Anda di halaman 1dari 56

KASUS INFEKSI

JAMUR
‘’ TINEA CORPORIS’’
KELOMPOK-8B
Nama Anggota Kelompok:

01 02
Ayu Monica Putri Okhe Rosmalia
C2021050004 C2021050039

03 04
Radifka Rifqi K Rizqa Ardita R
C2021050041 C2021050045
01
PENDAHULUAN
A.Tujuan Praktikum
Setelah mahasiswa menyelesaikan Modul 4 diharapkan dapat
mengevaluasi penatalaksanaan terapi pada penyakit yang
berhubungan dengan penyakit infeksi jamur berdasarkan pada
gejala,patofisiologi,data klinik,laboratorium serta diagnosa dokter
sehingga dapat memberikan rencana evaluasi atau saran terapi
farmakologis maupun non-farmakologis disertai dengan rencana
KIE (Konseling, Informasi, Edukasi)
B.Landasan Teori
➢ DEFINISI:Infeksi jamur adalah infeksi yang terjadi setelah terjadi invasi jamur (spora) pada tubuh manusia
termasuk diantaranya adalah susunan saraf pusat dan menimbulkan reaksi secara lokal maupun sistemik maupun
sistemik (Mutiawati, (Mutiawati, 2016).Tinea corporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai.
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin) kecuali telapak tangan,
telapak kaki, dan paha. Tinea korporis adalah infeksi jamur kulit diseluru wajah, tubuh, dan ekstremitas Tinea
korporis merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis seperti Negara Indonesia dan
dapat menyerang semua usia (Anggraini et al, 2015). Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh
jamur dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyta. Terdapat lebih dari 40 pasien dermatofita
yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah
tinea korporis. (Kang et al, 2019).
B.Landasan Teori
➢ EPIDEMOLOGI:Tinea corporis adalah dermatofitosis yang paling umum. Meskipun tinea corporis terjadi di
seluruh dunia, penyakit ini paling sering ditemukan di daerah tropis. Risiko seumur hidup tertular tinea corporis
diperkirakan 10-20%.Tinea corporis paling sering terjadi di anak-anak dan dewasa muda psca-pubertas. 18,43,44
kasus yang jarang dilaporkan terjadi pada periode bayi baru lahir.Tidak ada dominasi jenis kelamin.Manusia dapat
terinfeksi melalui kontak dekat dengan individu yang terinfeksi, hewan yang terinfeksi (khusunya anjing atau
kucing peliharaan), benda yang terkontaminasi, atau tanah yang terkontaminasi.Penularan jamur difasilitasi oleh
lingkungan yang lembab dan hangat, penggunaan handuk dan pakaian bersama, dan pemakaian oklusif. Faktor
predisposisi meliputi riwayat dermatofitosis ( misalnya tinea capitis, tinea pedia, tinea cruris, dan tinea unguium),
anggota keluarga yang terkena dampak secara bersamaan, hewan pemeliharaan di rumah, berkerumun di rumah,
paparan rekreasi, hyperhidrosis, imunodefisiensi, diabetes melitus dan kecenderungan genetic. (NCBI, 2021)
B.Landasan Teori
➢ ETIOLOGI:Tinea korporis dapat disebabkan oleh bebagai spesies dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan
Mycrosporum. Variasi penyebabnya dapat ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu namun demikian
yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, dan M. canis. Infeksi ini dapat
ditularkan dari hewan melalui M. canis atau Trichophyton mentagrophytes dan dari manusia melalui Trichophyton rubrum
(Rihtmaja, 2015)
➢ PATOFISILOGI:Tinea korporis banyak diderita oleh orang-orang yang kurang menjaga kebersihan, banyak bekerja di
tempat panas, yang banyak berkeringat, serta kelembaban kulit yang lebih tinggi. Jalan masuk yang memungkinkan pada
infeksi dermatofita adalah kulit yang luka, jaringan perut dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia, pathogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu menghasilkan
enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan pathogen
dari tempat infeksi sehingga pathogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing. (Putri, et al,2017)
B.Landasan Teori
Infeksi dermatofilia terjadi melalui tiga tahap : adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.

● Adhesi pada keratinosit:Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barrier agar arytokonidi sebagai elemen
yang infeksius dapat menempel pada keratin
● Penetrasi:Setelah adhesi spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada stratum korneum. Penentrasi
didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi
ini.Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada pathogenesis
tinea.
● Perkembangan respon host:Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan
organisnme itu sendiri.Deteksi imun dan kemotaksi pada sel yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme.Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri.
(Ahmad, et al, 2017)
B.Landasan Teori
➢ Tanda dan Gejala:Lesi inflamasi dan non inflamasi,Gatal,Kemerahan,Skauma, krusta, vesikel, sering
berkembang Munculnya ruam
➢ Diagnosis:Ditemukannya lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi.Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang
lain.Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu.Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokasinya atau pemeriksaan
sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 2%, untuk melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur
diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang lebih akurat.Diagnosis pasti digunakan untuk
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora
untuk mengetahui infeksi dermatofit, infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi
dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (Brescini, et al, 2020)
B.Landasan Teori
➢ PENATALAKSANAAN:Menurut Badan POM RI (2011),dikatakan bahwa penatalaksanaan non medik
adalah sebagai berikut:Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh
lainnya,Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang yang
terinfeksi,Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah penyebaran
jamur tersebut,Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.,Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang
dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat
sirkulasi udara,Sebelum menggunakan sepatu,sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu
yang menempel pada sepatu,dan Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur,gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
B.Landasan Teori
Mengilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi kering dan memakai baju yang menyerap keringat.

● Terapi topical,Terapi direkomendasikan untuk infeksi local karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam
preparat imidazole dan alilamin tersedia dalam berbagai formula. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Tetapi
topical digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topical azol dan alilamin menunjukkan angka
perbaikan klinik yang tinggi. Berikut obat yang sering digunakan yg pertama,topical azol terdiri atas econazol 1%,ketoconazole
2%,clotrinazol 1%,dan miconazol 2%,Derivate imidazole bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada
pembentukan ergosterol membrane sel jamur.yang kedua yaitu Alilamin bekerja menghambat allosteric dan enzim jamur skualen 2,3
apoksidase, sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membrane sel jamur yaitu aftifine 1% , buternafin 1%,
tebirnafin 1% ( fungisida bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.Yang
ketiga yaitu sikloklopirosolamin 2% ( cat kuku, krim, dan losion ) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada
konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur yang merupakan agen topical yang bersifat fungisida dan fungistatik,
antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.Yang terakhir kortikosteroid topical yang rendah sampai medium bisa
ditambahakan pada regimen anti jamur topical untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama
dan terapi.
B.Landasan Teori
● Terapi sistemik:Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat jamur (OAJ)
sistemik dapat digunakan pada kasus hyperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis,
pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsive maupun intoleran terhadap (OAJ) topical.

A. Griseofulvin obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada penggobatan
infeksi dermatofit genus Trichophyton, Epidermophyton,dan Mycrosporum. Bekerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metaphase.

B. Ketokonazol merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungiastik, termasuk golongan imidazole.
Absropsi optimum bila susunan asam.

C. Itrakonazol merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spectrum luas, bersifat fungiastik dan efektif untuk
dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea.

D. Amfoterisin B merupakan antijamur golongan polyen yang diproduksi oleh stratomyces nodosus.
(Kuswadji,2017)
B.Landasan Teori
➢ Farmakoterapi:Pengobatan standar tinea corporis adalah dengan antijamur topikal dan terdapat bukti keunggulan
antijamur topikal dibandingkan penggunaan plasebo. Tinea corporis yang terlokalisasi atau superfisial biasanya berespon
terhadap terapi antijamur topikal yang diterapkan pada lesi dan setidaknya 2 cm di luar lesi sekali atau dua kali sehari
selama 2-4 minggu. Agen antijamur topikal yang umum digunakan termasuk azoles (misalnya econazole, ketoconazole,
miconazole, klotrimazol, miconazole, oxiconazole, sulconazole, sertaconazole, eberconazole, dan luliconazole),
allylamines (misalnya naftifine, terbinafine), benzylamine (butenafine), ciclopirox, dan tolnaftate. Dalam hal ini, nistatin,
yang merupakan pengobatan efektif untuk infeksi Candida, tidak efektif untuk tinea corporis. Dalam meta-analisis tahun
2013 terhadap 65 uji coba (uji coba dengan pembanding umum dan uji coba head-to-head) yang melibatkan 14 antijamur
topikal, tidak ada perbedaan yang signifikan di antara antijamur tersebut mengenai hasil penyembuhan mikologis pada
akhir pengobatan. Perbandingan berpasangan antijamur topikal menunjukkan bahwa butenafine, naftifine, dan terbinafine
secara signifikan lebih efektif dalam mempertahankan hasil penyembuhan. Tinjauan Cochrane pada tahun 2014
menunjukkan bahwa pengobatan individu dengan terbinafine dan naftifine efektif dan memiliki sedikit efek samping
ringan. Agen antijamur topikal umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
B.Landasan Teori
LANJUTAN..

Efek samping jarang terjadi, kecuali pada kasus dermatitis kontak yang jarang terjadi. Penyebab umum kegagalan pengobatan termasuk
kepatuhan yang buruk, resistensi obat, infeksi ulang melalui kontak dekat dan auto-inokulasi, serta kesalahan diagnosis. Beberapa penulis
menyarankan penambahan kortikosteroid topikal pada agen antijamur topikal, terutama pada individu dengan dermatomikosis
inflamasi.Pengobatan antijamur sistemik diindikasikan jika lesinya luas, dalam (misalnya granuloma Majocchi), berulang, kronis, atau tidak
responsif terhadap pengobatan antijamur topikal; jika pasien mengalami defisiensi imun; atau jika ada beberapa lokasi lesi. Uji coba kontrol
acak mendukung kemanjuran pengobatan sistemik dengan agen antijamur oral. Agen antijamur oral yang digunakan untuk pengobatan tinea
corporis termasuk itrakonazol (anak-anak: 3–5 mg/kg/hari [maksimum 200 mg/hari]; dewasa: 200 mg/hari), flukonazol (anak-anak: 6 mg/kg
sekali seminggu [maksimum: 200 mg sekali seminggu]; dewasa: 200 mg sekali seminggu), butiran terbinafine (anak-anak: <25 kg, 125
mg/hari; 25–35 kg, 187,5 mg/hari; >35 kg, 250 mg/hari hari), dan tablet terbinafine (anak-anak: 10–20 kg, 62,5 mg/hari; 21–40 kg, 125
mg/hari; >40 mg, 250 mg/hari; dewasa: 250 mg/hari). Durasi pengobatan bervariasi, tergantung responnya. Durasi pengobatan yang biasa
adalah 2-4 minggu tetapi mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk kasus-kasus yang bandel. Ketokonazol oral harus dihindari karena
risiko hepatotoksisitas, insufisiensi adrenal, dan interaksi obat.
B.Landasan Teori
LANJUTAN..

Griseofulvin oral (tidak tersedia di banyak negara, termasuk Kanada) kurang efektif, memiliki lebih banyak efek
samping, dan memerlukan durasi terapi yang lebih lama. Dengan demikian, griseofulvin oral bukanlah obat pilihan
dalam pengobatan tinea corporis. Terapi kombinasi dengan agen antijamur oral dan topikal dapat meningkatkan angka
kesembuhan.Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian tinea corporis yang refrakter terhadap pengobatan terbinafine
telah meningkat. Terbinafine bekerja dengan menghambat enzim squalene epoxidase, yang bertanggung jawab untuk
sintesis ergosterol – komponen penting dari dinding sel jamur. Resistensi terhadap terbinafine sebagian besar
disebabkan oleh mutasi titik pada gen target squalene epoxidase ( SQLE ). Identifikasi mutasi titik dapat dicapai
dengan sekuensing DNA gen SQLE isolat jamur. Dosis subterapeutik, ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dan
penyalahgunaan sediaan topikal yang dijual bebas yang menggabungkan antijamur dengan kortikosteroid juga
mungkin menjadi penyebabnya (NCBI, 2021)
BAB II
KASUS
BAB-II
A. Kasus

Seorang pasien perempuan berusia 39 tahun dating ke poliklinik spesialis kulit dan kelamin di PKU
Muhammadiyah Gombong dengan keluhan gatal pada punggung tangan kiri, pada kiri kanan, dan pada
perut yang dirasakan sejakkurang lebih 2 minggu yang lalu. Awalnya keluhan muncul di area perut, dan
lama kelamaan keluhan juga muncul di tangan dan kaki. Pasien akan merasakan semakin gatal ketika
berkeringat dan saat udara panas. Selain itu juga kulit pasien terkelupas. Pasien ini sering sekali memakai
baju ketat dan yang tidak menyerap keringat. Pasien belum pernah mendapatkan terapi terkait dengan
keluhannya, hal ini karena keluhan sudah dirasakan sejak 4 tahun yang lalu dan hilang timbul. Pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus tipe-2 sejak 5 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat
hipertensi. Riwayat alergi obat dan alergi makanan disangkal. Tidak ada keluarga yang mengalami
keluhan yang serupa dengan pasien.
BAB-II
B. Laporan Kasus

a. Identitas pasien

· Ruang :Poliklinik spesialis kulit dan kelamin di PKU Muhammadiyah


Gombong

· Umur : 39 tahun

· Jenis kelamin : Perempuan

· Diagnosa : Tinea korporis

.
BAB-II
b. Subyektif

a) Keluhan utama : Gatal pada punggung tangan kiri, pada kiri kanan, dan pada perut yang
dirasakan sejakkurang lebih 2 minggu.

b) Riwayat keluarga : -

c) Riwayat penyakit dahulu :

· Pasien memiliki riwayat diabetes tipe 2 yang terkontrol dengan Glibenklamid 5mg.

· Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol dengan amlodipine 10mg.


BAB-II
Parameter Hasil

c. Obyektif Suhu Afebris

Tanda vital ⇨ Nadi 89 x / menit

RR 20 x / menit

Tekanan darah 145/98 mmHg


(hipertensi)

GDS 250
BAB-II
Nama obat Aturan pakai

Terapi yang sudah Glibenklamid 5mg 2x1

Amlodipine 10mg 1x1 malam


diberikan ⇨ hari

Metilprednisolon 8mg 3x1

Cetirizine 10mg 2x1

Ketoconazole 200mg 1x1


TABEL SOAP
Gatal pada punggung tangan kiri, pada kiri kanan, dan pada perut.
Subyektif
Obyektif Bagian abdomen tampak macula hiperpigmentasi berbentuk polisiklik
dengan skuama diatasnya dan sebuah krusta dengan dasar eritema yang
tersebar did bagian abdomen.T ampak macula hiperpigmentasi dan macula
eritematosa berbatas jelas disertai dengan skauma di atasnya di genue
sinistra hingga 1/3 proksimal kruris anterior sinistra

Pemilihan obat kurang tepat


Assessment
Planning Menyarankan dokter untuk menambahkan ketoconazole krim2% sebagai
obat kombinasi terapi topical dan sistemik.

Monitoring gatal dan efek samping obat


Monitoring
LITERATUR TENTANG ASSESMENT
TABEL SOAP
Subyektif Diabetes mellitus tipe-2

Obyektif GDS 250

Assessment Pemilihan obat sudah tepat, terapi dapat dilanjutkan

Planning Monitoring

Monitoring Kadar gula darah


LITERATUR TENTANG ASSESMENT
TABEL SOAP
Subyektif Hipertensi

Obyektif 145/98 mmHg

Assessment Pemilihan obat sudah tepat, terapi dapat dilanjutkan

Planning Monitoring

Monitoring Tekanan Darah


LITERATUR TENTANG ASSESMENT
TABEL SOAP
Subyektif Kulit terkelupas

Obyektif Berkeringat saat udara panas dan pemakaian baju ketat yang tidak
menyerap keringat

Assessment Pemilihan obat kurang tepat, terapi tidak dapat dilanjutkan

Planning Menyarankan dokter untuk tidak memberikan methyprednisolon


dan bisa diberikan cetirizine dengan pemakaian cetirizine 10 mg
2x1 menjadi cetirizine 10 mg 1x1

Monitoring Monitoring efek samping obat dan keadaan kulit saat panas dan
berkeringat
LITERATUR TENTANG ASSESMENT
BAB-II
D. KIE

1. Menjaga kebersihan badan dengan mandi 2x sehari

2. Sering mengganti pakaian jika lembab

3. Tidak memakai pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat

4. Memberitahukan pada pasien bahwa pengobatan memerlukan waktu yang lama

5. Tidak menggunakan sabun, handuk atau pakaian berganti-gantian dengan sesame anggota
keluarga
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Nama Obat Glibenclamid 5 mg 2x1
dan Dosis
Indikasi Glyburide, atau glibenclamide, adalah sulfonylurea generasi kedua yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengobati diabetes tipe 2. Obat ini tersedia sebagai formulasi generik.
Glyburide adalah terapi tambahan bersamaan dengan diet dan olahraga untuk mengelola
diabetes,Pengobatan dengan gliburida telah dan terus berhasil menurunkan kadar glukosa darah dan juga
tersedia dalam formulasi kombinasi dengan metformin. Dosis umum untuk glyburide relatif kecil
dibandingkan dengan sulfonilurea generasi pertama, dan dosis biasanya merupakan dosis pagi sekali
sehari.Menurut pembaruan Standar Perawatan Medis Diabetes Amerika (ADA) pada tahun 2023,
sulfonilurea seperti glyburide dianggap sebagai salah satu dari beberapa pilihan terapi tambahan, terutama
bagi pasien yang mencari agen yang sangat manjur dengan kemungkinan lebih besar untuk mencapai
tujuan glikemik mereka.Rekomendasi ini berfokus pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
memiliki penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau penyakit ginjal kronis dan belum mencapai target
HbA1C meskipun pilihan pengobatan lini pertama sudah melelahkan.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Kontraindikasi OBAT
Terapi Glyburide tidak boleh dimulai kembali jika pasien memiliki riwayat reaksi alergi terhadap
obat tersebut. Namun, pasien yang sebelumnya memiliki reaksi alergi terhadap obat-obatan di kelas
yang sama belum tentu bereaksi terhadap gliburidaSelain itu, pemberi resep harus berhati-hati saat
menggunakan glyburide pada pasien rawat inap, yang mengalami malnutrisi, menyalahgunakan
alkohol, mengalami disfungsi ginjal dan jantung, atau menderita penyakit gastrointestinal.

Mekanisme Glyburide,bersama dengan kelas sulfonilurea lainnya, menggunakan mekanisme kerjanya berdasarkan

Kerja peningkatan sekresi insulin dari sel beta di pankreas.Secara khusus, sulfonilurea berikatan dengan
reseptor SUR1 di membran sel beta saluran yang bergantung pada kalium ATP. Agen-agen ini
memblokir saluran-saluran ini, melepaskan insulin setelah sel mengalami depolarisasi.Kadang-
kadang, sulfonilurea berikatan dengan reseptor SUR2 pada sel di jaringan jantung dan endotelium.
Setelah sekresi insulin awal, sulfonilurea juga dapat menurunkan pembersihan insulin di hati,
sehingga meningkatkan kadar insulin plasma. Glyburide, bersama dengan glipizide, diklasifikasikan
sebagai sulfonilurea generasi kedua karena peningkatan potensi dan perbedaan eliminasi, sehingga
memungkinkan penggunaannya pada pasien dengan disfungsi ginjal dan hati
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Efek
OBAT
Hipoglikemia dan penambahan berat badan adalah efek samping glyburide yang paling sering ditemui.

Samping Meskipun glyburide adalah salah satu sulfonilurea paling populer yang diresepkan, tinjauan sistematis
yang dilakukan oleh ADA menemukan bukti yang menunjukkan bahwa glyburide berkorelasi dengan
risiko episode hipoglikemik yang jauh lebih tinggi dibandingkan sulfonilurea sekretagog insulin lainnya
masing-masing sebesar 80% dan 44%.Namun, episode ini paling sering terlihat dengan dosis awal
gliburida yang lebih tinggi dan pada pasien yang baru didiagnosis, terutama mereka yang berusia 65
tahun ke atas.Karena alasan ini, dokter harus mempertimbangkan faktor spesifik pasien dan kerentanan
terhadap episode hipoglikemik ketika mempertimbangkan resep glyburide untuk pasien yang belum
pernah menggunakan sulfonilurea.Karena risiko hipoglikemia parah yang berkepanjangan akibat
sulfonilurea kerja lama (dan risiko jatuh berikutnya), glyburide terdaftar pada Kriteria Bir American
Geriatrics Society 2019 sebagai obat yang berpotensi tidak tepat pada mereka yang berusia 65 tahun ke
atas.Efek samping yang kecil kemungkinannya terjadi dengan glyburide dan sulfonilurea lainnya
termasuk ruam kulit, mual, dan kepekaan terhadap cahaya pada kejadian yang jarang terjadi.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Monitoring
OBAT
Karena tingkat glyburide untuk hipoglikemia bisa lebih tinggi dibandingkan obat antidiabetik oral
lainnya, pemantauan ketat terhadap tanda dan gejala penurunan kadar glukosa darah diperlukan.
Hipoglikemia dapat mengancam jiwa, dan tindakan yang tepat harus diambil jika kondisi ini terjadi
pada pasien mana pun. Pemantauan glyburide juga diperlukan untuk pasien dalam keadaan yang
memicu timbulnya hipoglikemia, termasuk olahraga, kurang makan, dan overdosis yang tidak
disengaja. Untuk memastikan keselamatan pasien, penting untuk mewaspadai tanda dan gejala
hipoglikemia saat memulai terapi glyburide. Pasien harus dididik tentang pemantauan mandiri kadar
glukosa darah dan mematuhi jadwal tes glukosa darah dan HbA1C yang dijadwalkan secara rutin
sesuai rekomendasi ADA.Glyburide dan sulfonilurea lainnya juga dapat menyebabkan disfungsi hati,
berpotensi menyebabkan penyakit kuning kolestatik, hepatitis, dan gagal hati, meskipun hal ini
jarang terjadi. [9] Pada pasien dengan disfungsi hati, pemantauan tes fungsi hati mungkin
diperlukan.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
AmlodipineOBAT
Nama Obat dan Dosis
10 mg

Indikasi Amlodipine diindikasikan untuk pengobatan lini pertama hipertensi dan dapat
digunakan sebagai agen tunggal untuk mengontrol tekanan darah pada sebagian
besar pasien. Pasien yang tidak cukup terkontrol dengan obat antihipertensi tunggal
(selain amlodipin) dapat memperoleh manfaat dari penambahan amlodipin, yang
telah digunakan dalam kombinasi dengan diuretik thiazide, blocker, adrenoceptor
blocking agent, atau ACE inhibitor.Pengobatan lini pertama iskemia miokard baik
karena obstruksi tetap (angina stabil) dan atau vasospasme/vasokonstriksi (angina
Prinzmetal atau varian) atau pembuluh darah koroner.Dapat digunakan jika
presentasi klinis menunjukkan kemungkinan vasospastik/vasokonstriksi belum
dikonfirmasi. Sebagai monoterapi atau kombinasi dengan obat antiangina lain pada
pasien dengan angina yang refrakter terhadap nitrat dan atau penyekat dosis
memadai.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Kontraindikasi Hipersensitif

Mekanisme Kerja Amlodipine bekerja dengan cara menghambat influks kalsium ke


dalam sel otot polos pembuluh darah dan sel miokardium,
sehingga menurunkan resistensi vaskular perifer. Amlodipine
diindikasikan pada pasien hipertensi dan angina. Amlodipine
memiliki afinitas kuat terhadap membran sel.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Efek Samping OBAT
Pemakaian obat umumnya memiliki efek samping tertentu dan sesuai dengan masing-masing
individu. Jika terjadi efek samping yang berlebih dan berbahaya, harap konsultasikan kepada tenaga
medis. Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah: Sakit kepala, pusing,
mengantuk, debaran jantung, sakit perut, mual, edema, kelelahan. Pasien (6-17 thn): Vasodilatasi,
epistaksis, kelemahan.Monitoring :

Monitoring Pengawasan klinis pada penggunaan amlodipine diperlukan terkait respon terapi. Amlodipine diberikan dalam
dosis awal 5 mg pada pasien dewasa. Dosis awal 2,5 mg dapat diberikan pada pasien dengan ukuran badan
yang kecil, lansia, pasien gangguan hepar, atau pasien yang sudah mengonsumsi obat antihipertensi lain.
Selanjutnya, dapat dilakukan titrasi dosis sesuai respon klinis pasien.Pada pasien hipertensi peningkatan dosis
dilakukan setiap 7-14 hari. Dosis dapat ditingkatkan hingga 10 mg dengan tujuan pasien mencapai target
tekanan darah.Kejadian efek samping juga perlu dievaluasi. Secara umum, amlodipine dapat ditoleransi
dengan baik dan jarang menimbulkan efek samping berat. Pemantauan efek samping dapat diperlukan pada
pasien lansia, pasien dengan gangguan fungsi hepar, saat memulai terapi, dan saat menaikkan dosis.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
MetilprednisoloneOBAT
Nama Obat dan
8 mg 3x1
Dosis
Indikasi Methylprednisolone adalah kortikosteroid sintetik sistemik, yang, sama seperti
glukokortikoid alami, memberikan berbagai efek fisiologis.Penggunaan klinis
metilprednisolon terutama disebabkan oleh aktivitas anti-inflamasi dan imunosupresifnya
dalam tubuh manusia.metilprednisolon disubkategorikan berdasarkan penggunaannya dalam
sistem organ yang berbeda:Dalam dermatologi, obat ini mempunyai kegunaan dalam
menangani dermatitis atopik, dermatitis kontak, pemfigus vulgaris, dan foliaceus, pemfigus
bulosa, eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal
toksik.Dalam endokrinologi, obat ini digunakan untuk menangani hiperplasia adrenal
kongenital, hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker, dan sebagai pengobatan lini
kedua bersama dengan mineralokortikoid untuk insufisiensi adrenokortikal primer atau
sekunder.Dalam gastroenterologi, penggunaan metilprednisolon adalah untuk eksaserbasi
akut penyakit radang usus.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Kontraindikasi Kontraindikasi metilprednisolon meliputi pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat atau
komponennya, infeksi jamur sistemik, pemberian intratekal, vaksin virus hidup atau
dilemahkan, purpura trombositopenik idiopatik, atau pada bayi prematur.Seperti semua
glukokortikoid lainnya, metilprednisolon harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien
dengan tukak lambung, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung, penyakit
menular tertentu seperti varicella dan psikosis tuberkulosis, diabetes, osteoporosis, atau
glaukoma.

Mekanisme Metilprednisolon dan turunannya, metilprednisolon asetat suksinat, dan natrium


Kerja metilprednisolon, merupakan glukokortikoid sintetik kerja menengah. Mereka
digunakan terutama sebagai agen anti-inflamasi atau imunosupresif.
Methylprednisolone lima kali lebih kuat dalam sifat anti-inflamasi dibandingkan
hidrokortison (kortisol), dengan aktivitas mineralokortikoid minimal dibandingkan
hidrokortison.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Efek Samping Efek signifikan yang tidak diinginkan dari glukokortikoid diakibatkan oleh kerja
hormonalnya, yang mengarah pada gambaran klinis sindrom Cushing iatrogenik. Pembulatan
wajah, bengkak, timbunan lemak, dan kebanyakan biasanya muncul (fasies bulan). Lemak
cenderung didistribusikan kembali dari ekstremitas ke batang tubuh, bagian belakang leher,
dan fossa supraklavikula. Terjadi peningkatan pertumbuhan rambut halus di wajah, paha, dan
batang tubuh. Jerawat belang-belang yang disebabkan oleh steroid mungkin muncul,dan
insomnia serta peningkatan nafsu makan juga merupakan efeknya.Dengan penggunaan
metilprednisolon secara bersamaan, katabolisme protein akan berlanjut, mengalihkan asam
amino ke produksi glukosa,sehingga meningkatkan kebutuhan insulin dan seiring waktu
mengakibatkan penambahan berat badan. Miopati dan pengecilan otot dapat terjadi, serta
penipisan kulit, disertai striae dan memar.Hiperglikemia dan akhirnya osteoporosis dapat
berkembang, begitu pula diabetes dan nekrosis aseptik pada pinggul.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Monitoring
OBAT
Terjadi penghambatan pertumbuhan.Tekanan darah, glukosa darah, elektrolit, berat
badan, kepadatan mineral tulang, penekanan sumbu HPA hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPA), dan tekanan intraokular semuanya memerlukan pemantauan pada
pasien yang memakai metilprednisolon. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan
harus dilakukan pada anak-anak.Pasien yang menerima metilprednisolon harus
dimonitor secara hati-hati untuk mengetahui perkembangan hiperglikemia, glikosuria,
retensi natrium dengan edema atau hipertensi, hipokalemia, tukak lambung,
osteoporosis, dan infeksi tersembunyi.Dosisnya harus serendah mungkin. Bahkan
pasien yang dirawat dengan metilprednisolon dosis rendah mungkin memerlukan
terapi tambahan pada saat stres, seperti selama operasi, penyakit penyerta, atau terjadi
trauma.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Nama Obat dan OBAT
Cetirizine 10 mg 2x1
Dosis
Indikasi Cetirizine HCl merupakan obat yang dapat membantu mengatasi gejala
alergi, seperti hidung tersumbat, pilek, bersin-bersin, mata berair, rasa gatal
pada bagian mata, hidung dan, serta ruam pada kulit. Obat Cetirizine
mengandung bahan zat aktif, yaitu cetirizine hydrochloride (HCl). Cara
kerja obat ini yaitu untuk menghalangi kerja senyawa histamin yang
diproduksi oleh tubuh saat terpapar oleh alergen. Senyawa histamin ini
menjadi penyebab munculnya reaksi alergi.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Kontraindikas Penggunaan obat cetirizine dikontraindikasikan jika terdapat riwayat alergi
i terhadap obat ini, atau komponennya, atau dengan obat yang segolongan, seperti
hydroxyzine.

Mekanisme Cetirizine merupakan suatu metabolit aktif dari piperazine hydroxyzine, suatu
Kerja antagonis reseptor histamin H1 generasi kedua, bersifat selektif di perifer, dengan
mekanisme kerjanya berkompetisi dengan histamin untuk mengikatkan diri pada
reseptor-reseptor H1 di permukaan sel efektor. Efek terapi cetirizine sebagai
antialergi adalah dengan menekan gejala alergi yang berhubungan dengan
pelepasan histamin karena reaksi antigen dan antibodi. Efek samping obat yang
umum adalah mulut kering, dan efek sedasi.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Efek Samping Cetirizine aman dan dapat ditoleransi dengan baik untuk mengobati rinitis alergi dan
urtikaria. Meskipun jarang terjadi, efek samping utamanya pada orang dewasa meliputi
rasa mengantuk, kelelahan, faringitis, pusing, dan mulut kering.Rasa mengantuk akibat
cetirizine tampaknya berhubungan dengan dosis. Penelitian menunjukkan bahwa pada
beberapa pasien, cetirizine berkontribusi terhadap kantuk di siang hari.Anak-anak
yang mengonsumsi cetirizine paling sering mengalami efek samping yang serupa
dengan orang dewasa yang mengonsumsi cetirizine (somnol, kelelahan, dan mulut
kering). Anak-anak, khususnya, lebih mungkin mengalami sakit kepala dibandingkan
orang dewasa saat mengonsumsi cetirizine.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Monitoring
OBAT
Pengawasan klinis pemberian cetirizine, atau yang ditulis sebagai setirizin, dilakukan
terhadap efek terapi, serta efek samping, terutama efek sedasi. Pengawasan juga dilakukan
terhadap kemungkinan efek samping yang dapat timbul pada pasien lanjut usia, karena risiko
efek samping yang lebih tinggi. Pengawasan klinis juga harus dilakukan terhadap overdosis
cetirizine. Gejala overdosis ini berupa flushed skin, anhidrosis dan penurunan produksi
keringat, hipertermia, midriasis, halusinasi, delirium, dan retensi urine.Tidak terdapat terapi
spesifik untuk overdosis cetirizine. Terapi hanya diberikan secara suportif sesuai gejala yang
dialami. Pasien overdosis cetirizine juga memiliki risiko pemanjangan segmen QT, terutama
pada pasien yang mengonsumsi cetirizine dosis tinggi atau pasien yang juga mengonsumsi
obat lain yang memperpanjang segmen QT. Untuk itu, pasien harus menjalani monitoring
EKG setiap 4 tahun sampai kondisi klinis membaik
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Nama Obat dan OBAT
Ketoconazole 200 mg 1x1
Dosis
Indikasi Ketoconazole disetujui untuk digunakan dalam pengobatan infeksi jamur pada kulit dan infeksi
jamur sistemik.Ini termasuk blastomycosis, histoplasmosis, paracoccidioidomycosis,
coccidioidomycosis, dan chromomycosis. Penggunaan ketoconazole yang paling umum untuk
infeksi kulit adalah panu. Karena munculnya pilihan pengobatan infeksi jamur yang lebih efektif,
ketoconazole biasanya bukan lagi obat lini pertama. Ini hanya dapat menjadi pilihan jika pengobatan
lini pertama lainnya tidak tersedia atau tidak dapat ditoleransi oleh pasien.Penggunaan obat ini
memerlukan analisis risiko-manfaat yang cermat ketika memilih ketoconazole sebagai pengobatan
infeksi jamur. Dokter harus menghindari penggunaan ketoconazole dalam pengobatan onikomikosis,
dermatofit kulit, dan infeksi kandida.Ketoconazole tidak diindikasikan dalam pengobatan meningitis
jamur karena tidak menembus cairan serebrospinal. Beberapa penggunaan ketoconazole di luar label
termasuk sindrom Cushing dan kanker prostat.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Kontraindi
OBAT
Ketoconazole dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit hati akut atau kronis karena hubungannya dengan

kasi hepatotoksisitas, yang dapat berakibat fatal. Ini dikontraindikasikan pada insufisiensi adrenal karena ketokonazol
dosis tinggi menghambat fungsi adrenokortikal. Ketoconazole tidak boleh diberikan kepada pasien yang diketahui
memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap ketoconazole.Ketoconazole tidak boleh diberikan bersamaan dengan
inhibitor HMG-CoA reduktase karena dapat meningkatkan risiko miopati.Ketoconazole dikontraindikasikan pada
pasien yang memakai benzodiazepin karena dapat meningkatkan konsentrasi plasma dan menyebabkan sedasi.
Ketoconazole tidak boleh diberikan kepada pasien yang menggunakan obat antiaritmia, cisapride, pimozide,
quinidine, dan ranolazine karena dapat menyebabkan pemanjangan interval QT dan torsade de pointes.Pada pasien
dengan peningkatan kerapuhan tulang, seperti wanita pascamenopause dan lansia, ketoconazole harus digunakan
dengan hati-hati untuk menghindari risiko patah tulang. Enzim hati CYP3A4 memetabolisme ketoconazole, dan
penggunaannya memerlukan kehati-hatian pada pasien yang memakai obat yang menghambat CYP3A4 atau
dimetabolisme oleh CYP3A4.Ketoconazole juga dapat terdapat dalam ASI, sehingga tidak disarankan untuk
menyusui saat menggunakan obat tersebut..
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Mekanisme
OBAT
Ketoconazole bekerja sebagai agen antijamur dengan menghambat enzim sitokrom P450 14α-

Kerja demethylase. Enzim ini bertugas menghambat biosintesis trigliserida dan fosfolipid oleh jamur. Lebih
khusus lagi, ketoconazole menghambat sintesis lanosterol, prekursor yang diperlukan untuk
biosintesis ergosterol. Ergosterol diperlukan untuk menjaga keutuhan membran jamur. [6] Tanpa
ergosterol, fluiditas membran meningkat, yang pada gilirannya mencegah pertumbuhan jamur.
Ketoconazole, dalam dosis tinggi, dapat berikatan secara kompetitif dengan reseptor androgen, seperti
testosteron dan dihidrotestosteron, sehingga dapat menurunkan aktivitas testosteron dan
dihidrotestosteron pada kanker prostat. Ketoconazole juga dapat menghambat enzim 17-alpha-
hydroxylase dan 17,20-lyase, yang diperlukan untuk sintesis steroid di korteks adrenal, termasuk
testosteron.Ketoconazole menghambat aktivitas enzim 21-hidroksilase. Enzim ini penting untuk
mensintesis mineralokortikoid dan glukokortikoid, seperti kortisol, di korteks adrenal. [8] Dengan
menghambat enzim yang terlibat dalam sintesis kortisol, ketokonazol dapat menjadi pilihan
pengobatan untuk sindrom Cushing.
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
Efek Samping OBAT
Pemberian ketokonazol sistemik paling sering menyebabkan efek samping gastrointestinal. Ini termasuk
mual, muntah, sembelit, sakit perut, mulut kering, perut kembung, dan perubahan warna lidah. Ini juga dapat
menyebabkan insufisiensi adrenal karena perannya dalam penghambatan enzim dalam jalur sintesis steroid.
Penurunan sintesis kortisol dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.] Dalam dosis tinggi, juga dapat
menyebabkan ginekomastia pada pria.Ketoconazole dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah dan
penyakit kuning.Reaksi hipersensitivitas juga telah dilaporkan, seperti anafilaksis dan urtikaria. Ketoconazole
dosis tinggi terbukti menyebabkan peningkatan kerapuhan tulang panjang dan berujung pada patah tulang.
Efek samping lainnya termasuk intoleransi alkohol, penurunan jumlah trombosit, epistaksis, kelelahan, hot
flash, hiperlipidemia, insomnia, mialgia, gugup, paresthesia, dan edema perifer. Ketoconazole topikal dapat
menyebabkan reaksi dermatologis, termasuk pruritis, rasa perih, dan kekeringan di tempat penggunaan. Ada
juga laporan rambut kering, kulit kepala kering, dan rambut berminyak saat menggunakan sampo yang
mengandung ketoconazole. Efek samping yang kurang umum termasuk tekstur rambut abnormal, alopecia,
angioedema, dermatitis kontak, iritasi mata, sakit kepala, reaksi hipersensitivitas, impetigo, dan granuloma
piogenik
TABEL MONITORING EFEK SAMPING
OBAT
Monitoring Karena efek hepatotoksiknya, pasien yang memakai ketoconazole oral harus
dipantau fungsi hatinya, yaitu melalui tes fungsi hati seperti aspartate
transaminase (AST), alanine transaminase (ALT), alkalinephosphatese (ALP),
bilirubin, albumin, dan waktu protrombin. (PT).Tes fungsi hati harus dilakukan
pada awal, sering kali selama terapi ketokonazol, dan setelah terapi dihentikan.
Kadar kalsium dan fosfor periode direkomendasikan untuk pasien yang
menjalani terapi jangka panjang dengan ketoconazole. Fungsi adrenal juga
memerlukan pemantauan selama pengobatan dengan ketoconazole. Pemantauan
ini dapat dilakukan dengan mengukur kadar natrium, kalium, kortisol, dan
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dalam darah. [21]
DAFTAR PUSTAKA
Glibenklamid: ulasan. Narkoba. 1971; 1 (2):116-40. [ PubMed ]

ElSayed NA, Aleppo G, Aroda VR, Bannuru RR, Brown FM, Bruemmer D, Collins BS, Hilliard ME, Isaacs D, Johnson EL, Kahan S, Khunti
K, Leon J, Lyons SK, Perry ML, Prahalad P, Pratley RE , Seley JJ, Stanton RC, Gabbay RA, atas nama American Diabetes
Association 9. Pendekatan Farmakologis Pengobatan Glikemik: Standar Perawatan Diabetes-2023. Perawatan Diabetes. 01 Januari
2023; 46 (Tambahan 1):S140-S157. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]

Sola D, Rossi L, Schianca GP, Maffioli P, Bigliocca M, Mella R, Corlianò F, Fra GP, Bartoli E, Derosa G. Sulfonylureas dan penggunaannya
dalam praktik klinis. Ilmu Kedokteran Lengkungan. 2015 12 Agustus; 11 (4):840-8. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]

Qureshi M, Gammoh E, Shakil J, Robbins R. Update Penatalaksanaan Diabetes Tipe 2 untuk Ahli Jantung. Metodis Debakey Cardiovasc J.
2018 Oktober-Des; 14 (4):273-280. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]

Kimber-Trojnar Ż, Marciniak B, Patro-Malysza J, Skorzynska-Dziduszko K, Poniedzialek-Czajkowska E, Mierzynski R, Galczynski K,


Trojnar M, Leszczynska-Gorzelak B, Oleszczuk J. Apakah glyburide aman untuk kehamilan? Bioteknologi Curr Pharm. 2014; 15
(1):100-[ PubMed ]

Quianzon CC, Cheikh IE. Riwayat pengobatan non-insulin saat ini untuk diabetes melitus. Perspektif Magang Rumah Sakit Komunitas J. 2012;
2 (3) [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
DAFTAR PUSTAKA
LiverTox: Informasi Klinis dan Penelitian tentang Cedera Hati Akibat Obat [Internet]. Institut Nasional Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan
Ginjal; Bethesda (MD): 18 Mei 2017. Agen Antijamur. [ PubMed ]
Borgers M, Degreef H, Cauwenbergh G. Infeksi jamur pada kulit: proses infeksi dan terapi antimikotik. Target Narkoba Saat Ini. Desember
2005; 6 (8):849-62. [ PubMed ]
Agut J, Palacín C, Salgado J, Casas E, Sacristán A, Ortiz JA. Efek langsung sertaconazole yang merusak membran pada Candida albicans
sebagai mekanisme aktivitas fungisidanya. Arzneimittelforschung. 1992 Mei; 42 (5A):721-4. [ PubMed ]
Patel V, Liaw B, Oh W. Peran ketoconazole dalam perawatan kanker prostat saat ini. Nat Rev Urol. Oktober 2018; 15 (10):643-651. [ PubMed
]

Gupta AK, Lyons DC. Kebangkitan dan Kejatuhan Ketoconazole Oral. J Cutan Med Bedah. 2015 Juli-Agustus; 19 (4):352-7. [ PubMed ]

Daneshmend TK, Warnock DW. Farmakokinetik klinis ketoconazole. Farmakokin Klinik. 1988 Januari; 14 (1):13-34. [ PubMed ]

Kempen HJ, van Son K, Cohen LH, Griffioen M, Verboom H, Havekes L. Pengaruh ketoconazole pada sintesis kolesterol dan aktivitas HMG-
CoA reduktase dan reseptor LDL dalam sel Hep G2. Farmakol Biokimia. 15 April 1987; 36 (8):1245-9. [ PubMed ]

Lee HC, Tl Huang K, Shen WK. Penggunaan obat antiaritmia pada pasien lanjut usia. J Geriatr Kardiol. September 2011; 8 (3):184-94. [
Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
DAFTAR PUSTAKA
McGregor JA, Pont A. Kontraindikasi ketoconazole pada kehamilan. Am J Obstet Ginekol. 15 November 1984; 150 (6):793-4. [ PubMed ]

Yan JY, Nie XL, Tao QM, Zhan SY, Zhang YD. Hepatotoksisitas terkait ketoconazole: tinjauan sistematis dan meta-analisis. Ilmu Lingkungan
Biomed. Juli 2013; 26 (7):605-10. [ PubMed ]

Van Tyle JH. Ketokonazol. Mekanisme kerja, spektrum aktivitas, farmakokinetik, interaksi obat, efek samping dan penggunaan terapeutik.
Farmakoterapi. 1984 November-Desember; 4 (6):343-73. [ PubMed ]

Hu Z, He B, Ma L, Sun Y, Niu Y, Zeng B. Kemajuan Terkini dalam Biosintesis Ergosterol dan Mekanisme Regulasi di Saccharomyces
cerevisiae . Mikrobiol J India. September 2017; 57 (3):270-277. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]

Bhasin S, Sikka S, Fielder T, Sod-Moriah U, Levine HB, Swerdloff RS, Rajfer J. Efek hormonal ketoconazole in vivo pada tikus jantan:
mekanisme kerja. Endokrinologi. 1986 Maret; 118 (3):1229-32. [ PubMed ]

Engelhardt D, Weber MM, Miksch T, Abedinpour F, Jaspers C. Pengaruh ketoconazole pada steroidogenesis adrenal manusia: studi inkubasi
dengan irisan jaringan. Klinik Endokrinol (Oxf). 1991 Agustus; 35 (2):163-8. [ PubMed ]
DAFTAR PUSTAKA
Loli P, Berselli ME, Tagliaferri M. Penggunaan ketoconazole dalam pengobatan sindrom Cushing. J Clin Endokrinol Metab. 1986 Desember; 63 (6):1365-71.
[ PubMed ]

Torrelo A. Methylprednisolone aceponate untuk dermatitis atopik. Dermatol Int J. Juni 2017; 56 (6):691-697. [ PubMed ]
Lachapelle JM, Gimenez-Arnau A, Metz M, Peters J, Proksch E. Praktik terbaik, perspektif baru dan emolien sempurna: mengoptimalkan pengelolaan
dermatitis kontak. J Perawatan Dermatologis. Mei 2018; 29 (3):241-251. [ PubMed ]
Rose E, Wever S, Zilliken D, Linse R, Haustein UF, Bröcker EB. Terapi denyut deksametason-siklofosfamid intravena dibandingkan dengan terapi
metilprednisolon-azathioprine oral pada pasien dengan pemfigus: hasil penelitian acak prospektif multisenter. J Dtsch Dermatol Ges. 2005 Maret; 3
(3):200-6. [ PubMed ]
Del Pozzo-Magana BR, Lazo-Langner A, Carleton B, Castro-Pastrana LI, Rieder MJ. Tinjauan sistematis pengobatan sindrom Stevens-Johnson yang diinduksi
obat dan nekrolisis epidermal toksik pada anak-anak. J Popul Ada Klinik Farmakol. 2011; 18 :e121-33. [ PubMed ]
Speiser PW, Arlt W, Auchus RJ, Baskin LS, Conway GS, Merke DP, Meyer-Bahlburg HFL, Miller WL, Murad MH, Oberfield SE, White PC. Hiperplasia
Adrenal Bawaan Karena Defisiensi Steroid 21-Hidroksilase: Pedoman Praktik Klinis Masyarakat Endokrin. J Clin Endokrinol Metab. 01 November
2018; 103 (11):4043-4088. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
Unal S, Durmaz E, Erkoçoğlu M, Bayrakçi B, Bircan O, Alikaşifoğlu A, Cetin M. Koreksi cepat hiperkalsemia pada presentasi leukemia limfoblastik akut
menggunakan metilprednisolon dosis tinggi. Turki J Pediatr. 2008 Maret-April; 50 (2):171-5. [ PubMed ]
Rosenberg W, Irlandia A, Jewell DP. Metilprednisolon dosis tinggi dalam pengobatan kolitis ulserativa aktif. J Klinik Gastroenterol. Februari 1990; 12 (1):40-
1. [ PubMed ]
DAFTAR PUSTAKA
Smith MD, Ahern MJ, Roberts-Thomson PJ. Terapi pulse methylprednisolone pada rheumatoid arthritis: terapi yang tidak terbukti, terapi yang tidak dapat
dibenarkan, atau pengobatan tambahan yang efektif? Ann Rheum Dis. April 1990; 49 (4):265-7. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
Badsha H, Edwards CJ. Pulsa metilprednisolon intravena untuk lupus eritematosus sistemik. Semin Artritis Rheum. 2003 Juni; 32 (6):370-7. [ PubMed ]
Pyne D, Ioannou Y, Mootoo R, Bhanji A. Steroid intra-artikular pada osteoartritis lutut: studi perbandingan triamcinolone hexacetonide dan
methylprednisolone acetate. Klinik Reumatol. April 2004; 23 (2):116-20. [ PubMed ]
Garg N, Perry L, Deodhar A. Suntikan intra-artikular dan jaringan lunak, tinjauan sistematis tentang kemanjuran relatif berbagai kortikosteroid. Klinik
Reumatol. Desember 2014; 33 (12):1695-706. [ PubMed ]
Senila SC, Danescu SA, Ungureanu L, Candrea E, Cosgarea RM. Terapi denyut metilprednisolon intravena pada alopecia areata parah. India J Dermatol
Venereol Leprol. 2015 Jan-Februari; 81 (1):95. [ PubMed ]
Fabbri P, Cardinali C, Giomi B, Caproni M. Lupus eritematosus kulit: diagnosis dan manajemen. Saya J Clin Dermatol. 2003; 4 (7):449-65. [ PubMed ]
Syed F, Singh S, Bayat A. Efek superior dari terapi kombinasi vs. steroid tunggal pada penyakit keloid: analisis in vitro komparatif glukokortikoid. Regen
Perbaikan Luka. 2013 Jan-Februari; 21 (1):88-102. [ PubMed ]
Snyder RA, Schwartz RA, Schneider JS, Elias PM. Terapi kortikosteroid megadosis intermiten untuk lichen planus umum. J Am Acad Dermatol. 1982 Juni; 6
(6):1089-90. [ PubMed ]
Ferrel CL. Reaksi Anafilaksis terhadap Metilprednisolon. J Muncul Nurs. November 2015; 41 (6):470-3. [ PubMed ]
Tseng CL, Chen YT, Huang CJ, Luo JC, Peng YL, Huang DF, Hou MC, Lin HC, Lee FY. Penggunaan glukokortikoid jangka pendek dan risiko perdarahan
tukak lambung: studi kasus-crossover berbasis populasi nasional. Farmasi Makanan Ada. September 2015; 42 (5):599-606. [ PubMed ]
Thank You..

Anda mungkin juga menyukai