Anda di halaman 1dari 22

Referat

TINEA BARBAE

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)


di Departemen Dermatologi dan Venereologi RSMH Palembang

Oleh:
Septhia Imelda, S.Ked
04084821719210

Pembimbing:
dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul
TINEA BARBAE

Oleh
Septhia Imelda, S.Ked

Pembimbing
dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK, FINSDV

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang periode

Palembang, November 2018


Pembimbing,

dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK, FINSDV


TINEA BARBAE
Septhia Imelda, S.Ked
Pembimbing: dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK, FINSDV
Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Tinea barbae merupakan infeksi dermatofita yang terbatas pada area muka
dan leher yang berjanggut. Infeksi kebanyakan terjadi pada laki-
laki (remaja dan orang dewasa). 1,2 Tipe peradangan pada tinea barbae disebabkan
oleh dermatofita zoofilik yaitu Trichophyton mentagrophytes var. granulosum
atau Trichophyton verrucosum. Gejala klinis tinea barbae berupa erupsi pustule
yang berat, plak yang meradang, atau patch superficial yang tidak meradang.
1,2,3,4

Pada penelitian yang dilakukan Ramaraj dkk tahun 2016 di India, dari
seluruh penderita yang mengalami infeksi dermatofita, tinea barbae didapatkan
4,5
paling sedikit, yaitu hanya 0,48%. Di Indonesia sendiri, dari hasil penelitian
selama periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2006, 547 kasus dari total
5627 kasus di Poli Kulit dan Kelamin RSU Mataram, atau sekitar 9,27% adalah
kasus dermatofitosis superfisialis. Tinea barbae menjadi kasus yang paling
rendah jumlahnya diantara jenis dermatofitosis superfisialis yang lain, yaitu
sebesar 1 kasus (0.18%), sangat jauh jumlahnya bila dibandingkan dengan tinea
corporis yang menjadi jumlah kasus tertinggi, yaitu sebesar 232 kasus (42,41%).
Insiden tinea barbae sangat jarang terjadi akibat peningkatan sanitasi
perorangan. Namun risiko penularan infeksi tinea barbae tetap sangat tinggi
sehingga seorang dokter umum harus mampu mendiagnosis klinik dan
menatalaksana penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas sesuai dengan standar
kompetensi dokter umum, yakni 4A.6 Referat ini membahas mengenai etiologi,
patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan tinea barbae.

1
PEMBAHASAN
DEFINISI
Tinea barbae adalah infeksi dermatofita di daerah dagu, janggut, dan leher
yang sering terjadi pada laki-laki dewasa. 7
Jamur pada janggut ini juga dikenal sebagai tinea sycosis dan umumnya
juga sering disebut sebagai barber’s itch. Tinea barbae terutama terjadi pada
orang-orang di bidang agrikultural, khusunya orang-orang yang kontak dengan
binatang di sawah.4,5
Lesi pada tinea barbae memiliki tiga tipe yaitu, tipe superfisial ringan yang
menyerupai tinea corporis, tipe folikulitis pustul yang parah dan dalam, serta satu
tipe lagi yang cukup jarang, yaitu tipe sirsinata.7

EPIDEMIOLOGI
Tinea barbae kebanyakan ditularkan melalui cukuran janggut yang sudah
terkontaminasi sebelumnya. Dengan meningkatkan kebersihan diri akan
menurunkan insiden terjadinya tinea barbae.1,2,3,8 Umumnya, tinea barbae cukup
jarang, tetapi lebih sering pada daerah tropis yang dicirikan dengan kelembaban
dan temperature yang tinggi.9 Hampir semua yang menderita tinea barbae adalah
laki-laki karena dermatofita menginfeksi di rambut dan folikel rambut dari
janggut.
Pada penelitian yang dilakukan Ramaraj dkk tahun 2016 di India, dari
seluruh penderita yang mengalami infeksi dermatofita, tinea barbae didapatkan
paling sedikit, yaitu hanya 0,48%.5 Di Indonesia sendiri, dari hasil penelitian
selama periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2006, 547 kasus dari total
5627 kasus di Poli Kulit dan Kelamin RSU Mataram, atau sekitar 9,27% adalah
kasus dermatofitosis superfisialis. Tinea barbae menjadi kasus yang paling
rendah jumlahnya diantara jenis dermatofitosis superfisialis yang lain, yaitu
sebesar 1 kasus (0.18%).5,6,8
Tinea barbae lebih sering terjadi pada daerah tropis yang dicirikan dengan
kelembapan dan temperatur yang tinggi.7,10 Dahulu, infeksi sering ditularkan
sering pada tukang cukur karena alat cukur satu dipakai bergantian. Sekarang alat

2
cukur kurang dianggap sebagai sumber infeksi dan istilah barber’s itch mulai
dilupakan. Pada daerah pedesaan yang mayoritas pekerjaan agrikultural, penyebab
utama infeksi adalah binatang ternak, kuda, dan anjing. Maka dari itu, tinea
barbae sekarang lebih difokuskan pada orang-orang yang terpapar dengan
binatang ternak, kuda, anjing, dan penularannya kebanyakan ditemukan di daerah
pedesaan diantara petani dengan petani atau antar pekerja kebun.1,3,7,10

ETIOLOGI
Tinea barbae paling sering disebabkan oleh organisme zoofilik, T.
mentagrophytes dan T. verrucosum, dan yang cukup jarang, M. canis. Diantara
organisme antrofilik, T. megninii, T. schoenleinii, dan T. violaceum mungkin
hanya menyebabkan tinea barbae di daerah endemik. Sedangkan T. rubrum juga
dapat menjadi penyebab Tinea barbae walapun jarang. 1,2,4,8

(a) (b)
Gambar 1. (a) Jamur Trichophyton mentagrophytes varians mentagrophyte. Mikrokonidia bulat
berkelompok, hifa spiral, tipis, dan halus.4 (b) Jamur Trichophyton verrucosum. Mikrokonidia
club-shaped dan klamidospora berantai. 1

PATOGENESIS
Infeksi yang terjadi pada tinea barbae melibatkan 3 proses utama, yaitu
perlekatan, penetrasi, dan pembentukan respon hospes.1,2,4,11
1. Perlekatan
Fase pertama yang terjadi pada invasi dermatofita adalah perlekatan
arthroconidia pada jaringan keratin di stratum korneum. Fase ini selesai sampai
dua jam setelah kontak dan dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang

3
1,2,4
memproduksi keratinase (keratolitik) sehingga menghidrolisis keratin. Pada
epidermomikosis atau infeksi jamur epidermis pada Gambar 2a, dermatofit (titik
dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan
menimbulkan respon inflamasi (titik hitam sebagai sel-sel inflamasi) berbentuk
eritema, papula, dan vasikulasi. Sedangkan, pada trikomikosis atau infeksi jamur
batang rambut pada Gambar 2b, infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut (titik
merah) yang memberikan respon inflamasi lebih dalam berupa nodul, pustulasi
folikel,dan pembentukan abses sehingga rambut rusak dan patah.1,4,11 Berikut
mengenai patogenesis dijelaskan pada gambar 2 dibawah ini:

Gambar 2. Patogenesis (a) Epidermomikosis (b) Trikhomikosis 1

Dermatofita juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan


mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan)
yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh
sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit. 4,11,12

2. Penetrasi

4
Trauma dan maserasi mempermudah penetrasi dermatofit pada kulit.
Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik,
yang menjadi nutrisi bagi jamur. Dermatofit menghasilkan berbagai macam enzim
proteolitik sebesar 40 sampai lebih dari 200 kDa. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk
germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.
1,4,11

Jamur mensintesis katalase, mensekresi protease yang dapat menurunkan


barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut)
yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan
spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh
daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofita dalam
melakukan penetrasi pada stratum korneum. 4,12

3. Pembentukan Respon Hospes


Derajat inflamasi dipengaruhi oleh imunitas pasien dan organisme
yang terlibat.1,4 Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed Type Hipersensitivity)
memiliki peran penting dalam melawan dermatofita.1,12 Pada pasien yang belum
pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan
inflamasi minimal. Pada tahap infeksi terjadi eritema disertai skuama akibat
peningkatan keratinisasi.4,13
Antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan
proliferasi tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Sehingga terjadi
reaksi inflamasi pada lesi dan barier epidermal menjadi permeable terhadap
transferin dan sel-sel yang bermigrasi. 1,4 Manifestasi klinis inflamasi akan
tampak bergantung pada reaksi hpiersensitivitas tipe IV terhadap trikopitin dan
sitokin seperti interferon γ. Infeksi kronik berhubungan dengan respon T limfosit
yang buruk terhadap antigen fungi spesifik.4,13

TIPE KLINIS

5
Tinea barbae biasanya menimbulkan lesi yang unilateral dan lebih sering
melibatkan area janggut dibandingkan kumis atau bibir atas. Gejalanya
mempunyai 3 tipe klinis. Tipe klinis dari penyakit ini terbagi menjadi tipe
superfisial berupa patch yang sebagian tanpa rambut, tipe inflamasi/ deep berupa
lesi supuratif yang dalam serta bernodul, berkrusta dan di superfisial dengan
folikulitis dan tipe sirsinata.3,7,8
Tipe Superfisial
Tipe superfisial disebabkan oleh antropofilik seperti Trichophyton
violaceum ataupun Trichophyton rubrum. Tipe ini hanya memiliki sedikit tanda
inflamasi dan mirip dengan tinea korporis atau folikulitis bakteri. Pada pinggir lesi
yang aktif tampak gambaran papul perifolikular dan pustul yang disertai dengan
eritema yang ringan. Jika terdapat rontok sifatnya hanya sementara. Lesi pustula
dengan rambut yang hilang menunjukkan varian kronik dari infeksi jamur ini
yang menyerupai sikosis (folikulitis pustula dari janggut) yang disebut tinea
sikosis.1,4,8 Tipe superfisial yang menunjukkan gambaran papul folikular dan
pustul menyerupai gambaran folikulitis dapat dilihat pada gambar 3:

Gambar 3. Tipe superfisial. Gambaran papul folikular dan pustul yang menyebar yang mirip
dengan gambaran infeksi folikulitis Staphylococcus aureus.1

Tipe Inflamasi/Deep
Biasanya disebabkan oleh Trichophyton interdigitale (strain zoofilik),
Tricophyton mentagrophytes, ataupun Trichophyton verrucosum. Tipe ini
berkembang secara perlahan dan paling banyak terjadi. Tampak seperti bentuk

6
kerion pada tinea kapitis dengan plak boggy krusta dan sekret seropurulen.
Rambut tampak kusam, rapuh, dan mudah diepilasi untuk menampakkan massa
purulen di sekitar akar rambut. Pustul perifolikular dapat konfluen dan akhirnya
tampak abses disertai dengan pus, berterowongan, dan alopesia disertai dengan
ekskoriasi.1,2,4
Pada janggut atau kumis tampak pustul dan biasanya dengan eksudasi atau
dilapisi krusta. Banyak rambut yg mudah rontok saat diepilasi dan tidak dirasakan
nyeri. Tanda inflamasi ini kadang muncul tiba-tiba, namun lebih sering butuh
beberapa bulan.1,4,14 Pembesaran kelenjar getah bening regional, demam ringan,
dan malaise mungkin muncul bersamaan pada infeksi yang parah, khususnya yang
disebabkan oleh Trichophyton verrucosum.4,8 Tipe kerion yang menunjukkan
nodul kemerahan berbatas tegas yang edem disertai dengan pustul kekuningan
yang menyebar, ditunjukkan pada gambar 4:

Gambar 4. Tipe kerion. Nodul kemerahan berbatas tegas yang edem disertai dengan pustul
kekuningan yang menyebar. Sudah tidak terdapat rambut di atas nodul. 1

Tipe Sirsinata.
Tipe ini sangat mirip dengan tinea sirsinata dari kulit glabrous, tinea
barbae sirsinata menunjukkan batas vesikopustular yang aktif dan menyebar
dengan lingkaran pusat dan rambut yang jarang-jarang pada daerah tersebut.3 Tepi
yang ditutupi papul dan vesikel kecil serta bersisik digambarkan pada tipe
sirsinata dibawah ini: (Gambar 5)

7
Gambar 5. Tipe sirsinata. Memiliki tepi yang ditutupi papul dan vesikel kecil serta bersisik.3

GEJALA KLINIS
Infeksi sering berawal pada leher atau dagu, tetapi gejala klinis dari Tinea
barbae tergantung pada patogen penyebab. Kadang-kadang dermatofitosis dapat
berkembang tanpa lesi khusus, tetapi selalu dengan rasa gatal. 16 Tinea yang
disebabkan oleh dermatofita zoofilik lebih parah karena reaksi inflamasi yang
terjadi disebabkan oleh jamur yang lebih kuat.14 Dagu, pipi, dan leher sering
terinfeksi.
Umumnya infeksi ini menyebabkan nodul yang inflamasi atau nodul-nodul
dengan pustul mulitpel dan aliran sinus pada permukaannya. Rambut dapat rontok
dan patah, eksudat, pus dan krusta menutupi permukaan kulit (kerion celsi).
Rambut mudah dicabut dan tidak sakit. Kadang-kadang muncul bersamaan
dengan limfadenopati regional, sedangkan demam dan malaise cukup jarang
terjadi.3

DIAGNOSIS

8
Tinea barbae dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Keluhan rasa gatal dan nyeri pada area terinfeksi fungi yang biasanya di
area janggut dan kumis dan biasanya terjadi laki-laki dewasa dan remaja.1,2,4
Infeksi sering berawal pada leher atau dagu, tetapi gejala klinis dari tinea barbae
tergantung pada patogen penyebab. Tinea yang disebabkan oleh dermatofita
zoofilik lebih parah karena reaksi inflamasi yang terjadi disebabkan oleh jamur
yang lebih kuat.4,15 Kadang-kadang dermatofitosis dapat berkembang tanpa lesi
khusus, tetapi selalu dengan rasa gatal. 8 Rambut di area yang terinfeksi terasa
mudah diepilasi, bahkan rontok sendiri.1,4
Pada pemeriksaan fisik ditemukan folikulitis pustular, folikel rambut
dikelilingi papul kemerahan atau pustul, sering disertai dengan eksudasi dan
krusta. Sisik, berbentuk sirkuler, patch eritem tanpa rambut di atas lesi. Papul
dapat konfluen, hingga membentuk plak yang terinflamasi dengan pustul di
atasnya. Nodul dengan boggy purulen seperti kerion dapat ditemukan pada
kejadian paling berat. 1,2,4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri atas pemeriksaan lampu wood,
pemeriksaan menggunakan larutan KOH 20%, dan kultur biakan.
Pemeriksaan Lampu Wood
Pemeriksaan lampu wood memanfaatkan cahaya ultraviolet dengan
panjang gelombang 365 nm pada tinea barbae jarang dilakukan mengingat
organisme tersering penyebab tinea barbae tidak memberikan fluoresensi.
Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton verrucosum, Trichophyton megninii,
Trichophyton violaceum, Trichophyton rubrum tidak memberikan floresensi pada
lampu wood. Sedangkan Microsporum canis memberikan fluoresensi hijau terang
dan Trichophyton schoenleinii memberikan fluoresensi hijau gelap.1,2,4
Pemeriksaan menggunakan larutan KOH 20%

9
Spesimen yang terkumpul biasanya terdiri dari rambut yang diepilasi dan
massa pustula. Kasa basah digunakan untuk mengusap lesi, potong pendek
patahan rambut atau pangkal rambut kemudian taruh di object glass. KOH
(Kalium Hidroksida) 20% ditambahkan pada spesimen rambut dan tutup dengan
kaca penutup. DMSO (Dimetil Sulfoksida) dapat ditambahkan ke KOH dengan
konsentrasi di atas 40% akan memberikan hasil lebih cepat tanpa melalui
pemanasan. Spesimen terbaik biasanya diambil dari pinggir lesi. Potongan rambut
dapat disertai dengan folikel rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi
hifa dan artrokonidia sebagai elemen jamur. Preparat KOH untuk mengidentifikasi
hifa adalah diagnosis untuk infeksi Trichophyton verrucosum. 1,2,4

Kultur Biakan
Agar Sabaroud paling sering digunakan untuk mengisolasi dermatofita.
Sikloheksimid dan kloramfenikol (dengan atau tanpa gentamisin) ditambahkan
untuk menghambat pertumbuhan dari bakteri dan agen lain bersifat non-
dermatofita. Identifikasi jamur didasarkan pada morfologi dan mikroskopik dari
koloni. Pengerjaan kultur dapat memakan waktu sekitar 4 minggu untuk
Trichophyton verrucosum dan hanya 5-7 hari untuk Epidermophyton floccosum.
Kultur diinkubasi pada suhu 20oC-25oC sampai setidaknya 4 minggu.
Dermatophyte test medium (DTM) bisa menjadi alternatif dengan memanfaatkan
fenol merah sebagai indikator pH. Medium ini akan menjadi merah ketika
aktifitas proteolitik dermatofit meningkat yang menyebabkan peningkatan pH
menjadi 8 ke atas. Asam nondermatofita membuat medium ini berwarna kuning.
Walaupun DTM dapat menjadi alternatif, DTM tidak dapat menjadi pemeriksaan
pasti untuk mengetahui morfologi jamur. 1,14,16

10
(a) (b)
Gambar 6. (a) Ticosporum rubrum. Mikrokonidia berbentuk seperti tetesan air mata.
Makrokonidia berbentuk seperti pensil (b) Ticosporum verrucosum. Rantai dari klamidokonidia
dan makrokonidia berbentuk “buntut tikus” tipis dengan tiamin.1,2

DIAGNOSIS BANDING
Banyaknya morfologi dari lesi tinea barbae adalah alasan utama luasnya
kelainan kulit lain yang menyerupai infeksi jamur. Penyakit-penyakit seperti
folikulitis stafilokokus profunda (sikosis barbae), pseudofolikulitis barbae,
dermatitis seboroik, furunkel dan karbunkel, dapat menyerupai tinea barbae.1,2,4,8
1. Sikosis Barbae
Perbedaan tinea barbae dengan sikosis barbae yaitu pada tinea barbae
hanya terjadi unilateral. Pada sikosis barbae terjadi folikulitis profunda dengan
inflamasi perifolikular pada area janggut dan bibir atas. Lesi berupa pustul dan
papul dan jika dibiarkan secara kronik akan terbentuk skar biasanya lesi sirsinata.
Sering diakibatkan oleh Staphylococcus aureus. Tatalaksana bisa dilakukan
dengan kompres normal salin dan salep antibiotik seperti mupirocin atau
klindamisin.1,2 Gambaran sikosis barbae dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini:

11
Gambar 7. Sikosis barbae. Folikulitis stafilokokus profunda pada daerah kumis. 1

2. Pseudofolikulitis barbae
Pseudofolikulitis barbae yaitu inflamasi kronis folikel rambut yang
umumnya mucul pada wajah laki-laki, tetapi juga bisa di bagian lain pada lokasi
tubuh yang sering dicukur atau dicabut, seperti ketiak, area pubis dan kaki.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit hitam dan berambut
keriting di mana rambut dipotong dengan sudut miring sehingga ujung rambut
keriting menjadi tajam dan masuk kembali ke dalam kulit kepala dan sehingga
timbul reaksi inflamasi. Gambaran pseudofolikulitis barbae dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 8. Pseudofolikulitis barbae. Papul multipel di area bawah janggut. Jika


terdapat pustul, infeksi sekunder Staphylococcus aureus harus dipertimbangkan.1

3. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit yang berhubungan erat
dengan keaktifan glandula sebasea. Manifestasi klinis khas, yaitu pada kulit

12
kepala terdapat skuama halus dan kasar, berminyak dan kekuningan di area
seboroik, serta batasnya tidak tegas. Rambut pada penderita dermatitis seboroik
cenderung rontok, mulai di bagian vertex dan frontal, meluas ke dahi, glabela,
telinga post auricular dan leher. Selain itu, dapat meluas ke daerah seboroik
lainnya, yaitu daerah sternal, areola mammae, lipatan payudara, interskapular,
umbilikus, lipat paha, dan daerah anogenital.1,3 Berikut merupakan gambaran dari
dermatitis seboroik yang mengenai area janggut dan kumis:

Gambar 9. Dermatitis seboroik di area janggut dan kumis.

4. Furunkel & Karbunkel


Furunkel merupakan radang folikel rambut dan sekitarnya biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Karbunkel adalah kumpulan dari
furunkel. Gejala klinis biasanya pasien mengeluh nyeri. Lesi berupa nodus
eritematosa dengan pustul ditengahnya. Tempat predileksinya ialah tempat yang
1,3
banyak mendapat gesekan, misalnya aksila dan bokong. Gambaran klinis
furunkel dan karbunkel dapat dilihat pada gambar 10:

13
(a) (b)
Gambar 10. (a) Furunkel di bibir atas. Lesi nodul dengan nekrotik plak tertutup dengan krusta
purulen. (b) Karbunkel. Lesi multipel furunkel yang konfluen yang mengelurkan pus.1

PENATALAKSANAAN
Pengobatan untuk tinea barbae sama dengan pengobatan pada tinea
capitis.2 Terapi oral antimikosis diperlukan. Beberapa penelitian menunjukkan
antijamur topikal tidak cukup untuk mengatasi lesi dari tinea barbae secara
menyeluruh. Dengan demikian pada kebanyakan kasus sangat direkomendasikan
kombinasi antara pengobatan sistemik dan topikal antimikosis. Ketika mengenai
rambut-rambut, pencukuran atau depilasi sebaiknya diambil sebagai
pertimbangan.4,15,16

Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum yang utama yaitu mencari penyebab dari infeksi
tinea barbae. Upaya pencegahan tidak kalah penting, termasuk edukasi keluarga
pasien agar tidak menggunakan alat cukur, sisir, sikat rambut, dan handuk wajah
bersamaan. Sebagai alternatif mencuci berulang kali barang-barang, seperti alat
cukur, sisir rambut, sikat rambut, dan handuk wajah. Edukasi ke pasien bahwa
kompres hangat dapat dilakukan untuk menyingkirkan krusta dan debris. Ketika
terdapat keterlibatan rambut, mencukur atau depilasi dapat dipertimbangkan.8,15
Daerah yang ditumbuhi rambut seperti janggut, kumis, alis, ataupun bulu mata
akan tumbuh kembali secara perlahan, sekitar 3-6 bulan.1,17 Pasien juga diingatkan

14
pengobatan harus dilakukan sampai tuntas karena tingkat kekambuhan yang
tinggi.2,8

Penatalaksanaan Khusus
Prinsip tatalaksana tinea barbae terdiri dari pengobatan sistemik,
pengobatan topikal dan tindakan preventif. Terapi oral antimikosis adalah terapi
utama, sedangkan terapi topikal digunakan sebagai terapi tambahan. Pada
kebanyakan kasus sangat direkomendasikan kombinasi antara pengobatan
sistemik dan topikal antimikosis. Ketika mengenai rambut-rambut, pencukuran
atau depilasi sebaiknya diambil sebagai pertimbangan. Tujuan pengobatan adalah
untuk mencapai klinis dan kesembuhan sesegera mungkin serta mencegah
penyebaran lesi.2,16,18
1. Terapi Oral
Terapi oral pada tinea barbae sama dosis dan sama durasi dengan terapi
oral tinea kapitis.2 Oral antimikosis dibutuhkan. Beberapa studi dan pengalaman
menunjukkan antifungal topikal tidak efektif untuk mengontrol secara tuntas tinea
barbae. Pada kasus sulit, kombinasi terapi oral dan topikal direkomendasikan.4,8
Tablet Griseofulvin
Griseofulvin menjadi salah satu antimikosis yang dapat digunakan. Sebuah
meta analisa mengungkapkan keefektifan griseofulvin mencapai 68% untuk
Trichophyton , dan 88% untuk Microsprum.2 Tablet ultramicrosize sediaan 330 mg
dimulai dari dosis 10 mg/kgBB/hari, 1-2 kali/hari sedangkan tablet microsize
sediaan 125, 250, 500 mg dan griseofulvin suspensi yang kurang mudah diserap
digunakan dosis 20 mg/kgBB/hari 1-2 kali/hari selama 2-4 bulan atau setidaknya
2 minggu setelah hasil laboratorium negatif. Namun banyak kegagalan yang
didapatkan dari dosis ini. Pada tinea barbae disarankan untuk menggunakan
ultramicrosized griseofulvin 500 mg dua kali sehari selama dua minggu. 1 Tablet
griseofulvin dapat diminum bersama susu atau es krim karena absorbsinya
dipercepat dengan makanan berlemak. Interaksi obat seperti digunakan bersamaan
dengan obat phenobarbital dapat mengurangi absorbsi griseofuvin sehingga
menyebabkan kegagalan terapi. 2,16,17

15
Tablet Terbinafin
Tablet terbinafin bersifat fungisidal primer terhadap dermatofit. Untuk
infeksi Trichophyton, dosis efektif dapat dimulai dari 3-6 mg/kgBB/hari selama 1-
4 minggu dengan sediaan tablet 250 mg. Bila infeksi disebabkan Microsporum
sebaiknya diberikan selama 6-8 minggu karena jamur ini lebih sukar untuk
dibasmi dibandingkan Trichophyton akibat infeksi ektotriknya. Kadar terbinafin
menurun jika dikonsumsi dengan rifampisin dan meningkat dengan simetidin.
Monitor darah lengkap dan fungsi liver bila pemakaian lebih dari 6 minggu. 1,2,16

Kapsul Itrakonazol
Kapsul itrakonazol sediaan 100 mg dapat diberikan dosis 5 mg/kgBB/hari
selama 2-3 minggu, dengan bebas terapi 2 minggu/siklus. Bila belum sembuh
dapat diulang dapat sampai 2-3 siklus. Kapsul itrakonazol bersifat fungisidal
sekunder. Sama efektif untuk Microsporum canis maupun Trichophyton.1,2 Kadar
itrakonazol menurun jika digunakan bersama dengan H2 bloker, fenitoin, dan
rifampisin. Itrakonazol tidak boleh dikonsumsi bersama dengan warfarin,
beberapa antihistamin (terfenadin, astemizol), antipsikotik, siklosporin, dan
simvastatin karena dapat menyebabkan toksisitas. Monitor fungsi hepar dan darah
lengkap bila pemakaian lebih 4 minggu.1,2,4,16

Tablet Flukonazol
Tablet flukonazol diberikan dengan dosis 6 mg/kgBB/minggu selama 2-3
minggu. Efektif untuk Microsporum maupun Trichophyton. Tablet flukonazol
dapat digunakan untuk tinea barbae namun lebih diindikasikan untuk infeksi
kandidiasis mukosa dan sistemik kriptokokosis, terutama pada pasien
imunokompromais. Flukonazol lebih cepat resisten dibanding obat jamur lain. 2,4

Terapi Topikal
Terapi topikal bersifat aman dan harga terjangkau untuk beberapa terapi
antijamur. Terapi topikal bisanya digunakan 2 kelompok antijamur, yaitu golongan
imidazol dan alilamin yang dioleskan satu sampai dua kali sehari. Seperti
Klortrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol, oxinazol, dan

16
varikonazol. Cara kerjanya dengan menginhibisi sitokrom P450 14-α demetilase,
enzim esensial pada sintesis ergosterol. Naftifin, butenafin, dan terbinafin
termasuk alilamin, dan cara kerjanya dengan menginhibisi epoksidasi squalene.
Dapat digunakan selama lebih kurang dua minggu.2,16 Eliminasi dari sumber
infeksi, khususnya kontak dengan hewan yang terinfeksi akan menjadi sangat
penting untuk hasil akhir dari pengobatan. 2,17

KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada penderita tinea barbae berasal dari
infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis dan limfangitis. Selain itu,
kerontokan permanen dapat menjadi komplikasi pada tipe inflamasi yang hebat.
Pengobatan jangka pendek dapat menyebabkan tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi.1,4

PROGNOSIS
Kasus tinea barbae dapat sembuh jika sumber infeksi dapat dieliminasi,
seperti mengobati hewan ternak dan hewan peliharaan yang terinfeksi. Di Eropa
timur ditemukan vaksin untuk melindungi dari Trichophyton verrucosum pada
binatang ternak sehingga menurunkan angka kejadian, tidak hanya pada sapi tapi
juga dampaknya pada manusia.1 Mengobati infeksi jamur di daerah tubuh yang
lain seperti tinea pedis, onikomikosis dan infeksi jamur lain karena besar
kemungkinan bisa terjadi autoinokulasi.7

17
KESIMPULAN

Tinea barbae adalah infeksi dermatofita pada dagu, di daerah janggut dan
leher pada satu sisi tubuh yang hanya terjadi pada laki-laki dewasa. Manifestasi
klinis yang muncul dipengaruhi spesies jamur penyebab. Menular melalui pisau
cukur dan sering menyerang orang-orang di bidang agrikultural seperti petani dan
pekerjaan lain yang kontak langusng dengan hewan, seperti binatang ternak, kuda
dan anjing.
Tinea barbae menimbulkan tiga tipe klinis yaitu tipe superfisial, tipe
inflamasi, dan tipe sirsinata. Pengobatan dapat dilakukan dengan kombinasi terapi
oral dan topikal. Komplikasi dapat terjadi akibat infeksi sekunder bakteri, seperti
limfangitis dan selulititis.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Schieke SM dan Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam: Goldsmith


LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012.p.2277-87.
2. James WD, Berger TG, dan Elston DM. Andrew's Diseases of The Skin
Clinical Dermatology. 11th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2011.p.287-91.
3. Verma S dan Heffernan M.P. Fungal Disease in Fitzpatrick, Wolff,
K.,Goldsmith L.A., Katz S.I, Gilchrest B.A., Paller, A.F., Leffell, D.J.
Dermatology in General Medicine, 7th ed., vol. 2, bab. 186, hlm. 1813-
1814. (McGraw-Hill Book Company, New york 2006)
4. Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of
Dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell;2010.p.3625-28.
5. Ramaraj V, Vijayaraman RS, Rangarajan S, dan Kindo AJ. Incidence
prevalence of dermatophytosis in and around Chennai, Tamilnadu, India.
International Journal of Research in Medical Science. 2016; 4(3):695-700.
6. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012.p.54.
7. Furlan, KC, Kakizaki, P, Chartuni, JC, dan Valente,YS. Sycosiform Tinea
Barbae Caused Trichophyton rubrum and Its Association with
Autoinoculation. AN Bras Dermatol. 2017;92(1):160-1.
8. Baran W dan Schwartz RA. Tinea Barbae. Acta Dermatoven APA.
2004;13(3):91.
9. Ruteccki GW, Wurtz R, dna Thomson RB. From Animal to man: Tinea
Barbae. Curr Infect Dis Rep. 2010;2(5):433-437.
10. Shrum JP, Millikan LE, Bataineh O. Superficial fungal infections in the
tropics. Dermatol Clin. 2010; 12: 687-93.
11. Richardson M dan Edwart M. Model System for the Study of
Dermatophyte and Non-dermatophyte Invasion of Human Keratine.
Revista Iberoamericana de Micologia. 2000; 115-2.
12. Underhill DM. Escape Mechanisms from the Immun Respons. In: Brown
GD, Nitea MG, editors. Immunology of fungal Infection. Oxford:
Springer; 2007. p. 429-42.
13. Raugi G dan Nguyen TU. Superficial Dermatophyte Infections of the Skin.
Netter's Infectious Diseases: 2012. p. 102-109.

19
14. Haber RM. Dermatological Fungal Infections. University of Calgary: The
Canadian Journal. 2007.p.64-65.
15. Moriarty B dan Hay R. The Diagnosis and Management of Tinea. BMJ.
London. 2012.p.1-10.
16. Sharma V, Kumawat TK, Sharma A, Seth R, dan ChandraS.
Dermatophytes:Diagnosis of Dermatophytosis and its treatment.African
Journal of Microbiology Research. 2015; 9 (9): p.1286-93.
17. Fuller, L.C. et al. British Association of Dermatologists Guidelines for the
Management of Tinea Capitis. British Journal of Dermatology.
2014:143(1).p.53-58.

20

Anda mungkin juga menyukai