PENDAHULUAN
Penyakit kulit cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Salah satunya
Indonesia akan tetapi angka kejadian yang tepat belum diketahui. Iklim yang panas
dan lembab mempermudah tempat penyakit jamur berkembang dengan baik. Menurut
Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit
pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.
Dermatofitosis atau ringworm adalah mikosis superficial yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita di dalam mikologi kedokteran dikenal istilah
dermatonikosis dan dermatofitosis. Dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang
berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican. Istilah dermatofitosis
diaritkan semua penyakit kulit, kuku dan rambut yang disebabkan oleh semua jamur
termasuk pitrisasis versikolor, kondidrasis kulit dan lesi kulit pada penyakit jamur
sistemik.
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2:
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofita termasuk kelas fungi
imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Infeksi dermatofita pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang
umum ditemui sehari-hari. Infeksi dermatofita sering disebut mikosis, dapat dibagi
menjadi mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis
superfisialis biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan
menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik
melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.1,2
Menurut Soebono dalam Utama, 1304 Data epidemiologik menunjukkan
bahwa penyakit kulit karena jamur superficial (Dermatomikosis superfisialis)
merupakan penyakit kulit banyak dijumpai pada semua lapisan masyarakat, baik di
pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya di Negara berkembang tetapi juga karena
sering bersifat kronik dan kumat-kumatan serta tidak sedikit yang resisten dengan
obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
menurunkan kualitas hidup bagi penderitannya.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi
infeksi.3 Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun ke Divisi Infeksi Tropik
Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab
penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
dermatofitosis 1.815 orang (17,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.
Penelitian
mengenai
terapi
dermatofita
saat
ini
telah
mengalami
empat
golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat
antidermatofita yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin
dan sebagian obat antidermatofita topikal lainnya. 8,9,10
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi infeksi
dermatofita adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang
dermatofita, kondisi komorbiditas, potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan
akses untuk mendapatkan obat antidermatofita serta kemudahan pemakaian obat.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah setiap infeksi superfisial yang disebabkan oleh
dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk
onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga epidermomycosis dan
epidermophytosis.
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian
kutan/superfisial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku,
rambut dan tanduk).
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan
golongan jamur dermatofita (Budimulja, 1305).
Menurut Madani (1300) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan
beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk
klinis yang berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.
2.2 Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan Dermatifitosis.
Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti (jamur yang belum diketahui dengan
pasti cara pembiakan secara generatif), yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik, masih
banyakn sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies Dermatofita, masing-masing 2 spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 17 spesies Trichophyton. Pada tahuntahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan jenis kelaminnya. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
Dermatofita dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus
Nannizzia dan Arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton1,6.
Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum,
tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia
adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis,
M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.
a. Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.
Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah:
SPECIES
Microsporum audouinii
Anthropophilic
Microsporum canis
Microsporum cooeki
Microsporum ferrugineum
Anthropophilic
Microsporum gallinae
Zoophilic (fowl)
Microsporum gypseum
Microsporum nanum
Microsporum persicolor
Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau powder.
Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25C mungkin melambat atau
sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman.
Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol
halus yang masih putih atau menguning sampai cinnamon.
b. Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau
manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan
geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian tenggara
Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi pada rambut,
kulit, dan kuku pada manusia.
Natural Reservoir
Ajelloi
Geophilic
Concentricum
Anthropophilic
Equinum
zoophilic (horse)
Erinacei
zoophilic (hedgehog)
Flavescens
geophilic (feathers)
Gloriae
Geophilic
Interdigitale
Anthropophilic
Megnini
Anthropophilic
Mentagrophytes
Phaseoliforme
Geophilic
Rubrum
Anthropophilic
c. Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan
Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia.
E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat.
Menginfeksi
kulit
(tinea
corporis,
tinea
cruris,
tinea
pedis)
dan
kuku
2.3 Epidemiologi
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
dimana prevalensi infeksi Dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih sering pada wanita
dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika
Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan
yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomidalam penyebaran infeksinya.
Perpindahan manusia dapat dengan cepat mempengaruhi penyebaran endemik
dari jamur. Adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan
kelembaban kulit sehingga meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang
tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan
kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian Tinea pedis dan Onikomikosis5.
Bahan seperti karpet yang kontak dengan kulit vektor sempurna. Begitu, transmisi
dermatophytes suka Trichophyton rubrum, T. interdigitale dan Epidermophyton
floccosum yang biasnya pada kaki. infeksi di sini sering kronis dan tidak
menimbulkan keluhan selama beberapa tahun dan hanya ketika menyebar kebagian
lain, biasanya di kulit.11
menahun dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya cairan
terjadi akibat garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis tersering di
Indonesia.
Dermatofit T. rubrum menjadi penyebab yang paling umum untuk tinea cruris. T.
rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris, diikuti T.
tonsurans ( 6%) dan T. mentagrophytes ( 4%). Organisme lain, termasuk E.
floccosum dan T. verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa.
Infeksi T rubrum dan E floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan noninflamatori, sedangkan infeksi oleh T. mentagrophytes sering dihubungkan dengan
suatu presentasi klinis merah, menyebabkan peradangan akut. Agen yang pada
umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum, T. interdigitale dan E.
floccosum.
d. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,
alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut
kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis :
1. Gray Patch Ring-Worm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus microsporum
dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah
yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang
menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut
menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat. Tempat-tempat terlihat
sebagai gray patch, yang pada klinik tidak menunjukan batas daerah sakit
dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood terlihat fluoresensi hijau
kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui batas dari gray patch tersebut.
papul berwarna coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa
waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran
berskuama yang kosentris.
4. Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa
atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk
cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus
oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung
merah dan membasah. Rambut tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak
diobati, penyakit ini meluas keseluruh kepala dan meninggalkan parut dan
botak. Berlainan dengan tinea korporis yang disebabkan oleh jamur lain, favus
tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya tercium bau tikus (mousy
odor) pada para penderita favus. Tiga spesies dermatofita yang menyebabkan
favus,
yaitu
trichophyton
schoenleini,
trichophyton
violaceum,
dan
2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan dermatofita sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi
tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antidermatofita topikal.
walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan
biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis
yang kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau
tipe kering jenis t.rubrum termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga
membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi
hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik antidermatofita dimulai.
Rekomendasi
Alternatif
10
Tinea
unguium
(Onychomycosis)
Tinea capitis
per
Griseofulvin
(
500mg/day
10mg/kgBB/hari)
sampai
sembuh
(6-8
bulan
selama
3-4
bulan
berturut-turut.
Terbinafine
250
mg/hr/4
Itraconazole
100
mg/hr/4mgg
mgg
minggu)
Tinea corporis
Griseofulvin
sampai
500
mg/hr
sembuh
(4-6
minggu),
sering
dikombinasikan
imidazol.
Griseofulvin
Tinea cruris
sampai
and/or
widespread
Terbinafine
mg/hr
sembuh
(4-6
500mg/hr
sembuh
(4-6
minggu)
Chronic
500
Griseofulvin
sampai
mg/hr selama 15
dengan
minggu)
Tinea pedis
250
mg/hr
Itraconazole 130 mg/hr selama 4-6 mgg. Griseofulvin 5001000 mg/hr sampai sembuh (3-6 bulan).
non-responsive
tinea.
nyeri lambung, diarea, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa
ganguan pengecapan, persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
keseluruhan setelah beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara.
Sefalgia ringan dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.
Pada kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol sebagai
terapi sistemik 130 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan hepar.
keseimbangan dinding
13
griseofulvin
*Dalam penelitian
Potensial target
Obat yang tersedia
Gambar 2. Titik tangkap obat antidermatofita9
dan
kelompok
triazol
(itrakonazol,
flukonazol,
varikonazol,
dan
14
yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha
mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8
Mekanisme Kerja Obat Golongan Azol
Ketokonazol
Ketokonazol diperkenalkan tahun 1670 merupakan antidermatofita golongan
imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan
sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.5
15
korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2
minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk
mikosis dalam.10
16
Efek Samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai
terjadi pada 13% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat
menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat
terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang
diterapi ketokonazol.10
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada
dermatofita. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien.
Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi
hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau
dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis
tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human adrenal synthetase dan testicular
steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten.10
Interaksi Obat
Konsentrasi
serum
ketokonazol
dapat
menurun
pada
pasien
yang
17
18
Dosis
Tabel 1. Rejimen Dosis Itrakonazol5
Onikomikosis
Dewasa
Kuku tangan : 130 mg 2xsehari
Anak-anak
Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
minggu
Atau
130
Tinea kapitis
mg
2xsehari
Infeksi
Trichophyton
Mikrosporum
tinea pedis
Pitiriasis versikolor
minggu
Tidak ada penelitian
Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari
dapat diganti dengan 130 mg/hari (30-40 kg), 130mg/hari (> 50 kg).
Efek Samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus,
dan ruam alergi.
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1691 terhadap
129 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan
muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum
aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya
hipokalemia pada pasien yang menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang
dikombinasi dengan pemberian jangka panjang Amfoterisin B. Efek samping lain
meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien
mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan
untuk pemberian jangka panjang.10
Interaksi Obat
19
Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang
dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol
dan lansoprazol.9
Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4
sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut
dapat meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu
paruh paruh obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin,
cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum
digoksin, siklosporin takrolimus, dan warfarin.9,10
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA ALILAMIN
Terbinafin
Terbinafin merupakan antidermatofita sintetik golongan alilamin yang dapat
diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan
dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali
ditemukan pada tahun 1683, digunakan di Eropa sejak tahun 1691 dan di Amerika
Serikat pada tahun 1696.5
Farmakokinetik
Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak
di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis
tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi
dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma
yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg
dosis tunggal; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh
rata-rata 12 hari. Di dalam dermis-epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu
paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermisepidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin.
Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengam
konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah pengobatan
dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail plate dalam waktu 1
minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu
pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang
lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit
tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak
13%.10
Dosis
Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5
21
Onikomikosis
Dewasa
Anak-anak
Kuku tangan : 250 mg/hr 3-6 mg/khg/hr
6-12
minggua
x 6 minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x
Tinea kapitis
12 minggu
250 mg/hr x 2-8 minggu
Efek Samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri
abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar
kronik atau aktif.10
Interaksi Obat
Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin.
Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang
merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450.10
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA EKINOKANDIN
Kaspofungin
Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B 0 yang
merupakan fermentasi lipopeptida dermatofita
Glarea
lozoyensis. Kaspofungin
menghambat
sintesis
-(1,3)-D-glukan
yang
merupakan
Farmakokinetik
Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg
akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 13 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan
menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan
( 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1%
dari dosis akan dieksresi tanpa ada perubahan melalui urin. Kaspofungin
dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu
(35%) dan urin (40%).9,10,15
Dosis
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan
50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui
infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan
dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg.8
23
Efek Samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual,
muntah.7,12
Interaksi Obat
Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase
2-3 kali lipat dari batas normal.12
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA LAIN
Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antibiotik antidermatofita yang berasal dari spesies
Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antidermatofita pada
tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada
hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1658 untuk pengobatan infeksi
dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti dermatofita yang
pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.5,8,9,10
Mekanisme Kerja
Griseofulvin merupakan obat antidermatofita yang bersifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel dermatofita
sehingga tetap dalam fase metafase. 5
Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan
konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam.
Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar
50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan
dalam bentuk metabolit.10
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.
Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat
24
10
minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis
selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10
Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah,
dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada
sebagian pasien.5
Interaksi obat
Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital,
namun efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama
25
GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL
Merupakan kelompok anti dermatofita azol yang memiliki dua nitrogen pada
cincin azol. Ditemukan setelah tahun 1660.
Mekanisme kerja
Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara
menghambat pembentukan 14 -sterol demethylase, suatu enzim
sitokrom P450
enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme ini yang mengakibatkan efek
pertumbuhan dermatofita terhambat. 4
1.
Klotrimazol
oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches
(10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis
vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 130 mg hari ke-2, atau 100 mg hari
ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi dermatofita pada
kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya pengobatan tergantung
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
2. Mikonazol
27
krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi
7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin
rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus.
Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari
pemakaian pada kehamilan trimester pertama.10
3. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan
menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4
minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat
dihentikan.13
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik.
Pengobatan infeksi dermatofita pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik
dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol
2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.13
GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN
Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada
tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas
squalene
epoksidase.
Dengan
berkurangnya
ergosterol
akan
menyebabkan
albicans.
1.
Terbinafin
28
Candida
Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antidermatofitanya sama
BAB III
PENUTUP
2.1. KESIMPULAN
Dermatofitosis adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan
oleh Dermatofita dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku.
Dermatofita
dibagi
menjadi
Microsporum,
Trichophyton,
dan
Epidermophyton.
Klasifikasi berdasarkan lokasi :
a) Tinea kapitis, Dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
b) Tinea barbe, Dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c) Tinea kruris, Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d) Tinea pedis et manum, Dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e) Tinea unguium, Dermatofitosis pada kuku kaki dan tangan.
f) Tinea korporis, Dermatofitosis pada bagian badan.
29
obat
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1309.p 1231-1244
4.
5.
High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1309.p 1716-1717
6.
Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1311.p 1211-1217
30
7.
Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR,
Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 1309. p161-166
8. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS,
Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics.
11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 1310
9.
10. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini
RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 1312.
11. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol
1310; 3(2): 71-81
12. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections.
Dermatologic Therapy 1311; 17: 532538
13. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy New Options, New Tradeoffs. N Engl J
Med 1312; 346(4): 278-280
14. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole:
A Broad-Spectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 1309; 5: 77585
15. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses.
Indian J Chest Dis Allied Sci 1310;42:357-366
16. Phillips RM, Rosen T. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders
Company;1312. 547-568.
17. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol
1310:5(6):443-461.
18. Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic
Therapy 1313; 17: 517-512
31