VIRAL EXENTHEME
Nim : 11.2016.303
ETIOLOGI
Penyebab penyakit eksantema sebagian besar adalah virus dan bentuk morfologik yang
mirip satu sama lain membuat kita sulit menentukan etiologi berdasarkan klinis.3, Karena
penyakit virus bersifat ringan dan self limited, etiologi spesifik tidak begitu diperlukan. Pada
kasus tertentu diagnosis etiologik yang spesifik sangat diperlukan yaitu pada kasus eksantema
yang timbul selama masa kehamilan, kasus imunokompromais, dan pada keadaan epidemi. Di
lain pihak pembedaan etiologik antara penyebab bakteri dan riketsia penting dilakukan
karena pengobatannya berbeda, terutama yang bersifat fatal.3
EPIDEMIOLOGI
Hasil survai di Indonesia terhadap kesehatan anak menunjukkan bahwa 42,8%-96%
anak yang termasuk kelompok 0-4 tahun masih mudah terserang penyakit yang disebabkan
oleh eksantema virus.4
Campak tersebar dan masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia,
dengan 30-40 juta kasus dan 530.000 kematian pada tahun 2003. Risiko kematian meningkat
pada negara-negara berkembang, dengan kebanyakan kematian disebabkan oleh komplikasi
dari penyakit ini.4
Sebelum dikembangkannya vaksin campak, epidemi campak terjadi setiap 2-5 tahun
selama bulan-bulan musim dingin dan musim semi pada anak-anak yang berusia 5-9 tahun.
Keberhasilan program imunisasi pada negara-negara berkembang juga mencegah munculnya
wabah kembali (outbreak) dan menurunkan angka kecacatan (morbiditas) dan kematian
DIAGNOSTIK
Pada umumnya pendekatan diagnostik yang dilakukan adalah dengan mengenali pola
perjalanan klinik yang khas, misalnya anamnesis yang teliti tentang lama waktu sakit, gejala
klinis penderita, urutan munculnya gejala dan pola klinik ruam misalnya timbulnya ruam,
dimana, kapan, distribusinya, ada tidaknya rasa gatal, dimensi waktu hubungan antara ruam
dan panas, serta obat-obatan, baik oral maupun topical. Ruam makulopapular akut yang
terjadi pada anak biasanya berhubungan dengan infeksi virus. Umur penderita dapat menjadi
alat untuk mempersempit kemungkinan diagnosis banding. Penyakit ruam kulit yang disertai
panas, biasanya karena infeksi, terutama bila disertai dengan gejala sistemik yang lain, harus
mendapat perhatian khusus karena potensial menimbulkan wabah.1,3,5
Pemeriksaan klinik jenis ruam sangat penting pada demam dan ruam kulit: makula
adalah ruam yang ditandai oleh perubahan warna kulit tanpa elevasi maupun depresi, papula
Campak / Measles
Penyakit infeksi akut yang disebabkan virus campak, dengan gejala berupa ruam pada
kulit dan aktivasi jaringan retikuloendotelial. Etiologi penyakit ini adalah virus Campak,
genus Morbillivirus, family Paramyxoviridae. Virus campak, tergabung dalam family
Paramyxoviridae merupakan virus heat-labile (tidak tahan panas) dengan inti RNA dan
kapsul lipoprotein terluar.2 Campak menular melalui kontak langsung atau kontak udara
dengan droplet infeksius. Periode inkubasi umumnya berlangsung selama 8-12 hari, dimulai
pasien telah tertular 1-2 hari sebelum onset gejala hingga 4 hari setelah kemunculan ruam
kulit.3 Baik imunitas humoral maupun imunitas yang diperantarai sel berperan penting untuk
mengontrol infeksi virus campak. Antibodi imunoglobulin M (IgM) terdeteksi lebih awal
dibandingkan dengan munculnya onset gejala, diikuti dengan peningkatan titer IgG spesifik
campak. Respons imunitas humoral mengontrol replikasi virus dan memberikan proteksi
antibodi, sedangkan respons imunitas yang diperantarai oleh sel mengeliminasi sel-sel yang
terinfeksi. Imunosupresi sementara terjadi selama infeksi virus campak, menyebabkan
depresi hipersensitivitas tipe lambat dan jumlah sel T dan peningkatan risiko infeksi bakteri.4
Proses ini menciptakan imunitas jangka panjang terhadap campak yang belum terlalu
dimengerti, namun diduga karena adanya respons lemah sel T helper terhadap virus.
Perjalanan klinik diawali dengan infeksi epitel saluran napas bagian inkubasi umumnya
berlangsung selama 8-12 hari oleh virus, menyebar ke kelenjar limfa regional bersama
makrofag. Setelah mengalami replikasi dikelenjar limfa regional, virus dilepas kedalam aliran
darah, terjadilah viremia pertama. Sampailah virus ke sistem reticuloendothelial dan disusul
dengan proses replikasi. Viremia yang kedua akan mengantar virus sampai ke multiple tissue
Tingkat komplikasi spesifik berdasarkan umur tertinggi terjadi pada anak-anak yang
berusia kurang dari 5 tahun dan dewasa yang berusia lebih dari 20 tahun. Komplikasi
tersering dari infeksi virus campak adalah otitis media, pneumonia, laringotrakeobronkitis,
dan diare. Hepatitis, trombositopenia, dan encephalitis terjadi lebih jarang. Purpura terkait
trombositopenia merupakan komplikasi berat. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
penyakit campak adalah otitis media, mastoiditis, pneumonia, obstructive laryngitis dan
laryngotracheitis, gastroenteritis, cervical adenitis, encephalomyelitis akut, subacute
sclerosing panencephalitis, subacute encephalitis. Pneumonia merupakan komplikasi campak
Campak Atipik
Disebabkan oleh imunisasi oleh vaksin virus campak yang telah dimatikan. Terjadi
delayed hypersensitivity terhadap antigen virus. Dengan manifestasi klinis yaitu demam
tinggi, nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut yang disertai pneumonitis. Erupsi kulit tidak
seperti campak yaitu berupa urtikaria, makulopapular, ptekie, purpurik dan kadang vesikular
dengan predileksi pada ekstremitas. Dapat terjadi edema pada lengan dan kaki serta
hiperestesi pada kulit. Bentuk dan distribusi dari eksantema menyerupai rocky mountain –
spotted fever. Pengobatan secara simptomatik. Pencegahan dengan imunisasi oleh vaksin
virus campak hidup yang dilemahkan.1,4.
Rubella
Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella, termasuk genus Alpha virus, family
Togavirus, ditandai oleh adanya ruam 3 hari dan lymphadenopaty general, biasanya
postauricular, suboccipital dan cervical. Penyakit ini sangat menarik kalangan medis karena
sifat teratogeniknya menimbulkan malformasi congenital pada bayi.
Rubella adalah virus RNA berkapsul yang tergabung dalam famili Togaviridae. Virus
menyebar melalui kontak langsung atau droplet dari sekret nasofaring, Individu yang
terinfeksi virus selama 5-7 hari sebelum dan 14 hari setelah onset penyakit dengan viremia
yang tidak khas setelah ruam muncul. Pada kebanyakan individu, infeksi ini menciptakan
imunitas seumur hidup. Setelah inkubasi 14-21 hari akan muncul ruam dengan nyeri kepala,
malaise, anoreksia, conjungtivitis–coryza–batuk/cough yang ringan serta lymphadenopaty.
Adanya lymphadenopaty, malaise disertai dengan munculnya ruam yang hanya berlangsung
3 hari adalah gejala yang “ spesifik “ untuk penyakit rubella pada anak.3,4
Rubella kongenital terjadi ketika wanita hamil, berisiko tinggi, tidak diimunisasi dan
terpapar virus. Infeksi transplasental fetus terjadi selama fase viremia. Risiko tertinggi
dialami oleh fetus yang terpapar virus pada trisemester pertama. Infant yang terinfeksi secara
Konfirmasi diagnosis Rubella ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang baik dan
pemeriksaan klinik yang teliti yaitu prodromal ringan, ruam menghilang dalam 3 hari,
limfadenopati retroaurikular dan suboksipital. Isolasi virus, ditemukan pada faring 7 hari
sebelum dan 14 hari sesudah timbulnya ruam. Serologis dapat dideteksi mulai hari ke tiga
timbulnya ruam. Apabila diperlukan diagnosis etiologi, maka pemeriksaan IgM (single
serum) atau IgG ( paired sera ) dapat dilakukan. Pemeriksaan IgM sebaiknya dilakukan saat
muncul ruam. Sedangkan pemeriksaan paired sera dilakukan saat akut dan 2–4 minggu
sesudahnya.2,4
Rubella umumnya merupakan self-limited disease. Mayoritas infan (85%) terinfeksi in-
utero menularkan virus pada bulan pertama kehidupan; 1-3% berlanjut menularkan virus
pada tahun kedua kehidupan. Wanita hamil dengan infant terinfeksi memiliki risiko
menderita rubella. Perjalanan klinis tergantung pada seberapa parah fetus terpapar infeksi
intrauterin.
Penatalaksanaan rubella primer yang tidak menimbulkan komplikasi adalah terapi
suportif. Pada individu yang tidak hamil, pemakaian vaksin rubella dalam 3 hari pasca
terpapar secara teoritis mencegah penyakit, walaupun ini belum terbukti. Imunoglobulin tidak
secara rutin direkomendasikan sebagai profilaksis pasca paparan pada wanita hamil yang
rentan terinfeksi rubella. Data terbatas menunjukkan imunoglobulin intramuskular (0,55
Setelah VZV masuk melaui saluran pernapasan atas atau setelah penderita berkontak
dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia primer. Infeksi mula-mula terjadi
pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian menyebar dan terjadi viremia primer.
Pada viremia primer ini virus menyebar melalui peredaran darah dan sistem limfa ke hepar,
dan berkumpul dalam monosit/makrofag, disana virus bereplikasi, pada kebanyakan kasus
virus dapat mengatasi pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder. Pada
viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit T, kemudian virus menyebar ke kulit
dan mukosa dan bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai dengan lesi varisela.
Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper endotel pada lapisan papil dermis
Diagnosis varisela dengan manifestasi klinik, isolasi virus dari cairan vesikel dan tes
serologis.1
Obat anti virus yang ada adalah acyclovir (ACV-9,2 hydroxyethoxymethyl guanine)
yang diphosphorilasi dengan thymidine kinase yang ada dalam sel yang terinfeksi virus.
Penyerapan pengobatan oral hanya 15-30% saja. Obat ini hanya mempengaruhi sintesa virus
dan tidak bekerja langsung pada DNA virus dan efeknya pada virus yang tidak menginfeksi
sel kecil. Enzim ini tidak diperlukan untuk sintesis virus, sehingga sering didapatkan
resistensi VZV pada obat ini, meskipun virus yang resisten ini juga kurang infektif.
Foscarnet, pyrophosphate analogue, yang bekerja menghambat polymerase DNA virus,
sering digunakan pada strain yang resisten ini, yang sering didapatkan pada penderita AIDS.
Pemberian obat ini disarankan pada permulaan penyakit (terutama pada anak yang
imunocompromised), oleh karena ACV kurang bermanfaat pada kasus yang berat.
Penggunaan VZIG (varicella zoster immunoglobiline) bermanfaat mencegah kasus menjadi
berat, terutama pada kelompok penderita keganasan dan neonatus. Imunisasi aktif dapat
diberikan pada anak yang terpapar, namun keberhasilannya tergantung pada viral load dan
kemampuan anak membentuk antibody secara cepat. Pada umumnya bilamana vaksinasi
varisela dilakukan pada usia muda (diatas 1 tahun), dianjurkan memberikan dosis ke dua pada
usia 6 tahun.4-6
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela, infeksi yang dapat terjadi
diantaranya adalah:
1. Infeksi sekunder dengan bakteri
Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat staphylococus. Staphylococus dapat
muncul sebagai impetigo, selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever,
atau sepsis.6
2. Varisela Pneumonia
Herpes Zoster
Herpes Zoster adalah penyakit rekuren yang terjadi karena terjadinya reaktivasi VZV
yang tadinya laten di ganglion sensoris dorsalis kemudian bereplikasi dan menyebar melalui
persyarafan ke kulit. Zoster disebabkan reaktivasi VZV latent yang didapat dengan menderita
varisela ditandai ruam terlokalisir unilateral terdiri dari lesi mirip varisela sepanjang
distribusi saraf sensoris. Terjadi terutama pada imunocompromised dan pada anak besar dan
dewasa disertai dengan nyeri dermatomal yang sangat berat dibanding dengan pada
kelompok anak. 2,4
Zoster memiliki ciri pernah mengalami episode varisela klinis/subklinis, vesikel timbul
pada muka (ganglia trigeminal), dada (ganglia thorakal), leher dan punggung (ganglia
cervical), daerah peri-anal dan kaki (ganglia lumbo-sakral). Untuk reaktivasi pada ganglia
trigeminal, rasa nyeri timbul akibat lesi di daerah muka, telinga, mata dapat berjalan lama dan
tanpa lesi di kulit sehingga menimbulkan masalah diagnosis dan pengobatan yang sesuai.
Pada anak besar dan dewasa, timbul nyeri hebat sepanjang perjalanan saraf (terutama
dewasa) oleh karena predileksi pada jalan saraf posterior. Pada semua kasus ruam terjadi
unilateral sesuai dengan distribusi dermatomal saraf sensorik.1,3
Jika virus tidak sepenuhnya dapat dihilangkan saat viremia selesai, selanjutnya virus
menjadi laten dan diam untuk beberapa waktu di ganglion sensoris dorsalis. Antigen spesifik
Limfosit T dipercaya sebagai penyebab utama virus sehingga menjadi laten. Immunosupresi
atau penurunan kekebalan alami sel T limfosit menyebabkan terjadinya mekanisme yang
HHV 5 (Cytomegalovirus)
Infeksi pada neonatus ini semula diduga berkaitan dengan protozoa di jalan lahir atau
bentuk lain dari syphilis, penyebab tersering infeksi kongenital cytomegalic inclusion disease
atau sebagai infeksi virus kelenjar ludah. Penyakit yang semula dinyatakan jarang ternyata
sekarang didapatkan dengan angka kejadian yang cukup tinggi. Ciri khas histologik adalah
adanya inclusion body (timbunan nucleocapsid dan enveloped tegument pada Golgi komplex)
pada sel yang terinfeksi.2 Seringkali infeksi tidak menimbulkan gejala klinik, infeksi yang
persisten dan latensi. Meskipun trofisme virus pada bermacam jaringan, namun perlekatannya
pada sel epitel glandular lebih menonjol, infeksi primer meskipun tanpa gejala akan
memberikan shedding di urin, ludah atau cairan genital.
Kebanyakan infeksi terjadi tanpa menimbulkan gejala, namun dapat menjadi berat
seperti hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia, kalsifikasi serebral, gagal tumbuh,
retardasi mental dan chorioretinitis. Infeksi yang terjadi merupakan hasil pertimbangan
kekuatan antara virulensi virus dengan respon imun. Infeksi primer terutama terjadi pada
penderita yang rentan yang seronegatif. Sedangkan infeksi berulang (recurrent) berasal dari
reaktivasi infeksi permanen - latent atau reinfeksi pada penderita yang seropositif.4,5
Infeksi congenital terjadi sejak pada janin dalam rahim dalam bentuk yang ringan,
namun bilamana pada saat lahir sudah timbul gejala klinik, umumnya sudah merupakan
infeksi sistemik yang multi organ dan multi sistem. Organ yang sering terlibat adalah hepar,
jaringan otak, kelenjar ludah, pancreas, maupun pada paru dan ginjal. Secara klinis gejala
yang umum adalah hiperbilirubinemia dan kerusakan jaringan otak, terutama hilangnya
pendengaran. Infeksi congenital ini sejalan dengan gejala serologis pada ibu. Reaktivasi pada
ibu bisa terjadi tanpa gejala klinik yang jelas, namun bisa muncul di jalan lahir selama
persalinan. Pada neonatus yang sempat lahir, umumnya ikterus akan mereda dalam waktu 2
Eczema Herpeticum
Etiologi oleh virus herpes simpleks Manifestasi klinis berupa lesi berupa vesikel yang
klinis bergerombol pada dasar eritematous, vesikel berkembang menjadi pustul yang
kemudian pecah menjadi ulkus yang ditutupi oleh krusta berwarna kuning. Lesi dapat terasa
nyeri atau gatal. Kekambuhan dapat terjadi karena trauma, demam atau sinar matahari, lokasi
biasanya di mulut, genitalia atau tempat lain. Terapi tidak ada yang spesifik.3
Molluscum Contagiosum
Etiologi oleh virus pox. Manifestasi klinis tidak terdapat gejala prodromal. Erupsi
berupa papul berbentuk kubah dengan diameter 2-10 mm disertai umbilikasi ditengahnya,
warna merah seperti daging dan translusen. Lesi tersebar atau berkelompok. Penyembuhan
secara spontan tanpa jaringan parut. Terapi : Krioterapi, kuretase atau obat keratolitik.3,7
Coxsackie Virus
Coxsackievirus dibedakan dari kelompok picornavirus lain dengan patogenisitasnya
pada tikus dan dengan klasifikasi antigenisitas mereka. Mereka digolongkan sebagai
kelompok coxsackievirus A (A1 ke A, A24) dan kelompok B coxsackievirus (B1 untuk B6).
Kelompok A coxsackieviruses menghasilkan miositis pada otot skelet dan kelumpuhan
umum pada inokulasi intraserebral mencit menyusu dan Grup B coxsackieviruses
menghasilkan lesi fokal otot, nekrosis lemak antara bantalan bahu, lesi fokal di otak dan
sumsum tulang belakang dan paralisis spastik. 1,3
Infeksi coxsackievirus pada manusia kurang terungkap karena sangat sedikit yang
meninggal karena infeksi ini. Otopsi neonatus dengan infeksi coxsackievirus B menunjukkan
miokarditis fokal dan peradangan. Miokarditis fatal pada orang dewasa juga berhubungan
dengan nekrosis fokal. Kasus fatal menunjukkan keterlibatan encephalomyelitis dari motor
neuron di batang otak dan sumsum tulang belakang, namun coxsackievirus B menyerang baik
bagian putih maupun abu-abu. 3,5
Dari seluruh gambaran virus eksantema yang hampir mirip satu dengan lainnya, kita
dapat membedakan masing-masing penyakit dengan melihat dari gejala prodromal,
karakteristik ruam dan manifestasi klinis yang khas. Untuk diagnosis banding dengan
penyakit eksantema lainnya didasarkan pada riwayat penyakit dan imunisasi sebelumnya,
bentuk gejala prodromal, gambaran erupsi kulit, adanya tanda patognomonik atau tanda
lainnya, uji diagnostik laboratoris.
Daftar Pustaka
1. Sari Pediatri, Gambaran Klinis Penyakit Eksantema Akut Pada Anak Tuty Rahayu,
Alan R. Tumbelaka. Vol. 4, No. 3, Desember 2002: 104 – 113.
2. Ismoedijanto. DEMAM dan RUAM di DAERAH TROPIK (VIRAL
EXANTHEMAS IN THE TROPIC). Divisi penyakit infeksi dan pediatri tropik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeristas Airlangga/ RS
Dr Sutomo Surabaya. KB_Dermatoses & STIs Associated with Travel to Tropical
Countries: Surabaya, 22 - 23 Oktober 2011.
3. P2KB_ Dermatoses & STIs Associated with Travel to Tropical Countries Surabaya,
22 - 23 Oktober 2011.hal.173.
4. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI. Sari Pediatri; 2:43-7.
5. Gable EK, Liu G, Morrell DS. Pediatric exanthems. Prim Care 2000; 27:353-69.
6. Amir J, Wolf DG, Levy I. Treatment of symptomatic congenital cytomegalovirus
infection with intravenous ganciclovir followed by long term oral ganciclovir. Eur J
Pediatr 2010; 169:1061
7. Widodo Darmownadowo, dkk. Demam dan ruam pada anak. PKB Ilmu Kesehatan
Anak, 2011