapat dipantau dengan fluoroskopi atau
televisi. Udara dalam kateter dikeluarkan, kemudian 25% bahan kontras yang mengandung
yodium disuntikan, dengan dosis 5-10 ml, dan hal ini di bawah pengawasan fluoroskopi.
Harus dicegah pengisian yang berlebihan karena risiko ekstravasasi ke dalam sinus renalis
atau intravasasi ke dalam kumpulan saluran-saluran. Ekstravasasi kontras menunjukkan lokasi
kerusakan dan dapat menutupi bagian halus dekat papilla. Pemeriksaan ekstravasasi dapat
diketahui dengan adanya titik-titik dan lokasi dari gambaran air mata (urethral tear) pada
uretra. Pengelolaan selanjutnya didasarkan pada temuan uretrografi dan kombinasi dengan
kondisi umum pasien.

14
Gambar 9. Uretrogram retrograde pada pria, obliq view
Keterangan:
1. Balloon of catheter in navicular fossa
2. Penile urethra
3. Bulbous urethra
4. Membranous urethra
5. Impression of verumontanum in prostatic urethra
6. Filling of utricle (not usually seen)
7. Air bubbles in contrast
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan urografi retrograde (Goldman
classification):
1. Tipe I
- Ruptur ligamentum puboprostatika
- Prostat bergeser ke superior
- Uretra tetap intak
- Tidak ada ekstravasasi zat kontras

Gambar 10. Tipe I trauma uretra dengan peregangan lumen uretra posterior dan tidak ada
ekstravasasi kontras
15
2. Tipe II
- Trauma uretra posterior dan diafragma urogenital
- Terlihat ekstravasasi kontras dalam pelvis extra peritoneal
- Zat kontras tidak ada dalam perineum

Gambar 11. Robekan uretra tipe II, tampak ekstravasasi kontras di superior dengan diafragma
urogenital yang masih intak
3. Tipe III
- Kerusakan meluas sampai ke proksimal uretra pars bulbosa
- Terlihat ekstravasasi kontras pada rongga pelvis ekstraperitoneal dan perineum

Gambar 12. Trauma uretra Tipe III, ekstravasasi zat kontras di kedua ruang pelvis
ekstraperitoneal dan di dalam perineum (di atas dan di bawah diafragma urogenital)
4. Tipe IV
- Terjadi dekat buli-buli, meluas ke uretra proksimal
- Ekstravasasi kontras pada pelvis ekstraperitoneal dan sekitar proksimal uretra
- Dapat merusak sfingter uretra interna

16
Gambar 13. Trauma uretra Tipe III pada diafragma urogenital (tanda panah) dan robekan
uretra tipe IV di leher buli-buli (garis putus-putus)
5. Tipe V:
- Terjadi di uretra anterior
- Terlihat ekstravasasi kontras bagian inferior diafragma urogenital

Gambar 14. Straddle injury; trauma uretra tipe V dengan ekstravasasi zat kontras dari distal
bulbous uretra
c. USG
USG jarang digunakan untuk mendiagnosis trauma uretra karena tidak sesuai dengan
kondisi yang akut dan posisi organ retroperitoneal. Namun, USG dapat digunakan untuk
menentukan ukuran hematom yang terjadi akibat trauma uretra dan bila memiliki keterbatasan
dalam pelvis dan vesica urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.
d. CT Scan
Penggunaan CT Scan sebagai modalitas skrining awal untuk trauma akut pada
umumnya. Beberapa literatur menyebutkan aplikasi CT Scan dalam mendiagnosis trauma
uretra. Pemeriksaan CT Scan dapat digunakan untuk melihat trauma uretra dengan
ekstravasasi kontras. Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan CT
Scan. Pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian
atas dan cedera vesica urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra.

17
Gambar 15. CT Scan memperlihatkan ekstravasasi kontras di dasar pelvis
e. MRI
Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan
rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra.

2.9 Diagnosis banding


- Ruptur vesica urinaria bila pada uretrogram tidak didapatkan ekstravasasi kontras
sepanjang uretra, cairan kontras ke dalam buli-buli dan terdapat ekstravasasi kontras di
luar buli.7

2.10 Tatalaksana

Gambar 16. Algoritma penanganan ruptur uretra

18
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur uretra posterior yang
dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan syok karena perdarahan yang banyak, maka
penanganan awal adalah dengan resusitasi cairan untuk kondisi hemodinamik stabil. Pada
ruptur uretra anterior jarang mengakibatkan syok. Selain resusitasi atasi nyeri yang
dikeluhkan pasien dengan pemberian analgetik. Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai
cedera organ intraabdomen maka cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3
hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter
silicon selama 3 minggu. Apabila disertai dengan cedera organ lain, dan tidak memungkinkan
dilakukan reparasi dalam waktu 2-3 hari, maka dilakukan pemasangan kateter secara langsir
(rail roading).8

Gambar 17. Teknik kateterisasi rail roading


Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur uretra posterior akibat fraktur
pelvis, pilihan penanganan yang dapat dilakukan, yaitu:8,9

19
a. Realignment primer
Awalnya teknik ini dilakukan repair secara open dengan mengeluarkan hematom,
jaringan dan melakukan jahitan secara langsung. Teknik ini tidak dilakukan lagi karena
dilaporkan menimbulkan banyak kehilangan darah selama operasi, meningkatkan impotensi,
striktur, dan inkontinensia. Kemudian teknik ini berubah yaitu melakukan stenting dengan
kateter secara indirect maupun endoskopik tanpa melakukan jahitan atau diseksi pelvis.
Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat dilakukan open
sistostomi dan melihat vesica urinaria untuk adanya kemungkinan ruptur, bila cedera penyerta
lainnya tidak masif dapat dilakukan realignment.
Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalam vesica urinaria.
Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan. Bila
hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel. Ada pula yang menggunakan teknik
dengan memasang tube sonde no. 8 secara antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian
diikatkan dengan kateter utnuk kembali dimasukkan ke vesica urinaria. Pemasangan kateter
secara retrograde dapat pula dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck. Pada
penderita politrauma dengan fraktur pelvis yang berat paling mungkin dilakukan teknik
dengan memasukkan sistoskopi fleksibel melalui jalur suprapubik, sistoskopi rigid melalui
uretra, dan kawat pemandu diantara keduanya sehingga kateter dapat lewat melalui kawat
pemandu. Pasien ditempatkan dalam posisi litotomi yang sedikit rendah dengan tetap
memperhatikan adanya segmen fraktur pelvis.
Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal, kemungkinan untuk
timbulnya komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya memasang
sistostomi. Keuntungan lainnya yaitu uretra yang avulse dan prostat yang awalnya berjauhan
kembali didekatkan sehingga dapat memudahkan saat dilakukan uretroplasti. Beberapa
penulis menilai dengan pemasangan kateter dini dapat memperpendek panjang striktur.
Realignment ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera).
Kateter uretra dipertahankan selama 6 minggu dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
uretrosistografi. Bila tidak didapatkan ekstravasasi maka kateter dapat dikeluarkan dengan
tetap mempertahankan kateter suprapubik. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca
ruptur dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.

20
b. Uretroplasti primer
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca
trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga
tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik. Hal ini menjadi indikasi untuk
dilakukaknnya prosedur rekonstruksi. Repair primer dengan anastomosis end-to-end hanya
dapat dilakukan pada penderita non trauma atau tidak disertai dengan fraktur pelvis, pasien
dalam keadaan optimal, dan terbukti mengalami ruptur uretra posterior. Standar baku dalam
penanganan rekonstruksi uretra posterior adalah kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan
dilanjutkan dengan anastomosis end-to-end bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar
pada tempat disrupsi uretra sudah stabil dan matang, selain itu cedera penyerta lainnya telah
stabil dan pasien sudah rawat jalan.
Sebelum rekonstruksi dilakukan, dilakukan pencitraan uretrosistografi retrograde
untuk mengetahui karakteristik defek uretra. Saat dilakukan pencitraan ini pasien diminta
untuk berusaha berkemih sehingga bladder neck terbuka dan defek ruptur dapat dievaluasi
lebih akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan MRI. Teknik yang digunakan yaitu
transperineal, dimana pasien ditempatkan pada posisi litotomi dan insisi midline atau flap
inverted. Uretra bulbosa dibebabaskan dan disisihkan menjauhi defek urethra ke mid-skrotum.
Jaringan skar defek ruptur uretra dieksisi dan uretra prostatica diidentifikasi pada apeks
prostat. Untuk membuat anastomosis yang non tension atau karena ujung-ujung defek
berjauhan, dapat dilakukan beberapa maneuver seperti pemisahan krus, pubektomi inferior,
dan re-routing uretra untuk mendekatkan gap.

Gambar 18. Tatalaksana trauma uretra anterior

21
Kontusio uretra atau ruptur uretra anterior tidak memerlukan terapi khusus, tetapi
mengingat cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka
setelah 4-6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial
dengan ekstravasasi ringan hanya melakukan sistostomi dan setelah 2 minggu dilakukan
uretrogram serta dicoba untuk berkemih. Pemasangan kateter folley di uretra selama 7-10 hari
sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi dicabut apabila ketika kateter
sistostomi di klem, pasien bisa buang air kecil. Jika tidak didapatkan striktura, kateter
sistostomi dilepas. Tetapi jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau uretrotomi
interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura ini biasanya tidak
memerlukan tindakan uretroplasti ulangan. Sebagian lain melakukan reparasi primer jika
pasien datang dalam waktu kurang dari 6-8 jam yaitu dalam masa golden periode. Jika tedapat
ruptur uretra anterior dengan ekstravasasi urin dan hematom yang luas perlu dilakukan insisi
hematom dan pemasangan kateter sistostomi. Pada ruptur uretra anterior total, langsung
dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis end-to-end melalui sayatan perineal dan
dipasang kateter silicon selama 3 minggu.7,9

2.11 Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra pada ruptur uretra anterior adalah infeksi,
hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Infeksi dan abses biasa
terjadi dan memerlukan terapi antibiotik. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah
striktur uretra. Komplikasi yang dapat terjadi pada ruptur uretra posterior, seperti striktur,
impotensi, dan inkotinensia urin yang merupakan komplikasi ruptur prostatomembranosa
paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria.10
a. Striktur uretra
Setelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 12-15% penderita terbentuk
striktur. Biasanya 96% kasus berhasil ditangani dengan dilakukan penangan secara endoskopi.
Striktur yang mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika
dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan “delayed repair” maka insidens striktur
dapat berkurang sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-
80% (rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat diturunkan hingga 30-35% dengan drainase
suprapubik pada rekontruksi uretra tertunda.10

22
b. Impotensi
Ditemukan 13-30% dari penderita dengan fraktur pelvis dan pada cedera uretra yang
dirawat dengan pemasangan kateter. Cedera pada saraf parasimpatis penil merupakan
penyebab terjadinya impotensi setelah fraktur pelvis.10
c. Inkontinesia urin
Insiden terjadinya inkontinensia urin rendah sekitar 2-4%, dan disebabkan oleh
kerusakan pada bladder neck. Biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat
dan cedera nervus S2-S4. Oleh karena itu, inkontinensia meningkat pada penderita yang
dilakukan open bladder neck sebelum dilakukan operasi.10

2.12 Prognosis
Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan tepat
akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik ketika diketahui
tidak menimbulkan striktur uretra, karena apabila terjadi infeksi dapat membaik dengan terapi
yang tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika disertai dengan komplikasi yang
berat maka prognosis akan lebih buruk. Striktur uretra merupakan komplikasi utama tetapi
pada banyak kasus tidak memerlukan rekonstruksi bedah. Jika striktur ditetapkan, laju aliran
urin kurang baik dan terjadi infeksi urinaria serta terdapat fistel uretra, rekonstruksi
dibutuhkan segera untuk dapat memperbaiki fungsi.7,10

23
BAB III
KESIMPULAN

Ruptur uretra merupakan suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi oleh
karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalu lintas atau karena jatuh dari ketinggian. Secara
klinis dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori besar berdasarkan lokasi anatomi trauma
menjadi ruptur uretra anterior dan ruptur uretra posterior. Hal ini karena keduanya
menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, manifestasi klinis, tatalaksana, serta
prognosisnya. Trauma uretra posterior terletak di uretra pars membranosa dan uretra pars
prostatika. Trauma ini paling sering berhubungan dengan trauma tumpul besar seperti
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh, dan sebagian besar disertai dengan patah tulang
panggul. Trauma uretra anterior terletak di distal uretra pars membranosa yang disebabkan
oleh trauma tumpul ke perineum (straddle injury), dan beberapa tahun kemudian dapat
muncul sebagai striktur uretra.
Dalam menentukan diagnosis cedera uretra dapat dilakukan anamnesis atau
pemeriksaan trauma yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar,
riwayat miksi perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urin, nyeri
saat miksi dan adanya hematuria. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada curiga trauma
uretra antara lain foto polos pelvis, uretrografi retrograde, CT Scan, MRI, dan USG.
Penanganan ruptur uretra posterior adalah dengan resusitasi cairan untuk kondisi
hemodinamik stabil karena dapat mengakibatkan pasien syok akibat perdarahan yang banyak.
Pada ruptur uretra anterior jarang mengakibatkan syok. Selain resusitasi dapat dilakukan
pemberian analgetik dan antibiotik. Pemilihan tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan
indikasi yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan fisik maupun uretrografi. Bila dilakukan
penanganan awal yang baik dan tepat, maka dapat memberikan prognosis yang baik.
Prognosis yang lebih baik pada ruptur uretra anterior terutama bila belum terjadi striktur
uretra.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Palinrungi AM. Lecture notes on urological emergencies & trauma. Makassar: Division of
Urology, Departement of Surgery, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, 2009;
131-6.
2. Brandes S. Initial management of anterior and posterior urethral injuries. In: McAninch
JW, Resinck MI. Urologic clinics of north america. Philadelpia: Elseivers Sanders, 2006;
87-95.
3. Grace P, Borley N. At a glance medicine: ilmu bedah, edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2012; 34-46.
4. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi, edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2012; 188-9.
5. Anonymous. Anatomi dan fisiologi traktus urinarius. Available at
http://diglib.unimus.ac.id/files/disk1/114/jtptunimus-gdl-langgengse-5657-2-babii.pdf
accessed on July, 6th 2018.
6. Sjamsuhidajat R, De Jong WM. Buku ajar ilmu bedah, edisi 2. Jakarta: EGC, 2005; 770-5.
7. Pereira B, Ogilive MP, Gomez-Rodriguez JC, Ryan ML, Pena D, Marttos C, et al. A
review of ureteral injuries after external trauma. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine 2010;18(6):1-11.
8. Rosentein DI, Alsikafi NF. Diagnosis and classification of urethral injuries. In: McAninch
JW, Resinck MI. Urologic clinics of north america. Philadelpia: Elseviers Sanders,
2018;45(2):74-83.
9. Schreiter F. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In: Schreiter F.
Urethral reconstructive surgery. Germany: Springer Medizin Verlag Heidelberg, 2006;
107-20.
10. Tanagho EA. Injuries to the genitourinary tract. In: McAninch JW, Resinck MI. Smith’s
general urology, 17th edition. United States of America: McGraw Hill, 2008; 278-93.

25

Anda mungkin juga menyukai