Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KULIT DAN KELAMIN

HERPES ZOSTER

Disusun oleh:
Natalia FDAS (01073180026)

Pembimbing:

dr. Hannah Kiati Damar, SpKK

KEPANITRAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE
PERIODE APRIL-MEI 2019
TANGERANG
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ibu A
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Sudah Menikah
Alamat : Curug
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. MR : RSUS-00-85-60-65

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 25 April 2019
pukul 17.00 WIB di bangsal Rumah Sakit Umum Siloam Karawaci.

Keluhan Utama
Timbul lepuh disertai bercak kemerahan yang terasa nyeri di dada dan
punggung kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Siloam Karawaci dengan keluhan
utama berupa timbulnya lepuh disertai bercak kemerahan yang terasa nyeri
di bagian dada dan punggung kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Lepuh timbul berkelompok awalnya berisi cairan jernih namun sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit tampak menjadi keruh. Pasien menjelaskan
bahwa lepuh mulai pecah dan mengering 1 hari setelahnya.
Keluhan nyeri pada daerah yang timbul lepuh dan bercak kemerahan
berkarakteristik perih dan panas, tanpa adanya penjalaran. Skala nyeri pada
awalnya mencapai 7/10 namun sejak 2 hari yang lalu sudah berkurang
menjadi sekitar 4/10. Pasien menjelaskan bahwa pada bagian yang nyeri
semakin nyeri dan perih jika diraba. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur
karena lepuh yang ada di punggung terasa sangat nyeri dan perih. Pasien
menyangkal adanya keluhan gatal dan kesemutan.

Keluhan tambahan pasien berupa nyeri kepala, pegal pada otot dan sendi.
Pasien juga mengeluhkan lemas, mual dan muntah yang disertai kembung.
Keluhan mual, muntah dan pasien dirasakan sejak kurang lebih 2 bulan yang
lalu. Pasien menjelaskan bahwa frekuensi BAB pasien menurun menjadi
sekitar 2 kali dalam seminggu, dan konsistensinya keras, namun pasien
masih dapat buang gas. Pasien menyangkal adanya darah maupun lendir
pada BAB. Pasien juga mengeluhkan kembung. Pasien menejelaskan bahwa
keluhan mual, muntah dan kembung pasien menyebabkan napsu makannya
menurun. Pasien mengaku ada penurunan berat badan sekitar 2 kg sejak 2
bulan terakhir. Pasien menyangkal adanya keluhan demam dan sesak napas.
Pasien juga menyangkal adanya gangguan pengelihatan, pendengaran,
pergerakkan otot wajah, dan pusing berputar. Pasien menjelaskan bahwa
dirinya belum mencoba untuk meminum obat untuk menangani gejala yang
dirasakan

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.


Pasien mengaku pernah terkena penyakit cacar air pada saat usia SD. Pasien
menjelaskan bahwa dirinya memiliki riwayat batu empedu yang telah
dioperasi 2 bulan lalu. Pasien juga memiliki riwayat penyakit TVD
(trombosis vena dalam) pada kaki kanan. Riwayat alergi, riwayat penyakit
jantung, asma, diabetes melitus, hipertensi, dan keganasan disangkal oleh
pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
lainnya seperti riwayat alergi, riwayat penyakit jantung asma, diabetes
melitus, hipertensi, dan keganasan pada keluarga pasien juga disangkal.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di rumah bersama
suaminya. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan meminum
alkohol. Pasien menjelaskan bahwa suami pasien tidak memiliki kebiasan
merokok. Pasien juga menyangkal bahwa ada orang yang memiliki keluhan
serupa pada lingkungan tempat tinggal pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak memiliki riwayat konsumsi obat yang rutin.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)

Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 118 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36.50C
Status Generalis
Kepala : Normocephal, bekas luka atau bekas operasi (-),
benjolan (-), rambut hitam dan tersebar secara
merata.

Mata : Konjungtiva anemis (+), sklera tidak ikterik, pupil


bulat isokor, diameter 3mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+).

Hidung : Simetris, septum nasal normal, berada di tengah,


deviasi (-), bekas luka atau operasi (-), benjolan (-),
sekret (-), perdarahan (-).

Telinga : Simetris, nyeri (-), bekas luka atau bekas operasi (-


), benjolan (-), serumen (-), perdarahan (-).

Gigi dan Mulut : Mukosa mulut lembab, gigi utuh, lidah normal,
palatum normal, pembesaran tonsil (-).

Thoraks :

• Inspeksi : lihat status dermatologis


• Paru-paru :Tidak dilakukan pemeriksaan
• Jantung :Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen :

• Inspeksi : bentuk datar, bekas luka


operasi (+)
• Auskultasi : BU (¯) 4x/menit, metallic
sound (-)
• Perkusi : Timpani di seluruh lapang
abdomen, pekak hati normal.
• Palpasi : NT (-) massa (-), defans
muscular (-), splenomegali (-), hepatomegali
(-)
Ekstremitas Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pallor (+), edema (-),
onikolisis (-)
Ekstremitas Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, pallor (+), edema (-),
onikolisis (-)

Status Dermatologis
Ad regio torakalis posterior sisi sinistra setinggi T5-T6 tampak lesi
eritematosa berkelompok ukuran miliar hingga lentikular dengan erosi dan
krusta.

Gambar 1. Ad Regio torakalis posterior sinistra


Ad regio torakalis anterior sisi sinistra setinggi T5-T6 tampak vesikel
berkelompok dengan dasar eritematosa ukuran miliar hingga lentikular.

Gambar 1. Ad Regio torakalis anterior sinistra

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Percobaan Tzanck : Tidak dilakukan
Pemeriksaan Laboratorium:

Test Result Unit Reference Range

Hematology

Haemoglobin 9.70 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 27.20 % 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 3.64 10^6/uL 3.80 – 5.20

White Blood Cell 11.28 10^3/uL 3.60 – 11.00


(WBC)

Platelet Count 304.00 10^3/uL 150.00 – 440.00

ESR 19 Mm/hours 0 - 20

MCV, MCH, MCHC


MCV 74.70 fL 80.0 – 100.00

MCH 25.60 Pg 26.00 – 34.00

MCHC 30.70 g/dL 32.00 – 36.00

Biochemistry

SGOT (AST) 16 U/L 0-40

SGPT (ALT) 11 U/L 0-41

Ureum 12.0 Mg/dL <50.00

Creatinine 0.39 Mg/dL 0.5 – 1.3

eGFR 114.2 mL/mnt/1.73 ≥ 60 Normal kidney


m^2 Function

Blood Random 121.0 Mg/dL <200.0


Glucose

Electrolyte (Na,K,Cl)

Sodium (Na) 124 Mmol/L 137-145

Potasium (K) 3.4 Mmol/L 3.6 – 5.0

Chloride (Cl) 88 Mmol/L 98 - 107

1.5 RESUME
Pasien datang ke RSUS dengan keluhan utama berupa timbulnya lepuh
disertai bercak kemerahan yang terasa nyeri di bagian dada dan pungung sisi kiri
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Lepuh timbul secara berkelompok,
awalnya berisi cairan jernih namun sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit tampak
menjadi keruh. Lepuh mulai pecah sehari setelahnya. Keluhan nyeri pada lesi
berkarakteristik perih tanpa adanya penjalaran, dan memburuk jika diraba. Skala
nyeri aawlnya mencapai 7/10 namun sejak 2 hari yang lalu berkurang menjadi 4/10.
Keluhan tambahan pasien berupa nyeri kepala dan pegal pada otot, lemas, mual,
muntah, kembung dan sulit tidur. Pasien memiliki riwayat pernah terkena cacar air.
Pada pemeriksaan fisik generalis ditemukan konjungtiva anemis, dan pallor pada
ekstremitas. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik kulit ditemukan di regio torakalis anterior sisi sinistra
setinggi T5-T6 tampak vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa ukuran
miliar hingga lentikular, dan regio torakalis posterior sisi sinistra setinggi T5-T6
tampak lesi eritematosa berkelompok ukuran miliar hingga lentikular dengan erosi
dan krusta. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin, hematocrit, sel
darah merah, MCV, MCH, MCHC yang di bawah batas normal.

1.6 DIAGNOSIS
A. Diagnosis Kerja : Herpes Zoster, anemia mikrositik hipokrom,
susp. ileus obstruktif
B. Diagnosis Banding : Varisela, dermatitis venenata, herpes simpleks,
DKA, impetigo, pemphigus bulosa, pemphigus vulgaris

1.7 TATALAKSANA
A. Non-Medikamentosa :

• Menjaga kebersihan tangan


• Istirahat dan nutrisi cukup
B. Medikamentosa :

• Omeprazole IV 50 40mg BD
• Tramadol PO 50 mg TDS
• Vitamin B Kompleks PO BD
• Gentamycin Cream 0.1%

1.9 PROGNOSIS
A. Quo Ad Vitam : bonam
B. Quo Ad Functionam : bonam
C. Quo Ad Sanactionam : bonam
D. Quo Ad Cosmeticam : bonam
BAB II
PEMBAHASAN KASUS

PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles merepresentasikan reaktivasi dari infeksi


varisela (chicken pox) yang laten. Seseorang dengan riwayat varisela memiliki 20%
hingga 30% untuk mengembangkan penyakit herpes zoster.1 Penyakit ini
bermanifestasi sebagai erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa
disertai nyeri radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. 2
Insiden dari penyakit herpes zoster ditentukan oleh status imunitas dari
host.3 Faktor risiko utama yaitu mencapai 90% dari penyakit herpes zoster adalah
usia lanjut. Usia lanjut berhubungan dengan turunya imunitas (age-related
immunosenescence). Faktor lain yang berhubungan dengan turunnya imunitas
tubuh adalah karena penyakit yang mendahului seperti diabetes, luka bakar berat,
keadaan malnutrisi, dan infeksi HIV, leukemia atau karena pengobatan-pengobatan
yang menyebabkan imunosupresi seperti pemakaian kortikosteroid jangka panjang,
4,5
kemoterapi, dan radiasi. Populasi yang biasanya mengkonsumsi obat yang
bersifat imunosupresif jangka panjang adalah orang dengan riwayat transplantasi
organ atau orang yang dalam pengobatan disease-modifying antirheumatic drugs
6,7
(DMARDS) untuk penyakit autoimun seperti Rheumatoid Arthritis. Faktor-
faktor lain yang dapat mengganggu sistem imunitas tubuh antara lain adalah, stress
psikologis yang kronis, keganasan, dan malnutrisi. 8
Etiologi dari penyakit Herpes zoster adalah Varicella-zoster (VZV) yang
merupakan bagian dari famili Herpesviridae yang memiliki DNA untai ganda.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penyakit ini didapatkan akibat kontak
dengan orang yang sedang terkena penyakit varisela atau herpes zoster. 1,3
PATOFISIOLOGI

Infeksi primer oleh virus Varicella-zoster (VZV) menyebabkan penyakit


varisela (chicken pox). Transmisi dari penyakit varisela adalah melalui respiratorik,
kemudian VZV ber-inokulasi pada jaringan limfoid di nasofaring, dan kemudian
pada jaringan limfoid regional. Kemudian saat virus berada dalam darah terjadi
viremia dan gejala dari penyakit varisela mulai muncul. Saat penyembuhan dan
terjadi pemulihan gejala penyakit varisela, VZV tetap dorman pada ganglion
dorsalis. Apabila terjadi reaktivasi dari VZV yang dorman, maka akan terjadi
rekurensi dari infeksi. Infeksi rekuren atau herpes zoster (shingles) atau reaktivasi
dari VZV disebabkan oleh keadaan imunokompromais sehingga virus yang dorman
di ganglion dorsalis bereplikasi dan menjalar ke kulit melewati saraf sensori
perifer.9,10

Pasien memiliki riwayat penyakit cacar air pada saat usia SD. Pasien
berusia lanjut yaitu 60 tahun sehingga terjadi penurunan sistem imunitas tubuh
(immunosennesence). Didapatkan pula dari anamnesis bahwa pasien memiliki
napsu makan yang menurun akibat gejala mual, muntah, dan kembung yang diduga
merupakan suatu ileus obstruksi, dapat menyebabkan turunnya sistem imun
tubuh.11 Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan bahwa pasien mengalami
anemia mikrositik hipokrom yang diduga akibat defisiensi besi karena kurangnya
asupan makanan dan menurut prevalensi, penyebab tersering dari anemia
mikrpsitik hipokrom terutama pada pasien geriatri adalah anemia defisiensi besi.
Menurut suatu penelitian, anemia defisiensi besi berpengaruh terhadap penurunan
sistem imun karena anemia defisiensi diasosiasikan dengan gangguan imunitas
12
innate dan cell-mediated. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur juga dapat
berkontribusi dalam penurunan sistem imunitas tubuh. 13

GEJALA KLINIS
Gejala prodromal yang mengawali biasanya berupa sensasi abnormal
atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, paresthesia sepanjang dermatome, gatal,
rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi,
pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau empedu,
dan apendisitis. Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, demam, dan malaise juga
dapat dijumpai. Gejala prodromal dapat berlangsung selama 1 hingga 10 hari,
namun pada umumnya timbul selama 2 hari.2

Erupsi yang muncul berupa vesikel berkelompok yang mengikuti pola


dermatom dari saraf yang terkena. Pada awalnya, lesi berupa makulopapular
eritematosa yang berkembang menjadi lesi vesikular dalam 3-5 hari pertama.
Vesikel awalnya berisi cairan jernih, dan akan menjadi keruh dan akhirnya pecah
menjadi krusta dalam 7-10 hari. Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4 hari.
Sebagian besar kasus herpes zoster, berupa erupsi kulit yang sembuh secara
spontan tanpa gejala sisa. 2

Dermatom yang terkena pada umumnya 1-3 dan bersifat unilateral.


Meskipun herpes zoster dapat mengenai bagian tubuh manapun, yang tersering
adalah antara T3 -L2, yaitu mencakup bagian torso, pinggul, pinggang, pangkal
paha, dan bagian ventral dari tungkai atas. 1,8.
Pasien mengeluhkan nyeri yang dideskripsikan sebagai seperti terbakar,
dan berdenyut, atau menusuk pada lesi atau dermatom yang terkena. Alodinia
juga dapat timbul pada pasien. Gejala sensoris lainya seperti parestesia dan
gatal dapat muncul. Defisit motorik juga dapat timbul namun cenderung lebih
jarang terjadi. 2,8
Subtipe dan varian lain dari herpes zoster adalah herpes zoster oftalmikus
dan herpes zoster otikus. Pada herpes zoster oftalmikus terjadi reaktivasi VZV pada
divisi oftalmik dari saraf trigeminal. Divisi Oftalmik dari saraf trigeminal terbagi
atas saraf frontal, lakrimal, dan nasosiliari. Selain dari manifestasi kutaneus di
daerah mata dan terjadi keratitis herpes zoster. Keterlibatan dari saraf nasosiliar,
menyebabkan penurunan sensitivitas kornea dengan nyeri hebat pada bagian yang
diinervasi yaitu dahi, jembatan, dan ujung hidung, infeksi intraokular seperti
uveitis, iritis, konjungtivitis, keratitis, dan optik neuritis yang berat, dan lesi herpes
pada ujung hidung merupakan Hutchinson’s sign (+)
Pada herpes zoster otikus reaktivasi VZV terjadi pada geniculate ganglion,
dan mengenai saraf kranial 7 atau fasialis dan 8 atau vestibulokoklear. Selain
manifestasi kutan yaitu lesi herpes pada pinna dan liang telinga, gejala yang timbul
pada keterlibatan saraf kranial 7 adalah parese wajah, sedangkan keterlibatan saraf
kranial 8 (disebut juga sindroma Ramsay Hunt), adlah vertigo dan tuli
sensorineural. 2,8
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami gejala prodromal
seperti nyeri kepala, pegal pada otot dan sendi. Lesi yang diamati pada pasien saat
hari ketujuh sejak lesi pertama kali timbul merupakan vesikel berkelompok dengan
dasar eritematosa ukuran miliar hingga lentikular pada regio torakalis anterior T5-
T6, sedangkan pada regio torakalis posterior T5-T6, nampak lesi eritematosa
disertei erosi dan krusta, sesuai dengan eflorosensi pada penyakit herpes zoster.
Karena lesi telah timbul selama 7 hari cairan dalam vesikel telah berubah dari jernih
menjadi keruh atau terjadi pustulasi dan mulai ruptur terutama pada bagian
posterior. Lesi yang timbul terbatas pada dermatom terbatas pada torakalis T5-T6.
Pada anamnesis pasien juga menyangkal adanya gangguan pengelihatan,
pendengaran, pergerakkan otot wajah, dan adanya keluhan pusing berputar yang
menunjukkan tidak adanya keterlibatan saraf kranial 7, 8, dan saraf trigeminal.
Gambaran klinis pasien sesuai dengan penyakit herpes zoster.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis


adalah adalah Tzank smear. Sediaan yang digunakan adalah kerokan dari dasar
vesikel yang baru, kemudian diberikan pewarnaan Giemsa, methylene blue atau
pewarnaan Wright, dan kemudian diamati dengan mikrosokop untuk melihat sel-
1,2
sel raksasa berinti banyak. Namun hasil dari pemeriksaan ini tidak dapat
dibedakan dengan infeksi herpes simpleks. Terdapat pemeriksaan penunjang yang
lebih spesifik dan sensitif untuk herpes zoster yaitu kultur virus dan polymerase
chain reaction (PCR). 2,8

Pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pasien juga diperiksa pada


saat vesikel sudah mulai ruptur dan mengering sehingga Tzanck smear tidak
memungkinkan untuk dilakukan.

DIAGNOSIS

Diagnosis pada umumnya dibuat secara klinis berdasarkan vesikel terasa


nyeri yang timbul berkelompok dan dermatomal. Untuk kasus-kasus yang tidak
jelas, pemeriksaan penunjang Tzanck smear dapat dilakukan dan ditemukan sel-
sel raksasa berinti banyak. 2,8

Pasien didiagnosis secara klinis karena gejala yang timbul memiliki


gambaran klinis yang sesuai dengan penyakit herpes zoster yaitu vesikel
berkelompok timbul dermatomal dan terasa nyeri.1,2,8
DIAGNOSIS BANDING

Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis


venenata, atau herpes zoster sedangkan herpes zoster yang diseminata dapat
memiliki gambaran klinis yang mirip dengan varisela. Diagnosis banding
lainnya adalah impetigo, dermatitis kontak alergi (DKA) akut, pemfigus bulosa,
dan pemfigus vulgaris.

Varisela merupakan infeksi primer dari VZV yang memiliki erupsi kulit
berupa papul yang kemudian berubah menjadi vesikel dengan dasar eritematosa
membentuk gambarin mirip tetesan embun (tear drops). Terdapat gambaran
polimorfi karena terdapat lesi baru yang muncul secara tidak bersamaan.
Penyebaran terutama di daerah badan kemudian menyebar secara sentrifugal ke
wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
saluran napas bagian atas. 2

Dari anamnesis, pasien telah memikiki riwayat terkena infeksi primer


VZV yaitu varisela pada saat dirinya berusia SD, dan lesi yang timbul pada
pasien tidak menyebar ke seluruh badan, namun distribusinya terbatas secara
dermatomal.

Dermatitis Venenata adalah DKI (Dermatitis Kontak Iritan) akut yang


disebabkan oleh iritan, salah satunya karena racun pederin yang berada di dalam
hemolimfe (darah kumbang) yang kemudian menyebabkan keluhan gatal, rasa
panas terbakar, dan kemerahan pada kulit dan timbul dalam 12-48 jam setelah
kuli terpapar pederin yang disekresikan oleh Genus Paederus. Kumbang ini
tidak menggigit atau menyengat, nmaun tepukan kumbang diatas kulit akan
memicu pengeluaran bahan aktif dalam tubuh kumbang. Paparan secara
langsung maupun tidak langsung (peyebaran toksin melalui tangan atau melalui
handuk, baju, dan alat lain yang tercemar oleh racun seranga tersebut). 2
Lesi yang timbul pada pasien secara dermatomal dan unilateral sehingga
lebih kecil kemungkinannya jika disebabkan oleh kontak, Pasien juga memiliki
gejala-gejala prodromal yang tidak ditemukan pada dermatitis venenata.

Herpes simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus


herpes simpleks baik tipe 1 maupun 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang
berkelompok di atas kulit yang eritematosa pada daerah dekat mukokutan,
sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekuren. Infeksi
primer oleh virus herpes simpleks (VHS) tipe 1 biasanya dimulai pada usia anak-
anak, sedangkan VHS tipe 2 biasanya terjadi pada dekade ke-2 atau ke-3, dan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Gejala prodromal yang
biasanya mendahului lesi primer adalah demam, malaise, anoreksia dan
pembesaran kelenjar getah bening. Tempat predileksi VHS tipe 1 di daerah
pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada
usia anak-anak inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit
pada perawat, dokter gigi dengan kutikula yang robek (herpetic whitlow). Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe 2
mempunyai predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital,
juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Lesi yang
dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit eritematosa, berisi cairan
hernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadanag-
kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks.
Infeksi rekuren atau reaktivasi juga dapat terjadi saat infeksi VHS tidak
menimbulkan gejala namun VHS dapat ditemukan pada ganglion dorsalis.
Reaktivasi terjadi karena adanya mekanisme pacu seperti demam, infeksi,
kurang tidur, hubungan seksual, gangguan emosional, menstruasi. Dapat pula
timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.1

Pada pasien ini ditemukan gambaran lesi yang mirip dengan lesi pada
herpes simpleks, namun tempat predileksi herpes simpleks yaitu pada daerah
sekitar mulut dan genitalia kurang sesuai dengan yang dialami pasien. Umur
pasien yang sudah lanjut juga tidak sesuai dengan epidemiologi pada penyakit
ini yaitu anak-anak dan pada dekade ke-2 dan ke-3. Pada anamnesis pasien juga
menyangkal adanya riwayat kontak dengan orang yang dengan gejala herpes
simpleks.

Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan jenis hipersensitivitas tipe 4


(delayed-type hypersensitivity) yang disebabkan oleh alergen spesifik yang
kontak langsung dengan kulit di mana pasien tersebut sudah memiliki
sensitivitas spesifik. Reaksi alergi ini menyebabkan inflamasi pada kulit dengan
manifestasi yang bermacam-macam dari eritema, edema, dan vesikel yang terasa
gatal.3,15 Ukuran senyawa yang menyebabkan DKA lebih kecil dari 500 dalton
sehingga dapat mempenetrasi barrier dari stratum korneum. Senyawa tersebut
dapat bereaksi seara kimia dan berikatan dengan antigen tubuh dan membentuk
hapten. Fase ini dinamakan fase sensitisasi. Saat senyawa yang sama kontak
kembali dengan tubuh, maka akan terjadi suatu reaksi dan timbul kulit. Fase ini
dinamakan dase elisitasi. Alergen-alergen yang sering menyebabkan DKA
adalah poision ivy, nikel satung tangan latex, pewarna rambut, dan tato (p-
Phenylenediamine/ PPD), tekstil, preservatif, pewangi, kortikosteroid, neomisin,
benzocaine, tabir surya, photoallergy, acrylated dan methacrylates.15 Ciri
khusus dari kontak dermatitis yang akut adalah vesikel intraepidermal, dapat
disertai krusta, edema dan eritema. Daerah yang terkena seringkali memiliki
batas tegas dengan konfigurasi geometrik atau linear.15

Pada pasien ini, DKA menjadi diagnosis banding karena lesi vesikel
berdasar eritema berbatas tegas pasien timbul di daerah yang terpapar dengan
bra. Namun pasien mengalami gejala prodromal, dan lesi yang timbul pada
pasien terjadi secara unilateral di mana tidak semua bagian yang terpapar bra
timbul lesi sehingga diagnosa lebih mengarah ke herpes zoster.

Impetigo bulosa adalah infeksi intraepidermal yang disebabkan oleh


strain S. aureus Insidensi impetigo tersering pada usia anak-anak. Faktor
predisposisi antara lain adalah kebersihan yang kurang baik, dermatitik kronis,
tempat tinggal yang padat, dan jejas pada kulit. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan bula yang jernih atau keruh yang mudah ruptur. Penyebaran lesi
secara diskret. Terdapat krusta tipis yang timbul setelah ruptur. Pada tepi krusta
juga nampak gambaran collarette yang merupakan remnan dari atap bula.
Tempat predileksi adalah wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo dapat meluas
karena pasien menggaruk lesi.16

Impetigo krustosa memiliki karakteristik lesi yaitu makula, papula, dan


pustul yang mudah pecah menjadi krusta berwarna kuning madu (honey-colored
crust). Impetigo krustosa lebih sering terjadi dibanding impetigo bulosa. Tempat
predileksi adalah wajah terutama sekitar hidung dan mulut, dan ekstremitas.
Pasien dapat mengeluhkan gatal namun keluhan nyeri jarang ditemukan.3,16

Gambaran klinis awal herpes zoster dapat tampak seperti impetigo


bulosa. Namun pada pasien tidak ditemukan collarette pada vesikel yang telah
ruptur. Pada saat pasien datang, vesikel sudah mulai ruptur sehingga nampak
krusta dan erosi, namun tidak ditemukan krusta berwarna kuning keemasan. Lesi
yang timbul pada pasien adalah vesikel berkelompok sedangkan pada impetigo
penyebaran lesi cenderung diskret. Tempat predileksi timbulnya lesi pada pasien
juga kurang sesuai dengan diagnosis impetigo. Menurut epidemiologi impetigo
juga lebih sering terjadi pada anak-anak sedangkan pasien tergolong berusia
lanjut. Transmisi penyakit impetigo adalah melalui kontak lansung sedangkan
pasien menyangkal ada yang mengalami gejala yang serupa pada lingkungan
pasien. Pasien tidak mengeluhkan gatal namun nyeri radikuler.

Pemfigus bulosa merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan


bula yang berukuran besar dan tegang yang muncul pada kulit normal atau
eritematosa/urtikarial yang terasa gatal.3 Karakteristik histopatologis dari
penyakit ini adalah ditemukannya bula subepidermal. Kondisi ini muncul pada
orang usia lanjut pada dekade ke-6, ke-7. Dan ke-8. Tempat predileksi adalah
lipat paha, aksila, dan daerah-daerah fleksural. Sekitar sepertiga dari pasien
mengalami keterlibatan mukosa. Bula pada penyakit ini tidak meluas ke samping
sehingga tanda Nikolsky (-), berbeda yang ditemui pada pemfigus vulgaris.
Penyakit ini biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk mendiagnosa penyakit ini adalah immunoflouresence
direk (kulit) dan indirek (serum) dengan penemuan linear band IgG dan
komplemen C3 yang terdeposisi di subepiderma; di mana bula terbentuk. 16

Pemfigus vulgaris merupakan penyakit yang cukup jarang terjadi, dan


disebabkan oleh suatu proses autoimun yang memiliki ciri timbul bula pada kulit
dan membran mukosa, Penyakit ini pada umumnya timbul pada usia tua atau
paruh baya. Bula yang timbul superfisial, berdinding kendur, dengan ukuran 1-
10 cm. Bula mudah ruptur dengan meninggalkan erosi denuded, berdarah, dan
berkrusta. Tanda Nikolsky (+). Mukosa rongga mulut hampir selalu terlibat, dan
16
seringkali merupakan lokasi yang pertama kali muncul. Keluhan subjektif
yang timbul pada pasien seringkali nyeri dan jarang gatal. Pemeriksaan
penunjang yaitu direk dan indirek immunoflouresence dengan penemuan IgG
dan komplemen C3 yang terdeposisi diantara sel-sel epidermal. 16

Pemfigus bulosa dan pemfigus vulgaris merupakan benyakit bula


autoimun yang timbul pada usia lanjut sehingga dijadikan diagnosa banding
pada pasien ini. Tempat predileksi pemfigus bulosa dan pemfigus vulgaris
kurang cocok dengan gejala yang ada pada pasien yaitu pada tubuh sesuai
dengan dermatom. Pemfigus bulosa berupa bula tegang yang gatal sehingga
tidak sesuai dengan keluhan pasien. Pemfigus vulgaris sering diawali dengan
keterlibatan membran muksoa rongga mulut, dan gejala ini tidak ditemukan pada
pasien.

PENATALAKSANAAN

Prinsip dasar tatalaksana herpes zoster adalah menghilangkan nyeri


secepat mungkin dengan cara membatasa replikasi virus sehingga
mengurangi kerusakan saraf yang lebih lanjut. Pengobatan dibagi menjadi
sistemik dan topikal.2

Pengobatan sistemik terbagi menjadi pemberian antivirus, analgetik,


dan antidepresan atau antikonvulsan. 2 Obat antivirus terbukti menurunkan
durasi lesi herpes zoster dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut.
Efektivitas pemberian obat antivirus apabila diberikan dalam 72 jam sejak
1,3
gejal pertama kali muncul. Terdapat keadaan-keadaan khusus di mana
inisiasi antivirus tetap dilakukan meskipun onset sudah melebihi 72 jam
yaitu pada herpes zoster yang melibatkan saraf kranial (saraf kranial divisi
oftalmika, fasialis, vestibulokoklear), lepuh baru masih muncul, dan pasien-
3
pasien dengan usia ekstrim di mana respon imun kurang efektif. Untuk
pasien-pasien imunokompromais dan/atau dengan herpes zoster yang
diseminata, antivirus yang dapat diberikan adalah asiklovir secara intravena.8
Sedangkan, antivirus oral secara umum dapat diberikan dengan; 1

• Asiklovir 500 mg 5x1 selama 7 hari


• Famsiklovir 500 mg 3x1 selama 7 hari
• Valasiklovir 1000 mg 3 x 1 selama 7 hari
Tabel 1. Terapi Antivirus Herpes Zoster 3

Mekanisme kerja dari obat asiklovir adalah melalui inhibisi DNA


sintesis virus sehinga replikasi virus dapat terhambat.
Analgetik diberikan untuk meredakan gejala nyeri pada pasien, dan
untuk mencegah kejadian NPH. Biasanya jika nyeri akut pada pasien ringan,
respon terhadap AINS (Anti Inflamatori Non-Stereoid) seperti asetosal,
piroksikam, ibuprofen, diklofenak). Atau analgetik non-opioid
(parasetamol, tramadol, asam mefenamat) cukup baik. Kadang-kadang
untuk pasien dengan nyeri kronik berat, dibutuhkan obat golongan opioid
2
(kodein, morfin atau oksikodon). Penggunaan kortikosteroid masih
kontroversial, namun hingga sekarang masih kurang direkomendasikan.3

Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi terapi


asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal
mengurangi prevalensi NPH.

Pengobatan topikal yang dapat diberikan adalah analgetik topikal


berupa kompres terbuka dengan solusio Burowl dan solusio Calamin pada
lesi akut untuk mengurani nyeri dan pruritus. Kompres solusio Burowl
(aluminium asetat 5%) dilakukan 4-6kali/ hari selama 30-60 menit.2,8

Pada pasien ini tidak diberikan antivirus karena saat pasien datang,
lesi telah muncul selama 7 hari sehingga pemberian antivirus sudah tidak lagi
efektif. Pasien diberikan analgetik berupa tramadol yang merupakan obat
anti-nyeri non-opioid. Pasien diberikan Vitamin B kompleks (vitain B1, B6,
B12) yang merupakan agen neurotropik yang bersifat protektif terhadap saraf
sehingga mencegah komplikasi saraf.14 Pengobatan topikal yang diberikan
pada pasien ini adalah Gentamycin cream 0.1%yang merupakan antibiotik,
diberikan untuk mencegah infeksi sekunder pada vesikel-vesikel yang telah
ruptur oleh bakteri.
KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH),


yaitu nyeri akut yang masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan
kulitnya sudah mengalai resolusi selama setidaknya 3 bulan. NPH terjadi
sekitar 10-15% pada seluruh kasus herpes zoster dan mempunyai asosiasi
yang kuat dengan umur. Semakin tua usia semakin besar pula kemungkinan
pasien untuk menderita NPH. 2,8

Ensefalitis herpes zoster juga termasuk dalam komplikasi herpes


zoster. Faktor risiko terjadinya ensefalitis herpes zoster adalah imunitas yang
terganggu sehingga infeksi herpes zoster berulang, keterlibatan saraf kranial
atau servikal, atau infeksi diseminata. Manifestasi klinis adalah delirium
yang muncul beberapa hari setelah erupsi vesikel. Penyakit ini dapat
menyebabkan stroke dan apabila terjadi progonosis pasien buruk. 8

PENCEGAHAN

Pencegahan dengan melakukan vaksinasi booster varisela untuk usia 60


tahun keatas 3

PROGNOSIS

Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, penyakit ini tidak atau
jarang residif. 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Soutor C, Hordinsky M. Clinical Dermatology. 1th ed. New York: McGraw-Hill;


2013.

2. Menaldi, S. (2017). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition,
2-Volume Set. 9th ed. Vol. 1. New York: McGraw-Hill; 2019.

4. Buchbinder SP, Katz MH, Hessol NA, et al. Herpes zoster and human
immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1992; 166:1153.

5. Veenstra J, Krol A, van Praag RM, et al. Herpes zoster, immunological


deterioration and disease progression in HIV-1 infection. AIDS 1995; 9:1153.

6. Blennow O, Fjaertoft G, Winiarski J, et al. Varicella-zoster reactivation after


allogeneic stem cell transplantation without routine prophylaxis--the incidence
remains high. Biol Blood Marrow Transplant 2014; 20:1646.

7. Antonelli MA, Moreland LW, Brick JE. Herpes zoster in patients with rheumatoid
arthritis treated with weekly, low-dose methotrexate. Am J Med 1991; 90:295.

8. Shingles – Knowledge for medical students and physicians [Internet].


Amboss.com. 2019 [cited 29 April 2019]. Available from:
https://www.amboss.com/us/knowledge/Shingles

9. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Lameson JL, Loscalzo J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2015:
p. 1183.

10. CDC. Shingles (Herpes Zoster). https://www.cdc.gov/shingles/. Updated August


19, 2016.

11. Karacabey K. The Effect of Nutritional Elements on the Immune System. Journal
of Obesity & Weight Loss Therapy. 2012;02(09).
12. Ahluwalia N, Sun J, Krause D, Mastro A, Handte G. Immune function is impaired
in iron-deficient, homebound, older women. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2004;79(3):516-521.

13. AlDabal L. Metabolic, Endocrine, and Immune Consequences of Sleep


Deprivation. The Open Respiratory Medicine Journal. 2011;5(1):31-43.

14. RATTNER H, ROLL H. HERPES ZOSTER AND VITAMIN B1. Journal of the
American Medical Association. 1939;112(25):2585.

15. Helm TN. Allergic Contact Dermatitis [Internet]. Medscape. 2019 [cited 2019 May
5]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049216-clinical#b1

16. Marks JG, Miller JJ. Lookingbill and Marks’ Principles of Dermatology. 6th ed.
Elsevier; 2019.

17. Zeina B. Pemphigus Vulgaris [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 May 5].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049216-clinical#b1

Anda mungkin juga menyukai