Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Ruam pada kulit merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada
anak. Insidensi exanthema pada anak diperkirakan berkisar 158.3/10,000 dengan penyebab
yang sangat beragam.1 Penyakit infeksisus seperti bakteri, virus maupun penyakit non-
infeksius seperti alergi dapat menyebabkan timbulnya ruam pada anak. Walaupun begitu
ruam pada anak paling sering diakibatkan oleh infeksi virus. Eksantema virus merupakan
sebuah ruam yang polimorfik, dapat memberikan gambaran yang berbeda maupun gambaran
yang mirip dengan penyakit lainnya. Ruam yang terbentuk dapat berupa erupsi makula
dengan / atau papul maupun berbentuk erupsi lainnya.2

Gambar 1.1. Ruam pada anak akibat Infeksi Virus3

Beberapa ruam pada anak memang tidak membahayakan dan dapat sembuh dengan
sendirinya, tetapi beberapa ruam membutuhkan pengenalan sejak dini untuk penanganan
secara cepat dan menghindari penyebaran penyakit tersebut. Sehingga anamnesis yang
mendetail pada pasien seperti gejala prodromal, gejala penyerta, riwayat kontak, berpergian,
dan status imunisasi pada anak perlu ditanyakan. Pemeriksaan menyeluruh juga harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis maupun untuk mengeksklusi penyakit lainnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Eksantema berasal dari kata “exanthema” dan “Anthos” yang berarti adalah
erupsi.4 Eksantema merupakan erupsi ruam pada kulit dan dapat disebabkan oleh
penyakit infeksius maupun non-infeksius. Eksantem ini umumnya juga berhubungan
dengan munculnya lesi pada mukosa (enanthem) dan demam ataupun gejala sistemik
lainnya.5 Virus adalah penyebab paling sering terjadinya eksantem atau munculnya
ruam pada anak.

Awalnya penyakit eksantem ini diberi nama sesuai urutan ditemukannya dan sering
disebut juga sebagai “classic exanthem”:6

1) Campak / Rubeola
2) Demam Scarlet
3) Rubella
4) Filatow-Dukes
5) Eritema Infeksiosum
6) Exanthema Subitum

Diketahui 4 dari 6 exanthem klasik ini disebabkan oleh virus, sedangkan demam
scarlet disebabkan oleh bakteri group A streptococcus. Sedangkan terminologi
penyakit filatow-duke sudah tidak lagi digunakan saat ini, Exanthema selain 6 diatas
akan disebut sebagai “Atypical Exanthem”.6

2.2. Etiologi

Virus yang dapat menyebabkan terjadinya exanthem ataupun ruam pada anak
sangatlah banyak. Satu jenis virus dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi
klinis kulit yang berbeda pada anak. Berikut beberapa virus yang dapat menyebabkan
timbulnya ruam pada anak :4

1. Herpes Virus
Merupakan keluarga dari Herpesviridae yang merupakan virus DNA dengan
strain ganda. Terdapat 8 jenis virus dari Herpesviridae : Human Herpesvirus 1-8.
 Herpes Simplex Virus 1 dan 2 merupakan salah satu contoh terkenal dari
Herpesviridae. Kedua virus ini sering menyebabkan penyakit herpes simpleks,
dimana HSV 1 lebih sering menyerang daerah mukosa, sedang HSV 2 lebih
sering ditemukan di daerah genital.
 Varicella-zoster Virus (HHV 3)
Merupakan salah satu keluarga dari Alphaherpesviridae yang mempunyai
karakteristik reproduksi yang cepat, mudah menyebar serta fase laten di
neuron sensorisnya. Penyakit yang disbebkan oleh VZV ini awalnya berupa
varicella. Reaktivasi ulang dari VZV saat kondisi imun yang menurun,
menyebabkan terjadinya Herpes Zoster.
 Epstein Barr Virus (HHV 4)
Salah satu bagian dari Gammaherpesvirinae, virus ini bereplikasi di sel
limfoblastoid dan bersifat laten di jaringan limfoid. Infeksi primer dari EBV
biasanya bersifat asimptomatik, tetapi pada anak yang lebih besar dan dewasa,
infeksi ini dapat menyebabkan infectious mononucleosis. Selain itu EBV juga
dapat menyebabkan Gianotti-Crosti Syndrome, dermatosis yang sering
ditemukan pada anak usia 2-6 tahun. Selain itu ruam juga dapat terbentuk
akibat reaksi EBV terhadap aminopenicillin.
 HHV 6 dan 7
HHV 6 dan 7 adalah salah satu keluarga betaherpesviridae. Infeksi HHV
umum ditemukan pada anak, dengan 77% anak sudah terkena HHV sebelum
usia 2 tahun dan 45% anak terkena HHV 7 sebelum usia 4 tahun. Manifestasi
klinis akibat HHV 6 dan 7 adalah Roseola Infantum dan dapat juga berupa
Pityriasis Rosea.
2. Virus Campak

Virus campak disebabkan oleh famili dari Paramyxoviridae dan menyebar


lewat inokulasi respiratori. Setelah masa period 10-12 hari, pasien akan
mengalami fase prodromal seperti demam, dan 3C : Conjunctivitis, Coryza dan
Cough.
3. Virus Rubella

Sering dikenal sebagai campak Jerman, penyakit ini disebabkan oleh virus
Rubella, keluarga dari Togaviridae. Cirus ini menyebar lewat udara dan dapat
menular sejak 1 minggu sebelum gejala hingga 2 minggu setelah gejala hilang.

4. Parvovirus B19

Parvovirus B19 adalah virus DNA single stranded yang menular lewat droplet
pernafasan dan memiliki banyak manifestasi yang beragam. Sebanyak 25-50%
infeksi ini bersifat asimptomatik. Anak yang lebih muda biasanya timbul dengan
manifestasi eritema infeksiosa, sedangkan pada anak yang lebih tua, manifestasi
yang timbul biasanya papular purpuric glove and socks syndrome.

5. Coxsackie Virus

Termasuk dalam genus Enteroviridae, Coxsackie virus terbagi menjadi


Coxsackie group A dan coxsackie group B tergantung dari karakteristik molecular
dan serologinya. Coxsackie group A lebih menyebabkan penyakit neurologis
seperti polio, penyakit akibat enterovirus lainnya dan aseptic meningitis.
Sedangkan Coxsackie B lebih sering menyebabkan myocarditis, pericarditis,
pleuritis, dan pancreatitis. Virus ini menular lewat sekret tubuh dan dapat
bermanifestasi sebagai Hand, Foot and Mouth Disease.

6. Molluscum Contagiosum Virus

Infeksi kulit dan membran yang disebabkan oleh virus molluscum


contagiosum. Virus ini sangat menular dan menyebar lewat kontak fisik, ataupun
autoinokulasi.

7. Infeksi Virus lainnya

Selain virus yang disebutkan, masih banyak virus-virus lainnya yang dapat
menyebabkan terjadinya ruam pada anak. Tetapi manifestasi klinis yang terbentuk
biasanya tidak spesifik. Sebagai contoh adenovirus, rhinovirus, dengue dan virus
lainnya.
2.3. Klasifikasi Eksantema Virus pada Anak

Klasifikasi eksantema virus pada anak dapat diklasifikasikan berdasarkan


gambaran ruamnya. Ruam kemerahan dengan bentolan dimasukkan dalam Kelompok
maculopapular, sedangkan kelompok lain ditandai dengan papul dan vesikel atau
kelompok papulovesikular.2

Tabel 2.1. Klasifikasi Eksantema Virus pada Anak2

Kelompok Makulopapular Kelompok Papulovesikular


Campak Infeksi virus Varicella-zoster
Infeksi Human Herpesvirus 6&7 Infeksi virus herpes simplex
Infeksi Parvovirus B19 Infeksi virus Coxsackie
Infeksi Epstein Barr Virus Lain-lain
Rubella
Infeksi Arbovirus
Lain-lain

2.3. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya ruam pada kulit hanya sedikit diketahui, tetapi terdapat
beberapa mekanisme yang dipercaya dapat menyebabkan munculnya ruam di kulit.
Salah satu mekanisme yang dipercaya dapat menyebabkan ruam adalah inokulasi
langsung dari agen infeksi terhadap kulit. Selain itu ruam juga di dapat disebabkan
oleh diseminasi jarak jauh ataupun respon imun dari virus dengan antibody ataupun
akibat imun yang dimediasi oleh sel (indirect / parainfectious exanthema)1,5

Timbulnya ruam oleh virus tergantung oleh kemampuan virus untuk


berkembang di sel dermal dan epidermal. Virus bisa menginfiltrasi kulit dan sel
jaringan lewat fiksasi reseptor sel ataupun lewat penetrasi intracellular. Selain itu,
penelitian menunjukkan bahwa manifestasi kulit pada infeksi virus diinduksi oleh
adanya efek sitopatik virus (inkuli, ballooning, vakuloasi dan nekrosis) sehingga
terjadi edem, perdarahan dan muncul ruam pada kulit.6
Virus yang bersikulasi di tubuh, baik secara bebas atau dimediasi oleh sel
dapat menyebabkan infeksi pada dinding pembuluh darah dan dapat juga berkembang
di jaringan ekstravaskular menyebabkan terjadinya erupsi kulit. Adanya mekanisme
imun dari tubuh juga dapat menyebabkan lesi pada kulit. Sebagai contoh, respond
imun selular bisa menyebabkan ruam kulit akibat adanya reaksi inflamasi non
spesifik.6

Ruam tubuh akibat virus juga dapat timbul akibat adanya hipersensitivitas tipe
4 (tipe lambat) terhadap pathogen. Contoh dari mekanisme ini adalah Gianotti Crosti
syndrome, dimana exanthem yang terbentuk adalah bentuk hipersensitivitas imun dan
bukan akibat infeksi primer dari virus tersebut.6

Tabel 2.2. Patogenesis pada Exanthema akibat Virus5

2.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis kulit akibat infeksi virus pada anak sangatlah beragam. Lesi
dapat berupa makula, papul, vesikel, petekie, purpura ataupun ruam lainnya seperti
ruam morbilliform, dan ruam scarlet. Distribusi dari lesi juga harus diperhatikan pada
pasien anak dengan ruam. Sebagai contoh, pada herpes zoster ruam mengikuti sesuai
dermatome saraf yang terkena. Sedangkan pada Gianotti-Crosti syndrome, ruam
umumnya bersifat simetris.

Selain ruam, perlu juga diperhatikan gejala yang menyertai ruam tersebut.
Gejala prodromal seperti demam, gejala infeksi saluran pernafasan atas, atau gejala
yang menyertai ruam saat ini perlu diperhatikan untuk membantu menegakkan
diagnosis.

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis Exanthema Virus7

Tipe Ruam Virus / Penyakit


Makula / Morbiliformis Rubella
Echovirus
Coxsackievirus
EBV (infeksius Mononukleosis)
Rubeola
Human Herpesvirus 6 (Roseola)
Arbovirus (demam dengue)
Parvovirus B19 (eritema infeksiosum)
HIV
Papular Human Papillomavirus
Molluscum Contagiosum
Petechiae / Purpuric Coxsackievirus A5,A9
Hemorrhagic Fever Virus
Congenital Rubella
EBV
Vesicular / Vesicopustular Varicella Zoster Virus
Variola Virus
Herpes Simplex Virus 1 dan 2
Coxsackievirus (HFMD)
Echovirus

2.5. Diagnosis

Penegakkan diagnosis pada pasien anak dengan ruam umumnya berdasarkan


klinis dan pemeriksaan fisik. Padahal, gambaran ruam pada anak terkadang sulit
untuk dibedakan. Walaupun ruam pada anak umumnya jinak, beberapa jenis ruam
membutuhkan pengenalan secara cepat sehingga dapat dilakukan tatalaksana serta
pencegahan yang sesusai. Maka dari itu, terdapat beberapa hal penting yang perlu
ditanyakan pada saat anamnesis anak yang disertai dengan ruam :2

1. Riwayat penyakit infeksi sebelumnya dan data imunisasi anak


2. Gambaran masa prodromal
3. Gambaran / karakteristik ruam, lokasi dan penyebarannya
4. Gejala patognomik atau ciri tertentu
5. Hasil laboratorium uji diagnostic (jika diperlukan)

Berikut beberapa penyakit akibat virus yang sering bermanifestasi sebagai ruam pada
anak :

Tabel 2.4. Exanthema Kulit pada Anak8

2.5.1. Campak
Campak atau rubeola merupakan salah satu penyakit yang menular yang
disebabkan paramyxovirus dan dapat dicegah dengan pemberian vaksin. 8 Walaupun
begitu, campak masih merupakan salah satu penyebab terjadinya mortalitas pada
anak, dengan >530.000 anak meninggal setiap tahunnya.9 Campak menular melalui
droplet dengan angka penularan hingga 90% pada kontak dekat.8

Virus campak menginvasi dan bereplikasi di epitel saluran pernafasan dan


juga jaringan limfoid local. Hal ini menyebabksn viremia primer yang selanjutnya
akan menyebar ke retikuloendotelial sistem. Setelah itu akan terjadi viremia kedua
yang terjadi 5-7 hari kemudian dan menyebabkan keterlibatan kulit dan organ
lainnya10

Campak dapat dibagi menjadi 4 fase : fase inkubasi, prodromal (kataral),


exanthem (ruam) dan penyembuhan.11 Fase inkubasi campak biasanya berkisar selama
10 hari, lalu muncul gejala prodromal berupa demam, batuk, kongesti nasal dan
rhinokonjungtivitis atau 3C : coryza, conjunctivitis dan cough. Salah satu tanda
enanthema patognomis pada campak adalah ditemukannya koplik spot, sebuah papul
berwarna putih-keabuan dengan dasar mukosa bukal yang kemerahan. Koplik spot
akan muncul 2-4 hari sebelum ruam seluruh tubuh timbul.

Gambar 2.1. Koplik spot pada Campak2


Ruam pada campak biasanya timbul setelah demam tinggi 3-4 hari. Pada
campak, ruam umumnya berbentuk morbiliformis berwarna merah-sedikit kecoklatan,
timbul dari belakang telinga meluas ke dada, perut, punggung dan kemudian
ekstremitas (bersifat cephalocaudal). Ruam biasanya akan menghilang pada hari ke 5
atau 6 mengikuti awal munculnya ruam disertai dengan deskuamasi.

Gambar 2.2.Ruam Campak8

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan PCR melalui swab


tenggorokan, ataupun dengan pemeriksan IgM dari cairan mulut. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas 100% dengan spesifisitas sebanyak 96%. Waktu yang
direkomendasikan untuk pengambilan sample berkisar dari 3 hari – 8 minggu sejak
adanya ruam.8

Terapi campak umumnya suportif dengan hidrasi yang cukup serta pemberian
antipiretik. Pemberian vitamin A dosis tinggi menunjukkan adanya resolusi campak
yang lebih baik pada infant di negara berkembang, sehingga saat ini WHO
merekomendasikan pemberian vitamin A pada pasien anak dengan campak.11 Vitamin
A dapat diberikan 100.000IU peroral 1x, pada pasien malnutrisi, dapat dilanjutkan
dengan pemberian 1500IU tiap hari.2

2.5.2. Rubela

Rubela, atau dikenal juga campak 3 hari atau campak German disebabkan oleh
virus togavirus. Penyakit ini merupakan penyakit self-limited yang dapat menyerang
anak dan dewasa. Sama seperti campak, rubella merupakan salah satu penyakit yang
dapat dicegah dengan pemberian vaksin.

Rubella masuk menuju saluran pernafasan atas, dan terjadi replikasi virus di
mukosa nasofaringeal dan nodus limfe regional. Setelah itu akan terjadi viraemia 5-7
hari setelah terinfeksi, dan virus ini akan menyebar ke seluruh tubuh termasuk kulit,
organ lain dan juga plasenta pada ibu hamil.10

Masa inkubasi rubella berkisar 16-18 hari dilanjutkan dengan adanya gejala
prodromal ringan yang tidak khas, seperti demam ringan, rhinorrhea, sakit kepala,
nyeri otot. Selan itu dapat ditemukan juga pembesaran kelenjar getah bening terutama
pada daerah belakang telinga dan occipital dan hal itu merupakan temuan yang dapat
menunjang diagnosis rubella, walaupun tidak selalu ditemukan pada anak.

Setelah 1-4 hari gekala prodromal, biasanya akan timbul ruam. Ruam yang
timbul biasanya berwarna merah muda, awalnya di daerah leher dan muka dan
menyebar ke seluruh tubuh (cephalocaudal) lebih cepat dari campak (dalam 24-
48jam). Ruam akan memudar pada hari ke 3 tanpa deskuamasi. Makula eritem juga
dapat ditemukan pada palattum mole, yang sering disebut juga Forchheimer spot.
Gambar 2.3. Rubella10

Pemeriksaan darah lengkap memiliki hasil yang tidak spesifik pada rubella,
dengan hasil yang umumnya adalah leukopeni. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan
dengan deteksi serologi IgM (positive 5 hari sejak gejala muncul) atau adanya
peningkatan IgG 4x lipat.11

Rubella kongenital dapat terjadi ketika ibu mengalami rubella pada awal masa
gestasinya. Terkena rubella pada 16 minggu awal masa gestasi dapat menyebabkan
congenital rubella syndrome yang terdiri dari katarak, glaucoma, tuli, penyakit
jantung kongenital dan gangguan sistem saraf pusat (seperti microcephali dan
hydrosephalus).

2.5.3. Eritema Infeksiosum

Infeksi akibat Parvovirus B19 dapat menyebabkan eritema infeksiosum atau


penyakit kelima. Parvovirus B19 memiliki sel reseptor eritrosit P antigen, yang juga
terdapat pada sel eritroid. Virus ini bereplikasi aktif di stem sel eritroid, menyebabkan
kematian sel dan menyebabkan aplasia eritroid dan anemia. 11 Pada pasien
immuncompetent, tubuh akan berusaha untuk mengeluarkan respond antibody
spesifik untuk mengeliminasi viremia yang terjadi. Hal ini akan terjadi bersamaan
dengan timbulnya ruam, sehingga penderita tidak lagi dapat menularkan infeksi.10

Pada infant dan anak, penyakit ini dikarakteristikan dengan ruam yang
didahului oleh gejala sistemik ringan ataupun gejala respiratori seperti demam ringan,
malaise, sakit kepala, myalgia atau arthralgia (7-10 hari sebelum erupsi exanthem).
Pada anak yang sudah lebih besar gejala arthritis lebih menonjol, sedangkan ruam
umumnya tidak begitu terlihat. Gejala arthropathy yang dialami biasanya simetris dan
poliartikular, mengenai kaki, tangan dan sendi lainnya.4,5

Karakteristik ruam yang disebabkan oleh parvovirus B-19 adalah eritema


disekitar muka (slapped cheek syndrome) dengan daerah pucat di perioral. Lalu
timbul ruam macular simetris menyebar di tubuh, lalu menghilang di daerah
tengahnya membuat gambaran ‘lacy-reticulated rash’ yang berkisar 2-40 hari. Lesi
ini tidak terasa gatal.

Gambar 2.4. Eritema Infeksiosa3

Pasien dengan eritema infeksiosum dapat mengalami krisis aplastic transient,


terutama pada pasien dengan penyakit sickle cell yang memiliki masa hidup eritorid
yang lebih sedikit. Pasien dengan krisis aplastic transiet akibat parvovirus B19
biasanya memiliki gejala seperti demam, letargi, malaise, pucat, gejala pencernaan
maupun gejala saluran nafas atas. Angka retikulosit umumnya sangat rendah, dan
kadar Hb biasanya ditemukan lebih rendah dibanding biasanya. Neutropenia dan
trombositopenia transient juga dapat ditemukan.

Penegakkan diagnosis eritema infeksiosum umumnya ditegakkan berdasarkan


temuan klinis, Tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan PCR parvovirus B19 dan
mikroskop electron dari sumsum tulang. Selain itu IgM antibody terhadap parvovirus
juga bisa menegakkan diagnosis, menunjukkan adanya infeksi dalam 2-4 bulan
terakhir.11

Tidak terdapat spesifik terapi pada eritema infeksiosum, selain pemberian


terapi konservatif (analgetic, atau pemberian anti-inflamasi). Transfusi darah mungkin
akan dibutuhkan pada pasien dengan anemia aplastic.10,11

2.5.4. Roseola Infantum

Human Herpesvirus 6 & 7 umumnya ditularkan lewat saliva dan merupakan


infeksi yang menetap seumur hidup (90% orang dewasa memilki hasil seropositive
untuk virus ini). Virus ini menyebabkan exanthema subitum atau dapat disebut juga
roseola atau pennyakin keenam, yang merupakan penyakit exanthem yang umum
ditemukan pada anak dibawah 3 tahun.

Roseola umumnya timbul setelah resolusi dari demam tinggi. Terdapat demam
tinggi (>39,5˚C) selama 3-4 hari yang bisa disertai irritabilitas, penurunan nafsu
makan, lemas, dan rhinorhhea. Setelah itu suhu tubuh akan kembali menjadi normal
dan dalam 2 hari setelah resolusi, akan timbul bercak merah yang pucat di daerah
badan yang kemudian akan menyebar ke muka dan ekstremitas. Lesi diskret
berbentuk sirkular / elliptical dengan diameter 2-3 mm, dan umumnya tidak gatal.

Roseola infantum adalah penyakit jinak dan self limiting. Tetapi sering terjadi
komplikasi berupa kejang demam pada 6-15% kasus infeksi HHV 6 dan 7. Terapi
yang diberikan dapat berupa supportif, terutama paracetamol untuk mengontrol
demam tinggi pada awal perjalanan penyakit.4
Gambar 2.5. Roseola Infantum4

2.5.5. Pitriasis Rosea

Pitriasis rosea adalah exanthem akut yang self-limiting akibat dari reaktivasi
HHV 6 atau HHV 7. Walaupun beberapa penelitian tidak menemukan adanya
hubungan antara pitriasis rosea dengan HHV, beberapa penilitian terakhir
menunjukkan adanya peran sistemik HHV-6 dan HHV-7 dalam terjadinya pitriasis
rosea. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan DNA HHV-6 dan HHV-7 dalam
plasma dan juga mRNA. Pemeriksaan menggunakan mikroskop electron juga
menunjukan herpesvirus virion yang ditemukan dalam lesi kulit pada pasien penderita
pitriasis rosea.5

Manifestasi kulit klasik dari Pitriasis rosea adalah adanya herald patch –
sebuah lesi plak berwarna pink salmon, berbatas tegas di daerah badan. Lesi ini
umumnya berukuran 2-10cm, ovoid dan sedikit meningkat, dan dapat ditemukan
kolaret di pinggiran lesi tersebut. Beberapa hari setelah timbul herald patch, akan
timbul lebih banyak plak yang lebih kecil di daerah badan dan ekstremitas. Pada
beberapa kasus akan timbul lesi seperti pohon natal terbalik.4,5

Pitriasis rosea lebih umum dialami pada anak yang lebih dewasa, dengan
predominan terutama pada perempuan. Exanthem akan hilang dalam 8 minggu dalam
80% pasien. Penegakkan diagnosis dapat melalui klinis, dengan terapi umumnya
suportif.4

Gambar. 2.6. Pitriasis Rosea4

2.5.6. Varisela

Varisela atau disebut juga “chickenpox” merupakan manifestasi utama dari


virus varicella-zoster. Penyakit ini sangat umum pada anak dan sangat menular
terutama dengan kontak terhadap lesi kulit ataupun droplet sistem pernafasan.
Varicella memiliki masa inkubasi 10-21 hari dan dapat menular sejak 1-2 hari
sebelum terjadinya gejala, selama terdapat lesi kulit, hingga 5 hari setelah onset
eksantem.

Gejala prodromal yang ditemukan biasanya adalah demam, lemas, sakit


kepala, tetapi bisa saja timbul bersamaan dengan terjadinya ruam. Karakteristik ruam
pada varisela berupa : evolusi cepat dari makula-papula-vesikel, pecah dan menjadi
krusta. Distribusi ruam ini biasanya secara sentripetal, terasa gatal, dan dapat
ditemukan stadium yang berbeda-beda dalam satu saat. Selain itu juga dapat
ditemukan vesikel dengan dasar yang eritem (dewdrops on a rose petal).4,9,12

Umumnya varicella dapat ditegakkan hanya dengan klinis, dan tidak


diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Tetapi pada kasus yang kurang jelas
atau pada pasien dengan imumosupresi, dapat dilakukan pemerikssaan PCR,
imunofluoresense langsung dan pemeriksaan DNA virus untuk penegakkan diagnosis.

Terapi yang diberikan terutama pada pasien immunocompetent umumnya


adalah terapi supportive, terutama untuk mengurangi demam dan rasa gatal di kulit
(lotio calamine).4 Pemberian acyclovir tidak diwajibkan pada pasien dengan
immunocompetent, tetapi acyclovir terbukti dapat mengurangi lama demam dan
mengurangi jumlah lesi yang timbul. Dosis yang diberikan : Acyclovir
80mg/kgBB/hari per oral terbagi dalam 5 dosis selama 5 hari2

2.5.7. Herpes Zoster

Setelah infeksi primer virus varicella zoster, virus ini akan tetap berada di
ganglion saraf tubuh dalam bentuk latent. Reaktivasi virus ini disebabkan oleh
berkurangnya sel T akibat usia lanjut, terapi imunosupresi, malignancy ataupun tanpa
sebab yang jelas. Sehingga herpes zoster dilaporkan hanya pada <1% anak yang
immunocompetent.9,12

Beberapa hari sebelum erupsi exanthem, pasien umumnya merasakan nyeri


ataupun panas di daerah dermatome yang terkenal. Ruam umumnya timbul sebagai
papul eritem yang dengan cepat berevolusi menjadi vesikel berkelompok. Lesi ini
bersifat unilateral dan mengikuti garis dermatome saraf yang terkena. Pada anak,
terdapat predileksi lesi di daerah dermatome servikal dan sacral, dan tidak seperti pada
orang dewasa, neuralgia postherpetic sangatlah jarang terjadi pada anak, kecuali pada
anak dengan gangguan imun.12
Gambar 2.7. Herpes Zoster pada Anak 4

2.5.8. Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD)

Hand-Foot-Mouth Disease adalah penyakit yang sangat menular, terutama


menyerang anak dibawah 5 tahun. Penyakit ini disebabkan oleh coxsackievirus,
terutama coxsackievirus A16 dan Enterovirus-type 71.9,12 Setelah infeksi di daerah
epitel faring, virus akan menyebar menuju limfe nodus regional dalam waktu 24 jam.
Setelah itu akan dilanjutkan diseminasi virus ke mukosa oral, kulit dan juga organ
lainnya.10 Transmisi umumnya berupa fecal-oral. Exanthema didahului oleh gejala
prodromal (2-4 hari) dan dapat ditemukan demam, penurunan nafsu makan, nyeri
tenggorokan dan nyeri perut.

Ruam berupa vesikel berukuran besar (2-8mm), oval dan kebuan di daerah
palmoplantar, mukosa bukal, lidah ataupun di palatum durum. Penyakit ini
merupakan self limiting disease dan tidak membutuhkan terapi lain selain terapi
supportif. Pada beberapa keadaan, penyakit ini dapat berkembang menjadi
meningitis / myocarditis.4
Gambar 2.8. Lesi pada Hand-Foot-Mouth Disease10

2.5.9. Infeksius Mononukleosis

Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan double-strand DNA herpes virus dengan


prevalensi yang cukup tinggi di populasi umum. Infeksi primer dari virus ini
umumnya terdapat pada mukosa orofaring dan menybar ke sel B di jaringan limfoid. 12
Sel B yang bersirkulasi akan menyebabkan penyerbaran virus ke sistem
retikuloendotelial dan akan menstimulasi respond sel T. Replikasi dari virus dan
proliferasi dari sel imun ini dipercaya sebagai penyebab terjadinya gejala pada
infeksius mononucleosis.10

Infeksi dari Epstein-Barr virus menyebabkan terjadinya infeksius


mononucleosis terutama pada anak yang lebih tua dan dewasa dengan manifestasi
klasiknya berupa demam, eksudat tonsilofaringitis dengan petechiae, limfadenopati
cervical dan atypical lymphocytosis.9
Pada 3-15% kasus infeksisus mononucleosis, akan muncul ruam dalam 3-5
hari setelah onset penyakit. Ruam yang terbentuk merupakan ruam kutan non-spesifik
berupa macular, scarlet, urtica, petechiae ataupun morbiliformis.10 Tetapi 90% dari
kasus infeksius mononucleosis akan muncul ruam maculopapular 5-10 hari setelah
terapi dengan penicillin. Ruam yang muncul berupa ruam maculopapular eritem
seperti morbiliformis di daerah muka, badan dan daerah ekstremitas. Ruam ini
dipercaya timbul akibat adanya deposisi dari antibody-ampicillin complex di kulit,
dan akan menghilang setelah pemberian antibiotik dihentikan.4

Gambar 2.9. Ruam setelah pemberian amoxicillin pada infeksi EBV13

2.5.10. Gianotti-Crosti Syndrome

Gianotti-Crosti Syndrome, atau sering disebut juga sebagai Papular


acrodermatitis of Childhood (PAC) adalah dermatosis yang sering ditemukan pada
anak usia 2-6 tahun. Penyebab utama dari sindrom ini sering disebabkan oleh infeksi
primer EBV atau reaktivasi sekunder dari EBV. Sindrom ini dikarakteristikan dengan
erupsi mendadak dari papul ataupun exanthem papulovesikular. Papul yang terbentuk
eritem dan edem, dan bisa bergabung menjadi plaque yang besar. Lesi umumnya
terdistribusi simetris di daerah ekstensor ekstremitas, pantat, muka dan tidak
mengenai daerah badan.
Sebelum erupsi, umumnya pasien didahului oleh gejala prodromal dari infeksi
saluran pernafasan atas ataupun infeksi gastrointestinal. Ketika ruam sudah timbul,
pasien dapat mengalami demam, bahkan hepatosplenomegaly ataupun limfadenopati.
PAC adalah diagnosis klinis dapat merupakan self-limiting disease, sehingga ruam
dapat hilang walaupun tanpa intervensi.4

Gambar 2.10. Ruam pada Gianotti-Crosti Syndrome4

2.5.11. Herpes Simpleks

Herpes simpleks disebabkan oleh Herpes Simplex Virus 1 dan 2 (HSV 1 dan
2). HSV 1 biasanya lebih sering menginfeksi mukosa oral, sedangkan HSV 2 lebih
sering ditemukan di genital. Walaupun begitu kedua virus dapat menginfeksi di kedua
lokasi tersebut. Pada neonates, HSV dapat menular lewat jalan lahir. Gejala yang
timbul akibat infeksi primer biasanya berupa demam, nyeri otot, malaise. Lesi
umumnya timbul di daerah bibir dan berprogresi dari makula merah manjadi vesikel,
pustul, dan ulkus. Penyembuhan biasanya terjadi 1-10 hari setelah onset.4
Gambar 2.11. Lesi pada Herpes Simpleks4

2.5.12. Demam Dengue

Demam dengue merupakan salah satu penyakit infeksi tropis yang disebabkan
oleh virus dengue, salah satu virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Di daerah
endemis, 50-100 juta orang terinfeksi dengue setiap tahunnya. 14 Penyakit ini adalah
vector-borne virus dengan masa inkubasi 3-14 hari, dan memiliki 4 jenis dengue virus
: DENV1, DENV2, DENV3 dan DENV4.10

Diketahui lapisan luar (envelope) glikoprotein dari virus membantu


pengikatan virus ke sel pejamu, dan diikuti oleh replikasi virus. Lapisan luar virus,
protein membrane dan protein nonstrukutral 1 (NS-1) merupakan protein utama dari
DENV dan merupakan target dari respon imun tubuh. Sel T CD4+ dan CD8+ akan
menyerang sel yang terinfeksi dan mengeluarkan IFN-G, TNF-a dan limfotoksin.
Infeksi primer dari DENV memnyebabkan imunitas seumur hidup terhadap serotipe
tersebut, tetapi bukan serotipe lainnya.15
Gambar 2.12. Patofisiologi Demam Dengue15

Spektrum dari penyakit dengue ini sangat luas, berkisar dari asimptomatik,
demam ringan, demam-non spesifik, demam dengue klasik, demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever) bahkan bisa menyebabkan dengue shock syndrome. Perjalanan
penyakit dari infeksi dengue ini terbagi menjadi 3 fase :

1. Fase demam (2-7 hari)


2. Fase Kritis (24-48 jam)
3. Fase konvalesense (2-7 hari)
Gambar 2.13. Manifestasi Demam Dengue16

Gambar 2.14. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahannya16

Pada fase demam, pasien umumnya datang dengan demam tinggi disertai dengan
nyeri kepala, mual muntah, nyeri perut serta dapat disertai dengan nyeri otot atau
sendi (dengue juga dikenal sebagai breakbone fever). Selain itu dapat timbul
manifestasi perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah. Manifestasi kulit dapat timbul
hingga pada 65% pasien dengan morfologi yang bervariasi.5,14 Ruam dapat berupa
maculopapular, morbiliformis ataupun petechie.

Gambar 2.15. Manifestasi Kulit pada Infeksi Dengue : (A) Ruam


maculopapular, (B) Morbiliformis, (C) Lesi petechiae14

Patogenesis terjadinya ruam kulit pada infeksi dengue dipercaya akibat adanya
interaksi antara virus dengan sel tubuh yang menyebabkan keluarnya mediator kimia
dan mekanisme imun pada tubuh. Pada awal penyakit, dapat ditemukan flushing
eritem pada daerah muka, leher dan dada dan biasanya timbul pada 24-48 jam
pertama demam. Gejala ini dipercaya akibat dari dilatasi kapiler, diikuti dengan ruam
yang timbul 3-5 hari kemudian berupa erupsi morbiliformis dengan petechie dan
beberapa daerah yang tidak ruam (white island in a sea of red), hal ini dipercaya
akibat dari respon imun tubuh terhadap virus.14

Setelah fase demam, 95% dari pasien akan menuju fase konvalesense, dengan
5% lainnya masuk ke fase kritis dengan peningkatan permeabilitas kapiler (edem
pulmo, efusi pleura dan dapat shock).

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukopenia, trombositopenia


dan peningkatan hematokrit. Pada fase akut, dapat diperiksa protein nonstruktural
(NS1 antigen) pada tubuh. Setelah tidak terjadi viremia, dapat diperiksakan IgM pada
serum darah.
Tatalaksana utama dari infeksi virus dengue adalah dengan hidrasi yang
cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Terapi demam dengue berdasarkan dengan
derajat keparahan penyakit :16

 Demam Dengue
Umumnya pasien masih dapat dilakukan rawat jalan dengan syarat
pemeriksaan Hb,Ht, trombsosit setiap hari. Pasien harus minum banyak 1,5-
2liter/hari dan orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda bahaya pada
anak : shock, BAB hitam, BAK kurang, lemah, sakit perut.
Pemberian antiperik dapat diberikan, dianjurkan adalah paracetamol.
 Demam Berdarah Dengue tanpa shock (DHF grade I dan II)
Terapi berupa mengatasi kehilangan cairan plasma, akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.

Gambar 2.16. Tatalaksana DBD derajat I dan II16


 Demam Berdarah Dengue dengan shock (DHF grade III, IV, Dengue Shock
syndrome)
Pada demam berdarah yang disertai dengan shock, dibutuhkan pernggantian
volume plasma dengan segera : cairan IV ringer laktak 10-20 mL/kgBB
dibolus dalam 30 menit,
Terapi pasca shock diberikan 10mL/kg/jam lalu diturunkan menjadi
7mL/kg/jam, 5mL/kg/jam, 3mL/kg/jam apabila tanda vital dan diuresis
membaik.
Jumlah urine 1mL/jg/jam merupakan sebuah indikasi bahwa sirkulasi telah
membaik.

Gambar 2.17. Tatalaksanana DHF III & IV atau DSS16


2.5.13. Zika Virus

Infeksi zika virus umumnya bersifat asimptomatik pada 80%, tetapi pada 20%
lainnya, infeksi ini sangat menyerupai fase demam dari infeksi dengue. Infeksi zika
virus harus dicurigai terutama pada pasien dengan riwayat perjalanan ke daerah
endemis dalam 2 minggu terakhir, dan memiliki 2 atau lebih manifestasi berikut :
demam, ruam, konjungtivitis atau arthralgia.10,18

Gambar 2.18. Daerah dengan kasus Zika18

Selain itu pada infeksi zika dapat ditemukan limfadenitis servikal, disertai
dengan ruam maculopapular yang gatal, menyebar dari badan, dan melibatkan daerah
kepala dan ekstremitas. Ruam umumnya menetap selama 2-14 hari.10
Gambar 2.19. Ruam Tipikal Virus Zika18

Pemeriksaan pada minggu pertama sejak muncul gejala adalah menggunakan


PCR untuk mendeteksi virus RNA. Setelah hari 5-7, virus RNA bisa tidak ditemukan
pada sampel. Selanjutnya pemeriksaan bisa dilakukan dengan pemeriksaan IgM
antibody yang mmulai timbul sejak hari ke 4 gejala.10 Terapi akibat infeksi zika virus
seluruhnya bersifat supportive.18

2.5.14. Demam Chikungunya

Chikungunya merupakan salah satu dari keluarga Togaviridae dengan


manifestasi berupa demam disertai arthralgia, dengan 50% kasusnya dapat ditemukan
manifestasi kulit.5 Manifestasi kulit berupa erupsi morbilifromis ataupun makula
eritem yang muncul pada 1-5 hari setelah timbulnya demam. Ruam kulit ini
menyerupai ruam dari demam dengue dan sering mengenai daerah ekstremitas atas,
muka dan badan. Pada hampir 50% kasus, dapat ditemukan hiperpigmentasi pada
kulit terutama pada daerah muka dan ekstermitas.

2.5.15. Infeksi virus lainnya

Masih banyak virus lainnya yang dapat menyebabkan exanthema dan


berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan ataupun infeksi saluran pencernaan.
Beberapa diantaranya berupa enterovirus, adenovirus, rhinovirus, parainfluenza,
respiratory syncytial virus (RSV) bahkan influenza virus.

Tabel 2.4. Exanthema Akibat Infeksi Virus Lainnya2

Virus Manifestasi Exanthema Distribusi Durasi


Klinis
Adenovirus Demam, infeksi Biasanya ruam Dari muka 3-5 hari
(ADV) saluran pernafasan papular eritem menuju ke badan
akut, faringitis dan ekstremitas
dengan atau tanpa
konjungtivitis
Enterovirus Demam, faringitis Eksantem pada 5- Dari muka 3-7 hari
ringan, HMFD, 50% infeksi, menuju badan dan
dan gejala sitemik berupa ekstremitas
lainnya maculopapular
dan menyebar
Herpes Demam disertai Vesikel Bisanya lesi di 7-14 hari
Simpleks Virus gejala sistemik berkelompok daerah sekitar
(HSV 1 & HSV lainnya dengan dasar mulut
2) eritem
Mumps Demam, sakit Lesi papular Biasanya di 2-5 hari
kepala, eritem daerah badan
pembengkakan
kelenjar saliva,
dan dapat
menyebabkan
orchitis
Molluscum Lesi nodul Nodul Biasa di daerah
Contagiosum berumbilikal berumbilikal dan muka, paha
perubahan warna dalam, dada, dan
kulit genital
Varicella Malaise, demam Lesi yang Biasa di daerah 6-7 hari
(chickenpox) dan sakit kepala berevolusi muka, badan dan
selama 5-6 hari menjadi beberapa ekstremitas
stadium : makula proksimal
 papul
vesikel 
pustule  krusta
dalam 48 jam
Zoster Nyeri dan Lesi sama seperti Terlokalisir dan 10-28 hari
parestesi sesuai varicella diinervasi oleh 1
distribusi ganglion sensoris
dermatom
Rhinovirus Demam ringan, Ruam Mulai dari daerah 1-4 hari
kongesti nasal dan maculopapular muka menyebar
eksantem pada 5% merah yang ke badan dan
kasus menyebar ekstremitas

2.6. Diagnosis Banding


Walaupun 80% ruam pada anak disebabkan oleh infeksi virus, tidak menutup
kemungkinan bahwa timbulnya ruam pada anak disebabkan oleh infeksi lainnya
seperti bakteri atau parasite, maupun akibat non-infeksi seperti reaksi obat,
hipersensitvitas, dan lain-lain

2.6.1. Ruam Akibat Infeksi Bakteri

Demam Skarlet

Demam scarlet adalah salah satu penyakit yang memiliki manifestasi klinis
ruam pada kulit. Disebabkan oleh infeksi bakteri Group A Streptococcus, infeksi ini
umumnya berupa faringitis eksudat dengan ruam maculopapular yang menyebar dari
daerah badan. Penegakkan diagnosis dari infeksi Group A Streptoccocus ini bisa
dengan menggunakan Centor Score. Centor Score terdiri dari :19

(1) Eksudat Tonsil


(2) Pembesaran dan nyeri pada nodus anterior cervical
(3) Tidak terdapat batuk
(4) Demam (>38)
Kemungkinan terjadinya infeksi streptococcus tinggi ketika terdapat ≥3 tanda /
gejala dan sangat sepsifik jika ditemukan 4 gejala.

Gambar 2.20. Ruam pada Demam Skarlet19

2.6.1. Ruam Akibat Reaksi Obat

Acute Generalized Exanthematous Pustulosis

Manifestasi klinis dari AGEP adalah demam akut disertai dengan timbulnya
multiple papulopustul steril diatas eritroderma yang menyeluruh, Distribusi ruam pada
AGEP biasanya di daerah badan dan intertriginosa, tanpa adanya keterlibatan mukosa.

AGEP biasanya berhubungan dengan efek samping reaksi obat pada dewasa
(terutama anitbiotik), tetapi pada studi, AGEP pada anak lebih sering berhubungan
dengan adanya infeksi virus pada 80% kasusnya. Obat-obat yang dapat menyebabkan
terjadinya AGEP : Aminopenisilin, Sulphoniamide, Kuinolon, Diltiazem. Selain
virus, AGEP juga bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, dan parasite seperti E. Coli,
echinococcus, gigitan laba-laba, dan lain-lain.20

AGEP dipercaya sebagai reaksi T-sel. Aktivasi dari sistem imun menyebabkan
migrasi T-cell ke epidermis dan menyebabkan apoptosis dari keratinosit, sehingga
terbentuklah vesikel. Selanjutnya T-cell akan menginduksi kemotaksis dari
neutrophil, sehingga terjadi formasi dari pustule yang steril.

Pada pemeriksaan darah, biasanya dapat ditemukan leukositosis dan


neutrofilia. Pada kasus berat, AGEP bisa saja membutuhkan hospitalisasi. Terapi
utamanya bersifat simptomatik. Jika disebabkan oleh obat, maka obat yang
menyebabkan AGEP harus dihentikan. Pemberian kompres dapat mengurangi
terjadinya infeksi pada kulit. Selain itu pemberian steroid topical menunjukkan
menurunnya waktu hospitalisasi

Gambar 2.21. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis4,20

2.7. Tatalaksana

Penyakit yang disebabkan oleh virus umumnya bersifat self-limiting disease atau
bisa sembuh dengan sendirinya tanpa terapi spesifik. Sehingga terapi umumnya bersifat
supportive, seperti penurun demam, anti-pruritus, dan lain-lain.

Beberapa penyakit membutuhkan terapi spesifik untuk menghindari perburukan


dari penyakit tersebut, sebagai contoh, pada campak direkomendasikan WHO untuk
pemberian vitamin A dosis tinggi. Karena pada sebuah penelitian, gizi buruk
menyebabkan prognosis yang lebih buruk dibandingkan anak dengan gizi seimbang,
serta pemberian vitamin A dosis tinggi menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih
tinggi.11

BAB III

KESIMPULAN

Ruam pada anak merupakan salah satu gejala yang paling sering ditemukan di klinik.
Ruam paling sering disebabkan oleh infeksi virus dan gejalanya sering disertai gejala yang
lain seperti demam, gejala saluran pernafasan atas atau gejala gastrointestinal. Virus
penyebab terjadinya ruam pada anak sangatlah banyak, dan satu jenis virus dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda. Sebagai contoh, virus varicella zoster dapat
menyebabkan varicella pada infeksi primernya dan menjadi herpes zoster saat reaktivasi
virusnya.

Manifestasi timbulnya ruam pada anak cukup beragam. Ruam dapat berupa ruam
maculopapular, herpetiformis, vesikel, ruam morbiliformis, ataupun ruam lainnya. Distribusi
penyebaran ruam juga dapat berbeda-beda tiap penyakitnya. Ada yang sesuai dermatomal,
ada yang bersifat cephalocaudal, simetris bilateral ataupun lainnya. Selain itu juga tanda-
tanda patognomis pada setiap penyakit harus diperhatikan pada pasien.

Walaupun ruam akibat infeksi virus umumnya bersifat jinak, penegakkan diagnosis
dengan tepat penting untuk tatalaksana dan sebagai pencegahan penyebaran penyakit agar
tidak menularkan ke sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tsabouri S, Atanaskovic-Markovic M. Skin Eruption in Children : Drug


Hipersensitivity vs Viral Exanthema. Pediatric Allergy and Immunology. 2021;00:1-
11. Available from : doi:10.1111/pai.13485.

2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, editors. Pendekatan Diagnostik
Penyakit Eksantema Akut. In: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta,
Indonesia: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 100–20.
3. High WA, Prok LD. Viral Exanthems. In : Dermatology Secrets. Philadelphia, PA :
Elsevier;2021.p.219-223.
4. Green R. Viral Infections in Children, Volume II. Cham: Springer International
Publishing; 2017.
5. Drago F, Ciccarese G, Gasparini G, Cogorno L, Javor S, Toniolo A et al.
Contemporary infectious exanthems: an update. Future Microbiology.
2017;12(2):171-193.
6. 3. Anci E, Braun C, Marinosci A, Rodieux F, Midun E, Torres M et al. Viral
Infections and Cutaneous Drug-Related Eruptions. Frontiers in Pharmacology.
2021;11. Available from : https://doi.org/10.3389/fphar.2020.586407
7. Goldsmith L, Fitzpatrick T. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York:
McGraw-Hill Medical; 2012. p.2337-2366.
8. Kadambari S, Segal S. Acute viral exanthems. Medicine. 2017;45(12):788-793.
Available from : doi:10.1016/j.mpmed.2017.09.011 
9. Saffar M, Rahmatpour Rokni G, Raeasian M. Pediatric Viral Exanthema: A Review
Article. Journal of Pediatrics Review. 2017;5(2). Available from : doi:
10.5812/jpr.9487
10. Hoeger P, Kinsler V, Yan A, Harper J, Oranje A, Bodemer C, et al., editors. Harper’s
Textbook of Pediatric Dermatology. Wiley; 2019.
11. Marcdante KJ, Kliegman R. Nelson essentials of pediatrics. 7th ed. Philadelphia, Pa:
Elsevier/Saunders; 2015.
12. Knöpfel N, Noguera-Morel L, Latour I, Torrelo A. Viral exanthems in children: A
great imitator. Clinics in Dermatology. 2019 May;37(3):213–26.
13. Bilen G, Gönül M, Koçak M, Gökce A, Ayvaz H and Canpolat F. Polymorphic
Exanthem Induced By Amoxycillin In A Child Case With Infectious Mononucleosis.
Austin J Dermatolog. 2015;2(1): 1033. ISSN:2381-9189
14. Huang H-W, Tseng H-C, Lee C-H, Chuang H-Y, Lin S-H. Clinical significance of
skin rash in dengue fever: A focus on discomfort, complications, and disease
outcome. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine [Internet]. 2016 Jul 1 [cited
2021 Nov 22];9(7):713–8. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S199576451630102X
15. Kothai R, Arul B. Dengue Fever: An Overview. Dengue Fever in a One Health
Perspective [Internet]. 2020 Jul 1; Available from:
https://www.intechopen.com/books/dengue-fever-in-a-one-health-perspective/dengue-
fever-an-overview
16. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. New Delhi, India: World Health Organization Regional Office
For South-East Asia; 2011.
17. Pudijaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia;2009.p.141-149
18. Koenig K, Almadhyan A, Burns M. Identify-Isolate-Inform: A Tool for Initial
Detection and Management of Zika Virus Patients in the Emergency Department.
Western Journal of Emergency Medicine. 2016 May 27;17(3):391–5.
19. Basetti S, Hodgson J, Rawson TM, Majeed A. Scarlet fever: a guide for general
practitioners. London Journal of Primary Care. 2017 Aug 11;9(5):77–9.
20. Feldmeyer L, Heidemeyer K, Yawalkar N. Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis: Pathogenesis, Genetic Background, Clinical Variants and Therapy.
International Journal of Molecular Sciences [Internet]. 2016 Jul 27;17(8). Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5000612/

Anda mungkin juga menyukai