Anda di halaman 1dari 3

DERMATOFITOSIS

No. : 7.6.6.2/SOP/PKMSLBT/04
Dokumen
S
O No. Revisi : 00

P Tanggal : 19 januari 2017


Terbit

Halaman : 1/3

drg. Riska Rachmawati


NIP. 198108162006042012
UPT PPK BLUD
PUSKESMAS
SELABATU

1. Pengertian Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki sifat


mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Penularan terjadi melalui
kontak langsung dengan agen penyebab. Sumber penularan dapat berasal dari
manusia (jamur antropofilik), binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur
geofilik).

Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah berdasarkan lokasi, yaitu antara


lain:

1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.


2. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan
perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manum, pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea
di atas. Bila terjadi di seluruh tubuh disebut dengan tinea imbrikata.
2. Tujuan Sebagai acuan diagnosis dan tatalaksana penderita dermatofitosis
3. Kebijakan Surat Keputusan Kepala UPT PPK BLUD Puskesmas Selabatu Nomor 059
Tahun 2017 tentang layanan klinis yang menjamin kesinambungan pelayanan
4. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
5. Prosedur 1. Pemeriksa melakukan anamnesis
Pasien datang dengan keluhan bercak merah bersisik yang gatal. Adanya
riwayat kontak dengan orang yang mengalami dermatofitosis.
Faktor Risiko:
a. Lingkungan yang lembab dan panas
b. Imunodefisiensi
c. Obesitas
d. Diabetes Melitus
2. Pemeriksa melakukan Pemeriksaan Fisik

Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas tegas, dengan bagian tepi


yang lebih aktif daripada bagian tengah, dan konfigurasi polisiklik. Lesi
dapat dijumpai di daerah kulit berambut terminal, berambut velus
(glabrosa) dan kuku.

3. Pemeriksa mengirim pasien ke laboratorium


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan hifa panjang dan
artrospora.
4. Pemeriksa menegakkan diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
5. Pemeriksa melakukan penatalaksanaan
a. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara
bersamaan harus dihindari.
b. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
antifungal topikal seperti krim mikonazol yang diberikan hingga lesi
hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk mencegah
rekurensi.
c. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi topikal,

2/3
dilakukan pengobatan sistemik dengan:
- Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk
orang dewasa dan 0,25 0,5 g per hari untuk anak- anak atau 10-
25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
- Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari.

Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah


makan.

Konseling dan Edukasi

Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi pasien dan
keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun penyakit ini bukan
merupakan penyakit yang berbahaya.

6. Diagram Alir
ANAMNESIS
Bercak merah bersisik, gatal,
riwayat kontak, factor resiko

PEMERIKSAAN FISIK
Lesi patogpnomonis pada
tempat predileksi

PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Medikamentosa

KONSELING DAN
EDUKASI

7. Unit Terkait Laboratorium


Poli Umum

3/3

Anda mungkin juga menyukai