Anda di halaman 1dari 30

Case Based Discussion

“Tinea Pedis dengan Infeksi Pioderma”


Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Di RS Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :

Andre Rama Putra


30101507377

Pembimbing :
dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2020
2

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea pedis, merupakan infeksi dermatofit pada kaki, dapat melibatkan sisi
interdigital atau sisi-sisi kaki dan mungkin merupakan kondisi kronis atau berulang.
Agen etiologi yang paling umum adalah antropofil, termasuk Trichophyton rubrum
sensustricto, yang merupakan yang paling umum, diikuti oleh Trichophyton
interdigitale dan Epidermophyton floccosum. Paruh kedua pada abad kedua puluh
mengidentifikasi bahwa peningkatan global kasus tinea pedis dan penyebaran klonal
dari salah satu agen etiologi utama, T. rubrum. Fenomena ini kemungkinan karena
peningkatan urbanisasi dan penggunaan fasilitas olahraga dan kebugaran,
meningkatnya prevalensi obesitas dan populasi yang menua. Untuk perawatan dan
manajemen pasien yang optimal, diagnosis tinea pedis harus diverifikasi dengan
analisis mikrobiologis1.

Pasien dengan tinea pedis biasanya mengalami gatal, eritema dan lepuh kecil
pada satu atau kedua kaki. Malodour lebih mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri.
Tanda dan gejala yang lebih spesifik tergantung pada subtipe tinea pedis. Orang-orang
yang lebih berisiko terkena tinea pedis adalah mereka yang mengalami
immunocompromised, yang berkeringat berlebihan (hyperhidrosis), dan mereka yang
memiliki sirkulasi perifer yang buruk atau diabetes2.

Diagnosis tinea pedis biasanya didasarkan pada gejala dan penampilan klinis
pasien. Namun, ada sejumlah kondisi lain yang harus dipertimbangkan ketika pasien
datang dengan dugaan tinea pedis, termasuk: 1. Kerokan kulit untuk mikroskopi jamur
harus dilakukan ketika pengobatan topikal awal tidak efektif, kapan pun
mempertimbangkan perawatan oral, atau pada pasien dengan presentasi atipikal.
Kerokan kulit harus diambil dari ujung lesi menggunakan pisau bedah tumpul atau
kuret. Guntingan kuku harus diambil dari kuku jari kaki yang abnormal. Jika ada
bukti klinis infeksi bakteri sekunder, misal malodour atau maserasi, apusan untuk
mikroskop dan kultur bakteri juga harus dikumpulkan1,2.

Secara umum, pasien dengan tinea pedis interdigital dapat diobati dengan
antijamur topikal. Pasien dengan tipe moccasin, tinea pedis vesikular atau ulseratif,
atau tinea pedis persisten mungkin memerlukan perawatan antijamur oral1.
3

Komplikasi dari tinea pedis dapat mencakup infeksi bakteri sekunder; itu
menjadi penyebab predisposisi umum dalam kasis selulitis. Pasien dengan selulitis
berulang pada tungkai bawah harus diperiksa untuk bukti tinea pedis. Majocchi
granuloma adalah komplikasi langka dari tinea pedis. Bentuk dari kelainan ini adalah
adanya folikulitis supuratif persisten, biasanya pada tungkai bawah, yang disebabkan
oleh infeksi dermatofit. Pasien umumnya memerlukan perawatan dengan obat
antijamur oral 3.

Manifestasi morfologik penyakit-penyakit infeksi bakteri pada kulit sangat


bervariasi. Infeksi pada kulit oleh bakteri piogenik biasanya berasal dari luar tubuh.
Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Pioderma juga merupakan
infeksi purulen pada kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus
atau keduanya. Pioderma memiliki banyak bentuk diantaranya impetigo, folikulitis,
furunkel, eritrasma, erysipelas, selulitis, abses, dan lain-lain.
4

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Andre Rama Putra

NIM : 30101507377

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : UNISSULA

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Periode Kepaniteraan : 15 Juni 2020 – 27 Juni 2020

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul Laporan : Tinea Pedis dengan Infeksi Pioderma

Pembimbing : dr. Pasid Herlisa, Sp. KK

Diajukan dan disahkan : 23 Juni 2020

Semarang, 23 Juni 2020

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSI Sultan Agung Semarang

(dr. Pasid Harlisa, Sp. KK)


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Athlete's foot, disebut juga sebagai tinea pedis, adalah satu-satunya infeksi
dermatofita yang paling umum terjadi4. Dermatofit adalah golongan jamur yang
menyebabkan dermatofitosis (Microsporum, Epidermophyton, dan Trichophyton)
dimana jamur golongan ini memiliki sifat mencerna keratin. Jamur yang
menyebabkan penyakit kulit pada manusia dan hewan.5

2.2 Epidemiologi

Risiko tinea pedis telah terbukti lebih tinggi pada pria daripada wanita dan ini
lebih umum di negara-negara maju 6. Dalam satu penelitian, prevalensi keratoderma
palmoplantar pada sindrom Sezary dilaporkan 61,6% dan tinea pedis yang ada
bersama ditemukan pada 52,9% peserta7. Tinea pedis paling banyak menyerang pada
pria dibanding dengan wanita, serta tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh etnik atau
ras tertentu. Penyakit ini sering menyerang orang dewasa yang bekerja di tempat
basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap hari harus memakai sepatu
tertutup . Frekuensi Tinea pedis tinggi pada pekerja buruh tambang dan atlit di Eropa
dan Amerika Utara . Sedangkan di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi Tinea
pedis pada pekerja . Pekerja yang menggunakan sepatu tertutup sepanjang hari juga
beresiko terkena Tinea pedis, Hal ini karena pemakaian sepatu dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan kulit di sekitar kaki lembab karena keringat, sementara
jamur menyukai bagian kulit yang sering lembab dan basah 9.

2.3 Etiologi

Tinea pedis adalah infeksi jamur paling umum pada kulit yang ditularkan
melalui dermatofita 10. Dermatofit yang paling umum terdeteksi pada pasien dengan
tinea pedis adalah T rubrum; itu adalah organisme yang paling umum diisolasi dalam
populasi orang dewasa, sementara T.tonsurans adalah organisme penyebab paling
11,12,13
umum pada anak-anak dengan tinea pedis . Selain dermatofit ini, golongan non-
dermatofit, seperti Neoscytalidium dimidiatum, yang endemik di Afrika, Asia,
Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, dan beberapa negara bagian di Amerika
Serikat, dapat mengakibatkan infeksi tinea yang resistan terhadap pengobatan kaki 10 .
6
7

2.4 Patogenesis

Infeksi dermatofita disebabkan oleh artrospora atau konidia yang bereproduksi


secara aseksual. Suhu tinggi, pH basa, dan hiperhidrosis memfasilitasi infeksi yang
terjadi pada kaki oleh organisme ini. Faktor inang yang dapat meningkatkan infeksi
ini termasuk kulit yang rusak, maserasi kulit dan penekanan imun . Namun,
Pseudomonas aeruginosa, transferrin, sel-sel pembunuh alami dan monosit positif
CD14 menghambat invasi jamur.

Infeksi dermatofit yang paling umum adalah karena tidak adanya sebum, yang
merupakan sekresi penghambatan alami; sebum tidak ada di daerah plantar karena
tidak adanya kelenjar sebaceous. Dermatofit melepaskan berbagai enzim (mis.
Keratinase, metalloproteases, sistein dioksigenase dan protease serin), menghasilkan
14,15
lipase dan seramida dan menyerang keratin superfisial . Keratinosit tidak hanya
merupakan penghalang fisik terhadap dermatofita tetapi juga berperan dalam reaksi
imun kulit . Keratinosit juga mengekspresikan reseptor pengenalan, seperti Toll-like
receptors (TLRs) dan dectin-1, yang memicu pelepasan berbagai sitokin proinflamasi
8

dan faktor-faktor chemotactic dan menyebabkan reaksi inflamasi, seperti kemerahan


dan pembengkakan16. Keratinosit juga melepaskan peptida antimikroba, termasuk
defensin, katelisidin, dan psoriasin, yang mencegah invasi jamur. Faktor chemotactic
merekrut neutrofil dan monosit (makrofag), yang merupakan fagosit inflamasi yang
menelan dermatofit dan melepaskan sitokin. Mereka juga menghasilkan ROS, seperti
superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil, yang menghasilkan protein,
lipid, dan DNA yang rusak, sehingga menghancurkan patogen fagositosis 15. Namun,
dinding sel dari T. rubrum menurunkan respon limfoproliferatif 15. Infeksi jamur lokal
menginduksi produksi antibodi yang bersirkulasi dan mengaktifkan limfosit T, yang
mengarah ke berbagai reaksi inflamasi lokal atau menyeluruh yang disebut 'reaksi id

18
.

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu: Antropofilik,


transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan
atau tanpa reaksi peradangan (silent “carrier”). Zoofilik, transmisi dari hewan ke
manusia, ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu
binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah
9

/ tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. Geofilik, transmisi dari tanah ke
manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang .
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada
kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan
mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan
keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi
jaringan atau radang. Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan
respon pejamu20 .

 PERLEKATAN DERMATOFIT PADA KERATINOSIT


Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga
melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan
katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum
antara artrospora dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
10

atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit
karena tergantung pada jenis strainnya 17.
 PENETRASI DERMATOFIT MELEWATI DAN DI ANTARA SEL
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur.
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum
setelah spora melekat pada keratin . Dalam upaya bertahan dalam menghadapi
pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan
beberapa cara:
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida,
yang tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang
terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan
dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga
jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2)Pengendalian, dengan mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid
dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier
jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang
dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk
kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan
dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum 19.
 RESPONS IMUN PEJAMU
11

Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan


respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat 13. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
a. MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami
terdiri dari: 7
1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak
sebagai barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum
secara kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis
sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya.
Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap
dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk
proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi
berupa pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis
yang terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat
menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin
dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi
dermatofit.
b. MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat
membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated
immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan
dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum
pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah
suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini
melibatkan antigen dermatofit dan CMI 21.
12

2.5 Klasifikasi (Perbandingan antara berbagai bentuk klinis tinea pedis dalam hal
gejala, komplikasi, lokalisasi infeksi, karakteristik yang dapat diamati, serta agen
penyebab infeksi) 19,20.

Bentuk Agen penyebab Karakteristik Lokasi Komplikasi Gejala


klinis dari bentuk klinis anomali
tinea pedis
Tinea pedis T. rubrum adalah agen Tinea pedis jenis ini Lesi dapat Hiperkeratosis, Gatal,
interdigital yang paling umum diikuti biasanya disertai ditemukan di leukokeratosis, terbakar,
oleh antropofilik eritema interdigital, antara jari kaki atau erosi dan tidak
T. interdigitale (organisme skuama, maserasi, keempat dan berbau
antrofilik adalah organisme dan fisura kelima.
parasit yang membutuhkan Permukaan
inang manusia untuk dorsal kaki
bertahan hidup. Mereka umumnya tidak
menyebar dari satu inang terpengaruh,
manusia ke yang lain) tetapi daerah
plantar yang
berdekatan
mungkin
terlibat
Tinea pedis Anthropophilic T. Karakteristik yang Bula muncul Selulitis, Gatal-
inflamasi interdigitale adalah agen diamati dari dalam bentuk adenopati, dan gatal
atau penyebab utama vesicular tinea bulat, limfangitis parah
vesikular pedis termasuk polisiklik, disertai
keras, vesikel seperti herpes rasa panas
tegang, bula dan atau secara dan nyeri.
pustula pada bertahap Intensitas
permukaan plantar menyebar peradanga
in-step atau mid- cluster dengan n
anterior kaki. basis bervariasi
eritematosa dan di antara
terlokalisasi individu
pada lengkung dan
kaki, sisi kaki, mungkin
jari kaki dan membuat
lipatan sub- berjalan
digital. Vesikel sulit
baru
berkembang di
13

pinggiran,
dengan celah
sering muncul
di lipatan
sumbing dan
sub-digital
Tinea pedis Paling sering disebabkan Bentuk klinis tinea Bentuk klinis Selulitis, Bisul, rasa
ulseratif oleh antropofilik pedis ini biasanya ini biasanya limfangitis, sakit dari
T. interdigitale muncul dengan lesi dimulai pada demam, dan berbagai
vesikulopustular, jari ketiga malaise derajat
ulkus, dan erosi dan ruang dan gatal
yang menyebar interdigital
dengan cepat. keempat.
Infeksi bakteri Kemudian
biasanya hadir menyebar ke
sebagai infeksi dorsum lateral
sekunder dan permukaan
plantar. Dalam
kasus yang
parah, bahkan
dapat meluas
ke area yang
luas di mana
seluruh kulit
telapak bahkan
dapat
terkelupas
Hyperkerat Terutama disebabkan oleh Infeksi biasanya Pola infeksi Karena kaki terus Kondisi
otic kronis T. rubrum muncul dengan biasanya hadir menerus tergores, ini
(moccasin) eritema plantar dengan skuama Tinea manuum mungkin
tinea pedis kronis mulai dari hiperkeratotik (infeksi jamur) asimptom
skuama ringan kering, yang tangan) dapat atik tetapi
hingga terutama berkembang bisa juga
hiperkeratosis difus mempengaruhi sebagai hasilnya disertai
seluruh dengan
permukaan eritema
plantar. ringan,
Kemudian sisik
meluas ke kaki hiperkerat
lateral. Pada otik tebal
permukaan kaki dengan
14

dorsal, kaki fisura,


biasanya jernih pruritus
sedang-
berat, dan
fisura
nyeri saat
berjalan

Interdigitalis
15

Moccasin foot

Vesikulo bulosa
16

Akut ulserasi

2.6 Diagnosis
16
Tinea pedis dapat didiagnosis melalui metode klinis yang berbeda . Salah
satu metode adalah melalui pemeriksaan fisik, yang biasanya mengacu pada
terdapatnya skuama dan maserasi di ruang interdigital paling lateral, memanjang
secara medial. Infeksi muncul dengan pola tipe kering, yang terlihat dan termasuk
hiperkeratosis plantar dan bagian lateral kaki 21. Ini adalah pola presentasi fisik yang
paling umum dari infeksi tinea pedis. Pola yang kurang umum diamati sebagai vesikel
kecil dan lepuh yang hadir pada dasar eritematosa pada permukaan plantar kaki.
Metode-metode diagnosis lainnya termasuk pemeriksaan dengan lampu Wood,
pemeriksaan mikroskopis langsung, dan kultur jamur 19. Meskipun lampu wood dapat
digunakan, itu tidak selalu sensitif dalam mendeteksi dermatofita, karena mereka
tidak berfluoresensi. Alasan utama untuk menggunakan tes ini mungkin untuk
membedakan tinea dari erythrasma (infeksi kulit superfisial yang menyebabkan
bercak kulit coklat dan bersisik) yang disebabkan oleh Corynebacterium
minutissimum 10. Metode lain mungkin berupa pengumpulan jaringan keratin untuk
pemeriksaan mikologi. Sampel dikultur pada agar dan hasilnya dapat diharapkan
setelah dua minggu. Bahkan jika hasil dari pemeriksaan mikroskopik mungkin
negatif, dokter masih dapat meresepkan pengobatan untuk tinea pedis, jika presentasi
fisik dari penyakit ini jelas atau meyakinkan.
Identifikasi tinea pedis, menggunakan teknik selain diagnosis klinis,
memerlukan sampel yang dikerok dari area aktif di mana lesi tersebut diduga tinea
pedis. Kerokan kulit idealnya harus dikumpulkan dari batas tepi perifer.
Pemeriksaan mikroskopis langsung adalah salah satu teknik yang dapat
dilakukan. Tes ini mudah dan cepat, dan sangat spesifik dan sensitif untuk identifikasi
dermatofita. Metode identifikasi alternatif termasuk penggunaan strip tes dermatofit
dan melakukan kultur jamur 10,20,21.

(Kriteria Diagnostik Tinea Pedis Menurut PPK PERDOSKI 2017) 23.


17

Anamnesis :
Gatal di kaki terutama sela-sela jari. Kulit kaki bersisik, basah dan mengelupas.
Pemeriksaan fisik :

o   Tipe interdigital (chronic intertriginous type)


Bentuk klinis yang paling banyak dijumpai. Terdapat skuama, maserasi dan
eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari
lateral. Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang
berdekatan dan bagian dorsum pedis. Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri
dapat menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks
atau athlete’s foot).

o   Tipe hiperkeratotik kronik


Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal
(telapak kaki, lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.”
Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter
kurang dari 2 mm. Tinea manum unilateral umumnya berhubungan dengan
tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”.

o   Tipe vesikobulosa
Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul,
atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada
anak-anak.

o   Tipe ulseratif akut


Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan
daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti
selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis,


dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan
lampu wood pada spesies tertentu.
Dalam pemeriksaan mikroskopis langsung, sampel yang terkikis diwarnai
dengan 10-20% kalium hidroksida atau tetraethylammonium hydroxide alternatif.
18

Sampel kemudian dilihat di bawah mikroskop untuk mendeteksi hifa jamur. Dalam
kasus resistensi pengobatan atau diagnosis yang tidak pasti, kultur jamur adalah
alternatif yang layak. Dalam kasus di mana mikroskopi langsung tidak layak untuk
digunakan, strip tes dermatofit dapat memberikan diagnosis untuk deteksi dermatofit
10
. Meskipun lampu wood dapat digunakan, itu tidak selalu sensitif dalam mendeteksi
dermatofita, karena mereka tidak berfluoresensi.
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang
bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan korektif
dapat diambil.
Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan
alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Hasil positif bila wheal yang
terbentuk >2 mm.

2.8 Diagnosis Banding


 Non-dermatofita terkait podopompholyx
Jenis eksim yang dapat mempengaruhi kaki dan mungkin menyerupai bentuk
vesikular dari tinea pedis. Ini lebih cenderung bilateral dan simetris; mikologi
negatif. Disebabkan oleh stres, reaksi id oleh karena jamur/bakteri, makanan
dan obat-obatan. Sering pada orang yang berkeringat pada tangan dan kaki.
UKK : Vesikel steril bilateral pada jari kaki dan tangan, dapat timbul
pustule/bula.
19

 Dermatitis kontak
Keringat, gesekan, dan pengobatan rumahan dapat menyebabkan dermatitis
kontak iritan; dermatitis kontak alergi mungkin karena akselerator (dari karet),
krom (bahan penyamakan kulit), lem dan pewarna pada alas kaki. Pada
dermatitis kontak, batas lesi tidak jelas, tepi lesi tidak lebih aktif dari bagian
tengah lesi, ada mekanisme respon tubuh terhadap faktor eksogen dan
endogen.
UKK : 1. Akut : Eritema, edema, vesikel/bula, erosi, eksudasi, tampak
basah.
2. Subakut : Eritema dan edema berkurang, eksudat mengering
menjadi krusta.
3. Kronis : Lesi kering, skuama, hiperpigmentasi, papul,
likenifikasi, dapat juga terbentuk erosi/eksoriasi.

Hiperhidrosis
Produksi keringat dari kelenjar ekrin yang berlebihan selama minimal 6 bulan.
Kriteria Diagnostik Klinis

1. Fokal, tampak keringat berlebih


2. Berlangsung lebih dari 6 bulan
3. Tidak ditemukan penyebab sistemik (primer). Dapat pula ditemukan
penyebab sistemik (sekunder)
4. Setidaknya dua dari hal berikut:

  Bilateral dan simetris


20

  Berkeringat mengganggu kegiatan sehari-hari

  Paling sedikit satu episode per pekan

  Awitan usia <25 tahun

  Terdapat riwayat keluarga

  Berhenti berkeringat selama tidur

5. Predileksi: telapak tangan, telapak kaki, tumit, aksila, sedikit pada area
kraniofasial dan paha, sering terjadi akibat suhu, stres, atau gembira

UKK : Maserasi, vesikel yang dalam dan terbatas pada telapak kaki dan
tangan, tidak meluas sampai ke sela-sela jari.

2.9 Penatalaksanaan

Non medikamentosa

1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab

2. Mencegah penularan

Medikamentosa

1. Topikal:

  Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin**) sekali


sehari selama 1-2 minggu.

  Alternatif:

o Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol


2 kali sehari selama 4-6 minggu.
o Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari
selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis

2. Sistemik
21

  Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5


mg/kgBB/hari selama 2 minggu.

  Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100


mg/hari selama 4 minggu.

BAB III

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. Y.A
 Umur : 26 Tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Alamat : Semarang
 No. RM : 141xxxx
 Ruang : Poli Kulit dan Kelamin
 Status Pasien : Umum

B. ANAMNESIS
 KELUHAN UTAMA

Nyeri pada ibu jari kaki kanan dan jari kedua pada kaki kanan.
22

 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien laki-laki berusia 26 tahun datang ke poli kulit dan kelamin Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada
ibu jari kaki kanan, dan jari kedua pada kaki kanan. Keluhan sudah dirasakan
sejak 4 hari. Pada hari pertama terdapat satu gelembung kecil di area bawah ibu
jari kaki kanan pasien. Gelembung berisi cairan agak keruh tapi belum berwarna
kuning, dengan area sekitarnya tidak memerah, tetapi terasa gatal. Gelembung
tersebut pecah saat pasien sedang sholat. Pasien memberikan salep kalpanax
setelah gelembung itu pecah. Pada hari kedua, muncul gelembung serupa di area
sekitar tadi dan menyebar ke jari kedua pada kaki sebelah kanan. Gelembung
berisi cairan kuning, beberapa gelembung yang pecah ada yang telah mengering.
Pasien mulai merasa nyeri pada kaki kanannya. Nyeri bertambah saat pasien
beraktivitas yang mengakibatkan area disekitar gelembung tadi bergesekan. Nyeri
berkurang saat istirahat. Hal ini membuat pasien memeriksakan diri ke dokter
spesialis kulit.

 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (Pasien pernah mengalami keluhan
serupa pada 1 tahun yang lalu).
- Riwayat alergi (bersin pada pagi hari, gatal setelah makan sesuatu) disangkal.
- Riwayat asma disangkal.
- Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal.

 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


- Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal.
- Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
- Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal.

 RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien sering berganti sandal dengan pegawai lain di tempat kerjanya.

 RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


- Status pasien : Umum
23

- Kesan ekonomi: Baik

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

 KEADAAN UMUM : Baik


 KESADARAN : Composmentis
 TANDA VITAL
- Nadi : 100 x/menit
- Tekanan Darah: 120/80 mmHg
- Suhu : 36,6 ºC
- Fr. Nafas : 22 x/menit
 STATUS GIZI
- BB : 60 kg
- TB : 165 cm
- IMT : 22,05 Kg/m2

 PEMERIKSAN FISIK
1. KEPALA : Mesocephal
2. MATA
- Conjungtiva : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Sklera : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Lain-lain : Tidak dilakukan Pemeriksaan
3. LEHER
- KGB : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Thyroid : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Lain-lain : Tidak dilakukan Pemeriksaan
4. THT
- Telinga : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Hidung : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Tenggorokan : Tidak dilakukan Pemeriksaan
5. MULUT : Tidak dilakukan Pemeriksaan
6. JANTUNG
24

- Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan


- Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
7. PARU
- Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
8. Abdomen
- Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
9. Ekstremitas : Tidak dilakukan Pemeriksaan

Status Dermatologik

a. Inspeksi :

- Lokasi I : Ibu jari kaki kanan


o UKK : Skuama, eritem, pustule, vesikel, krusta.
- Lokasi II : Jari kedua pada kaki kanan
o UKK : Skuama, eritem, pustule, krusta.
- Lokasi III : Sela jari antara ibu jari kaki dan jari kedua kaki kanan
o UKK : Maserasi, skuama
- Distribusi : Lokalisata
- Konfigurasi : Regional

b. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan


25
26

D. DIAGNOSIS BANDING
 Dermatitis Kontak
 Pompoliks (Eksema Dishidrotik)
 Hiperhidrosis
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, akan tetapi dapat diusulkan,
pemeriksaan KOH 20% dengan harapan didapatkan koloni seperti bulu datar dengan
lipatan sentral dan warna kuning kehijauan, kuning kecoklatan dengan gambaran
mikroskopik berupa tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal dan
makrokonidia bentuk gada (Epidermophyton flucossum). Dapat juga didapatkan
koloni putih bertumpuk ditengah dan maroon pada tepinya berwarna merah cheri pada
PDA dengan gambaran mikroskopik berupa beberapa mikrokonidia berbentuk
airmata, sedikit makrokonidia berbentuk pensil (T. Rubrum).
F. DIAGNOSIS KERJA
Tinea Pedis dengan Infeksi Pioderma
G. RENCANA TERAPI
- Pemberian antifungal topical/sistemik
- Pemberian antibiotic topical/sistemik
- Pemberian kompres NaCl

R/. Ketoconazole tab 200 mg No.XIV


S 1 d d tab 1
R/. Fuson 2% No.I
S.u.e

H. PROGNOSIS
 Ad Vitam : Bonam
 Ad Sanam : Bonam
 Ad Kosmetikan : Bonam
I. EDUKASI
 Aspek Klinis
- Menjaga kebersihan diri.
- Mematuhi pengobatan yang diberikan.
27

- Pastikan kulit dalam keadaan kering.


- Gunakan sandal/sepatu yang lebar secara mandiri dan tidak bergantian
dengan orang lain.
- Keringkan kaki setelah mandi.
- Skrining keluarga.
 Aspek Islami
1. Menjaga kebersihan karena kebersihan adalah sebagian dari
iman.
2. Selalu bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT karena
segala penyakit ada obatnya

BAB IV

PEMBAHASAN

Tinea pedis di Indonesia, merupakan penyakit yang sering menjakiti para pekerja
khususnya yang berada di lingkungan kerja lembab dan sering menggunakan alas kaki yang
ketat. Infeksi ini disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Agen etiologi yang paling
umum adalah antropofil, termasuk Trichophyton rubrum sensustricto, yang merupakan yang
paling umum, diikuti oleh Trichophyton interdigitale dan Epidermophyton floccosum.
Penyakit ini sendiri memiliki 4 klasifikasi yang berbeda, dengan menunjukkan gambaran
klinisnya masing-masing. Tinea pedis interdigital dengan bentuk klinis lesi dimulai pada jari
ketiga dan ruang interdigital keempat. Kemudian menyebar ke dorsum lateral dan permukaan
plantar. Dalam kasus yang parah, bahkan dapat meluas ke area yang luas di mana seluruh
kulit telapak bahkan dapat terkelupas. Tinea pedis inflamasi atau vesicular dengan bentuk
lesi bula muncul dalam bentuk bulat, polisiklik, seperti herpes atau secara bertahap menyebar
cluster dengan basis eritematosa dan terlokalisasi pada lengkung kaki, sisi kaki, jari kaki dan
28

lipatan sub-digital. Vesikel baru berkembang di area tepi, dengan celah sering muncul. Tinea
pedis ulseratif dengan lesi biasanya dimulai pada jari ketiga dan ruang interdigital keempat.
Kemudian menyebar ke dorsum lateral dan permukaan plantar. Dalam kasus yang parah,
bahkan dapat meluas ke area yang luas di mana seluruh kulit telapak bahkan dapat
terkelupas. Tinea pedis moccasin foot memiliki lesi skuama hiperkeratotik kering, yang
terutama mempengaruhi seluruh permukaan plantar. Kemudian meluas ke kaki lateral. Pada
permukaan kaki dorsal, kaki biasanya jernih.
Pada pasien ini, terdapat lesi berupa skuama, eritem, pustule, dan krusta pada area ibu
jari kaki kanan. Kemudian pada area jari kedua kaki kanan didapatkan ujud kelainan kulit
berupa skuama, eritem, pustule, krusta. Dan pada area sela jari antara ibu jari kaki dan jari
kedua pada kaki kanan didapatkan ujud kelainan kulit berupa maserasi dan skuama.

Tatalaksana pada kasus tinea menurut teori yaitu antifungal yang dapat diberikan secara

topical atau sistemik. Pada pasien ini dilakukan pemberian antifungal secara sistemik dengan

ketoconazole, serta diberi antibiotik topikal yaitu asam fusidat untuk mengurangi infeksi

bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tinea pedis: The etiology and global epidemiology of a common fungal infection.
Macit Ilkit1 and Murat Durdu2 .Department of Microbiology, Faculty of
Medicine, University of Cukurova, Adana, Turkey and 2Department of
Dermatology, Ba ş kent University Adana Hospital, Adana, Turkey
2. DermNet NZ. Tinea pedis. DermNet NZ, 2013. Available from: www.
dermnetnz.org (Accessed Nov, 2014).

3. DermNet NZ. Majocchi granuloma. DermNet NZ, 2013. Available from:


www.dermnetnz.org (Accessed Nov, 2014).

4. Waterson L. Australian Journal of Pharmacy [Online]. 2017 [accessed 4 July


2018]. Available at: https://ajp.com.au/wp-content/uploads/2017/02/AYP-Bayer-
Fungal-infections.pdf

5. Khaled JM, Golah HA, Khalel AS, Alharbi NS,and Mothana RA, 2015.
Dermatophyte and non dermatophyte fungi in Riyadh City, Saudi Arabia. Saudi J
Biol Sciv. Sep 2015;22(5). PMC 4537868
29

6. Drakensjo ̈ IT, Chyrssanthou E. (2011). Epidemiology of dermatophyte infections


in Stockholm, Sweden. A retrospective study from 2005– 2009. Med Mycol
49:484–8.
7. Martin SJ, Duvic M. (2012). Prevalence and treatment of palmoplantar
keratoderma and tinea pedis in patients with Se ́zary syndrome. Int J Dermatol
51:1195–8.

8. Courtney MR. 2009. Tinea pedis [homepage on the internet]. Birmingham:


Associated Dermatologist. [update 2014 Dec 10]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1091684- overview

9. Hakim MBI. Prevalensi dan faktor resiko terjadinya Tinea pedis pada pekerja
pabrik tesktil [Tesis]. Semarang; Universitas Dipenogoro; 2014.

10. Kutlubay Z, Yardımcı G, Kantarcıoğlu AS, Serdaroğlu S. Acral manifestations of


fungal infections. Clinics in dermatology. 1 Jan 2017;35(1):28-39.

11. Viegas C, Sabino R, Parada H, Brandão J, Carolino E, Rosado L, Veríssimo C.


Diagnosis of Tinea pedis and onychomycosis in patients from Portuguese National
Institute of Health: a four-year study. Saúde & tecnologia. 2013;10:36-41.

12. Achterman RR, White TC. A foot in the door for dermatophyte research. PLoS
pathogens. 29 Mar 2012;8(3):e1002564.

13. Moriarty B, Hay R, Morris-Jones R. The diagnosis and management of tinea.


BMJ. 10 Jul 2012;345:e4380.
14. Grumbt M, Monod M, Yamada T, et al. (2013). Keratin degradation by
dermatophytes relies on cysteine dioxygenase and a sulfit efflux pump. J Invest
Dermatol 133:1550–5.
15. Mendez-Tovar LJ. (2010). Pathogenesis of dermatophytosis and tinea versicolor.
Clin Dermatol 28:185–9.
16. Brasch J. (2010). Pathogenesis of tinea. J Dtsch Dermatol Ges 8: 780–6.
17. Ozturk P, Arıcan O, Kurutas EB, et al. (2013). Local oxidative stress in
interdigital tinea pedis. J Dermatol 40:114–17.
18. Ilkit M, Durdu M, Karakas ̧ M. (2012a). Cutaneous id reactions: a comprehensive
review of clinical manifestations, epidemiology and management. Crit Rev
Microbiol 38:191–202.
19. Ilkit M, Durdu M. Tinea pedis: the etiology and global epidemiology of a
common fungal infection. Critical reviews in microbiology. 3 Jul 2015;41(3):374-
88.
20. Diongue K, Ndiaye M, Diallo MA, Seck MC, Badiane AS, Diop A, et al. Fungal
interdigital tinea pedis in Dakar (Senegal). Journal de mycologie medicale. 1 Dec
2016;26(4):312-6.
21. Moriarty B, Hay R, Morris-Jones R. The diagnosis and management of tinea.
BMJ. 10 Jul 2012;345:e4380.

22. Ilkit M, Durdu M. Tinea pedis: the etiology and global epidemiology of a
common fungal infection. Critical reviews in microbiology. 3 Jul 2015;41(3):374-
88.
30

23. Panduan Praktik Klinis. Bagi Dokter Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.2017

Anda mungkin juga menyukai