Anda di halaman 1dari 17

Leukemia Granulositik Kronik

Anggelina Tania Woda Lado


102013316
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6, Jakarta Barat 11510,
No telp:(021) 56942061, Fax:(021)5631731, email: anggelinatania@gmail.com

Pendahuluan

Leukemia Granulositik Kronik (LGK) merupakan leukemia yang pertama ditemukan serta
diketahui patognesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu dama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan
panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat
adanya translokasi respirokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui
bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya
gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)
dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22q11). Gabungan kedua gen ini sering disebut sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai
penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada LGK.

Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga


dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis
kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan
pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari
sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal,
dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan
prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi
kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.1

1
Anamnesis
Anamnesis yang teliti dapat membantu dalam menentukan penyebab gagal ginjal. Muntah,
diare dan demam menandakan adanya dehidrasi. Adanya infeksi kulit atau tenggorokan yang
mendahuluinya menandakan glomerulonefritis pasca streptokokus.2

A. Identitas : Laki-laki usia 60 tahun


B. Keluhan Utama : lemas 2 bulan yang lalu terutama pada malam hari.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
 Gejala muncul 2 bulan yang lalu terutama malam hari
 Perjalanan penyakit semakin memburuk disertai demam, keringat
dingin malam hari, tidak ada batuk, pasien merasa cepat kenyang dan
begah.
D. Riwayat Penyakit Dahulu : tidak diketahui
E. Riwayat Keluarga : tidak ada
F. Riwayat Pengobatan: tidak diketahui
G. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LGK:
- Lemas
- Cepat kenyang
- Berkeringat pada malam hari

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan leukemia
myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari 50% pasien dengan CML, limpa teraba
Schuftner 3. Ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan granulocyte darah perifer,
dengan limpa terbesar yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi.
Sebuah limpa sangat besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast
akut dari penyakit. Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada
splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedullary

2
terjadi di limpa. Temuan fisik leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada
beberapa pasien, dengan ketinggian luar biasa leukosit mereka penting, lebih dari
300,000-600,000 sel/uL. Setelah funduscopy, retina dapat menunjukkan papill edema,
obstruksi vena, dan perdarahan. Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum
tulang atau ledakan jumlah darah perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat
jaringan lunak atau kulit. Gejala khas adalah karena trombositopenia, anemia,
basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan obat yang biasa untuk
mengontrol leukositosis dan splenomegali.

Pemeriksaan Penunjang
o Hematologi Rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-
60.000/mmk. Eosinofil dan basofil jumlahnya meningkat dalam darah. Jumlah
trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus
dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).

o Hapus Darah Tepi

Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya


polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan
diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.

o Hapus Sumsum Tulang

Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia,


sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat.
Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang
mengalami fibrosis.

o Kariotipik

Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa


aberasi kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik
antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17).

3
o Laboratorium lain.

Sering ditemukan hiperurikemia. 2,3,4,5,8

Working Diagnosis
Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga dengan
nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker
dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan
pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari
sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal,
dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan
prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi
kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.3

Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang


memperlihatkan kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-sel myeloid dewasa.
Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; hal ini membantu
membedakan LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya dilakukan sebagai
pemeriksaan penunjang dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup
untuk menetapkan diagnosis LGK. Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi
kromosom Philadelphia. Karakteristik abnormalitas kromosomal ini dapat dideteksi dengan
pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi fluorescent in situ, atau dengan
PCR untuk gen bcr-abl. 2

Differential Diagnosis
 Reaksi leukemoid

Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel darah
putih matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip dengan
leukemia kronis, proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan penyakit
primer sumsum tulang dan biasanya sekunder terhadap penyakit lain. Granulosit
paling sering terlibat, tetapi monositosis yang mencolok dapat terjadi pada

4
tuberkulosis, sedangkan limfositosis leukemoid pernah dilaporkan pada tuberculosis,
batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.
Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas
dengan atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah,
keracunan logam berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai
ginjal atau hati, dan ketoasidosis diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis
atau dari kemoterapi mungkin memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih
menyerupai proliferasi pada leukemia, tetapi leukopoesis dengan kecepatan seperti ini
jarang menetapkan lebih dari seminggu.
Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas,
pembedaan dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat
timbul bersama dengan penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat
timbul bersama-sama, dan masing-masing memperparah yang lain. Apabila penyakit
yang primer tidak jelas, gambarannya mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang
membedakan reaksi leukemoid dengan LGK diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.

Leukemia Granulositik
Reaksi Leukemoid
Kronik
Leukosit biasanya <50.000/µL Leukosit biasanya >50.000/µL
Granulasi toksik dan badan Dohle ++ Granulasi toksik ± / = 0
Terdapat basofilia dan
Basofilia dan eosinofilia tidak ada
eosinofilia, bisa juga tidak ada
Semua stadium ada, terutama
Sel batang menonjol
mielosit
Tidak ada trombositopenia Terdapat trombositopenia
Anemia ringan atau tidak ada sama sekali Ada anemia, biasanya berat
Ada hiperseluler sumsum
Ada hiperseluler sumsum tulang
tulang (lebih berat)
Eritropoesis dan trombopoesis
Eritopoesis dan trombopoesis normal
terhambat oleh leukopoesis
LAP bisa meningkat atau tidak
Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP) meningkat (>100)
meningkat
Limpa biasanya tidak teraba Limpa biasanya membesar
Tidak terdapat kromosom Philadelphia Kromosom Philadelphia

5
terdapat pada 90% kasus

 Mielofibrosis
Mielofibrosis jarang dijumpai pada orang berusia kurang dari 60 tahun.
Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran
mencolok limpa. Tanda utama mielofibrosis adalah fibrosis obliseratif sumsuk tulang
yang berlangsung cepat. Mielofibrosis menekan hematopoesis sumsum tulang,
menyebabkan sitopenia darah tepi dan hematologi ekstramedula neoplastik ekstensif
di limpa, hati dan kelenjar limfe.3
Pada awal perjalanan penyakit, sumsum tulang sering hiperselular. Seiring
dengan perkembangan penyakit, sumsum tulang menjadi hiposelular dan mengalami
fibrosis difus. Pada tahap lanjut penyakit, rongga sumsum tulang fibrotik dapat
berubah seluruhnya menjadi tulang “osteoslerosis”.
Secara histologis terjadi hematopoesis ketiga jalur, biasanya disertai oleh
predominasi megakariosit besar yang berkelompok-kelompok. Darah tepi
memperlihatkan sejumlah temuan khas pada mielofibrosis yang telah berkembang
sempurna. Adanya prekursor granulositik dan eritroid di darah tepi disebut
leukoeritroblastosis. Sumsum tulang yang fibrotik menyebabkan distorsi dan merusak
membran progenitor eritroid di sumsum tulang yang menyebabkan munculnya
eritrosit berbentuk tetesan air mata (tear drop).3
Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau
pembesaran mencolok limpa, menimbulkan perasaan penuh di kuadran kiri atas.
Gejala nonspesifik, seperti lelah, penurunan berat, dan keringat malam terjadi karena
meningkatnya metabolisme akibat peningkatan masa hematopoietik.3

 Leukemia Mielomonositik Kronik

Leukemia mielomonositik kronik adalah salah satu jenis leukemia. Pada orang dewasa, sel-
sel darah terbentuk di sumsum tulang, dengan proses yang dikenal sebagai haematopoiesis.
Di LMMK, ada peningkatan jumlah monosit dan sel-sel darah yang belum matang (sel blas)
di dalam darah perifer dan sumsum tulang, serta sel –sel yang bentuknya abnormal (displasia)
pada satu atau lebih jenis sel darah.

LMMK menunjukkan karakteristik dari sindrom myelodysplastic (MDS) dimana terjadi


keabnormalan bentuk sel darah, dan gangguan myeloproliferative (MPD); gangguan yang
6
ditandai oleh kelebihan produksi sel darah. Untuk diagnosis LMMK Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa jumlah monosit darah harus > 1x109 / L, tidak terdapat
kromosom Philadelphia atau adanya mutasi pada gen PDGFRA atau PDGFRB , jumlah blas
harus <20% dan displasia dari setidaknya satu turunan dari sel darah myeloid.

Salah satu tanda yang paling umum dari CMML adalah splenomegali, ditemukan pada sekitar
setengah dari total kasus. Tanda-tanda dan gejala lain terdiri dari anemia, demam, penurunan
berat badan, berkeringat di malam hari, infeksi, perdarahan, sinovitis, limfadenopati, ruam
kulit, efusi pleura, efusi perikardial dan efusi peritoneal.

Meskipun penyebab CMML tidak diketahui secara pasti, karsinogen lingkungan, radiasi
pengion dan agen sitotoksik diduga memiliki peran dalam menyebabkan penyakit. Sekitar
sepertiga dari kasus MDS dengan jumlah monosit > 10% dan <1x109 / L akan menjadi ke
LMMK.4

Epidemiologi

LGK/LMK merupakan leukemia kronis yang paling sering dijumpai di Indonesia yaitu 25-20%
dari leukemia. IR LGK/LMK di negara barat adalah 1-1,4 per 100.000 per tahun. 20% leukemia
dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia pertengahan (40-50 tahun).

Penyakit ini menyerang 1-2 orang per 100.000 dan membuat 7-20% kasus leukemia
(Dugdale, 2010). Leukemia mielositik kronik terjadi pada kedua jenis kelamin dengan rasio
pria : wanita sebesar 1,4:1 dan paling sering terjadi pada usia antara 40-60 tahun.
(Hoffbrand et al, 2005). Kejadian leukemia mielositik kronik meningkat pada orang yang
terpapar bom atom Hiroshima dan Nagasaki. 5

Etiologi
Terdapatnya kromosom Philadelphia (Ph) / kromosom 22q yang terbentuk dari translokasi
resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 ke kromosom 22 dan sebaliknya. Pada
kromosom 22 yang rusak tadi terdapat penggabungan gen, yaitu: gen ABL (abelson) dari
kromosom 9 & gen BCR (Break Cluster Region) pada kromosom 22. Gabungan gen ini

7
dikenal dengan nama BCR-ABL (gen hybrid BCR-ABL) yang akan mensintesis protein
210kD. Pada kromosom 9 terbentuk gen resiprokal ABL-BCR.
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
1. Radiasi
2. Faktor leukemogenik
Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi
leukemia:
• Racun lingkungan seperti benzena
• Bahan kimia industri seperti insektisida
• Obat untuk kemoterapi
3. Epidemiologi
• Di Afrika, 10-20% penderita Leukemia Mielositik Akut (LMA) memiliki kloroma
di sekitar orbita mata
• Di Kenya, Tiongkok, dan India, Leukemia Mielositik Kronik (LMK) mengenai
penderita berumur 20-40 tahun
• Pada orang Asia Timur dan India Timur jarang ditemui Leukemia Limfositik
Kronik (LLK).
4. Herediter
Penderita sindrom Down memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang
normal.

5. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus dan virus leukemia feline. 1,2

Patogenesis

LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan abnormalitas genetik secara
langsung, yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom Philadelphia.
Kelainan kromosomal ini dinamai berdasarkan penemunya pada tahun 1960, dua orang
ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania: Peter Nowell dan David Hungerford.

Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya, bagian
dari gen BCR(breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur dengan gen ABL dari

8
kromosom 9. Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p
merupakan ukuran berat protein selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang
dapat menambahkan gugus phosphat ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk
penggabungan gen BCR-ABL juga berupa tirosin kinase.

Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin 3beta(c).


Transkrip BCR-ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan oleh protein
selular lain. Hasilnya, BCR-ABL mengaktifkan kaskade protein yang mengontrol siklus sel,
mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi, protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA,
mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen dan membuat sel lebih rawan mengalami
abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL merupakan penyebab
patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-sifat dari protein
BCR-ABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan, yaitu
dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL.

Klasifikasi : LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik,
dan beberapa tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan
akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis blast merupakan fase terminal dari LGK dan
secara klinis mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien telah berada pada fase
terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis.

 Fase Kronik : Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat
didiagnosis. Selama fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita
gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi dari
fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit didiagnosis dan
seberapa efektif terapi yang diberikan.
 Fase Terakselerasi : Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase
terakselerasi yang paling umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer
Center dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila:

- 10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang


- >20% basofil pada darah atau sum-sum tulang
- Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi
- Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi

9
- Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia
- Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan diatas.

 Krisis Blast : Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti
leukemia akut dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika
terdapat salah satu tanda berikut pada pasien LGK:

- > 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang
- Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang
- Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang).
1,3,4,5,6,8

1.3 bagan patogenesis LGK/LMK

10
Manifestasi Klinik
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni fase kronik, fase
akselerasi dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien
masih dalam fase kronis. Bahkan sering kali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan,
misalnya persiapan para operasi dimana ditemukan leukositosis yang hebat tanpa gejala-
gejala infeksi. Pada fase kronik, pasien sering mengeluh pembesaran limfa, atau sering
merasa cepat kenyang akibat desakan limfa terhadap lambung. Kadang sering timbul nyeri
perut kanan atas seperti diremas. Keluhan lain sering tidak spesifik , misalnya rasa cepat
lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan
terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran
hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia.

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi . bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada dalam fase kronik maka
kelangsungan hidup berkisar 1-1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah leukositosis yang
sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblast di perifer mencapai 15-30 %,
promielosit > 30 % dan trombosit < 100.000/mm³. secara klinik dapat diduga bila limfa yang
tadinya mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul
ptekie, ekimosis, bila disertai demam biasanya ada infeksi.

Leukemia mielositik kronik atau leukemia granulositik kronik memilik gejala-gejala klinis
yaitu:

- Penurunan berat badan, lemah, anoreksia, dan keringat malam.


- Splenomegali hampir selalu ada dan sering besar disertai sering kurang enak
badan, nyeri,rasa penuh di perut atau gangguan pencernaan.
- Gambaran anemia, termasuk pucat dan lemas.
- Kadang-kadang ada memar dan pendarahan dari tempat lain.
- Sering didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali
- Gangguan penglihatan1,4,7,8

Table 85.4 Symptoms and Signs of Chronic-Phase CML at Presentation


Percent of Patients
Symptoms

11
Fatigue 83
Weight loss 61
Abdominal fullness and anorexia 38
Easy bruising or bleeding 35
Abdominal pain 33
Fever 11
Signs
Splenomegaly 95
Sternal tenderness 78
Lymphadenopathy 64
Hepatomegaly 48
Purpura 27
Retinal hemorrhage 21

1.4 Gejala dan tanda-tanda LGK/LMK

Penatalaksanaan
Tujuan terapi LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik,
maupun remisi biomolekuler untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat
mielosupresif. Begitu mencapai remisi hematologis dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau
cangkok sumsum tulang

 Hydroxyurea (hydrea) : Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologic


pada LGK.
- Lebih efektif
- Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah
pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia
aplastik dan fibrosis paru.
- Dosis 30 mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal atau dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mm³,dosis boleh ditinggikan sampai 2,5 mg/hari
- Penggunaan dihentikan bila leukosit < 8.000/mm³ atau trombosit < 100.000/mm³
- Interaksi obat terjadi bila diberikan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan
neurotoksisitas.

12
- Selama pemakaian harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal,fungsi
hati.
 Busulfan (Myleran)
- Golongan alkil sangat kuat
- Dosis 4-8mg/hari dapat dinaikan sampai 12mg/hari hentikan njika leukosit 10-
20.000/mm³,dimulai kembali setelah leukosit > 50.000/mm³
- Tidak boleh diberikan pada wanita hamil
- Interaksi obat : asetaminofen, siklofosfamid dan itrakonazol akan meningkatkan
efek busulfan,sedangkan fenitoin menurunkan efeknya
- Bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya disertai dengan allopurinol dan hidrasi yang
baik
- Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang
berkepanjangan.

 Imatinib Mesylate
- diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian peroral
- untuk fase kronik dosis 400mg/hari setelah makan, dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologic setelah pemberian selama 3
bulan atau memberikan respon baik tetapi setelah itu terjadi perburukan secara
hematologic
- dosis harus diturunkan jika terjadi netropenia berat ( < 500/mm³) atau
trombositopenia berat ( < 50.000/mm³)atau peningkatan SGOT/SGPT dan
bilirubin
- untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari
- dapat terjadi hipersensitivitas
- tidak boleh pada wanita hamil
- ketokonazol,simvastatin dan fenintoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat
- dapat juga menghasilkan remisi sitogenetik.
 Interferon Alfa -2a Atau Interferon Alfa-2b
- tidak dapat menghasilkan remisi biologic walaupun dapat mencapai remisi
sitogenetik
- dosis 5 juta IU/m²/hari subkutan sampai mencapai remisi sitogenetik, biasanya
setelah 12 bulan terapi

13
- diperlukan premedikasi dengan analgetik dan anti piretiksebelum pemberian
interferon untuk mencegak efefk samping interferon berupa flu like sindrom
- teofilin,simetidin,vinblastin dan zidofudin dapat meningkatkan efek toksik
interferon
- hati hati pemberian pada usia lanjut,gangguan faal hati dan ginjal yang berat,
pasien epilepsy

 Kemoterapi pada penderita LGK/LMK


a. Fase Kronik : Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan yag mampu menahan
pasien bebas dari gejala untuk jangka waktu yang lama. Regimen dengan bermacam obat
yang intensif merupakan terapi pilihan fase kronis LMK yang tidak diarahkan pada
tindakan transplantasi sumsum tulang.

b. Fase Akselerasi: Sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah

 Radioterapi : Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel


leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam
tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau
partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini
dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah
bening setempat.
 Transplantasi Sumsum Tulang: dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak
dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh
dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga
berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker.Pada penderita LMK,
hasil terbaik (70-80% angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam
waktu 1 tahun setelah terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA)
yang sesuai. Indikasi cangkok sumsum tulang :

- Usia tidak lebih dari 60 tahun


- Ada donor yang cocok
- Termasuk golongan resiko rendah

 erapi Suportif: berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit


leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita

14
leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan
antibiotik untuk mengatasi infeksi
 LMK dengan Pansitopenia : Pengobatan yang diberikan adalah infus NaCl 0,9 % 20
tetes/menit, Cefotaxim 1 gr tiga kali sehari IV, ranitidin 1 ampul 2 kali sehari dan
parasetamol 500 mg tiga kali sehari bila panas. Pada pasien ini diintruksikan untuk
diberikan transfusi whole blood satu kantung per hari sama dengan 10 gr % dan
selama perawatan pasien hanya ditransfusi sebanyak dua kali. 1,4,5,6

Komplikasi

1. Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah


merah, maka anemia dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan
anemia tersebut. Proses terapi LGK juga dapat meyebabkan penurunan jumlah
sel darah merah.
2. Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah
(trombositopenia) pada keadaan LGK dapat mengganggu proses hemostasis.
Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami epistaksis, pendarahan dari
gusi, ptechiae, dan hematom.
3. Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada LGK dapat timbul dari tulang atau sendi.
Keadaan ini disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan leukosit
abnormal yang berkembang pesat.
4. Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi
saat keadaan LGK sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan
limpa bertambah besar, bahkan beresiko untuk pecah.
5. Stroke atau clotting yang berlebihan (excess clotting). Beberapa pasien
dengan kasus LGK memproduksi trombosit secara berlebihan. Jika tidak
dikendalikan, kadar trombosit yang berlebihan dalam darah (trombositosis)
dapat menyebabkan clot yang abnormal dan mengakibatkan stroke.
6. Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan LGK adalah abnormal, tidak
menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan LGK juga dapat
menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak
efektif.

15
7. Kematian. 7

Prognosis
Dubia ad malam. 1,4
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya.
Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya
terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.
Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi
kadang bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan.

Kesimpulan
Leukemia Mielositik Kronik (LMK) atau sering juga disebut Leukemia granulositik Kronik
(LGK) termasuk salah satu jenis kanker darah yang sulit disembuhkan. Dari sisi perjalanan
penyakit LGK ini tidak seganas leukemia akut yang angka kelangsungan hidupnya cuma 3
bulan. Pada LGK, penyakit berjalan lambat dan angka survival-nya relatif lebih panjang.
Tetapi penanganan pada LGK tidak mudah hingga seringkali satu-satunya cara adalah dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang.

Daftar Pustaka

1. Faderl S, Talpaz M, Estrov Z, Kantarjian HM (1999). “Chronic myelogenous


leukemia: biology and therapy”. Annals of Internal Medicine.
2. Tefferi A (2006). “Classification, diagnosis and management of myeloproliferative
disorders in the JAK2V617F era”. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.
3. Hehlmann R, Hochhaus A, Baccarani M; European LeukemiaNet (2007). “Chronic
myeloid leukaemia”
4. http://www.cancer.org/cancer/leukemia-
chronicmyelomonocyticcmml/detailedguide/leukemia-chronic-myelomonocytic-what-
is-chronic-myelomonocytic

16
5. Baldy C-M.gangguan sel darah putih dan sel plasma.price S-A,Wilson L-
M.patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Vol 1.edisi 6. Jakarta: EGC.
2006;h.277-9.
6. Dinas kesehatan provinsi daerah istimewa Yogyakarta. Leukemia. Available from
www.medicastore.com di unduh 20 Apr. 13
7. Simon, Sumanto, dr. Sp.PK. Neoplasma sistem hematopoietik: serba-serbi Leukemia.
available from www.tanyadokteranda.com di unduh 20 Apr. 13
8. Leukemia granulositik kronik.hematologi.ilmu penyakit dalam. Mansjoer A, Triyanti
K, savitri R, et al.kapita selekta kedokteran.jilid 1. Edisi 3. Jakarta: FKUI.
2001;h.560-1.

17

Anda mungkin juga menyukai