Anda di halaman 1dari 23

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Satria Mandala

Stambuk : 111 2019 1030

Judul Referat : Tinea Pedis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik di RSUD Kota

Makassar pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, November 2019

Pembimbing

Dr.dr.Hj.A.Sastri Zainuddin,Sp.KK

BAB I
3
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit mikosis

superfisialis akibat jamur yang menginvasi jaringan yang mengandung

keratin seperti stratum korneum epidermis, rambut, dan kuku. 1

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.

Golongan jamur ini bersifat mencemarkan keratin. 2

Seringkali disebut infeksi tinea dan diklasifikasikan menurut bagian

tubuh yang terkena. Organisme penyebab dermatofitosis termasuk dalam

tiga genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton,

sedangkan berdasarkan transmisinya terdapat tiga klasifikasi yakni

antropofilik, zoofilik, dan geofilik.3

Tinea pedis atau athelete foot adalah infeksi jamur yang paling

sering terjadi pada sela jari dan telapak kaki. Penggunaan istilah athlete foot

digunakan untuk menunjukkan bentuk jari kaki yang terbelah. Jamur dapat

tumbuh akibat berbagai faktor, terutama faktor kelembapan seperti kaki

lebih mudah berkeringat, pemakaian sepatu tertutup, dan kaos kaki yang

kurang dijaga kebersihannya.2

Individu dengan gangguan pertahanan kekebalan tubuh sangat

rentan terhadap infeksi. HIV / AIDS, transplantasi organ, kemoterapi, steroid

dan nutrisi parenteral dll. Umumnya dikenal sebagai faktor-faktor yang

mengurangi resistensi pasien terhadap infeksi dermatofita. kondisi seperti

4
usia lanjut, obesitas, diabetes mellitus juga memiliki dampak negatif. pada

kesehatan pasien secara keseluruhan dan ada dengan mengurangi

kekebalan dan meningkatkan risiko tinea pedis.4

Referat ini akan membahas mengenai epidemiologi, etiologi,

patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding,

komplikasi, penatalaksanaan, prognosis, dan kesimpulan. Tujuan dari referat

ini adalah untuk menambah ilmu dan wawasan tentang tinea pedis.

BAB II

5
TINJAUN PUSTAKA

2.1 DEFINSI

Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superficial pada kulit di

seluruh wilayah di dunia.1 Tinea pedis merupakan inspeksi dermatofita pada

kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki. 2

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN PREVALENSI

Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamuryang

menyebabkan Tinea pedis. Tinea pedis adalah penyakit kulit tersering kedua di

Amerika Serikat dan lebih dari 15% dari populasi bisa menderita tinea pedis. 4 Tinea

pedis adalah dermatofitosis yang paling sering terjadi diseluruh dunia tercatat 70%

dari suatu populasi dapat terkena tinea pedis dalam waktu yang bersamaan. 5

Mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk diderita penduduk

Negara tropis. Indonesia merupakan salah satu Negara beriklim tropis yang

memiliki suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi

pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat dapat ditemukan hamper di semua

tempat. Di Indonesia angka yang tepat teratasi, insidensi mikosis superfisialis

belum ada. Jumlah kasus baru mikosis superfisialis menempati ururtan ke-3 setelah

dermatitis dan akne daftar 10 penyakit terbanyak di URJ Penyakit Kulit Kelamin

tahun 2014-2016.6

Dalam penelitian ini, prevalensi tinea unguiumand tinea pedis dalam

populasi yang diteliti adalah 77,4% dan 22,5%, masing-masing; wanita lebih sering

terkena daripada pria yang setuju dengan beberapa laporan. Tapi ternyata ada
6
tidak ada hubungan yang signifikan dalam terjadinya mikosis kaki sehubungan

dengan jenis kelamin dan hasil ini sesuai dengan Dhib et al.7

2.3 ETIOLOGI

Tiga species jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton

mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum merupakan organisme

keratinophilic penyebab sebagian besar kasus tinea pedis diseluruh dunia.

Trichophyton rubrum adalah pathogen yang sering berkaitan dengan tinea

pedis.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi transmisi pathogen

dermatofit ini tergantung pada sumber inspeksi yang biasanya terjadi

melalui manusia (anthropophilic), hewan (zoophilic) atau tanah (geophilic).

Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari

banyak menggunakan alas kaki tertutup disertai perawatan kaki yang buruk

dan para pekerja dengan kaki yang sering atau selalu basah. 4

Tinea pedis juga sering ditemukan pada pasien dengan immune-

superessed atau menderita diabetes mellitus. Pada olahragawan selain

karena pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama, bertambahnya

kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena mekanis, tingkat

kebersihan perorangan, dan paparan terhadap jamur merupakan factor

resiko yang menyebabkan terjadinya tinea pedis. Kondisi lingkungan yang

lembab dan panas di sela-sela jari kaki karena pemakaian sepatu dan kaus

kaki, juga akan merangsang tumbuhnya jamur.8,9

7
2.4 PATOFISIOLOGIS

Jamur dari golongan dermatofita adalah penyebab terjadinya Tinea

pedis. Jamur golongan dermatofita mensintesis keratinase yang dapat

menghancurkan keratin yang digunakan sebagai nutrisi untuk dermatofita.

Imunitas seluler & PMN yang menghambat pathogenesis dari dermatofita 3.

Trichophyton rubrum yang umumnya menyebabkan tinea pedis

menggunakan enzim yang disebut keratinase, jamur dermatofit menyerang

keratin superficial kulit, dan infeksi hanya terbatas pada lapisan ini. Dinding

sel dermatofit juga mengandung mannans (sejenis polisakarida), yang dapat

menghambat respon kekebalan tubuh. Trichophyton rubrum khususnya

mengandung mannas yang dapat mengurangi poliferasi keratinosit,

sehingga tingkat penurunan pengelupasan dan keadaan infeksi kronis 5.

Suhu dan factor serum, seperti globulin beta dan feritin, tampaknya

memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan dermatofit, namun,

patofisiologi ini tidak sepenuhnya dipahami. Sebum juga menghambat

pertumbuhannya, sehingga infeksi dermatofit memiliki kecendurungan

menginfeksi kaki, yang tidak memiliki kelenjar sebasea. Faktor-faktor host

seperti pecah di kulit dan maserasi kulit dapat menunjang invasi dermatofit.

Presentasi dari kulit tinea pedis juga tergantung pada system kekebalan host

dan infeksi dermatofit5.

2.5 DIAGNOSIS

8
Gambaran klinis tinea pedis dibedakan berdasarkan tipe, antara lain

Moccasin, Interdigitalis, Vesikobulosa dan Ulseratif.15

2.5.1 Gejala Klinik

Ada 4 jenis tinea pedis interdigitalis, moccasin, tipe akut ulserasi

dan tipe vesiculbulosa semua dengan karakteristik kulit masing-masing.

1. Interdigitalis

Diantara jari 4 dan 5 terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan

tipis. Dapat meluas kebawah jari (subdigital) dan kesela jari yang lain.

Sering terlihat maserasi. Aspek klinis berupa kulit putih dan rapuh. Dapat

disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis,

limfadenitis, dan dapat pula terjadi erysipelas.

Gambar 2.1. Tinea pedis, Interdigitalis.

9
Gambar 2.1. Tinea pedis pada bagian bawah jari kaki.

2. Moccasin foot

Pada seluruh kaki, dari telapak kaki, tepi sampai punggung kaki,

terlihat kulit menebal dan bersisik halus dan seperti bedak. Eritema biasanya

ringan dan terlihat pada bagian tepi lesi. Tepi lesi dapat dilihat papul dan

kadang-kadang vesikel. 2

Gambar 2.3. Tinea Pedis. Terdapat distribusi tipe moccasin.

3. Vesiculo bulosa

10
Diakibatkan karena T.mentagrophytes Diameter vesikel lebih besar

dari 3mm. Jarang pada anak-anak, tapi etiology yang sering terjadi pada

anak-anak adalah T.rubrum. Vesikel pustule atau bulla pada kulit tipis

ditelapak kaki dan area periplantar. 3

Gambar 2.4. Tinea pedis tipe bulosa. Vesikel

pecah,bula,eritema,dan erosi pada bagian dari ibu jari kaki.

4. Tipe akut ulserasi

Mempengaruhi telapak kaki dan terkait dengan maserasi,

penggundulan kulit Infeksi bacterial ganas biasanya dari gram negative

kombinasi dengan T.mentagrophtes menghasilkan vesikel pustule dan ulcer

bernanah yang besar pada permukaan plantar. 3

11
Gambar 2.5. Tinea pedis tipe Ulseratif

2.5.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan

terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis

dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel

sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian

tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit kerok

dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca, kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20 menit untuk

melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis tipe

vesikobulosa, kerokan diambil pada atau pula untuk mendeteksi hifa. 1

Gambar 2.5. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

2. Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan

menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam

bahan klinis pada media buatan, yang dianggap paling baik adalah

12
medium agar dekstrosa Saboraud Media agar ini ditambahkan dengan

antibiotic (kloramfenikol atau sikloheksimid). 1

Gambar 2.6. Trichophyton rubrum ; koloni Downy

3. Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea

manum adalah adanya akantosis, hyperkeratosis dan celah (infiltrasi

perivaskuler superfisialis kronik pada dermis).

Gambar 2.7. Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan

superficial dari epidermis.

4. Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu

bermakna karena banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi

kecuali pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum sp.

13
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah tersebut dikerok untuk

mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.

2.6. PENETALAKSANAAN

Hyegiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk atau pakaian

secara bersamaan harus dihindari. Pada fase peradangan akut dapat

dilakukan kompres atau rendam dengan larutan kalium permanganate

1:5000 atau larutan karbonat natrium. Pengobatan topical dan diberikan

golangan imidazole maupun salep white field tergantung pada tipe dan

keparahan lesi. Imidazol banyak digunakan secara topical, adalah obat

antijamur spectrum luas yang bekerja menghambat ergosterol. Dapat pula

diaplikasikan bedak antijamur yang ditabur pada kaki untuk mengarungi

pertumbuhan jamur. Sistemik dapat diberikan terbinafin 250 mg per hari,

atau intrakonazol 200 mg dua kali sehari, atau fluconazole 150 mg per

minggu.11,13,14

Menggunakan topical agen seperti bedak, krim atau spray. Krim dan

spray lebih berguna dari pada bedak. Topikal anti fugal seperti Clotrinazole,

miconazole, sulconazole, oxiconazole, ciclopirox, econazole, ketoconazole,

naftifine, terbinafine, flutnmazol, bifonazole, tetapi clotrhnazole, miconazole

membutuhkan waktu 4 minggu dibandingkan jika menggunakan terbinafine

yang membutuhkan waktu 1-2 minggu.9

Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topical, yaitu dengan anti

fungal topical seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau terbinafin, yang

14
diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan satu atau dua minggu kemudian

untuk mencegah rekurensi. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten

terhadap terapi topical, dilakukan pengobatan sistemik. 11

1. Griseofulvin

Griseofulvin diberikan secara oral dan berguna untuk beberapa infeksi

dermatofita, terutama infeksi jamur kulit kepala. Grioseofulvin merupakan

obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat

diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk

anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada

lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh

klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Efek samping dapat berupa

gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut

juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat menganggu fungsi hepar.2,11

2. Ketokonazol

Merupakan golongan imidazole yaitu obat anti jamur spectrum luas dan

resistensinya jarang timbul. Imidazole tidak diabsorbsi dengan baik secara

oral, kecuali ketokonazol. Ketokonazol diabsorbsi dengan baik secara oral

dan saat ini digunakan pada terapi mikosis local dan sistemik. Kasus-kasus

yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak

200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.

Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. 2

3. Itrakonazole

15
Itrakonazole diabsorbsi secara oral merupakan suatu antifugal yang

dapat digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat

hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Pemberian

obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lender oleh penyakit jamur

biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalan selaput kapsul selama 3

hari.2

4. Terbinafin

Tebinafrin digunakan pada infeksi kuku dan kulit yang sudah pasti

disebabkan oleh dermatofita. Terbinafin berfugsi sebagai funsidal juga

dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu,

dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme

sebagai antifugal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis

ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira

10% pendirita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya

nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya

ringan.2

Konseling dan Edukasi

Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Tinea

pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum, Trichophton

mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Edukasi pasein dan

16
keluarga juga untuk menjaga hygiene tubuh, namun penyakit ini bukan

merupakan penyakit yang berbahaya.11

Kriteria Rujukan

Pasien dirujuk apabila penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari

setelah terapi, atau terdapat imunodefisiensi, contohnya AIDS, atau

terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka. 11

2.7. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding klinis dari erupsi cutaneus kaki seperti dermatitis,

psoriasis, dihydrosis, dermatitis atopi. Lain-lain yang umumnya susah

dibedakan dengan tinea pedis.2,10,11

Gambar 2.8. Dermatitis “id”reaction.3

1. Dermatitis kontak iritan

Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya tidak

jelas, bagian tepi tidak lebih aktif dari pada bagian tengah. Efek samping

obat juga dapat member gambaran serupa yang menyerupai ekzem atau

17
dermatitis, pertama-tama harus dipikirkan adanya dermatitis kontak.

Ditandai dengan riwayat terpajan dengan bahan allergen dan bahan iritan

pada waktu tertentu.2,10

Gambar 2.9. Dermatitis kontak iritan.3

2. Hiperhidrosis pada kaki

Terlihat kulit yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya terlihat

vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas pada telapak

kaki dan tangan, kelainan tidak meluas sampai ke sela-sela jari. Vesikel

merupakan lesi kulit yang menonjol, yang berupa elevasi yang dapat

dipalpasi pada rongga yang berisi cairan sampai 1 cm terisi serosa. 2,11

18
Gambar 2.10. Dyshidrosis exematous dermatitis.3

3. Akrodermatitis kontinua

Akrodermatitis kontinua juga menyerupai tinea pedis, sangat sukar

dibedakan dengan dermatofitosis bila berdasarkan pemeriksaan klinis

saja. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk membedakan satu

dengan yang lain.2

Gambar 2.11. Acrodermatitis continua. 3

4. Kandidosis interdigitalis

Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidosis,

membedakannya dengan tinea pedis murni, kadang-kadang agak sulit.

Erosi merupakan lesi kulit dalam, yaitu kehilangan epidermis superficial

tanpa jaringan parut, permukaanya lembab tetapi tidak berdarah. Pada

sela jari tampak eritema, terkelupas dan terjadi maserasi, dapat

ditemukan fissure.

19
Gambar 2.12. Kandidosis interdigitalis.3

5. Sifilis II

Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan kaki lesi

yang merah dan basah merupakan petunjuk. Dalam hal ini tanda-tanda

lain Sifilis akan terdapat misalnya: kondilomata lata, pembesaran kelenjar

getah bening yang menyeluruh anamnesis tentang efek primer, dan

pemeriksaan serologi serta lapangan gelap dapat menolong. Perbedaanya

lesi tidak gatal dan limfadenitis beneralisata. 1,2

Gambar 2.13. Sifilis II. 3

6. Tinea Ungunium

20
Tinea Ungunium yang disebabkan macam-macam dermatofita

memberikan gambaran akhir yang sama. Juga dapat terjadi pada jari-jari

tangan dan kaki namun menonjol pada kuku.10,2

Gambar 2.14. Tinea unguium.3

7. Psoriasis

Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat berakhir dengan kelainan

yang sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits) yang terlihat pada

psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi psoriasis pada bagian

lain, badan dapat menolong membedakannya dengan tinea unguium.

Remisi parsial merupakan khas dari penyakit ini.2,15

21
Gambar 2.15. Psoriasis vulgaris.3

2.8. KOMPLIKASI

Komplikasi yand dapat terjadi adalah infeksi campuran dengan

bakteri dan apabila terjadi infeksi yang berat dapat terjadi erisipelas.

Erisipelas merupakan infeksi akut, biasanya disebabkan Streptococcus,

gejala utamanya ialah eritema berwarna merah cerah dan berbatas tegas

serta disertai gejala konstitusi.13

2.9. PROGNOSIS

Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam.

Sedangkan pasien imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi

dubia ad bonam. Sering terjadi persistensi dan eksaserbasi bila terdapat

infeksi subklinis Tricophyton mentagrophtes var interdigitale.11,13

BAB III
22
KESIMPULAN

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama

mengenai sela jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada

laki-laki usia dewasa dan lebih jarang pada perempuan dan anak-anak.

Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan

berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan

pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang paling

umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T. mentagrophytes, dan

Epidermophyton floccosum.

Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis,

moccasin, vesikobulosa, dan ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan biakan jamur, pada tinea pedis

ditemukan adanya hifa bersepta. Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan

tipe tinea pedis, baik berupa terapi farmakologi dan non-farmakologi. Tinea

pedis yang ditatalaksana dengan baik akan memberi prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Tilak R, PNenoff P, Nigam C, Gupta R. in Tinea pedis: An Update.

Asian Journal of Medical Sciences 2: pages 1-5, 2016

23
2. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

penyakit kulit dan kelamin 6th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI, 2016.

Hal.89-106

3. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI.Fitzpatrick’s dermatology in

general medicine. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2018

4. Al Hasan, et al. Dermatology for the practicing allergist: Tinea pedis and

its complications. Clinical And Molecular Allergy: 2015. Pages 1-11

5. M. Robbin et al. Tinea Pedis. Cited (2014). Online (30/9/2015). Pages 1-2

6. Alif Nurul Hidayanti dkk. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit

Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Tahun 2015-2016. Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit

dan Kelamin, FK Unair. 2016. Pages 1-8

7. Nourchène T., Cyrine D., Dalenda E., Prevalence, Etiology, and Risk

Factors of Tinea Pedis and Tinea Unguium in Tunisia. Canadian Journal of

Infectious Diseases and Medical Microbiology. Volume 2017:p 1- 9

8. Dian, Ratna. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tinea

Pedis pada Pemulung di TPA Jatibarang. Skripsi. Semarang: Universitas

Diponegoro. 2016,Pages 1-74

9. ClaireJ. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowne, RN, Ms. Tinea Pedis

(athelete foot) 2015;p 151-154

24
10. Berth-jones J. Rook’s Textbook of Dermatology. Mycology. 8 th

edition.1.Cambridge; Wiley-Blackwell, 2010;p 36.30-36.32

11. IDI. 2016. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer.Edisi I. Jakarta:PB IDI.Pages 360-363

12. Lynn S Bickley. 2016. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan

Bates, Edisi V. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;p 64-78

13. Dali, Muhammad. dkk. 2017. Buku Ajar Penyakit Kulit Di Daerah Tropis.

Makassar:FK-UH. Pages 159-161

14. Neal, Michael J. 2017. At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V.

Jakarta:Erlangga Medical Series. Pages 86-87

25

Anda mungkin juga menyukai