Anda di halaman 1dari 6

 Referat

TINEA PEDIS

Oleh:

Vivi Lutfiyani Mardhatilla, S.Ked


04054821719158

Pembimbing:

DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

 Referat

Judul
TINEA PEDIS

Oleh
Vivi Lutfiyani Mardhatilla, S.Ked
04054821719158

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Juli 2017 –  28 Agustus 2017.

Palembang, Agustus 2017

DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV


TINEA PEDIS
Vivi Lutfiyani Mardhatilla S.Ked
Pembimbing: DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK (K), FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi FK Unsri
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Infeksi jamur pada kulit dibagi dalam tiga bentuk yaitu: (1) superfisial, melibatkan
stratum korneum, rambut, kuku, (2) subkutan, yang melibatkan dermis dan/atau jaringan
subkutan, dan (3) profunda/sistemik, yang menunjukkan adanya penyebaran organisme secara
hematogen termasuk patogen oportunistik pada host immunocompromised. 1,2 Hingga saat ini
infeksi jamur superfisial masih umum ditemukan di seluruh dunia dan insidensnya terus
meningkat. Dermatomikosis atau mikosis superfisialis ini diperkirakan mengenai sekitar 20-
25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada
manusia.1,3
Etiologi tersering kasus mikosis superfisialis adalah dermatofita, tetapi dapat juga
disebabkan oleh Candida spp. (kandidiasis/ kandidosis) dan  Malasezia furfur   (pitiriasis
versikolor).  Yang termasuk dalam kelompok jamur dermatofita ini adalah  Microsporum,
Tricophyton  dan  Ephidermopyiton.4  Jamur tersebut menginfeksi jaringan yang mengandung
karatin seperti kulit, rambut dan kuku karena dermatofita mempunyai enzim keratinase
sehingga mampu menghancurkan keratin yang digunakan untuk pertumbuhan. 2,3  Penyakit
yang disebabkan oleh dermatofitosis disebut sebagai tinea yang dibagi berdasarkan lokasi,
terdiri dari: tinea kapitis, tinea barbe, tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum,
dan tinea unguium 3,4,5
Tinea pedis atau yang lebih popular disebut sebagai athlete’s foot , merupakan penyakit
 jamur yang umumnya disebabkan oleh Tricophyton rubrum.3 Diperkirakan bahwa 10 sampai
15% dari populasi dunia memiliki tinea pedis. Prevalensinya lebih tinggi pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Insiden terbanyak terjadi pada rentang usia antara 16 dan 45
tahun. Tinea pedis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Manusia dapat terinfeksi jamur ini melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi,
1,3,5
hewan, fomites, atau tanah.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), kompetensi dokter umum
terhadap tinea pedis adalah 4A, yaitu seorang dokter umum harus mampu untuk membuat
diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sehingga seorang
Transmisi tinea pedis difasilitasi oleh suhu hangat, lingkungan lembab dan dapat juga
akibat mengenakan sepatu oklusif. Iklim tropis di Indonesia dengan suhu dan kelembaban
tinggi membuat suasana baik untuk pertumbuhan jamur sehingga diperkirakan insidens
 penyakit ini cukup tinggi di masyarakat. Oleh karena itu, pembuatan referat ini bertujuan
untuk membahas tinea pedis, diperuntukkan untuk dokter umum agar dapat menegakkan
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara tuntas dan mandiri.

DEFINISI
Tinea pedis atau athlete’s foot atau foot ringworm merupakan infeksi dermatofita pada
kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki. Organisme penyebab tinea pedis yang
 paling sering adalah T. Rubrum dan  E. Floccosum. Infeksi ini tidak berbahaya dan memiliki
respon yang baik terhadap terapi topikal. 4,7

Gambar 1. Tinea Pedis. A. Aspek Plantar. B. Aspek Dorsal. 8

EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis ditemukan diseluruh dunia, dengan prevalensi tinggi justru di negara
maju, karena umumnya masyarakat menggunakan sepatu atau pelindung kaki tertutup dalam
 jangka lama.7 Diperkirakan prevalensi di negara maju sampai 10%. Survei skala besar pada
 populasi umum di Asia menunjukan perbedaan prevalensi tinea pedis, yakni di daerah tropis
kurang lebih 3,5%, tetapi didaerah empat musim kurang lebih 15,9%. Penyakit ini lebih
 banyak mengenai orang dewasa dan prevalensinya meningkat seiring peningkatan usia sampai
usia 75 tahun, dan dewasa pria lebih sering terkena daripada wanita. 7,8

ETIOLOGI
Penyebab utama tinea pedis adalah dermatofita golongan antropofilik, berturut-turut
dari yang paling dominan: Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes var.
interdigitale, dan Epidermophyton floccosum. Sebelum tahun 1970-an penyebab yang paling
sering dilaporkan adalah Trichophyton mentagrophytes var. interdigitale, tetapi kemudian
9,10
Trichophyton rubrum makin meningkat dan paling utama.

PATOGENESIS
Penularan dapat terjadi karena kontak dengan skuama mengandung jamur antara lain
yang dapat terjadi di kaos kaki, sepatu, lantai kolam renang, kamar mandi dan fasilitas lain
yang digunakan secara bersama.5 Infeksi jamur pada kaki, baik tinea pedis maupun
onikomikosis dipermudah oleh faktor predisposisi antara lain terdapat dermatosis lain pada
kaki, diabetes mellitus, obesitas, penyakit vaskular, trauma, kelainan osteoartikular, dan
aktivitas olahraga.7  Kondisi maserasi dan lembab pada kaki memudahkan invasi jamur dan
 peningkatan koloni bakteri residen diduga ikut berperan dalam pathogenesis. Penggunaan
sepatu yang lebih tertutup pada pria daripada wanita, diduga menyebabkan perbedaan
 prevalensi tinea di antara jenis kelamin. 7,11
Sebagaimana patogenesis tinea pada umumnya, dermatofita menghasilkan enzim
keratinase yang akan mengivasi lapisan keratin.7 Invasi jamur lebih mudah terjadi pada kulit
kaki maserasi atau ada fisur. Pada penyebab T. rubrum, dinding jamur mengandung
komponen mannan yang selain dapat menekan respon imunitas pejamu juga dapat menekan
 proliferasi keratinosit sehingga terjadi infeksi kronis.10,12
Invasi dermatofita pada stratum korneum memberikan gambaran skuama ringan, tetapi
 jika terjadi peningkatan jumlah bakteri akan menimbulkan gambaran maserasi dan erosi.
Bakteri tersebut menghasilkan metabolit yang bersifat menghambat dermatofita sehingga
dalam keadaan demikian sulit menemukan dermatofita pada sediaan langsung.  8,12

GAMBARAN KLINIS
Tinea pedis dapat unilateral, meskipun lebih sering bilateral pada kedua kaki. Tinea pedis
terdiri dari beberapa macam tipe klinis, masing-masing dengan pola karakteristik manifestasi
kulit, yaitu: 1,4,8
1. Tipe interdigitalis: merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, dimulai sebagai
skuamasi, eritema, dan erosi di sela jari kaki, terutama di antara jari keempat dan kelima
(sela jari keempat), dan juga sela jari ketiga. Selanjutnya infeksi dapat mengenai telapak
kaki di dekatnya, tetapi jarang mengenai punggung kaki. Gatal terutama dirasakan pada
udara panas. Bentuk ini dapat disebabkan oleh ketiga spesies penyebab. Oklusi dan
DAFTAR PUSTAKA

1. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchress
BA, Paller AS, Lefel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
Volume 2. 8 th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. p.2277-97.

2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology.
12th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p.285-318

3. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.89-105.

4. Kartowigno, S. Infeksi Jamur Superfisial. In: Kartowigno, S, ed Sepuluh Besar


Kelompok Penyakit Kulit. Edisi kedua. Palembang: Unsri Pres s; 2011. hal.41.

5. Elewski BE, Hughey LC, Soebra, JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, eds. Dermatology Volume 1. 3 rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. p.1251-84.

6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: 2012


[accesed on July 27, 2017]. Available from: http://pd.fk.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2014/12/SKDI-disahkan.pdf 

7. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, eds.
Rook’s Textbook of Dermatology Volume 2. 8 th  ed. London: Wiley-Blackwell; 2010.
 p.1657-1750.

8. Michaels BD, Rosso JQ. Tinea capitis in infants, recognition, evaluation, and
management suggestions. J Clin Aesthet Dermatol. 2012; 5(2):49-59.

9. Pai VV, Hanumanthayya K, Tophakhane RS, Nandihal NW, Kikkeri NS. Clinical study
of tinea capitis in Northern Karnataka: a three year experience at a single institute. Indian
Dermatol Online J. 2013; 4(1):22-6.

10. Julia RN, Edgar VL. Dermatological Manifestations of Kidney Disease.  New York:
Springer; 2015. p.267-66.

11.  Nicki LP, Barbara LM. Pediatric Nursing: Caring for Children and Their Families. New
York: Cengage Learning; 2013. p.1376-66.

12. Faye L, Lisa EO. Dermatology for the Advanced Practice Nurse. New York: Springer;
2014. p.312-21.

13. James GM, Jeffrey JM. Lookingbill and Marks' Principles of Dermatology E-Book.
Philadelphia: Elsevier; 2013. P.315-41.

14. Kelly BP. Superficial fungal infections. Pediatr Rev. 2012; 33(4):22-37.

15. Moriarty B, Hay R. The diagnosis and management of tinea. BMJ. 2012; 345:1-10.

Anda mungkin juga menyukai