PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi
virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan
kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik
saraf kranial menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen
yang dipersyarafinnya.(4)
Herpes zoster (HZ) biasanya ditandai dengan nyeri, ruam yang terjadi sesuai
dengan dermatomal. Perkiraan faktor risiko HZ pada populasi umum adalah sekitar
30%, dengan risikonya meningkat tajam setelah berusia 50 tahun. Setelah melakukan
studi observasional jangka panjang yang di tahun 1960an, Hope-Simpson
menunjukkan HZ adalah hasil reaktivasi dari Virus varicella-zoster (VZV) yang ada
di dalam sensorik Ganglia setelah melewati masa laten yang panjang dari infeksi
primer varicella (cacar air).(5)
2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi lebih sering setelah infeksi varicella daripada vaksinasi
varicella. Herpes zoster biasanya terjadi pada orang dengan komplemen imunologi
yang dimediasi sel relatif seperti orang tua atau pasien. Dengan penyakit
imunosupresif atau menerima terapi imunosupresif. Kejadian kumulatif seumur hidup
di antara populasi umum sekitar 10% sampai 30%, dengan risiko meningkat tajam
2
setelah usia 50 tahun. Dalam studi oleh Insigna dkk, kejadian herpes zoster yang
disesuaikan usia dan jenis kelamin keseluruhan adalah 320 per 100.000 orang-tahun
di Amerika Serikat dari tahun 2000 sampai 2001. Angka ini lebih tinggi di antara
wanita (390 per 100.000 orang-tahun) dibandingkan laki-laki (260 per 100.000 orang-
tahun). Kejadian di antara anak-anak berusia 0 sampai 14 tahun adalah 110 per
100.000 orang-tahun. Kawai dkk melakukan tinjauan sistematis terhadap 63
penelitian dari 22 negara tentang kejadian herpes zoster. Penulis menemukan tingkat
kejadian herpes zoste berkisar antara 300 sampai 500 per 100.000 orang-tahun pada
populasi umum di Amerika Utara, Eropa, dan Asia-Pasifik, berdasarkan penelitian
yang menggunakan pengawasan prospektif, data rekam medis elektronik atau data
administrative. Kejadiannya dua kali di kulit putih bila dibandingkan dengan orang
kulit hitam. Individu yang mengalami imunosupompresi memiliki risiko 20 sampai
100 kali lebih besar daripada individu yang imunokompeten pada usia yang sama. 2,3
2.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi VZV. VZV adalah virus DNA beruntai
ganda yang tergabung dalam keluarga Herpesviridae; Genomnya mengkodekan
sekitar 70 protein. Pada manusia, infeksi primer dengan VZV terjadi saat virus
bersentuhan dengan mukosa saluran pernafasan atau konjungtiva. Setelah sudah
berkontak, lalu didistribusikan ke seluruh tubuh. Setelah infeksi primer, virus tersebut
bermigrasi di sepanjang serabut saraf sensorik ke sel satelit ganglia akar dorsal di
mana ia menjadi tidak aktif atau dormant. Reaktivasi VZV yang tetap tidak aktif di
dalam ganglia akar dorsal, seringkali selama beberapa dekade setelah paparan awal
pasien terhadap virus dalam bentuk varicella (cacar air), berakibat pada herpes zoster.
Apa yang memicu reaktivasi virus ini belum ditentukan secara tepat, namun
kemungkinan terjadinya bisa disebabkan hal berikut:
Terpapar virus yang sama yang bersumber dari luar
Proses penyakit akut atau kronis (terutama keganasan dan infeksi
Obat-obatan dari berbagai jenis
Tekanan emosional
3
Alasan mengapa satu ganglion akar dorsal mengalami pengaktifan kembali masih
belum jelas. Imunitas selular yang berkurang tampaknya meningkatkan risiko
reaktivasi, karena insidensi meningkat seiring bertambahnya usia dan pada orang
yang immunocompromised.(2)
2.5 Patofisiologi
Replikasi virus varicella zoster nasofaring terjadi segera setelah primer
infeksi. Diikuti dengan penyebaran infeksi ke jaringan limfoid yang berdekatan
dimana virus tersebut Menginfeksi sel CD4 + T memori yang berlimpah di jaringan
limfoid tonsillar. Sel memori yang mengekspresikan antigen homing kutaneousdan
menyebabkan peradangan serta reseptor kemokin 4 (CCR4) ke kulit diperkirakan
membawa virus ke epitel kutaneous dalam beberapa hari setelah infeksi. Replikasi
lokal pada sel epitel ini difasilitasi oleh regulasi turunan interferon-α di dalam sel
yang terinfeksi dan kegagalan induksi molekul adhesi. Pada saat yang sama
penyebaran sel ke sel masuk pada minggu pertama dengan memproduksi interferon-α
pada sel epitel yang berdekatan. Setelah itu, virus tersebut melakukan pertahanan
bawaan dan vesikel muncul. Produksi sitokin dan regulasi kapiler Faktor adhesi
endotel menarik sel T bermigrasi yang selanjutnya dapat menyebarkan virus sebelum
mereplikasi virus.
Diagram yang menggambarkan kejadian dalam pathogenesis infeksi VZV pada kulit.
Menurut model ini, sel T didalamnya dimana terdapat jaringan limfoid tonsillar
menjadi terinfeksi oleh VZV yang berpindah ke dalam sel sehingga bermigrasi ke
dalam sistem kekebalan tubuh. Inokulasi awal sel epitel pernafasan dengan virus Sel
T yang terinfeksi masuk ke sirkulasi dan membawa virus ke kulit segera setelahnya,
keluar melalui endothelium kapiler dengan mekanisme yang menjadi tempat
bermigrasi dari sel T. Sel T yang terinfeksi melepaskan VZV menular pada situs kulit
replikasi. Dimana masa inkubasi adalah interval 10 sampai 21 hari yang diperlukan
untuk VZV untuk mengatasi respon IFN bawaan di Indonesia sel epidermis yang
cukup untuk menciptakan lesi vesikular yang khas mengandung VZV pada
permukaan kulit. meningkatkan produksi IFN di sel kulit yang berdekatan mencegah
serangan yang cepat, Lesi varicella dapat terjadi bila sel T melewati stadium awal lesi
4
kulit, menjadi terinfeksi, dan menghasilkan viremia sekunder Proses ini berlanjut
sampai hospes kebal terhadap infeksi. (3)
Cell-free-virus yang hadir hanya di kulit vesikula ini berperan dalam infeksi
ujung saraf sensorik di Epithelia. Hal ini menyebabkan migrasi virus ke akson sensori
yang akan memicu virus latency pada ganglia sensorik. Pertemuan terakhir dan
pembentukan virion yang baru disintesis terjadi di dalam pembungkus khusus
cisterna terletak di jaringan trans-Golgi. Badan concave dari setiap pembungkus
cisterna ini kaya akan varicella zoster virus glycoprotein dan menjadi virus Sisi
cembung kaya protein seluler sebagai penghambat reseptor 6-fosfat kation-
independen danCisterna menjadi vesikel transportasi yang baru dibungkus virion.
Pada fibroblas paru embrio manusia, terdapatnyareseptor kation-independent
mannose 6-phosphate pada permukaan cembung akan dialirkan ke rute virion dari
jalur sekretori sel ke endosom dimana virion diasingkan Virus varicella zoster juga
menyebar dengan cepat ke tempat yang berdekatan sel epidermis dengan
menginduksi fusi (dimediasi oleh Glikoprotein H, L, B dan E) sel yang terinfeksi
dengan virally Sel tetangga yang tidak terinfeksi Sebaliknya, hilangnya
kationindependent Reseptor 6-fosfat mannose pada keratinosit Di epidermis
superfisial memungkinkan akumulasi Virion bebas sel, yang diperlukan untuk
transmisi dan Pembentukan virus laten. (3)
5
Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk
infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus
dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2(3)
Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk
infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus tdak
tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV laten tidak
jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi, stres emosional,
iradiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor, serabut ganglion
dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma lokal, manipulasi bedah tulang
belakang, dan sinusitis frontalis (sebagai endapan zoster oftalmica). Yang paling
penting adalah penurunan kekebalan seluler VZV spesifik yang terjadi dengan
bertambahnya usia(3)
VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang
jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut,
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh
VZV. (3)
Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat kritis,
reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan menyebar di
dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan parah, sebuah
proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV kemudian
menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan neuritis
parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana ia
menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam
6
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, myelitis melintang).
Gambar 2. Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer
varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV tetap dalam fase
laten dalam ganglia untuk kehidupan C. Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang,
VZV aktif kembali dalam ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di
kulit.(3)
Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia
Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala ini dan
umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam sudah sembuh,
dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia (PHN). Sejumlah
mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis
nyeri pada herpes zoster dan PHN.(3)
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa nyeri
di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan neuropeptida yang
disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent selama fase akut dan
7
prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat menyebabkan cedera eksitotoksik
dan hilangnya hambatan interneuron di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron
di sumsum tulang belakang, ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam
patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan
dan peka terhadap rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang
berlebihan dan impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan
dan perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan
allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh
rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang
sensori sedikit atau tidak ada sama sekali. (3)
Perubahan anatomi dan Fisiologi bertanggung jawab terhadapmanifestasi
PHNyang dibentuk di awal perjalanan dari hepes zoster. Hali ini akan menjelaskan
korelasi antara keparahan nyeri awal dan adanya nyeri prodormal dengan
perkembangan selanjutnya dari PHN, dan kegagalan terapi antivirus untuk mencegah
PHN.(3)
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan diagnosis klinis. Diagnosis yang dibuat
berdasarkan temuan multinuclear giant cell dan intranuclear incicion body type A
dengan cara mengoleskan dasar dari olesan cairan lesi (Tzank Smear) dan pewarnaan
dengan toluide blue, giemsa atau papanocolou. Mikroskopis eletron dari lesi cairan
bisa menggambarkan virus dilihat dari morfologi virus. Tes serologi mungkin sulit
untuk dilakukan. Teknik Antibody fluorescent dibuat untuk mendeteksi antigen
varicella di cairan lesi.(3,4)
Disamping itu untuk anak dengan infeksi HIV lebih udah mengidap penyakit
herpes zoster Karena imunitas dalam tubuhnya yang lemah. Manifestasi herpes zoster
bisa membuat immunodefisiensi pada anak dengan HIV setelah adanya insiasi dari
HAART. Infeksi zoster tidak berubah setelah infeksi HAART, tapi tidak jarang juga
bermanifestasi untuk timbulnya komplikasi, salah satunya PHN (post herpetic
neuralgia), dimana itu bisa menjadi tanda penyakit herpes zoster. (3,4)
8
2.7 Diagnosis Klinis
Gejala Prod romal
Berlangsung 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah dermatom
yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi. Nyeri
bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau sebagai serangan yang
hilang timbul. Keluhan bervariasi dari
rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk--
tusuk.
o Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi
berupa malaise, sefalgia, other flu like symptomyang biasanya akan menghilang
setelah erupsi kulit timbul. Kadang-kadang terjadi limfadenopati regional
Erupsi kulit
o Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersyarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh,
yang tersering di daerah ganglion torakalis.
o Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan
dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah
14 menjadi pustul yang akan meng ering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta
dapat bertahan sampai 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini biasanya
nyeri segmental juga menghilang.
o Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai hari
ketujuh.
o Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar)
o Erupsi umumnya disertai nyeri (60-90% kasus)
Variasi klinis
o Pada beberapa kasus nyeri segmental tidak diikuti erupsi kulit, keadaan ini disebut
zoster sine herpete.
o Herpes zoster abortif: bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan kelainan
kulit hanya berupa vesikel dan eritema.
9
o Herpes zoster oftalmikus: HZ yang menyerang cabang pertama nervus trigeminus.
Erupsi kulit sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi.
Bila mengenai anak cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak hidung yang
dikenal sebagai tanda Hutchinson, sampai dengan kantus medialis) harus diwaspadai
kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.
10
riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes simpleks
zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara
normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.Pemeriksaan laboratorium
direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang terlibat
multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral
sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi
krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang
tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.5,6
11
eritema dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada wanita
antara lain labium mayor, labium minor, klitoris,
vagina, serviks dan anus. Pada laki-laki antara lain di
batang penis, glans penis dan anus. Ekstragenital yaitu
hidung, bibir, lidah, palatum dan faring.(9)
(3)
12
(3)
(3)
13
Predileksi:pada kepala, kuduk, lipatan ketiak bagian
belakang, sakrum, bokong dan lengan bawah.
Distribusinya simetris, akut dan polimorf.(9)
(3)
14
2.9 Penatalaksanaan
A. Strategi 6A
Dalam penatalaksanaan HZ, dikenal strategi 6 A:
1. Attract patient early
2. Asses patient fully
3. Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ durasi HZ, serta
nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis, multicenter
randomizeddouble-blind controlled trial. Masuk dalam kategori highdegree of
confidence
Tambahan terapi
1. Analgetik
2. Antidepressant/antikonvulsant
3. Allay anxietas-counselling
Efikasinya inkonsisten, merupakan hasil dari uncontrolled multiple clinical trial dan
clinical experiences. Masukdalam kategori moderate inconfidance
15
o Dokter
Diagnosis dini
Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara seksama dan lengkap
2. Asses patient fully:
memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko
komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kemungkinan imunokompromais,
kemungkinan defisit motoric dan kemungkinan mengenai organ dalam.
3.Antiviral
Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada:
o Usia > 50 thn
o Dengan risiko terjadinya NPH
o HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sakral
o Imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
o Anak-anak, usia< 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral bila
disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt, imunokompromais,
diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
Pengobatan Antivirus:
o Asiklovir dewasa: 5 x 800 mg/hari selama 7-10hari atau
o Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
o Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus:
a. Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih timbul lesi
baru/ terdapat vesikel berumur < 3 hari.
b. Bila disertai keterlibatan organ viseral diberikan asiklovir intravena 10 mg/kgBB,
3x per hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% dan
diberikan tetes selama satu jam.
c. Untuk wanita hamil diberikan asiklovir
d. Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan keterlibatan
SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keuntungannya belum
dievaluasi secara sistematis.8,9
16
Pengobatan Antivirus pada pasien imunokompromais
o Asiklovir dewasa: 4-5 x 800 mg/hari atau
o Asiklovir iv 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highly imunocompromais, multi
semental/diseminata
o Valasiklovir untuk dewasa: 3 x 1 gram/hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa: 3 x 500 mg/hari.
o Pada kasus yang hebat selain pemberian IV acyclovirditambahkan Interferon Alpha
2a
o Acyclovir resisten diberi Foscarnet
o Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala klinik
belum menghilang: berikan acyclovir 2 x 400 mg perhari atau Valacyclovir 500 mg
perhari.
o Peningkatan sistem imun
1. Pemberian imunomodulator seperti interferon
2. Pemberian Isoprinosine
o Suportif sel Jaringan mencegah stress jaringan dan apoptosis:
1. Anti oksidan
2. Memperbaiki protein dan karbohidrat
Catatan: lama pemberian antiviral sampai stadium krustasi8,9
17
o mempertahankan kondisi mental dan aktifitas fisik agar tetap optimal
o Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya.
Pengobatan topical
1. Menjaga lesi kulit agar kering dan bersih
2. Hindari antibiotik topikal kecuali ada infeksi sekunder
3. Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril/ losio kalamin
4. Asiklovir topikal tidak efektif
Terapi suportif
• Istirahat, makan cukup
• Jangan digaruk
• Pakaian longgar
• Tetap mandi9,10
B.TERAPI NPH
• Tujuan: agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
• Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori level of side effect
• Terapi non-farmakologik: masuk dalam kategori reports of
B.TERAPI
NPH
• Tujuan: agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
• Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori medium to high efficacy,
good strength of evidence, low levelof side effect
• Terapi non-farmakologik: masuk dalam kategori reports of benefit limited
18
Gambar 3: terapi NPH pada herpes zoster10,11
2.10 Komplikasi:
A. Komplikasi Cutaneus
o Infeksi sekunder: dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan
parut (selulitis, impetigo dll)
o gangraen superfisialis: menunjukkan HZ yang berat, mengakibatkan hambatan
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut
B.Komplikasi Neurologis
o Neuralgia paska herpes (NPH): nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3
bulan setelah erupsi HZ menghilang. Insidensi PHN berkisar sekitar 10-40% dari
kasus HZ. NPH merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara
fungsional. dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan
(terbakar, nyeri, berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk-tusuk), dan nyeri yang dipicu
stimulus seperti allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan dll).
19
Risiko NPH meningkat pada usia>50 th (27x lipat): nyeri prodromal lebih lama atau
lebih hebat;; erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau intensitas
nyerinya lebih berat. Risiko lain: Distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi,
kurangnya kepuasan hidup, wanita, diabetes. Walaupun mendapat terapi antivirus,
NPH tetap terjadi pada 10-20% pasien HZ, dan sering kali refrakter terhadap
pengobatan, walau pengobatan sudah optimal, 40 % tetap merasa nyeri.
o Meningoensefalitis, arteritis granulomatosa, mielitis, motor neuropathy (defisit
motoric), stroke dan bell’s palsy
C. Komplikasi Mata
o Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ Oftalmikus, terjadi
pada 10-25% dari kasus HZ, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan, nyeri
menetap lama, dan/atau luka parut.
o Keratitis (2/3 dari pasien HZO), konjungtivitis, uveitis, episkleritis, skleritis,
koroiditis, neuritis optika, retinitis, retraksi kelopak, ptosis, dan glaukoma.
D. Komplikasi THT
Sindrom Ramsay Hunt sering disebut HZ Otikus merupakan komplikasi pada THT
yang jarang terjadi namun dapat serius. Sindrom ini terjadi akibat reaktivasi VZV di
ganglion genikulata saraf fasialis. Tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi
HZ di liang telinga luar atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri,
gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan
tuli. Banyak pasien yang tidak pulih sempurna.
E. Komplikasi Viseral
o Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi abdomen.
o Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasiyang dapat terjadi misalnya
hepatitis, miokarditis, pericarditis, artitis
2.11 Prognosis
Infeksi primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus
dengan casefatality rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian per
20
100.000 kasus). Pada bayi rata-rata resiko kematian adalah sekitar 4 kali lebih besar
dan pada dewasa sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata 100 kematian terjadi di USA
sebelum ditemukannya vaksin varicella, komplikasi yang menjadi penyebab utama
kematian, antara lain: pneumonia, komplikasi SSP, infeksi sekunder, dan perdarahan.
10,11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Luka di wajah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
21
Pasien datang ke IGD RS Sumberglagah dengan keluhan terdapat luka di
daerah wajah sejak 3 hari sebelum MRS, luka hanya terdapat pada bagian
sebelah kanan wajah saja. Sebelumnya pasien terasa pusing kemudian
diberi balsem geliga beberapa kali, disebelah kanan sisi wajah, esok
harinya wajah menjadi luka dan melepuh, kemerahan (+), bengkak (+),
gatal (+), nyeri (+), cekot-cekot. Mata sebelah kanan menjadi sulit untuk
dibuka karena luka semakin meluas hingga ke kelopak mata sebelah kanan
sehingga pasien kesulitan untuk membuka mata kanannya. Keluhan ini
tidak disertai dengan keluhan demam, mual, muntah, nyeri perut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
HT dan DM disangkal.
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami seperti ini sebelumnya.
Tidak terdapat riwayat atopik pada keluarga, seperti asma, dermatitis
atopik, rinitis dll
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
6. Riwayat Alergi
Tidak ada alergi
22
- Tinggi Badan : tidak dilakukan
23
Auskultasi : BJ I&II, Regular, Murmur (-), Gallop (-)
- Kulit : Terdapat lesi
4. Abdomen
- Inspeksi : Datar. Skar (-), Lesi Kulit (-).
- Auskultasi : Bising usus (+). Dalam batas normal
- Perkusi : Timpani seluruh kuadran abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepatosplenomegali (-)
- Kulit : Tidak ada lesi
5. Ekstremitas
- Atas : Akral Hangat (+/+), Sianosis (-/-)
Deformitas (-/-)
- Bawah : Akral Hangat (+/+), Sianosis (-/-)
Deformitas (-/-)
- Kulit : Tidak ada lesi
Distribusi Lokalis
Regio Facialis dextra
Lesi Tampak multiple vesikel bergerombol, dengan dasar
eritema disertai infeksi sekunder disekitarnya dan edema
(+)
Efloresensi Primer :
Vesikel,bula, makula eritematosa
Sekunder :
Krusta
3.5 DOKUMENTASI
24
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
3.7 RESUME
Pasien perempuan usia 76 tahun,Pasien datang dengan keluhan di wajah sejak 3 hari
yang lalu, luka disebelah wajah. Sebelumnya pasien terasa migrain kemudian diberi
balsam geliga beberapa kali, disebelah sisi wajah, esok harinya wajah menjadi luka
melepuh, kemerahan(+), bengkak (+), gatal (+), nyeri (+), cekot-cekot. Mata tidak
bisa dibuka. Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-).Dari pemeriksaan fisik,
keadaan umum dan status generalisata dalam batas normal.
Status Dermatologikus :
- Distribusi: lokal
- Regio: Facialis dextra
25
- Lesi: Tampak multiple vesikel bergerombol, dengan dasar eritema disertai
infeksi sekunder disekitarnya dan edema (+)
- Efloresensi: Primer: Vesikel,bula, makula eritematosa
- Sekunder: Krusta
3.8 DIAGNOSIS
1. Diagnosis Banding
-Herpes zoster Optalmikus
-Dermatitis kontak
-Dermatitis venenata
2. Diagnosis Kerja
Herpes Zooster Optalmikus
3.9 PENATALAKSANAAN
Infus NS 20 tpm
Inj. Antrain 3x1 gram iv
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram iv
Inj. Ranitidin 2x50ml iv
Inj. Methyl Prednisolon 1x125mg iv
Asiklovir 5x800 mg (5x2 tablet) po
Kompres NS pada bengkak 4x sehari 10-15 menit
3.10 PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : Bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
- Quo ad Functionam : Bonam
26
BAB II
ANALISIS KASUS
27
-dermatitis kontak iritan keluhan hanya berupa gejala
subjektif seperti rasa terbakar, tersengat. Dapat juga
sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan,
Bintik berisi cairan tersebut -Herpes zoster Isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya
membesar dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari)
pecah meninggalkan bekas -dermatitis venenata Pada fase subkutis, perubahan
vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah
menjadi pembentukan krusta, pengeringan atau bila
pasien terus menerus menggaruk kulitnya, penebalan
kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna)
akan terjadi infasi sekunder timbul kembali
Tampak multiple vesikel -herpes zoster Manifestasi herpes zoster berupa erupsi
bergerombol, dengan dasar vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa
eritema disertai infeksi disertai nyeri radikular unilateral yang umumnya
sekunder disekitarnya dan terbatas di satu dermatom.
28
edema (+) -dermatitis venenata Kulit yang terkena penyakit ini
akan menjadi merah dan melepuh, disertai rasa panas
seperti terbakar. Fase merah, melepuh, dan terasa
panas ini berlangsung 1-3 hari. Bila lesi ini digaruk,
maka lesi ini dapat menyebar dan meluas, lesi hanya
pada kulit yang tidak tertutup pakaian
29
Dermatitis venenata serangga) sering salah didiagnosis sebagai herpes
zoster ketika muncul pertama kali karena lesinya yang
mirip.
Berdasarkan Tatalaksana
Infus NS 20 tpm Penggunaan antivirus, salah satunya Asiklovir, dapat
Inj. Antrain 3x1 amp efektif diberikan sebelum 72 jam awitan lesi dengan
Inj. Ceftriaxon 2x1 gram dosis 5x800 mg selama 7 hari, dapat juga diberikan
Inj. Ranitidin 2x1 amp antidepresan berupa amitriptilin untuk mengurangi
Inj. Methyl Prednisolon prevalensi NPH. OAINS dapat diberikan untuk
1x02,5mg mereda rasa nyeri, pemberian antibiotik topikal dapat
Asiklovir 4x800 mg (5x2 ditambahkan jika terjadi infeksi sekunder. Pemberian
tablet) kortikosteroid tidak begitu bermanfaat pada herpes
Kompres NS pada bengkak zoster.
4x sehari 10-15 menit
Berdasarkan Prognosis
Quo ad Vitam :Bonam
Quo ad Sanationam: Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap
Dubiaad Bonam
Quo ad Functionam: proses kehidupan.
Bonam Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit
terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam
melakukan tugasnya.
Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat
sembuh total sehingga dapat beraktivitas
seperti biasa.
Pada kasus herpes zoster biasanya prognosis pasien
secara ad vitam, fucntiona, dan sanationam adalah
baik, untuk komplikasi berupa gangguan mata dapat
dikonsultasikan ke dokter mata.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition, Elsevier, Philadelphia, 1104-
1110. http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4377-0755-7.00245-1
10. Stein, M., Cohen, R., Bromberg, M., et al. (2012) Herpes Zoster in a Partially
Vaccinated Pediatric Population in Central Isreal. Pediatric Infectious Disease
Journal, 31, 906-909. http://dx.doi.org/10.1097/INF.0b013e31825d33f9
11. Insinga, R.P., Itzler, R.F., Pellissier, J.M., et al. (2005) The Incidence of
Herpes Zoster in a United States Administrative Database. Journal of General
Internal Medicine, 20, 748-753. http://dx.doi.org/10.1111/j.1525-
1497.2005.0150.x
32