Anda di halaman 1dari 2

TINEA PEDIS (DERMATOFITOSIS)

No.Dok :
No.Revis
:
SOP i
Tanggal :
Halaman : 1/2
UPT Dr. DARSONO
PUSKESMAS NIP.
KUNCIRAN 197901152008011004

1. Pengertian Tinea pedis atau athlete’s foot adalah infeksi jamur dermatofita
yang memiliki sifat mencernakan keratin di jaringan yang
mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
Sumber penularan dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik),
binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik).
Penyebab : trichophyton rubrum.
Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang dalam kehdupan
sehari-hari banyak memakai sepatu tertutup disertai perawatan kaki
yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering
basah. Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering
dilihat di Indonesia.

2. Anamnesis Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien datang dengan


bercak merah bersisik yang gatal. Adanya riwayat kontak dengan
orang yang mengalami dermatofitosis.
Faktor resiko :
1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
3. Obesitas
4. Diabetes Melitus

3. Pemeriksaan Gambaran umum:


Fisik Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas tegas, dengan bagian
tepiy ang lebih aktif daripada bagian tengah, dan konfigurasi
polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit berambut terminal,
berambut velus (glabrosa) dan kuku.

4. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah berdasarkan lokasi,
yaitu antara lain:
1. Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris : pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manum : pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium : pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis : pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5
tinea di atas.
7. Tinea Imbrikata bila terjadi di seluruh tubuh

5. Diagnosis 1. Tinea Korporis :


Banding Dermatitis numularis, Pytiriasis rosea, Erythema annulare
centrificum, Granuloma annulare
2. Tinea Kruris :
Kandidiasis, Dermatitis intertrigo, Eritrasma
3. Tinea Pedis :
Hiperhidrosis, Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema
4. Tinea Manum :
Dermatitis kontak iritan, Psoriasis
5. Tinea Fasialis:
Dermatitis seboroik, Dermatitis kontak

6. Komplikasi Jarang ditemukan, komplikasi ringan yang dapat terjadi adalah


tinea manus dan unguium, selulitis, pioderma, limfangitis, atau
osteomyelitis adalah komplikasi berat yang dapat terjadi.
7. Pemeriksaan Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan
Penunjang KOH, akan ditemukan hifa panjang dan artrospora.

8. Terapi 1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian


secara bersamaan harus dihindari.
2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan
antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2
minggu kemudian untuk mencegah rekurensi.
3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap
terapi topikal, dilakukan pengobatan sistemik dengan:
 Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari
untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g per hari untuk anak-
anak atau 10-25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
 Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari;
Itrakonazol: 100 mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari
 Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari
setelah makan.

9. Konseling dan Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun
penyakit ini bukan merupakan penyakit yang berbahaya.

10. Kriteria Kriteria rujukan Pasien dirujuk apabila :


Rujukan 1. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
2. Terdapat imunodefisiensi.
3. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.

11. Peralatan -
12. Prognosis Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam,
sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad
sanationamnya menjadi dubia ad bonam.

13. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai