Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster (shingles) disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster laten


yang berada di ganglion akar dorsal. Herpes zoster dapat berkembang setiap saat
setelah infeksi primer atau vaksinasi varicella. Kejadian di antara anak-anak adalah
sekitar 110 per 100.000 orang-tahun. Secara klinis, herpes zoster ditandai oleh erupsi
vesikular yang menyakitkan dan unilateral dalam distribusi dermatomal yang
terbatas. Pada anak kecil, herpes zoster memiliki predileksi untuk daerah yang
dipasok oleh dermatom serviks dan sackral.(1)
Herpes zoster cenderung lebih ringan pada anak-anak daripada di orang
dewasa, herpes zoster yang terkait dengan vaksin lebih ringan daripada herpes zoster
yang disebabkan oleh virus varicella dengan tipe yang lebih berbahaya. Diagnosis
herpes zoster terutama dilakukan secara klinis, berdasarkan penampilan klinis yang
berbeda. Komplikasi yang paling umum adalah infeksi bakteri sekunder,
depigmentasi, dan jaringan parut. Cacar air dapat terjadi pada orang yang rentan
terkena herpes zoster. Asiklovir oral harus dipertimbangkan untuk herpes zoster yang
lebih ringan pada anak-anak yang imunokompeten. Asiklovir intravena adalah
pengobatan pilihan untuk anak dengan immunocompromised yang berada di resiko
penyakit menular seksual. Obat harus diberikan secara ideal dalam waktu onset 72
jam setelah timbulnya ruam.(2)
Meskipun herpes zoster pada anak kecil jarang terjadi, banyak penelitian
menunjukkan peningkatan insiden yang signifikan. Hal ini sering terlihat terutama
pada anak-anak dengan kekebalan seluler yang kurang seperti pada pasien kemoterapi
atau dengan HIV. Herpes zoster juga dapat terjadi di anak yang imunokompeten dan
laporan terbaru menunjukkan peningkatan jumlah kasus di anak sehat.(3)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi
virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan
kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik
saraf kranial menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen
yang dipersyarafinnya.(4)
Herpes zoster (HZ) biasanya ditandai dengan nyeri, ruam yang terjadi sesuai
dengan dermatomal. Perkiraan faktor risiko HZ pada populasi umum adalah sekitar
30%, dengan risikonya meningkat tajam setelah berusia 50 tahun. Setelah melakukan
studi observasional jangka panjang yang di tahun 1960an, Hope-Simpson
menunjukkan HZ adalah hasil reaktivasi dari Virus varicella-zoster (VZV) yang ada
di dalam sensorik Ganglia setelah melewati masa laten yang panjang dari infeksi
primer varicella (cacar air).(5)

Gambar 1: herpes zoster

2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi lebih sering setelah infeksi varicella daripada vaksinasi
varicella. Herpes zoster biasanya terjadi pada orang dengan komplemen imunologi
yang dimediasi sel relatif seperti orang tua atau pasien. Dengan penyakit
imunosupresif atau menerima terapi imunosupresif. Kejadian kumulatif seumur hidup
di antara populasi umum sekitar 10% sampai 30%, dengan risiko meningkat tajam

2
setelah usia 50 tahun. Dalam studi oleh Insigna dkk, kejadian herpes zoster yang
disesuaikan usia dan jenis kelamin keseluruhan adalah 320 per 100.000 orang-tahun
di Amerika Serikat dari tahun 2000 sampai 2001. Angka ini lebih tinggi di antara
wanita (390 per 100.000 orang-tahun) dibandingkan laki-laki (260 per 100.000 orang-
tahun). Kejadian di antara anak-anak berusia 0 sampai 14 tahun adalah 110 per
100.000 orang-tahun. Kawai dkk melakukan tinjauan sistematis terhadap 63
penelitian dari 22 negara tentang kejadian herpes zoster. Penulis menemukan tingkat
kejadian herpes zoste berkisar antara 300 sampai 500 per 100.000 orang-tahun pada
populasi umum di Amerika Utara, Eropa, dan Asia-Pasifik, berdasarkan penelitian
yang menggunakan pengawasan prospektif, data rekam medis elektronik atau data
administrative. Kejadiannya dua kali di kulit putih bila dibandingkan dengan orang
kulit hitam. Individu yang mengalami imunosupompresi memiliki risiko 20 sampai
100 kali lebih besar daripada individu yang imunokompeten pada usia yang sama. 2,3

2.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi VZV. VZV adalah virus DNA beruntai
ganda yang tergabung dalam keluarga Herpesviridae; Genomnya mengkodekan
sekitar 70 protein. Pada manusia, infeksi primer dengan VZV terjadi saat virus
bersentuhan dengan mukosa saluran pernafasan atau konjungtiva. Setelah sudah
berkontak, lalu didistribusikan ke seluruh tubuh. Setelah infeksi primer, virus tersebut
bermigrasi di sepanjang serabut saraf sensorik ke sel satelit ganglia akar dorsal di
mana ia menjadi tidak aktif atau dormant. Reaktivasi VZV yang tetap tidak aktif di
dalam ganglia akar dorsal, seringkali selama beberapa dekade setelah paparan awal
pasien terhadap virus dalam bentuk varicella (cacar air), berakibat pada herpes zoster.
Apa yang memicu reaktivasi virus ini belum ditentukan secara tepat, namun
kemungkinan terjadinya bisa disebabkan hal berikut:
 Terpapar virus yang sama yang bersumber dari luar
 Proses penyakit akut atau kronis (terutama keganasan dan infeksi
 Obat-obatan dari berbagai jenis
 Tekanan emosional

3
Alasan mengapa satu ganglion akar dorsal mengalami pengaktifan kembali masih
belum jelas. Imunitas selular yang berkurang tampaknya meningkatkan risiko
reaktivasi, karena insidensi meningkat seiring bertambahnya usia dan pada orang
yang immunocompromised.(2)

2.5 Patofisiologi
Replikasi virus varicella zoster nasofaring terjadi segera setelah primer
infeksi. Diikuti dengan penyebaran infeksi ke jaringan limfoid yang berdekatan
dimana virus tersebut Menginfeksi sel CD4 + T memori yang berlimpah di jaringan
limfoid tonsillar. Sel memori yang mengekspresikan antigen homing kutaneousdan
menyebabkan peradangan serta reseptor kemokin 4 (CCR4) ke kulit diperkirakan
membawa virus ke epitel kutaneous dalam beberapa hari setelah infeksi. Replikasi
lokal pada sel epitel ini difasilitasi oleh regulasi turunan interferon-α di dalam sel
yang terinfeksi dan kegagalan induksi molekul adhesi. Pada saat yang sama
penyebaran sel ke sel masuk pada minggu pertama dengan memproduksi interferon-α
pada sel epitel yang berdekatan. Setelah itu, virus tersebut melakukan pertahanan
bawaan dan vesikel muncul. Produksi sitokin dan regulasi kapiler Faktor adhesi
endotel menarik sel T bermigrasi yang selanjutnya dapat menyebarkan virus sebelum
mereplikasi virus.
Diagram yang menggambarkan kejadian dalam pathogenesis infeksi VZV pada kulit.
Menurut model ini, sel T didalamnya dimana terdapat jaringan limfoid tonsillar
menjadi terinfeksi oleh VZV yang berpindah ke dalam sel sehingga bermigrasi ke
dalam sistem kekebalan tubuh. Inokulasi awal sel epitel pernafasan dengan virus Sel
T yang terinfeksi masuk ke sirkulasi dan membawa virus ke kulit segera setelahnya,
keluar melalui endothelium kapiler dengan mekanisme yang menjadi tempat
bermigrasi dari sel T. Sel T yang terinfeksi melepaskan VZV menular pada situs kulit
replikasi. Dimana masa inkubasi adalah interval 10 sampai 21 hari yang diperlukan
untuk VZV untuk mengatasi respon IFN bawaan di Indonesia sel epidermis yang
cukup untuk menciptakan lesi vesikular yang khas mengandung VZV pada
permukaan kulit. meningkatkan produksi IFN di sel kulit yang berdekatan mencegah
serangan yang cepat, Lesi varicella dapat terjadi bila sel T melewati stadium awal lesi

4
kulit, menjadi terinfeksi, dan menghasilkan viremia sekunder Proses ini berlanjut
sampai hospes kebal terhadap infeksi. (3)
Cell-free-virus yang hadir hanya di kulit vesikula ini berperan dalam infeksi
ujung saraf sensorik di Epithelia. Hal ini menyebabkan migrasi virus ke akson sensori
yang akan memicu virus latency pada ganglia sensorik. Pertemuan terakhir dan
pembentukan virion yang baru disintesis terjadi di dalam pembungkus khusus
cisterna terletak di jaringan trans-Golgi. Badan concave dari setiap pembungkus
cisterna ini kaya akan varicella zoster virus glycoprotein dan menjadi virus Sisi
cembung kaya protein seluler sebagai penghambat reseptor 6-fosfat kation-
independen danCisterna menjadi vesikel transportasi yang baru dibungkus virion.
Pada fibroblas paru embrio manusia, terdapatnyareseptor kation-independent
mannose 6-phosphate pada permukaan cembung akan dialirkan ke rute virion dari
jalur sekretori sel ke endosom dimana virion diasingkan Virus varicella zoster juga
menyebar dengan cepat ke tempat yang berdekatan sel epidermis dengan
menginduksi fusi (dimediasi oleh Glikoprotein H, L, B dan E) sel yang terinfeksi
dengan virally Sel tetangga yang tidak terinfeksi Sebaliknya, hilangnya
kationindependent Reseptor 6-fosfat mannose pada keratinosit Di epidermis
superfisial memungkinkan akumulasi Virion bebas sel, yang diperlukan untuk
transmisi dan Pembentukan virus laten. (3)

5
Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk
infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus
dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2(3)
Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk
infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus tdak
tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV laten tidak
jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi, stres emosional,
iradiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor, serabut ganglion
dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma lokal, manipulasi bedah tulang
belakang, dan sinusitis frontalis (sebagai endapan zoster oftalmica). Yang paling
penting adalah penurunan kekebalan seluler VZV spesifik yang terjadi dengan
bertambahnya usia(3)
VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang
jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut,
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh
VZV. (3)
Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat kritis,
reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan menyebar di
dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan parah, sebuah
proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV kemudian
menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan neuritis
parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana ia
menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam

6
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, myelitis melintang).

Gambar 2. Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer
varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV tetap dalam fase
laten dalam ganglia untuk kehidupan C. Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang,
VZV aktif kembali dalam ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di
kulit.(3)
Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia
Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala ini dan
umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam sudah sembuh,
dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia (PHN). Sejumlah
mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis
nyeri pada herpes zoster dan PHN.(3)
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa nyeri
di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan neuropeptida yang
disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent selama fase akut dan

7
prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat menyebabkan cedera eksitotoksik
dan hilangnya hambatan interneuron di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron
di sumsum tulang belakang, ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam
patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan
dan peka terhadap rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang
berlebihan dan impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan
dan perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan
allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh
rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang
sensori sedikit atau tidak ada sama sekali. (3)
Perubahan anatomi dan Fisiologi bertanggung jawab terhadapmanifestasi
PHNyang dibentuk di awal perjalanan dari hepes zoster. Hali ini akan menjelaskan
korelasi antara keparahan nyeri awal dan adanya nyeri prodormal dengan
perkembangan selanjutnya dari PHN, dan kegagalan terapi antivirus untuk mencegah
PHN.(3)

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan diagnosis klinis. Diagnosis yang dibuat
berdasarkan temuan multinuclear giant cell dan intranuclear incicion body type A
dengan cara mengoleskan dasar dari olesan cairan lesi (Tzank Smear) dan pewarnaan
dengan toluide blue, giemsa atau papanocolou. Mikroskopis eletron dari lesi cairan
bisa menggambarkan virus dilihat dari morfologi virus. Tes serologi mungkin sulit
untuk dilakukan. Teknik Antibody fluorescent dibuat untuk mendeteksi antigen
varicella di cairan lesi.(3,4)
Disamping itu untuk anak dengan infeksi HIV lebih udah mengidap penyakit
herpes zoster Karena imunitas dalam tubuhnya yang lemah. Manifestasi herpes zoster
bisa membuat immunodefisiensi pada anak dengan HIV setelah adanya insiasi dari
HAART. Infeksi zoster tidak berubah setelah infeksi HAART, tapi tidak jarang juga
bermanifestasi untuk timbulnya komplikasi, salah satunya PHN (post herpetic
neuralgia), dimana itu bisa menjadi tanda penyakit herpes zoster. (3,4)

8
2.7 Diagnosis Klinis
Gejala Prod romal
Berlangsung 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah dermatom
yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi. Nyeri
bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau sebagai serangan yang
hilang timbul. Keluhan bervariasi dari
rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk--
tusuk.
o Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi
berupa malaise, sefalgia, other flu like symptomyang biasanya akan menghilang
setelah erupsi kulit timbul. Kadang-kadang terjadi limfadenopati regional
Erupsi kulit
o Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersyarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh,
yang tersering di daerah ganglion torakalis.
o Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan
dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah
14 menjadi pustul yang akan meng ering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta
dapat bertahan sampai 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini biasanya
nyeri segmental juga menghilang.
o Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai hari
ketujuh.
o Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar)
o Erupsi umumnya disertai nyeri (60-90% kasus)
Variasi klinis
o Pada beberapa kasus nyeri segmental tidak diikuti erupsi kulit, keadaan ini disebut
zoster sine herpete.
o Herpes zoster abortif: bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan kelainan
kulit hanya berupa vesikel dan eritema.

9
o Herpes zoster oftalmikus: HZ yang menyerang cabang pertama nervus trigeminus.
Erupsi kulit sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi.
Bila mengenai anak cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak hidung yang
dikenal sebagai tanda Hutchinson, sampai dengan kantus medialis) harus diwaspadai
kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.

o Sindrom Ramsay-Hunt: HZ di liang telinga luar atau membrana timpani, disertai


paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan
lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Kelainan tersebutsebagai akibat virus menyerang
nervus fasialis dan
nervus auditorius.
o Herpes zoster aberans:HZ disertai vesikel minimal 10 buah yang melewati garis
tengah.
o Herpes zoster pada imunokompromais: perjalanan penyakit dan manifestasi
klinisnya berubah, seringkali tidak spesifik, sering rekuren, dan berlangsung lama
(lebih dari 6 minggu), cenderung kronik persisten, menyebar ke alat alat dalam
terutama paru, hati, dan otak. Gejala prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat
(bula hemoragik, hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas
(aberans/multidermatom/diseminata), lebih nyeri, dan komplikasi lebih sering terjadi.
o Herpes zoster pada ibu hamil: ringan, kemungkinan terjadi komplikasi sangat
jarang. Risiko infeksi pada janin dan neonatus dari ibu hamil dengan HZ juga sangat
kecil. Karena alasan tersebut, HZ pada kehamilan tidak diterapi dengan antiviral.
o Herpes zoster pada neonatus: jarang ditemukan. Penyakit biasanya ringan,
sembuh tanpa gejala sisa. HZ pada neonatus tidak membutuhkan terapi antiviral.
o Herpes zoster pada anak: ringan, banyak menyerang di daerah servikal bawah.
Juga tidak membutuhkan pengobatan dengan antiviral.
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.5
Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala
prodromal berupa nyeri, (2) distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel
berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul, (4) beberapa kelompok
lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik, (5) tidak ada

10
riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes simpleks
zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara
normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.Pemeriksaan laboratorium
direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang terlibat
multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral
sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi
krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang
tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.5,6

2.7 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan.
1. Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi nucleated
giant sel)
2. identifikasi antigen/ asam nukleat VVZ dengan metode PCR.6,7

2.8 Diagnosis Banding

Herpes Simpleks Definisi: Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya


vesikula yang berkelompok diatas dasar eritema,
berulang, mengenai permukaan mukokutaneus.
Etiologi: Disebabkan oleh virus herpes simplex.
Gejala klinis: Lesi primer didahului gejala prodromal
berupa rasa panas (terbakar) dan gatal. Setelah timbul
lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot.
Predileksi: Mukosa
Status dermatologi : Berupa vesikel yang mudah
pecah, erosi, ulcus dangkal bergerombol di atas dasar

11
eritema dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada wanita
antara lain labium mayor, labium minor, klitoris,
vagina, serviks dan anus. Pada laki-laki antara lain di
batang penis, glans penis dan anus. Ekstragenital yaitu
hidung, bibir, lidah, palatum dan faring.(9)

(3)

Varisella Definisi: Vesikula yang tersebar, terutama menyerang


anak-anak, bersifat mudah menular
Etiologi: Virus Varisela zoster.
Predileksi: Paling banyak di badan, kemudian muka,
kepala dan ekstremitas.
Gejala Klinis: Pada stadium prodomal timbul banyak
makula atau papula yang cepat berubah menjadi
vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak sama. Kulit
sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada kontak
dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada
infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi
(delle) yaitu vesikula yang ditengah nya cekung
kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal.(7)

12
(3)

Dermatitis Kontak Definisi: Dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit


Alergika dengan bahan yang bersifat sebagai alergen. Disini ada
riwayat alergi dan merupakan paparan ulang.
Predileksi: Seluruh tubuh
Status dermatologis:Dapat akut, subakut dan kronis.
Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak makula
yang eritematus, batas tidak jelas pada efloresensi dan
diatas makula yang eritematus terdapat papul, vesikel,
bula yang bila pecah menjadi lesi yang eksudatif.(9)

(3)

Dermatitis Definisi: Dermatitis yang bersifat kronis dan rasa gatal


herpetivormis yang sangat dengan kekambuhan yang tinggi.
Status dermatologi:berupa berupa lesi polimorf yang
bergerombol pada dasar yang eritematus.

13
Predileksi:pada kepala, kuduk, lipatan ketiak bagian
belakang, sakrum, bokong dan lengan bawah.
Distribusinya simetris, akut dan polimorf.(9)

(3)

Dermatitis Definisi: Dermatitis venenata adalah kelainan akibat


Venenata gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi
terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan
arthropoda penyerang
Predileksi: Seluruh tubuh
Status Dermatologis: Berupa eritema, edema, panas,
nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta. (9)
Terdapat 2 macam lesi yang diakibatkan oleh gigitan
serangga, yaitu: (1)
a. Nodul eritematus, akibat serangga memasukkan
(menyuntikkan) bahan – bahan berbahaya ke dalam
kulit yang menyebabkan keradangan.
b. Dermatitis kontak iritan, akibat cairan yang
dikeluarkan serangga waktu berbenturan /
bersentuhan dengan kulit.

14
2.9 Penatalaksanaan
A. Strategi 6A
Dalam penatalaksanaan HZ, dikenal strategi 6 A:
1. Attract patient early
2. Asses patient fully
3. Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ durasi HZ, serta
nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis, multicenter
randomizeddouble-blind controlled trial. Masuk dalam kategori highdegree of
confidence
Tambahan terapi
1. Analgetik
2. Antidepressant/antikonvulsant
3. Allay anxietas-counselling
Efikasinya inkonsisten, merupakan hasil dari uncontrolled multiple clinical trial dan
clinical experiences. Masukdalam kategori moderate inconfidance

1. Attract patient early:


o Pasien
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal, pengobatan sedini mungkin
dalam 72 jam setelah erupsi kulit

15
o Dokter
Diagnosis dini
Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara seksama dan lengkap
2. Asses patient fully:
memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko
komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kemungkinan imunokompromais,
kemungkinan defisit motoric dan kemungkinan mengenai organ dalam.
3.Antiviral
Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada:
o Usia > 50 thn
o Dengan risiko terjadinya NPH
o HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sakral
o Imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
o Anak-anak, usia< 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral bila
disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt, imunokompromais,
diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
Pengobatan Antivirus:
o Asiklovir dewasa: 5 x 800 mg/hari selama 7-10hari atau
o Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
o Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus:
a. Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih timbul lesi
baru/ terdapat vesikel berumur < 3 hari.
b. Bila disertai keterlibatan organ viseral diberikan asiklovir intravena 10 mg/kgBB,
3x per hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% dan
diberikan tetes selama satu jam.
c. Untuk wanita hamil diberikan asiklovir
d. Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan keterlibatan
SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keuntungannya belum
dievaluasi secara sistematis.8,9

16
Pengobatan Antivirus pada pasien imunokompromais
o Asiklovir dewasa: 4-5 x 800 mg/hari atau
o Asiklovir iv 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highly imunocompromais, multi
semental/diseminata
o Valasiklovir untuk dewasa: 3 x 1 gram/hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa: 3 x 500 mg/hari.
o Pada kasus yang hebat selain pemberian IV acyclovirditambahkan Interferon Alpha
2a
o Acyclovir resisten diberi Foscarnet
o Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala klinik
belum menghilang: berikan acyclovir 2 x 400 mg perhari atau Valacyclovir 500 mg
perhari.
o Peningkatan sistem imun
1. Pemberian imunomodulator seperti interferon
2. Pemberian Isoprinosine
o Suportif sel Jaringan mencegah stress jaringan dan apoptosis:
1. Anti oksidan
2. Memperbaiki protein dan karbohidrat
Catatan: lama pemberian antiviral sampai stadium krustasi8,9

Dosis Asiklovir anak


< 12 tahun: 30 mg/kgBB 7 hari
> 12 tahun: 60 mg/kgBB 7 hari
Analgetik:
o Nyeri ringan: parasetamol/NSAID
o Nyeri sedang sampai berat: kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)
Allay anxietas counselling:
o Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan serta
ketidakpahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya

17
o mempertahankan kondisi mental dan aktifitas fisik agar tetap optimal
o Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya.
Pengobatan topical
1. Menjaga lesi kulit agar kering dan bersih
2. Hindari antibiotik topikal kecuali ada infeksi sekunder
3. Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril/ losio kalamin
4. Asiklovir topikal tidak efektif
Terapi suportif
• Istirahat, makan cukup
• Jangan digaruk
• Pakaian longgar
• Tetap mandi9,10
B.TERAPI NPH
• Tujuan: agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
• Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori level of side effect
• Terapi non-farmakologik: masuk dalam kategori reports of
B.TERAPI
NPH
• Tujuan: agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
• Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori medium to high efficacy,
good strength of evidence, low levelof side effect
• Terapi non-farmakologik: masuk dalam kategori reports of benefit limited

18
Gambar 3: terapi NPH pada herpes zoster10,11

2.10 Komplikasi:

A. Komplikasi Cutaneus
o Infeksi sekunder: dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan
parut (selulitis, impetigo dll)
o gangraen superfisialis: menunjukkan HZ yang berat, mengakibatkan hambatan
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut

B.Komplikasi Neurologis
o Neuralgia paska herpes (NPH): nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3
bulan setelah erupsi HZ menghilang. Insidensi PHN berkisar sekitar 10-40% dari
kasus HZ. NPH merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara
fungsional. dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan
(terbakar, nyeri, berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk-tusuk), dan nyeri yang dipicu
stimulus seperti allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan dll).

19
Risiko NPH meningkat pada usia>50 th (27x lipat): nyeri prodromal lebih lama atau
lebih hebat;; erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau intensitas
nyerinya lebih berat. Risiko lain: Distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi,
kurangnya kepuasan hidup, wanita, diabetes. Walaupun mendapat terapi antivirus,
NPH tetap terjadi pada 10-20% pasien HZ, dan sering kali refrakter terhadap
pengobatan, walau pengobatan sudah optimal, 40 % tetap merasa nyeri.
o Meningoensefalitis, arteritis granulomatosa, mielitis, motor neuropathy (defisit
motoric), stroke dan bell’s palsy

C. Komplikasi Mata
o Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ Oftalmikus, terjadi
pada 10-25% dari kasus HZ, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan, nyeri
menetap lama, dan/atau luka parut.
o Keratitis (2/3 dari pasien HZO), konjungtivitis, uveitis, episkleritis, skleritis,
koroiditis, neuritis optika, retinitis, retraksi kelopak, ptosis, dan glaukoma.

D. Komplikasi THT
Sindrom Ramsay Hunt sering disebut HZ Otikus merupakan komplikasi pada THT
yang jarang terjadi namun dapat serius. Sindrom ini terjadi akibat reaktivasi VZV di
ganglion genikulata saraf fasialis. Tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi
HZ di liang telinga luar atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri,
gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan
tuli. Banyak pasien yang tidak pulih sempurna.

E. Komplikasi Viseral
o Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi abdomen.
o Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasiyang dapat terjadi misalnya
hepatitis, miokarditis, pericarditis, artitis
2.11 Prognosis
Infeksi primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus
dengan casefatality rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian per

20
100.000 kasus). Pada bayi rata-rata resiko kematian adalah sekitar 4 kali lebih besar
dan pada dewasa sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata 100 kematian terjadi di USA
sebelum ditemukannya vaksin varicella, komplikasi yang menjadi penyebab utama
kematian, antara lain: pneumonia, komplikasi SSP, infeksi sekunder, dan perdarahan.
10,11

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Aslik
No CM : 18006857
Tgl Lahir : 31-12-1943 usia 76 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tumbuk, Karangkuten Gondang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT

3.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Luka di wajah
2. Riwayat Penyakit Sekarang

21
Pasien datang ke IGD RS Sumberglagah dengan keluhan terdapat luka di
daerah wajah sejak 3 hari sebelum MRS, luka hanya terdapat pada bagian
sebelah kanan wajah saja. Sebelumnya pasien terasa pusing kemudian
diberi balsem geliga beberapa kali, disebelah kanan sisi wajah, esok
harinya wajah menjadi luka dan melepuh, kemerahan (+), bengkak (+),
gatal (+), nyeri (+), cekot-cekot. Mata sebelah kanan menjadi sulit untuk
dibuka karena luka semakin meluas hingga ke kelopak mata sebelah kanan
sehingga pasien kesulitan untuk membuka mata kanannya. Keluhan ini
tidak disertai dengan keluhan demam, mual, muntah, nyeri perut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
HT dan DM disangkal.
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami seperti ini sebelumnya.
Tidak terdapat riwayat atopik pada keluarga, seperti asma, dermatitis
atopik, rinitis dll
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
6. Riwayat Alergi
Tidak ada alergi

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 132/74 mmHg
- Nadi : 97 x / menit
- Suhu : 36.5º C
- Pernafasan : 23 x / menit
Status Gizi
- Berat Badan : 55 kg

22
- Tinggi Badan : tidak dilakukan

3.4 STATUS GENERALIS


1. Kepala
- Rambut : Berwarna hitam sebagian putih,
distribusi
merata, ketombe (-)
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik
(-/-), Hiperemis (-/-), Sekret (-/-)
- Hidung : Deviasi Septum Nasi (-), Sekret (-)
- Telinga : Tidak ada kelainan bentuk, Serumen (-)
- Mulut : Bibir kering (-), Mukosa Faring
Hiperemis (-) Tonsil T1/T1, Karies
Dentis (+)
- Kulit Kepala : Tidak terdapat lesi
- Kulit Wajah : Tidak terdapat lesi
2. Leher
- Pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran KGB
- Pembesaran Tiroid : Tidak ada pembesaran Kelenjar Tiroid
- Kulit Leher : Tidak terdapat lesi
3. Thoraks
- Paru
 Inspeksi : Bentuk & Gerakan Dada Simetris
 Palpasi : Vokal Fremitus (+/+), Nyeri Tekan (-/-)
 Perkusi : Sonor di semua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing
(-/-)
- Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis Tidak Nampak
 Palpasi : Ictus Cordis Teraba
 Perkusi : Tidak dilakukan

23
 Auskultasi : BJ I&II, Regular, Murmur (-), Gallop (-)
- Kulit : Terdapat lesi
4. Abdomen
- Inspeksi : Datar. Skar (-), Lesi Kulit (-).
- Auskultasi : Bising usus (+). Dalam batas normal
- Perkusi : Timpani seluruh kuadran abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepatosplenomegali (-)
- Kulit : Tidak ada lesi
5. Ekstremitas
- Atas : Akral Hangat (+/+), Sianosis (-/-)
Deformitas (-/-)
- Bawah : Akral Hangat (+/+), Sianosis (-/-)
Deformitas (-/-)
- Kulit : Tidak ada lesi

3.4 STATUS DERMATOLOGIKUS

Distribusi Lokalis
Regio Facialis dextra
Lesi Tampak multiple vesikel bergerombol, dengan dasar
eritema disertai infeksi sekunder disekitarnya dan edema
(+)
Efloresensi Primer :
Vesikel,bula, makula eritematosa
Sekunder :
Krusta

3.5 DOKUMENTASI

24
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

3.7 RESUME
Pasien perempuan usia 76 tahun,Pasien datang dengan keluhan di wajah sejak 3 hari
yang lalu, luka disebelah wajah. Sebelumnya pasien terasa migrain kemudian diberi
balsam geliga beberapa kali, disebelah sisi wajah, esok harinya wajah menjadi luka
melepuh, kemerahan(+), bengkak (+), gatal (+), nyeri (+), cekot-cekot. Mata tidak
bisa dibuka. Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-).Dari pemeriksaan fisik,
keadaan umum dan status generalisata dalam batas normal.

Status Dermatologikus :
- Distribusi: lokal
- Regio: Facialis dextra

25
- Lesi: Tampak multiple vesikel bergerombol, dengan dasar eritema disertai
infeksi sekunder disekitarnya dan edema (+)
- Efloresensi: Primer: Vesikel,bula, makula eritematosa
- Sekunder: Krusta

3.8 DIAGNOSIS
1. Diagnosis Banding
-Herpes zoster Optalmikus
-Dermatitis kontak
-Dermatitis venenata
2. Diagnosis Kerja
Herpes Zooster Optalmikus

3.9 PENATALAKSANAAN
Infus NS 20 tpm
Inj. Antrain 3x1 gram iv
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram iv
Inj. Ranitidin 2x50ml iv
Inj. Methyl Prednisolon 1x125mg iv
Asiklovir 5x800 mg (5x2 tablet) po
Kompres NS pada bengkak 4x sehari 10-15 menit

3.10 PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : Bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
- Quo ad Functionam : Bonam

26
BAB II
ANALISIS KASUS

Temuan Kasus Tinjauan Teori


Berdasarkan Anamnesis
-Perempuan, 76 tahun -Herpes zoster lebih dari setengah jumlah keseluruhan
kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun,
tidak terdapat predileksi gender.
-Pada dermatitis kontak iritan dan dermatitis venenata
dialami oleh semua orang dari berbagai golongan
umur
-Keluhan tidak enak badan -Herpes zooster dapat timbul dengan dimulai adanya
dan migrain, sebelum keluhan prodromal berupa sensasi abnormal
muncul ruam. (parestesi) atau nyeri otot lokal, gatal, demam,
Pada kasus tidak ada malaise, nyeri kepala.
keluhan nyeri otot lokal -Dermatitis kontak iritan timbul segera setelah kontak
maupunparestesi kulit terasa pedih, panas, dan terbakar
sebelumnya. -Dermatitis venenata tidak ada gejala prodormal
(lesu, lemas, nafsu makan menurun)
Muncul ruam bintik-bintik - Herpes zoster setelah awitan prodromal. Timbul
berisi cairan pada daerah erupsi kulit yang biasanya gatal dan nyeri
disebelah sisi wajah, esok terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa
harinya wajah menjadi luka makula kemerahan, kemudian berkembang menjadi
melepuh, kemerahan(+), papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari.
bengkak (+), gatal (+), nyeri -Dermatitis venenata Erupsi dimulai ketika unsur
(+), cekot-cekot. penyebeb mengenai kulit. Reaksi pertama mencakup
rasa gatal, terbakar dan eritama yang segera diikuti
oleh gejela edema, vesikel serta perembesan atau
sekret.

27
-dermatitis kontak iritan keluhan hanya berupa gejala
subjektif seperti rasa terbakar, tersengat. Dapat juga
sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan,

Bintik berisi cairan tersebut -Herpes zoster Isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya
membesar dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari)
pecah meninggalkan bekas -dermatitis venenata Pada fase subkutis, perubahan
vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah
menjadi pembentukan krusta, pengeringan atau bila
pasien terus menerus menggaruk kulitnya, penebalan
kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna)
akan terjadi infasi sekunder timbul kembali

- dermatitis kontak iritan Kulit yang terkena penyakit


ini akan menjadi merah dan
Melepuh 1-3 hari. Bila lesi ini digaruk, maka lesi ini
dapat menyebar dan meluas.

Berdasarkan Pemeriksaan Fisik dan Status Dermatologikus


Facial dextra -Herpes zoster hanya menyerang satu dermatom saja
-Dermatitis venenata lesi hanya pada tempat yang
tidak tertutup pakaian
- Dermatitis kontak lesi hanya pada tempat yang
terpapar bahan iritan

Tampak multiple vesikel -herpes zoster Manifestasi herpes zoster berupa erupsi
bergerombol, dengan dasar vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa
eritema disertai infeksi disertai nyeri radikular unilateral yang umumnya
sekunder disekitarnya dan terbatas di satu dermatom.

28
edema (+) -dermatitis venenata Kulit yang terkena penyakit ini
akan menjadi merah dan melepuh, disertai rasa panas
seperti terbakar. Fase merah, melepuh, dan terasa
panas ini berlangsung 1-3 hari. Bila lesi ini digaruk,
maka lesi ini dapat menyebar dan meluas, lesi hanya
pada kulit yang tidak tertutup pakaian

-Dermatitis kontak iritan keluhan hanya berupa gejala


subjektif seperti rasa terbakar, tersengat. Dapat juga
sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan,
misalnya terhadap asam, kloroform, methanol. Rasa
seperti tersengat cukup lambat terjadi yaitu dalam 1-2
menit, puncaknya dalam 5-10 menit dan berkurang
dalam 30 menit, yang disebabkan oleh aluminium
klorid, fenol, propilen glikol, dan lain-lain

Primer : vesikel, -Herver zoster Papul, Vesikel, Pustul


bula,Makula eritematosa, -dermatitis venenata vesikel
-dermatitis kontak iritan eritema, edema, bula, dan
nekrosis
Sekunder : Krusta -Herpes zoster Krusta
-Dermatitis venenata krusta

Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang


Pada kasus tidak Sebenarnya tidak begitu diperlukan pemeriksaan
dilakukan pemeriksaan penunjang pada Herpes Zoster karena gambaran
penunjang. klinisnya memiiki khas tersendiri. Deteksi antigen
atau nucleic acid varicella zooster virus, isolasi virus
dari sediaan hapus lesi atau pemeriksaan antibodi IgM
spesifik diperlukan
Berdasarkan Diagnosis Banding
Dermatitis kontak, Dermatitis kontak dan dermatitis venenata (gigitan

29
Dermatitis venenata serangga) sering salah didiagnosis sebagai herpes
zoster ketika muncul pertama kali karena lesinya yang
mirip.
Berdasarkan Tatalaksana
Infus NS 20 tpm Penggunaan antivirus, salah satunya Asiklovir, dapat
Inj. Antrain 3x1 amp efektif diberikan sebelum 72 jam awitan lesi dengan
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram dosis 5x800 mg selama 7 hari, dapat juga diberikan
Inj. Ranitidin 2x1 amp antidepresan berupa amitriptilin untuk mengurangi
Inj. Methyl Prednisolon prevalensi NPH. OAINS dapat diberikan untuk
1x02,5mg mereda rasa nyeri, pemberian antibiotik topikal dapat
Asiklovir 4x800 mg (5x2 ditambahkan jika terjadi infeksi sekunder. Pemberian
tablet) kortikosteroid tidak begitu bermanfaat pada herpes
Kompres NS pada bengkak zoster.
4x sehari 10-15 menit
Berdasarkan Prognosis
Quo ad Vitam :Bonam
Quo ad Sanationam: Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap
Dubiaad Bonam
Quo ad Functionam: proses kehidupan.
Bonam Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit
terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam
melakukan tugasnya.
Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat
sembuh total sehingga dapat beraktivitas

seperti biasa.
Pada kasus herpes zoster biasanya prognosis pasien
secara ad vitam, fucntiona, dan sanationam adalah
baik, untuk komplikasi berupa gangguan mata dapat
dikonsultasikan ke dokter mata.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Alexander K. C. Leung, Benjamin Barankin. Herpes Zoster in Childhood.


Open Journal of Pediatrics, 2015, 5, 39-44. Published Online March 2015 in
SciRes.
http://www.scirp.org/journal/ojpedhttp://dx.doi.org/10.4236/ojped.2015.5100
8
2. Varicella Zoster Virus (VZV). Steven A. Pergam1,2,3, Ajit P. Limaye1, and
the AST Infectious Diseases Community of Practice (COP). Published in final
edited form as: Am J Transplant. 2013 March; 13(Suppl 4): 138–146.
doi:10.1111/ajt.12107.
3. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of incidence and
complications of herpes zoster: towards a global perspective. BMJ Open
2014;4:e004833. doi:10.1136/bmjopen-2014-004833
4. HD Pusponegoro, Nilasari H, et al. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia
Tahun 2014. Badan Penerbit FKUI. 2014.
5. Martin K, Norberta, Matheus T. Varicella Zoster pada Anak. Fakultas
Kedokteran, Universitas Pelita Harapan Departemen Patologi Klinik,
Universitas Pelita Harapan Departemen Anak, Univeritas Pelita Harapan.
Jakarta. 2013
6. Rajesh Gupta, Preety Gupta, Shivani Gupta. Pathogenesis of Herpes Zoster: A
Review. The Pharma Innovation Journal 2015; 4(5): 11-13
7. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of incidence and
complications of herpes zoster: towards a global perspective. BMJ Open
2014;4:e004833. doi:10.1136/bmjopen-2014-004833
8. Kawai, K., Gebremeskel, B.G. and Acosta, C. (2014) Systematic Review of
Incidence and Complications of Herpes Zoster: Towards a Global Perspective.
BMJ Open, 4, e004833. http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen-2014-004833 [5]
9. LaRussa, P.S. and Marin, M. (2011) Varicella-Zoster Virus Infection. In:
Kliegman, R.M., Stanton, B.F., St Geme, J.W., Schor, N.F., Behrman, R.E.,

31
Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition, Elsevier, Philadelphia, 1104-
1110. http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4377-0755-7.00245-1
10. Stein, M., Cohen, R., Bromberg, M., et al. (2012) Herpes Zoster in a Partially
Vaccinated Pediatric Population in Central Isreal. Pediatric Infectious Disease
Journal, 31, 906-909. http://dx.doi.org/10.1097/INF.0b013e31825d33f9
11. Insinga, R.P., Itzler, R.F., Pellissier, J.M., et al. (2005) The Incidence of
Herpes Zoster in a United States Administrative Database. Journal of General
Internal Medicine, 20, 748-753. http://dx.doi.org/10.1111/j.1525-
1497.2005.0150.x

32

Anda mungkin juga menyukai