PENDAHULUAN
Ruam pada kulit merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada
anak. Insidensi exanthema pada anak diperkirakan berkisar 158.3/10,000 dengan penyebab
yang sangat beragam.1 Penyakit infeksisus seperti bakteri, virus maupun penyakit non-
infeksius seperti alergi dapat menyebabkan timbulnya ruam pada anak. Walaupun begitu
ruam pada anak paling sering diakibatkan oleh infeksi virus. Eksantema virus merupakan
sebuah ruam yang polimorfik, dapat memberikan gambaran yang berbeda maupun gambaran
yang mirip dengan penyakit lainnya. Ruam yang terbentuk dapat berupa erupsi makula
dengan / atau papul maupun berbentuk erupsi lainnya.2
Beberapa ruam pada anak memang tidak membahayakan dan dapat sembuh dengan
sendirinya, tetapi beberapa ruam membutuhkan pengenalan sejak dini untuk penanganan
secara cepat dan menghindari penyebaran penyakit tersebut. Sehingga anamnesis yang
mendetail pada pasien seperti gejala prodromal, gejala penyerta, riwayat kontak, berpergian,
dan status imunisasi pada anak perlu ditanyakan. Pemeriksaan menyeluruh juga harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis maupun untuk mengeksklusi penyakit lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Eksantema berasal dari kata “exanthema” dan “Anthos” yang berarti adalah
erupsi.4 Eksantema merupakan erupsi ruam pada kulit dan dapat disebabkan oleh
penyakit infeksius maupun non-infeksius. Eksantem ini umumnya juga berhubungan
dengan munculnya lesi pada mukosa (enanthem) dan demam ataupun gejala sistemik
lainnya.5 Virus adalah penyebab paling sering terjadinya eksantem atau munculnya
ruam pada anak.
Awalnya penyakit eksantem ini diberi nama sesuai urutan ditemukannya dan sering
disebut juga sebagai “classic exanthem”:6
1) Campak / Rubeola
2) Demam Scarlet
3) Rubella
4) Filatow-Dukes
5) Eritema Infeksiosum
6) Exanthema Subitum
Diketahui 4 dari 6 exanthem klasik ini disebabkan oleh virus, sedangkan demam
scarlet disebabkan oleh bakteri group A streptococcus. Sedangkan terminologi
penyakit filatow-duke sudah tidak lagi digunakan saat ini, Exanthema selain 6 diatas
akan disebut sebagai “Atypical Exanthem”.6
2.2. Etiologi
Virus yang dapat menyebabkan terjadinya exanthem ataupun ruam pada anak
sangatlah banyak. Satu jenis virus dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi
klinis kulit yang berbeda pada anak. Berikut beberapa virus yang dapat menyebabkan
timbulnya ruam pada anak :4
1. Herpes Virus
Merupakan keluarga dari Herpesviridae yang merupakan virus DNA dengan
strain ganda. Terdapat 8 jenis virus dari Herpesviridae : Human Herpesvirus 1-8.
Herpes Simplex Virus 1 dan 2 merupakan salah satu contoh terkenal dari
Herpesviridae. Kedua virus ini sering menyebabkan penyakit herpes simpleks,
dimana HSV 1 lebih sering menyerang daerah mukosa, sedang HSV 2 lebih
sering ditemukan di daerah genital.
Varicella-zoster Virus (HHV 3)
Merupakan salah satu keluarga dari Alphaherpesviridae yang mempunyai
karakteristik reproduksi yang cepat, mudah menyebar serta fase laten di
neuron sensorisnya. Penyakit yang disbebkan oleh VZV ini awalnya berupa
varicella. Reaktivasi ulang dari VZV saat kondisi imun yang menurun,
menyebabkan terjadinya Herpes Zoster.
Epstein Barr Virus (HHV 4)
Salah satu bagian dari Gammaherpesvirinae, virus ini bereplikasi di sel
limfoblastoid dan bersifat laten di jaringan limfoid. Infeksi primer dari EBV
biasanya bersifat asimptomatik, tetapi pada anak yang lebih besar dan dewasa,
infeksi ini dapat menyebabkan infectious mononucleosis. Selain itu EBV juga
dapat menyebabkan Gianotti-Crosti Syndrome, dermatosis yang sering
ditemukan pada anak usia 2-6 tahun. Selain itu ruam juga dapat terbentuk
akibat reaksi EBV terhadap aminopenicillin.
HHV 6 dan 7
HHV 6 dan 7 adalah salah satu keluarga betaherpesviridae. Infeksi HHV
umum ditemukan pada anak, dengan 77% anak sudah terkena HHV sebelum
usia 2 tahun dan 45% anak terkena HHV 7 sebelum usia 4 tahun. Manifestasi
klinis akibat HHV 6 dan 7 adalah Roseola Infantum dan dapat juga berupa
Pityriasis Rosea.
2. Virus Campak
Sering dikenal sebagai campak Jerman, penyakit ini disebabkan oleh virus
Rubella, keluarga dari Togaviridae. Cirus ini menyebar lewat udara dan dapat
menular sejak 1 minggu sebelum gejala hingga 2 minggu setelah gejala hilang.
4. Parvovirus B19
Parvovirus B19 adalah virus DNA single stranded yang menular lewat droplet
pernafasan dan memiliki banyak manifestasi yang beragam. Sebanyak 25-50%
infeksi ini bersifat asimptomatik. Anak yang lebih muda biasanya timbul dengan
manifestasi eritema infeksiosa, sedangkan pada anak yang lebih tua, manifestasi
yang timbul biasanya papular purpuric glove and socks syndrome.
5. Coxsackie Virus
Selain virus yang disebutkan, masih banyak virus-virus lainnya yang dapat
menyebabkan terjadinya ruam pada anak. Tetapi manifestasi klinis yang terbentuk
biasanya tidak spesifik. Sebagai contoh adenovirus, rhinovirus, dengue dan virus
lainnya.
2.3. Klasifikasi Eksantema Virus pada Anak
2.3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya ruam pada kulit hanya sedikit diketahui, tetapi terdapat
beberapa mekanisme yang dipercaya dapat menyebabkan munculnya ruam di kulit.
Salah satu mekanisme yang dipercaya dapat menyebabkan ruam adalah inokulasi
langsung dari agen infeksi terhadap kulit. Selain itu ruam juga di dapat disebabkan
oleh diseminasi jarak jauh ataupun respon imun dari virus dengan antibody ataupun
akibat imun yang dimediasi oleh sel (indirect / parainfectious exanthema)1,5
Ruam tubuh akibat virus juga dapat timbul akibat adanya hipersensitivitas tipe
4 (tipe lambat) terhadap pathogen. Contoh dari mekanisme ini adalah Gianotti Crosti
syndrome, dimana exanthem yang terbentuk adalah bentuk hipersensitivitas imun dan
bukan akibat infeksi primer dari virus tersebut.6
Manifestasi klinis kulit akibat infeksi virus pada anak sangatlah beragam. Lesi
dapat berupa makula, papul, vesikel, petekie, purpura ataupun ruam lainnya seperti
ruam morbilliform, dan ruam scarlet. Distribusi dari lesi juga harus diperhatikan pada
pasien anak dengan ruam. Sebagai contoh, pada herpes zoster ruam mengikuti sesuai
dermatome saraf yang terkena. Sedangkan pada Gianotti-Crosti syndrome, ruam
umumnya bersifat simetris.
Selain ruam, perlu juga diperhatikan gejala yang menyertai ruam tersebut.
Gejala prodromal seperti demam, gejala infeksi saluran pernafasan atas, atau gejala
yang menyertai ruam saat ini perlu diperhatikan untuk membantu menegakkan
diagnosis.
2.5. Diagnosis
Berikut beberapa penyakit akibat virus yang sering bermanifestasi sebagai ruam pada
anak :
2.5.1. Campak
Campak atau rubeola merupakan salah satu penyakit yang menular yang
disebabkan paramyxovirus dan dapat dicegah dengan pemberian vaksin. 8 Walaupun
begitu, campak masih merupakan salah satu penyebab terjadinya mortalitas pada
anak, dengan >530.000 anak meninggal setiap tahunnya.9 Campak menular melalui
droplet dengan angka penularan hingga 90% pada kontak dekat.8
Terapi campak umumnya suportif dengan hidrasi yang cukup serta pemberian
antipiretik. Pemberian vitamin A dosis tinggi menunjukkan adanya resolusi campak
yang lebih baik pada infant di negara berkembang, sehingga saat ini WHO
merekomendasikan pemberian vitamin A pada pasien anak dengan campak.11 Vitamin
A dapat diberikan 100.000IU peroral 1x, pada pasien malnutrisi, dapat dilanjutkan
dengan pemberian 1500IU tiap hari.2
2.5.2. Rubela
Rubela, atau dikenal juga campak 3 hari atau campak German disebabkan oleh
virus togavirus. Penyakit ini merupakan penyakit self-limited yang dapat menyerang
anak dan dewasa. Sama seperti campak, rubella merupakan salah satu penyakit yang
dapat dicegah dengan pemberian vaksin.
Rubella masuk menuju saluran pernafasan atas, dan terjadi replikasi virus di
mukosa nasofaringeal dan nodus limfe regional. Setelah itu akan terjadi viraemia 5-7
hari setelah terinfeksi, dan virus ini akan menyebar ke seluruh tubuh termasuk kulit,
organ lain dan juga plasenta pada ibu hamil.10
Masa inkubasi rubella berkisar 16-18 hari dilanjutkan dengan adanya gejala
prodromal ringan yang tidak khas, seperti demam ringan, rhinorrhea, sakit kepala,
nyeri otot. Selan itu dapat ditemukan juga pembesaran kelenjar getah bening terutama
pada daerah belakang telinga dan occipital dan hal itu merupakan temuan yang dapat
menunjang diagnosis rubella, walaupun tidak selalu ditemukan pada anak.
Setelah 1-4 hari gekala prodromal, biasanya akan timbul ruam. Ruam yang
timbul biasanya berwarna merah muda, awalnya di daerah leher dan muka dan
menyebar ke seluruh tubuh (cephalocaudal) lebih cepat dari campak (dalam 24-
48jam). Ruam akan memudar pada hari ke 3 tanpa deskuamasi. Makula eritem juga
dapat ditemukan pada palattum mole, yang sering disebut juga Forchheimer spot.
Gambar 2.3. Rubella10
Pemeriksaan darah lengkap memiliki hasil yang tidak spesifik pada rubella,
dengan hasil yang umumnya adalah leukopeni. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan
dengan deteksi serologi IgM (positive 5 hari sejak gejala muncul) atau adanya
peningkatan IgG 4x lipat.11
Rubella kongenital dapat terjadi ketika ibu mengalami rubella pada awal masa
gestasinya. Terkena rubella pada 16 minggu awal masa gestasi dapat menyebabkan
congenital rubella syndrome yang terdiri dari katarak, glaucoma, tuli, penyakit
jantung kongenital dan gangguan sistem saraf pusat (seperti microcephali dan
hydrosephalus).
Pada infant dan anak, penyakit ini dikarakteristikan dengan ruam yang
didahului oleh gejala sistemik ringan ataupun gejala respiratori seperti demam ringan,
malaise, sakit kepala, myalgia atau arthralgia (7-10 hari sebelum erupsi exanthem).
Pada anak yang sudah lebih besar gejala arthritis lebih menonjol, sedangkan ruam
umumnya tidak begitu terlihat. Gejala arthropathy yang dialami biasanya simetris dan
poliartikular, mengenai kaki, tangan dan sendi lainnya.4,5
Roseola umumnya timbul setelah resolusi dari demam tinggi. Terdapat demam
tinggi (>39,5˚C) selama 3-4 hari yang bisa disertai irritabilitas, penurunan nafsu
makan, lemas, dan rhinorhhea. Setelah itu suhu tubuh akan kembali menjadi normal
dan dalam 2 hari setelah resolusi, akan timbul bercak merah yang pucat di daerah
badan yang kemudian akan menyebar ke muka dan ekstremitas. Lesi diskret
berbentuk sirkular / elliptical dengan diameter 2-3 mm, dan umumnya tidak gatal.
Roseola infantum adalah penyakit jinak dan self limiting. Tetapi sering terjadi
komplikasi berupa kejang demam pada 6-15% kasus infeksi HHV 6 dan 7. Terapi
yang diberikan dapat berupa supportif, terutama paracetamol untuk mengontrol
demam tinggi pada awal perjalanan penyakit.4
Gambar 2.5. Roseola Infantum4
Pitriasis rosea adalah exanthem akut yang self-limiting akibat dari reaktivasi
HHV 6 atau HHV 7. Walaupun beberapa penelitian tidak menemukan adanya
hubungan antara pitriasis rosea dengan HHV, beberapa penilitian terakhir
menunjukkan adanya peran sistemik HHV-6 dan HHV-7 dalam terjadinya pitriasis
rosea. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan DNA HHV-6 dan HHV-7 dalam
plasma dan juga mRNA. Pemeriksaan menggunakan mikroskop electron juga
menunjukan herpesvirus virion yang ditemukan dalam lesi kulit pada pasien penderita
pitriasis rosea.5
Manifestasi kulit klasik dari Pitriasis rosea adalah adanya herald patch –
sebuah lesi plak berwarna pink salmon, berbatas tegas di daerah badan. Lesi ini
umumnya berukuran 2-10cm, ovoid dan sedikit meningkat, dan dapat ditemukan
kolaret di pinggiran lesi tersebut. Beberapa hari setelah timbul herald patch, akan
timbul lebih banyak plak yang lebih kecil di daerah badan dan ekstremitas. Pada
beberapa kasus akan timbul lesi seperti pohon natal terbalik.4,5
Pitriasis rosea lebih umum dialami pada anak yang lebih dewasa, dengan
predominan terutama pada perempuan. Exanthem akan hilang dalam 8 minggu dalam
80% pasien. Penegakkan diagnosis dapat melalui klinis, dengan terapi umumnya
suportif.4
2.5.6. Varisela
Setelah infeksi primer virus varicella zoster, virus ini akan tetap berada di
ganglion saraf tubuh dalam bentuk latent. Reaktivasi virus ini disebabkan oleh
berkurangnya sel T akibat usia lanjut, terapi imunosupresi, malignancy ataupun tanpa
sebab yang jelas. Sehingga herpes zoster dilaporkan hanya pada <1% anak yang
immunocompetent.9,12
Ruam berupa vesikel berukuran besar (2-8mm), oval dan kebuan di daerah
palmoplantar, mukosa bukal, lidah ataupun di palatum durum. Penyakit ini
merupakan self limiting disease dan tidak membutuhkan terapi lain selain terapi
supportif. Pada beberapa keadaan, penyakit ini dapat berkembang menjadi
meningitis / myocarditis.4
Gambar 2.8. Lesi pada Hand-Foot-Mouth Disease10
Herpes simpleks disebabkan oleh Herpes Simplex Virus 1 dan 2 (HSV 1 dan
2). HSV 1 biasanya lebih sering menginfeksi mukosa oral, sedangkan HSV 2 lebih
sering ditemukan di genital. Walaupun begitu kedua virus dapat menginfeksi di kedua
lokasi tersebut. Pada neonates, HSV dapat menular lewat jalan lahir. Gejala yang
timbul akibat infeksi primer biasanya berupa demam, nyeri otot, malaise. Lesi
umumnya timbul di daerah bibir dan berprogresi dari makula merah manjadi vesikel,
pustul, dan ulkus. Penyembuhan biasanya terjadi 1-10 hari setelah onset.4
Gambar 2.11. Lesi pada Herpes Simpleks4
Demam dengue merupakan salah satu penyakit infeksi tropis yang disebabkan
oleh virus dengue, salah satu virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Di daerah
endemis, 50-100 juta orang terinfeksi dengue setiap tahunnya. 14 Penyakit ini adalah
vector-borne virus dengan masa inkubasi 3-14 hari, dan memiliki 4 jenis dengue virus
: DENV1, DENV2, DENV3 dan DENV4.10
Spektrum dari penyakit dengue ini sangat luas, berkisar dari asimptomatik,
demam ringan, demam-non spesifik, demam dengue klasik, demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever) bahkan bisa menyebabkan dengue shock syndrome. Perjalanan
penyakit dari infeksi dengue ini terbagi menjadi 3 fase :
Pada fase demam, pasien umumnya datang dengan demam tinggi disertai dengan
nyeri kepala, mual muntah, nyeri perut serta dapat disertai dengan nyeri otot atau
sendi (dengue juga dikenal sebagai breakbone fever). Selain itu dapat timbul
manifestasi perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah. Manifestasi kulit dapat timbul
hingga pada 65% pasien dengan morfologi yang bervariasi.5,14 Ruam dapat berupa
maculopapular, morbiliformis ataupun petechie.
Patogenesis terjadinya ruam kulit pada infeksi dengue dipercaya akibat adanya
interaksi antara virus dengan sel tubuh yang menyebabkan keluarnya mediator kimia
dan mekanisme imun pada tubuh. Pada awal penyakit, dapat ditemukan flushing
eritem pada daerah muka, leher dan dada dan biasanya timbul pada 24-48 jam
pertama demam. Gejala ini dipercaya akibat dari dilatasi kapiler, diikuti dengan ruam
yang timbul 3-5 hari kemudian berupa erupsi morbiliformis dengan petechie dan
beberapa daerah yang tidak ruam (white island in a sea of red), hal ini dipercaya
akibat dari respon imun tubuh terhadap virus.14
Setelah fase demam, 95% dari pasien akan menuju fase konvalesense, dengan
5% lainnya masuk ke fase kritis dengan peningkatan permeabilitas kapiler (edem
pulmo, efusi pleura dan dapat shock).
Demam Dengue
Umumnya pasien masih dapat dilakukan rawat jalan dengan syarat
pemeriksaan Hb,Ht, trombsosit setiap hari. Pasien harus minum banyak 1,5-
2liter/hari dan orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda bahaya pada
anak : shock, BAB hitam, BAK kurang, lemah, sakit perut.
Pemberian antiperik dapat diberikan, dianjurkan adalah paracetamol.
Demam Berdarah Dengue tanpa shock (DHF grade I dan II)
Terapi berupa mengatasi kehilangan cairan plasma, akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
Infeksi zika virus umumnya bersifat asimptomatik pada 80%, tetapi pada 20%
lainnya, infeksi ini sangat menyerupai fase demam dari infeksi dengue. Infeksi zika
virus harus dicurigai terutama pada pasien dengan riwayat perjalanan ke daerah
endemis dalam 2 minggu terakhir, dan memiliki 2 atau lebih manifestasi berikut :
demam, ruam, konjungtivitis atau arthralgia.10,18
Selain itu pada infeksi zika dapat ditemukan limfadenitis servikal, disertai
dengan ruam maculopapular yang gatal, menyebar dari badan, dan melibatkan daerah
kepala dan ekstremitas. Ruam umumnya menetap selama 2-14 hari.10
Gambar 2.19. Ruam Tipikal Virus Zika18
Demam Skarlet
Demam scarlet adalah salah satu penyakit yang memiliki manifestasi klinis
ruam pada kulit. Disebabkan oleh infeksi bakteri Group A Streptococcus, infeksi ini
umumnya berupa faringitis eksudat dengan ruam maculopapular yang menyebar dari
daerah badan. Penegakkan diagnosis dari infeksi Group A Streptoccocus ini bisa
dengan menggunakan Centor Score. Centor Score terdiri dari :19
Manifestasi klinis dari AGEP adalah demam akut disertai dengan timbulnya
multiple papulopustul steril diatas eritroderma yang menyeluruh, Distribusi ruam pada
AGEP biasanya di daerah badan dan intertriginosa, tanpa adanya keterlibatan mukosa.
AGEP biasanya berhubungan dengan efek samping reaksi obat pada dewasa
(terutama anitbiotik), tetapi pada studi, AGEP pada anak lebih sering berhubungan
dengan adanya infeksi virus pada 80% kasusnya. Obat-obat yang dapat menyebabkan
terjadinya AGEP : Aminopenisilin, Sulphoniamide, Kuinolon, Diltiazem. Selain
virus, AGEP juga bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, dan parasite seperti E. Coli,
echinococcus, gigitan laba-laba, dan lain-lain.20
AGEP dipercaya sebagai reaksi T-sel. Aktivasi dari sistem imun menyebabkan
migrasi T-cell ke epidermis dan menyebabkan apoptosis dari keratinosit, sehingga
terbentuklah vesikel. Selanjutnya T-cell akan menginduksi kemotaksis dari
neutrophil, sehingga terjadi formasi dari pustule yang steril.
2.7. Tatalaksana
Penyakit yang disebabkan oleh virus umumnya bersifat self-limiting disease atau
bisa sembuh dengan sendirinya tanpa terapi spesifik. Sehingga terapi umumnya bersifat
supportive, seperti penurun demam, anti-pruritus, dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
Ruam pada anak merupakan salah satu gejala yang paling sering ditemukan di klinik.
Ruam paling sering disebabkan oleh infeksi virus dan gejalanya sering disertai gejala yang
lain seperti demam, gejala saluran pernafasan atas atau gejala gastrointestinal. Virus
penyebab terjadinya ruam pada anak sangatlah banyak, dan satu jenis virus dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda. Sebagai contoh, virus varicella zoster dapat
menyebabkan varicella pada infeksi primernya dan menjadi herpes zoster saat reaktivasi
virusnya.
Manifestasi timbulnya ruam pada anak cukup beragam. Ruam dapat berupa ruam
maculopapular, herpetiformis, vesikel, ruam morbiliformis, ataupun ruam lainnya. Distribusi
penyebaran ruam juga dapat berbeda-beda tiap penyakitnya. Ada yang sesuai dermatomal,
ada yang bersifat cephalocaudal, simetris bilateral ataupun lainnya. Selain itu juga tanda-
tanda patognomis pada setiap penyakit harus diperhatikan pada pasien.
Walaupun ruam akibat infeksi virus umumnya bersifat jinak, penegakkan diagnosis
dengan tepat penting untuk tatalaksana dan sebagai pencegahan penyebaran penyakit agar
tidak menularkan ke sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, editors. Pendekatan Diagnostik
Penyakit Eksantema Akut. In: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta,
Indonesia: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 100–20.
3. High WA, Prok LD. Viral Exanthems. In : Dermatology Secrets. Philadelphia, PA :
Elsevier;2021.p.219-223.
4. Green R. Viral Infections in Children, Volume II. Cham: Springer International
Publishing; 2017.
5. Drago F, Ciccarese G, Gasparini G, Cogorno L, Javor S, Toniolo A et al.
Contemporary infectious exanthems: an update. Future Microbiology.
2017;12(2):171-193.
6. 3. Anci E, Braun C, Marinosci A, Rodieux F, Midun E, Torres M et al. Viral
Infections and Cutaneous Drug-Related Eruptions. Frontiers in Pharmacology.
2021;11. Available from : https://doi.org/10.3389/fphar.2020.586407
7. Goldsmith L, Fitzpatrick T. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York:
McGraw-Hill Medical; 2012. p.2337-2366.
8. Kadambari S, Segal S. Acute viral exanthems. Medicine. 2017;45(12):788-793.
Available from : doi:10.1016/j.mpmed.2017.09.011
9. Saffar M, Rahmatpour Rokni G, Raeasian M. Pediatric Viral Exanthema: A Review
Article. Journal of Pediatrics Review. 2017;5(2). Available from : doi:
10.5812/jpr.9487
10. Hoeger P, Kinsler V, Yan A, Harper J, Oranje A, Bodemer C, et al., editors. Harper’s
Textbook of Pediatric Dermatology. Wiley; 2019.
11. Marcdante KJ, Kliegman R. Nelson essentials of pediatrics. 7th ed. Philadelphia, Pa:
Elsevier/Saunders; 2015.
12. Knöpfel N, Noguera-Morel L, Latour I, Torrelo A. Viral exanthems in children: A
great imitator. Clinics in Dermatology. 2019 May;37(3):213–26.
13. Bilen G, Gönül M, Koçak M, Gökce A, Ayvaz H and Canpolat F. Polymorphic
Exanthem Induced By Amoxycillin In A Child Case With Infectious Mononucleosis.
Austin J Dermatolog. 2015;2(1): 1033. ISSN:2381-9189
14. Huang H-W, Tseng H-C, Lee C-H, Chuang H-Y, Lin S-H. Clinical significance of
skin rash in dengue fever: A focus on discomfort, complications, and disease
outcome. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine [Internet]. 2016 Jul 1 [cited
2021 Nov 22];9(7):713–8. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S199576451630102X
15. Kothai R, Arul B. Dengue Fever: An Overview. Dengue Fever in a One Health
Perspective [Internet]. 2020 Jul 1; Available from:
https://www.intechopen.com/books/dengue-fever-in-a-one-health-perspective/dengue-
fever-an-overview
16. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. New Delhi, India: World Health Organization Regional Office
For South-East Asia; 2011.
17. Pudijaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia;2009.p.141-149
18. Koenig K, Almadhyan A, Burns M. Identify-Isolate-Inform: A Tool for Initial
Detection and Management of Zika Virus Patients in the Emergency Department.
Western Journal of Emergency Medicine. 2016 May 27;17(3):391–5.
19. Basetti S, Hodgson J, Rawson TM, Majeed A. Scarlet fever: a guide for general
practitioners. London Journal of Primary Care. 2017 Aug 11;9(5):77–9.
20. Feldmeyer L, Heidemeyer K, Yawalkar N. Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis: Pathogenesis, Genetic Background, Clinical Variants and Therapy.
International Journal of Molecular Sciences [Internet]. 2016 Jul 27;17(8). Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5000612/