Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang banyak di Indonesia.
Penyakit infeksi sendiri dibagi berdasarkan agen penyebabnya, seperti bakteri,
virus, jamur, dan parasit. Dibandingkan dengan agen penyebab lainnya, virus
merupakan satu-satunya penyebab yang belum bisa dieliminasi sampai saat ini.
Salah satu penyakit infeksi virus yang menunjukkan manifestasi ke kulit salah
satunya adalah herpes zoster.
Virus varicella zoster (VZV) adalah salah satu agen yang menyebabkan cacar
air (chickenpox), suatu infeksi yang umum terjadi saat kecil. Aktivasi kembali dari
virus ini yang disebabkan karena turunnya sistem imun penjamu (host), akan
menimbulkan suatu penyakit yang disebut herpes zoster. Setelah masa resolusi
cacar air, VZV diam pada ganglion spinal dorsal sampai reaktivasi kembali
menghasilkan herpes zoster (shingles). Shingles adalah suatu sindrom yang
dikarakteristikkan oleh nyeri, rash (kemerahan) yang unilateral, biasanya terbatas
pada dermatom. Pada suatu waktu, khususnya pada pasien imunokompremais,
infeksi akan menyebar dan melibatkan beberapa organ viseral dan dermatom
multipel (zoster diseminata). Shingles biasanya memiliki manifestasi jinak tetapi
komplikasi bisa terjadi, mulai dari ringan sampai mengancam nyawa. Herpes
zoster

terkomplikasi

merujuk

pada

infeksi

yang

terjadi

pada

pasien

imunokompresi atau manifestasi yang melibatkan okuler.1


Walaupun Herpes Zoster bersifat self limited tetapi penanganan yang tidak
tepat terutama pada pasien usia diatas 40 tahun dan pasien imunokompresi dapat
menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti neuralgia paska herpetika,
paralisis, dan kebutaan yang tentunya akan menurunkan kualitas hidup pasien.
Peran komunikasi antar dokter dan pasien yang baik juga diharapkan dapat
mencegah terjadinya herpes

zoster berulang yang kemungkinan dapat

menimbulkan komplikasi yang lebih berat.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. DEFINISI
Herpes zoster merupakan suatu manifestasi oleh reaktivasi Virus varisela
zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung
menyebabkan dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau
chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang
terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster.
Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren
yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada usia di bawah 45
tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia
lebih tua.3
II. 2. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh
musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan morbiditas
antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan
usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun,
di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% per tahun.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya.
Setelah sembuh dari varisela,virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup
dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih
dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun.1,2
II. 3. PATOGENESIS
Virus Varisela zoster masuk melalui mukosa dan saluran nafas atas.
Setelah masuk virus tersebut berkembang biak serta disebarkan ke berbagai organ
terutama ke kulit dan selaput mukosa melalui sistem peredaran darah. Saat
pertama virus masuk ke dalam tubuh, terjadi infeksi primer pada kulit dan selaput
mukosa, gejala yang tampak pada kulit sering disebut sebagai cacar air atau
varisela. Setelah infeksi primer mereda, virus tidak hilang dari tubuh, melainkan
masuk ke ujung saraf sensoris dan menuju ke ganglion dorsalis saraf tepi dan

bersembunyi di sana dalam jangka waktu yang sangat lama. Pada saat ini orang
immunokompeten yang pernah mengalami cacar air menjadi kebal terhadap
serangan cacar air untuk kali yang kedua. Namun bila kekebalan tubuh kita
menurun maka virus ini mengalami reaktivasi. Virus varisela zoster berkembang
biak, merusak, menyebabkan peradangan dan kemudian menyebar menuju kulit
serta menimbulkan gangguan kulit yang lebih parah. Kondisi ini dikategorikan
sebagai herpes zoster. Alasan pasti mengapa VZV bisa reaktivasi kembali dari fase
latennya masih belum dimengerti sepenuhnya. Namun, dikatakan bahwa VZVcell mediated specific memiliki faktor mayor dalam kaitannya dengan reaktivasi
VZV. Cell mediated VZV specific menurun seiring umur dan pasien dengan
keganansan. Kelompok ini memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap herpes
zoster.5

Gambar 1. Patogenesis infeksi herpes zoster4


II. 4. GAMBARAN KLINIS
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 24 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut
berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta.
Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai
dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.5

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru
yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2
minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.
Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang
paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1,
dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada
saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.
Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5

Gambar 2 : Dermatom sensorik tubuh3

Gambar 3. Gambaran klinis herpes zoster4


Menurut daerah yang terkena dikenal:
1.

herpes zoster oftalmika : menyerang dahi dan sekitar mata.

2.

Herpes zoster servikalis : menyerang pundak dan lengan.

3.

herpes zoster torakalis

: menyerang dada dan perut.

4.

herpes zoster lumbalis

: menyerang bokong dan paha.

5.

herpes zoster sakralis

: menyerang sekitar anus dan genitalia

6.

herpes zoster otikum

: menyerang telinga.

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus


trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga
cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya.
Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus,
sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (Bells palsy), kelainan kulit yang
sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan. Daerah yang yang
paling sering terkena infeksi adalah daerah torakal, kemudian daerah mata,
walaupun daerah-daerah lain tidak jarang.5
Herpes zoster generalisata terdapat kelainan kulit yang unilateral dan
segmental disertai kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa
vesikula dengan umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada
orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma
maligna.5
Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang
singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Bentuk
lain herpes zoster yaitu herpes zoster hemoragika (vesikula-vesikulanya tampak
berwarna merah-kehitaman karena berisi darah).5
II. 5. Diagnosis
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.
Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala

prodromal berupa nyeri, (2) distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel
berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul, (4) beberapa
kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik, (5)
tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes
simplek zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus
yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada ruam.6
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi
rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul
verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus
varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari
spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena membutuhkan
waktu 1-2 minggu6

Gambar 4. (a) Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant
multinuklear; (b) Imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan
terdapatnya antigen virus varisela zoster4
II. 6. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes simpleks
Hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes simpleks.
2. varisela
Biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam.
3. impetigo vesikobulosa

Lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran vesikel dan bula yang
cepat pecah dan menjadi krusta.2
II. 7. PENATALAKSANAAN
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya berikan
analgetik. Jika disertai infeksi sekunder berikan antibiotik. Indikasi obat antiviral
ialah herpes zooster oftalmikus dan pasien dengan defisiensi imunitas mengingat
komplikasinya. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya
valasiklofir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiklovir 5 x 800mg sehari dan biasanya digunakan 7 hari,
sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000mg sehari karena konsentrasi dalam plasma
lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap muncul obat tersebut masih dapat
diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.
Untuk neuralgia pasca herpetik belum ada obat pilihan, dapat dicoba
dengan akupungtur. Obat yang direkomendasikan diantaranya gabapentin
dosisnya 1,800 mg 2,400 mg sehari. Mula-mula dosis rendah kemudian
dinaikkan secara bertahap untuk menghindari efeksamping diantaranya nyeri
kepala dan rasa melayang. Hari pertama dosisnya 300mg sehari diberikan sebelum
tidur, setiap 3 dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai 1,800 mg sehari.
Bila belum ada efeknya dosis ditinggikan. Nyeri tersebut lambat laun hilang
sendiri. Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa
diberikan ialah prednison dengan dosis 3 x 20mg sehari, setelah seminggu dosis
diturunkan secara bertahap. Dengan dosis setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannnya
untuk mencegah fibrosis ganglion.
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegahpecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau
terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.5
II. 8. KOMPLIKASI

Neuralgia pasca herpetika adalah rasa nyeri yang timbul pada daeerah
bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun
dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun
dikatakan akan mengalami komplikasi ini, sedang pada usis muda hanya terjadi
pada 10 % kasus. Makin tua penderita makin tinggi persentasenya.5
Pada penderita tanpa disertai difisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai difisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi
ulkus dengan jaringan nekrotik. Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan
terhambatnya penyembuhan dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks.5
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi,
diantaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis
optik. Paralisis motorik terdapat pada 1-5 % kasus, yang terjadi akibat penjalaran
virus secara perkontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang
berdekatan. Paralisis motorik terjadi terutama bila virus juga menyerang ganglion
anterior, bagian motorik kranialis. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak
awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya dimuka,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, anus. Umumnya akan
sembuh spontan.5
II.9. PROGNOSIS
Pada orang tua dan anak-anak pada umumnya baik. Pada herpes zoster
oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.5

BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Nama

: Tn. M

TTL

: Siak, 21 April 1979

Umur

: 37 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. Sutomo

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Buruh

Tanggal Pemeriksaan : 9 Mai 2016

II. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tengku
Rafian pada tanggal 9 Mei 2016 pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama:
Timbul bintil-bintil berisi air dengan dasar berwarna kemerahan didaerah
pinggang belakang, selangkangan dan perut bawah disertai nyeri dengan rasa
panas sejak 3 hari yang lalu.
Perjalanan Penyakit:
Penderita datang sendiri ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tengku
rafian karena mengeluh terdapat bintil-bintil berisi air dengan dasar berrwarna
kemerahan pada daerah pinggang belakang, selangkangan dan perut bawah
disertai nyeri dengan rasa panas sejak 3 hari yang lalu. Awalnya berupa
kemerahan di kulit lalu berbentuk bintil kecil dan dengan cepat membesar dan
menyebar membentuk bintil-bintil berisi seperti air. Pasien mengatakan beberapa
9

hari sebelum muncul gejala, pasien mengeluhkan meriang (demam yang tidak
terlalu tinggi).
Riwayat penyakit sebelumnya:
Pasien mengatakan pernah menderita cacar air saat masih kecil.
Riwayat pengobatan:
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat penyakit yang sama pada keluarga tidak ada.
Riwayat Sosial
Penderita bekerja sebagai buruh. Di lingkungan tempat bekerja tidak ada
yang menderita keluhan yang sama.
III. Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital:
KU

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tensi

: tidak dikerjakan

Nadi

: 84 X/ menit

Respirasi

: 22 X/ menit

Status Generalis:
Kepala

: Normocephali.

Mata

: Anemis (-/-), ikterus (-/-), Reflek pupil (+/+)

Thorax

: Cor: S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

Pulmo

: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen

: dalam batas normal

Extremitas

: dalam batas normal

10

Mukosa

: dalam batas normal

Rambut

: dalam batas normal

Kuku

: dalam batas normal

Fungsi kelenjar keringat: dalam batas normal


Saraf

: dalam batas normal

Pembesaran KGB

: dalam batas normal

Status Dermatologis
Regio sacral dextra, pubis dan inguinal dextra terdapat vesikel
bergerombol di atas kulit eritema, berisi seros, pustula, berbentuk bulat
dengan ukuran bervariasi (diameter = 0,1 0,3 cm),

berbatas tegas

beberapa ditutupi krusta, tersebar unilateral sesuai dengan dermatom L1,


tersusun secara zosteriformis.

Gambar 5. Lesi di regio sacral dextra

11

Gambar 6 . Lesi di regio pubis

Gambar 7. Lesi di regio inguinal dextra


IV. Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan
V. Resume:
Penderita datang sendiri ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tengku
Rafian karena mengeluh terdapat bintil-bintil berisi air yang berwarna kemerahan
pada pinggang belakang, selangkangan dan di perut bawah terasa sangat nyeri dan
panas sejak tiga hari yang lalu. Bintil ini awalnya berupa kemerahan di kulit lalu
bertambah banyak dan menyebar membentuk bintil-bintil berisi seperti air. Pasien
12

mengatakan beberapa hari sebelum muncul gejala, pasien mengeluhkan meriang


(demam yang tidak terlalu tinggi). Pasien pernah menderita cacar air saat masih
kecil.
VI. Diagnosis banding:
1. Herpes zoster lumbalis dextra
2. Herpes Simpleks
3. Varisella
4. Impetigo vesikobulosa
VII. Diagnosis Kerja:
Herpes zoster lumbalis dextra
VIII. Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Sistemik :
-

Tablet asiklovir 5 x 800 mg selama 7 hari

Tablet asam Mefenamat 3 x 500 mg

Tablet vitamin B1, B6, B12 1 x sehari

Topikal :
-

Bedak salisil 2% 3 x sehari pada vesikel yang belum pecah

Bila vesikel pecah dan basah, kompres dengan larutan antiseptik

Bila terjadi infeksi sekunder beri salep antibiotik spektrum luas.


Misalnya kloromfenikol atau tetrasiklin.

Nonmedikamentosa:
Memberitahu kepada pasien tentang penyakitnya dan bahwa
penyakitnya menular lalu setelah bintil sembuh masih akan
meninggalkan nyeri pada daerah lesi.
Istirahat yang cukup, makan yang bergizi, dan minum obat secara
teratur.
Usahakan vesikel tidak pecah untuk menghindari infeksi sekunder.
Tetap menjaga kebersihan badan.

13

X. Prognosis
-

Quo Ad Sanationam

: Dubia

Quo Ad Vitam

: Bonam

Quo Ad Fungsionam

: Bonam

Quo Ad Kosmetikum

: Bonam
BAB IV
KESIMPULAN

Seorang laki-laki datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul


secara mendadak di daerah pinggang belakang, selangkangan dan perut bagian
bawah sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting yang
berkelompok dan tersebar di bagian tertentu. Tidak terdapat lokasi lain timbulnya
kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi seperti ini, perlu dipikirkan
terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting disertai dengan
nyeri yang cukup hebat. Dengan melihat lesi, tampak pada regio sakral dextra,
pubis dan ingunal dextra terdapat vesikel multipel bergerombol yang tersebar
secara dermatomal dengan ukuran milier sampai lentikular, terletak di atas kulit
yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak
dengan permukaan yang licin.
Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana
timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan.
Lesi yang timbul juga khas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar
berupa kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit
maupun gejala subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster,
mengingat penyakit ini memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari. Pada
pasien ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah L1.
Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala
prodromal berupa demam, pusing dan malaise diakui oleh pasien. Setelah yakin
bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi reaktivasi.
Pada literatur dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun
herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun.

14

Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang


bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat
cacar air pada saat berusia sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi
primer pada pasien ini telah terjadi.
Pasien

kemudian

diberikan

pengobatan,

berupa

edukasi

dan

medikamentosa. Lenting yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan


infeksi sekunder. Pasien juga dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik
sebab saat ini pasien sedang mengalami nyeri dan tingginya aktivitas fisik dapat
meningkatkan gesekan maupun trauma pada kaki yang dapat menjadi penyebab
pecahnya lenting. Pasien perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah
mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang
dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian dalam fase ini
sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum pernah
mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi
dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang
pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian
asiklovir dikatakan tidak efektif lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat
harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab pemberian asiklovir sebanyak 5 kali
dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm jika diperlukan untuk
membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat.
Asiklovir diberikan selama tujuh hari.
Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500
mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari
kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Krause,
R.
(2011),
Herpes
Zoster,
available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/788310 ( diakses: 18 Mei 2016)
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2005, hal 84-86.
3. James WD, Berger T, Elston D. Andrews diseases of the skin.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
4. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
5. Djuanda.A., Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Ketiga, Balai
penerbit FKUI, Jakarta, 2002, hal 107-109.
6. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):3406.

16

Anda mungkin juga menyukai