Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kulit cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Salah satunya
Indonesia akan tetapi angka kejadian yang tepat belum diketahui. Iklim yang panas
dan lembab mempermudah tempat penyakit jamur berkembang dengan baik. Menurut
Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit
pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.
Dermatofitosis atau ringworm adalah mikosis superficial yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita di dalam mikologi kedokteran dikenal istilah
dermatonikosis dan dermatofitosis. Dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang
berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican. Istilah dermatofitosis
diaritkan semua penyakit kulit, kuku dan rambut yang disebabkan oleh semua jamur
termasuk pitrisasis versikolor, kondidrasis kulit dan lesi kulit pada penyakit jamur
sistemik.
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2:
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofita termasuk kelas fungi
imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Infeksi dermatofita pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang
umum ditemui sehari-hari. Infeksi dermatofita sering disebut mikosis, dapat dibagi
menjadi mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis
superfisialis biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan

menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik
melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.1,2
Menurut Soebono dalam Utama, 1304 Data epidemiologik menunjukkan
bahwa penyakit kulit karena jamur superficial (Dermatomikosis superfisialis)
merupakan penyakit kulit banyak dijumpai pada semua lapisan masyarakat, baik di
pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya di Negara berkembang tetapi juga karena
sering bersifat kronik dan kumat-kumatan serta tidak sedikit yang resisten dengan
obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
menurunkan kualitas hidup bagi penderitannya.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi
infeksi.3 Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun ke Divisi Infeksi Tropik
Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab
penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
dermatofitosis 1.815 orang (17,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.
Penelitian

mengenai

terapi

dermatofita

saat

ini

telah

mengalami

perkembangan pesat. Klasifikasi obat dermatofita berdasarkan cara penggunaannya


dibagi atas obat topikal dan sistemik.4,5 Penggunaan obat topikal diindikasikan pada
infeksi dermatofita dengan area yang terbatas dan pasien yang memiliki
kontraindikasi penggunaan antidermatofita sistemik. Antidermatofita sistemik
diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.6,7
Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, saat ini dibagi menjadi

empat

golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat
antidermatofita yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin
dan sebagian obat antidermatofita topikal lainnya. 8,9,10
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi infeksi
dermatofita adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang
dermatofita, kondisi komorbiditas, potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan
akses untuk mendapatkan obat antidermatofita serta kemudahan pemakaian obat.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah setiap infeksi superfisial yang disebabkan oleh
dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk
onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga epidermomycosis dan
epidermophytosis.
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian
kutan/superfisial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku,
rambut dan tanduk).
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan
golongan jamur dermatofita (Budimulja, 1305).
Menurut Madani (1300) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan
beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk
klinis yang berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.

2.2 Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan Dermatifitosis.
Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti (jamur yang belum diketahui dengan
pasti cara pembiakan secara generatif), yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik, masih

banyakn sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies Dermatofita, masing-masing 2 spesies
Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 17 spesies Trichophyton. Pada tahuntahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan jenis kelaminnya. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
Dermatofita dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus
Nannizzia dan Arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton1,6.
Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum,
tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia
adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis,
M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.
a. Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.
Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah:

SPECIES

CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)

Microsporum audouinii

Anthropophilic

Microsporum canis

Zoophilic (Cats and dogs)

Microsporum cooeki

Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and rodents)

Microsporum ferrugineum

Anthropophilic

Microsporum gallinae

Zoophilic (fowl)

Microsporum gypseum

Geophilic (also isolated from fur of rodents)

Microsporum nanum

Geophilic and zoophilic (swine)

Microsporum persicolor

Zoophilic (vole and field mouse)

Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau powder.
Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25C mungkin melambat atau
sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman.
Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol
halus yang masih putih atau menguning sampai cinnamon.

b. Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau
manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan
geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian tenggara
Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi pada rambut,
kulit, dan kuku pada manusia.

NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES


Species

Natural Reservoir

Ajelloi

Geophilic

Concentricum

Anthropophilic

Equinum

zoophilic (horse)

Erinacei

zoophilic (hedgehog)

Flavescens

geophilic (feathers)

Gloriae

Geophilic

Interdigitale

Anthropophilic

Megnini

Anthropophilic

Mentagrophytes

zoophilic (rodents, rabbit) / anthropophilic

Phaseoliforme

Geophilic

Rubrum

Anthropophilic

c. Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan
Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia.
E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat.
Menginfeksi

kulit

(tinea

corporis,

tinea

cruris,

tinea

pedis)

dan

kuku

(onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E.


floccosum tumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 C
pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklatan.

2.3 Epidemiologi
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
dimana prevalensi infeksi Dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih sering pada wanita
dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika
Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan
yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomidalam penyebaran infeksinya.
Perpindahan manusia dapat dengan cepat mempengaruhi penyebaran endemik
dari jamur. Adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan
kelembaban kulit sehingga meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang
tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan
kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian Tinea pedis dan Onikomikosis5.

2.4 Klasifikasi dan Gejala Klinis


a. Tinea Pedis
Infeksinya anthropophilic dermatophytes biasanya disebabkan oleh adanya elemen
hifa dari jamur yang mampu menginfeksi kulit. Skala desquamasi kulit bisa
terinfeksi di lingkungan selama berbulan-bulan atau tahun. Oleh karena itu
transmisi bisa terjadi dengan kontak tidak langsung lama setelah infeksi terjadi.

Bahan seperti karpet yang kontak dengan kulit vektor sempurna. Begitu, transmisi
dermatophytes suka Trichophyton rubrum, T. interdigitale dan Epidermophyton
floccosum yang biasnya pada kaki. infeksi di sini sering kronis dan tidak
menimbulkan keluhan selama beberapa tahun dan hanya ketika menyebar kebagian
lain, biasanya di kulit.11

b. Tinea Unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)


Trichophyton rubrum dan T. interdigitale adalah spesies yang sering menyebabkan
tinea unguium. Dermatofita jenis unguium digolongkan menjadi dua bagian utama:
(1). Superficial white-onycomycosis yang menempel atau membuat lubang pada
permukaan kuku. (2). Invasif, subungual dermatofita yang lateral dari proximal
atau pun distal. Diikuti dengan menetapnya infeksi pada dasar kuku.
Onycomycosis subungual distal adalah bentuk umum dari onycomycosis
dermatofita. Jamur menyerang bagian distal bantalan jari yang menyebabkan
hiperkeratosis dari bantalan kuku dengan onycolisis dan menyebabkan penebalan
lempeng kuku.
Seperti namanya onycomycosis subungual lateral dimulai dari bagian lateral kuku
dan sering menyebar melibatkan semua lempeng kuku. Pada onycomycosis
subungual proximal jamur menginvasi kebawah kutikula dan menginfeksi bagian
proximal daripada bagian distal karena spot yellow-white akan menyerang lunula
terlebih dahulu kemudian meluas ke lempeng kuku.

c. Tinea Kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)


Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah
genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri
atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila
7

menahun dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya cairan
terjadi akibat garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis tersering di
Indonesia.
Dermatofit T. rubrum menjadi penyebab yang paling umum untuk tinea cruris. T.
rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris, diikuti T.
tonsurans ( 6%) dan T. mentagrophytes ( 4%). Organisme lain, termasuk E.
floccosum dan T. verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa.
Infeksi T rubrum dan E floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan noninflamatori, sedangkan infeksi oleh T. mentagrophytes sering dihubungkan dengan
suatu presentasi klinis merah, menyebabkan peradangan akut. Agen yang pada
umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum, T. interdigitale dan E.
floccosum.

d. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,
alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut
kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis :
1. Gray Patch Ring-Worm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus microsporum
dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah
yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang
menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut
menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat. Tempat-tempat terlihat
sebagai gray patch, yang pada klinik tidak menunjukan batas daerah sakit
dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood terlihat fluoresensi hijau
kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui batas dari gray patch tersebut.

Tinea kapitis disebabkan oleh Microsporum audouini biasanya disertai tanda


peradangan, hanya sesekali berbentuk kerion.
2. Kerion
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis
(Mulyono, 1686). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat.
Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang
di sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.
3. Black Dot Ring-Worm
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1686). Gambaran klinis
berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut
yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh
spora terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah
alopesia areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 1305).

e. Tinea Korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte, kurap,


herpes sircine trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin).
1. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atu lonjong
Berbatas tegas terdiri dari eritema, squama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul ditepi. Daerah tengah biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak
terpisah satu dengan yang lain. Dapat terlihat sebagai lesi dengan tepi
polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu.
2. Tinea korporis yang menahun tanda radang yang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersamasama dengan kelainan pada sela paha. Dalalm hal ini disebut tinea korporis et
kruris atau sebaliknya tinea kruris et korporis. Bentuk menahun dari
trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium.
3. Bentuk khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan bentuk
9

papul berwarna coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa
waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran
berskuama yang kosentris.
4. Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa
atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk
cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus
oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung
merah dan membasah. Rambut tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak
diobati, penyakit ini meluas keseluruh kepala dan meninggalkan parut dan
botak. Berlainan dengan tinea korporis yang disebabkan oleh jamur lain, favus
tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya tercium bau tikus (mousy
odor) pada para penderita favus. Tiga spesies dermatofita yang menyebabkan
favus,

yaitu

trichophyton

schoenleini,

trichophyton

violaceum,

dan

microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak


bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak
dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita penderita.

2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan dermatofita sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi
tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antidermatofita topikal.
walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan
biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis
yang kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau
tipe kering jenis t.rubrum termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga
membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi
hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik antidermatofita dimulai.

Pengobatan oral, yang dipilih untuk dermatofita adalah:


Infeksi

Rekomendasi

Alternatif

10

Tinea

unguium

(Onychomycosis)

Tinea capitis

Terbinafine 250 mg/hr 6

Itraconazole 130 mg/hr /3-5 bulan atau 400 mg/hr seminggu

minggu untuk kuku jari

per

tangan, 12 minggu untuk

Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d sembuh (6-12 bln)

kuku jari kaki

Griseofulvin 500-1000 mg/hr s.d sembuh (12-12 bulan)

Griseofulvin
(

500mg/day

10mg/kgBB/hari)

sampai

sembuh

(6-8

bulan

selama

3-4

bulan

berturut-turut.

Terbinafine

250

mg/hr/4

Itraconazole

100

mg/hr/4mgg

mgg

Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg

minggu)

Tinea corporis

Griseofulvin
sampai

500

mg/hr

sembuh

(4-6

minggu),

sering

dikombinasikan
imidazol.
Griseofulvin

Tinea cruris

sampai

and/or

widespread

Terbinafine

Fluconazole 150-300 mg/mggu selama 4 mgg.

mg/hr

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg Itraconazole 100

sembuh

(4-6

mg/hr selama 15 hr atau 130 mg/hr selama 1 mgg.


Fluconazole 150-300 mg/hr selama 4 mgg.

500mg/hr

sembuh

(4-6

minggu)
Chronic

hr atau 130mg/hr selama 1 mgg.

500

Griseofulvin
sampai

mg/hr selama 15

dengan

minggu)

Tinea pedis

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 minggu Itraconazole 100

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg Itraconazole 100


mg/hr selama 15 hr atau 130mg/hr selama 1 mgg.
Fluconazole 150-300 mg/mgg selama 4 mgg.

250

selama 4-6 minggu

mg/hr

Itraconazole 130 mg/hr selama 4-6 mgg. Griseofulvin 5001000 mg/hr sampai sembuh (3-6 bulan).

non-responsive
tinea.

Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik sebagai


antiinflamasi, yakni prednisone 3x5 mg atau prednisolone 3x4 mg sehari selama dua
minggu, bersamaaan dengan pemberian grisiofulvine yang diberikan berlanjut 2
minggu setelah lesi hilang. Terbinafine juga diberikan sebagai pengganti griseofulvine
selama 2-3 minggu dosis 62,5-250 mg sehari tergantung berat badan.
Efek samping griseofulvine jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping lain berupa gangguan
traktus digestifus yaitu: nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut bersifat fotosensitif
dan dapat mengganggu fungsi hepar. Efek samping terbinafine ditemukan kira-kira
10% penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus,
11

nyeri lambung, diarea, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa
ganguan pengecapan, persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
keseluruhan setelah beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara.
Sefalgia ringan dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.
Pada kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol sebagai
terapi sistemik 130 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan hepar.

MEKANISME KERJA OBAT ANTIDERMATOFITA


Saat ini difahami bahwa obat antidermatofita memiliki 3 titik tangkap pada sel
dermatofita (Gambar 1 dan 2). Target pertama pada sterol membran plasma sel
dermatofita, kedua mempengaruhi sintesis asam nukleat dermatofita, ketiga bekerja
pada unsur utama dinding sel dermatofita yaitu kitin, glukan, dan mannooprotein.
Kebanyakan obat antidermatofita sistemik bekerja secara langsung (seperti
golongan polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung
(seperti golongan azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada
unsur utama dinding sel 1,3 glukan.
1.

Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol


Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel
dermatofita dengan cara mengatur fluiditas dan

keseimbangan dinding

membran sel dermatofita. Kerja obat antidermatofita secara langsung


(golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini
mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel
dermatofita, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran
ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antidermatofita
secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis
ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom
P450 (demetilasi prekursor ergosterol).(Gambar 3)9
2. Sintesis Asam Nukleat
Kerja obat antidermatofita yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah
dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis
DNA. Sebagai contoh obat antidermatofita yang mengganggu sintesis asam
12

nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel


dermatofita melalui sitosin permease. Di dalam sel dermatofita 5 FC diubah
menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA.
Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang
akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9
3. Unsur Utama Dinding Sel Dermatofita : Glukans
Dinding sel dermatofita memiliki keunikan karena
tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan dan glukan yang menyelenggarakan berbagai
fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran
ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah glukan. Obat
antidermatofita seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan 1,3
glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila glukan tidak
terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel dermatofita akan mengalami
lisis.(Gambar 1)9

Gambar 1. Target kerja antidermatofita pada dinding sel dermatofita 7

Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan


papulokandins; menghambat
sintesis glukan.
*Polyxins dan nikkomycin;
menghambat sintesis kitin

13

Fungsi membran Polien ; mengikat ergosterol


Peptida antimikrobial : defensins,
protegrins, gallinacini, cecropins A,
thanatin dan dermaseptins
Pradimicins dan benanomicins :
mengikat mannoproteins dan
menyebabkan gangguan calciumdependent pada permebilitas
membran

Sintesis ergosterol Azol; menghambat sitokrom P 450dependent 14--demethylase


Allylamines (naftifin dan terbinafin)
dan thiocarbamate (tolnaftaf);
menghambat squalene epoxidase
Morpholine (amorolfine);
menghambat 14-reductase, 7, 8isomerase, oxido-squalan cyclase,
dan 24 methyltransferase
Inti

griseofulvin

Sintesis asam nukleat 5-fluorocytosine, Sordarins :


miscoding RNA dan menghambat
thymidylate synthesis
Cispentacin derivates

*Dalam penelitian
Potensial target
Obat yang tersedia
Gambar 2. Titik tangkap obat antidermatofita9

GOLONGAN OBAT ANTIDERMATOFITA SISTEMIK


KELOMPOK ANTIDERMATOFITA AZOL
Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1644, antidermatofita azol
berperanan penting dalam penatalaksanaan infeksi dermatofita. Kelompok azol dapat
dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol.
Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua
nitrogen

dan

kelompok

triazol

(itrakonazol,

flukonazol,

varikonazol,

dan

posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12 Kedua kelompok ini memiliki spektrum


dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping

14

yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha
mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8
Mekanisme Kerja Obat Golongan Azol

Gambar 3. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat


antidermatofita terhadap biosintesis ergosterol12
Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang
merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel dermatofita.
Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14--demethylase yang
bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan
dinding sel dermatofita menjadi permeabel dan terjadi penghancuran dermatofita. 7,13
1.

Ketokonazol
Ketokonazol diperkenalkan tahun 1670 merupakan antidermatofita golongan

imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan
sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.5

15

Gambar 4 . Struktur kimia ketokonazol5


Farmakokinetik
Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis
130,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 13 g/ml. Waktu paruh
tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi
zat aktif dalam urin sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam
plasma protein; 15% terikat pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol
mencapai keratinosit secara efisien, dan konsentrasi pada cairan di vagina sama
dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan serebrospinal (CSF) pada pasien
meningitis dermatofita kurang dari 1% dari total konsentrasi obat di plasma.10
Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik
seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol.
Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama
dengan siklosporin, midazolam, triazolam, indinavir,

dan fen itoin karena obat

tersebut dimetabolisme oleh enzim sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat


menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum, maka preparat ini lebih baik
diberikan dalam kondisi perut kosong.7
Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis
untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal.

Lama pengobatan untuk tinea

korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2
minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk
mikosis dalam.10

16

Efek Samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai
terjadi pada 13% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat
menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat
terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang
diterapi ketokonazol.10
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada
dermatofita. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien.
Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi
hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau
dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis
tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human adrenal synthetase dan testicular
steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten.10
Interaksi Obat
Konsentrasi

serum

ketokonazol

dapat

menurun

pada

pasien

yang

mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida, antikolinergik


dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah 2 jam pemberian
ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh terfenadin, astemizol
dan cisaprid sehingga tidak diberikan bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek
samping kardiovaskuler seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes.10
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum dari
warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam dapat
menurunkan efektifitas kedua obat.9,10
2. Itrakonazol
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1692 merupakan sintesis derivat triazol.
Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan
spesies nondermatofita lainnya.5

17

Gambar 5 . Struktur Itrakonazol 5


Farmakokinetik
Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam
lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal
(55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama
makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma
akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. 5,10
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju
keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam
keringat sampai 24 jam setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol
melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke
plasma, selanjutnya itrakonazol dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari
0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi
lebih dari 12% akan dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol
dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Kebanyakan
metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya
yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol masih ditemukan
pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada model in
vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu
setelah terapi dihentikan.8

18

Dosis
Tabel 1. Rejimen Dosis Itrakonazol5
Onikomikosis

Dewasa
Kuku tangan : 130 mg 2xsehari

Anak-anak
Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1

1 minggu/bulan , 2 dosis pulse

minggu/bulan, 2 dosis pulsea

Kuku kaki : 130 mg/harix12

Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1

minggu

minggu/bulan, 3 dosis pulse

Atau
130
Tinea kapitis

mg

2xsehari

1minggu/bulan, 3 dosis pulse


250 mg/hari x 2-8 minggu

Infeksi

Trichophyton

mg/kg/hari x 2-4 minggu


Infeksi

Mikrosporum

Tinea korporis, tinea kruris,

130 mg 2xseharix1 minggu

mg/kg/hari x 4-8 minggu


Dosis berdasarkan berat x 1-4

tinea pedis
Pitiriasis versikolor

130 mg/hari x 5-7 hari, untuk

minggu
Tidak ada penelitian

pencegahan rekuren dengan 130


mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
a

Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari

dapat diganti dengan 130 mg/hari (30-40 kg), 130mg/hari (> 50 kg).
Efek Samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus,
dan ruam alergi.
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1691 terhadap
129 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan
muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum
aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya
hipokalemia pada pasien yang menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang
dikombinasi dengan pemberian jangka panjang Amfoterisin B. Efek samping lain
meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien
mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan
untuk pemberian jangka panjang.10
Interaksi Obat

19

Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang
dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol
dan lansoprazol.9
Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4
sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut
dapat meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu
paruh paruh obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin,
cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum
digoksin, siklosporin takrolimus, dan warfarin.9,10
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA ALILAMIN
Terbinafin
Terbinafin merupakan antidermatofita sintetik golongan alilamin yang dapat
diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan
dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali
ditemukan pada tahun 1683, digunakan di Eropa sejak tahun 1691 dan di Amerika
Serikat pada tahun 1696.5

Gambar 9. Struktur kimia terbinafin5


Mekanisme Kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang
berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel
dermatofita sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol
yang utama pada membran plasma sel dermatofita). Terbinafin menyebabkan Hal ini
mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan
pertumbuhan membran sel dermatofita sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek
fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel
dermatofita dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada
membran sel dermatofita (efek fungisidal).5,10
20

Farmakokinetik
Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak
di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis
tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi
dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma
yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg
dosis tunggal; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh
rata-rata 12 hari. Di dalam dermis-epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu
paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermisepidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin.
Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengam
konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah pengobatan
dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail plate dalam waktu 1
minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu
pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang
lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit
tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak
13%.10

Dosis
Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5
21

Onikomikosis

Dewasa
Anak-anak
Kuku tangan : 250 mg/hr 3-6 mg/khg/hr

6-12

minggua

x 6 minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x
Tinea kapitis

12 minggu
250 mg/hr x 2-8 minggu

Infeksi Trichophyton : 3-6


mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi Microsporum : 3-6
mg/kg/hr x 6-8 minggua
3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu

Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu


b
Tinea pedis (mokasin)
250 mg/hr x 2 minggu
b
Dermatitis seboroik
250 mg/hr x 4-6 minggu
a
Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-13 kg), 125 mg/hr (13-40 kg),
250 mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5
mg/hr atau lebih.
b

Tidak ada penelitian.

Efek Samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri
abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar
kronik atau aktif.10
Interaksi Obat
Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin.
Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang
merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450.10
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA EKINOKANDIN
Kaspofungin
Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B 0 yang
merupakan fermentasi lipopeptida dermatofita

Glarea

lozoyensis. Kaspofungin

efektif melawan dermatofita yang resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas


sangat baik dan lebih aman diberikan pada infeksi Candida.10
Pada awal 1301, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi
esofagitis dan orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan
22

bahwa kaspofungin memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional untuk


penatalaksanaan kandidiasis mukosa dan sistemik namun kaspofungin dapat
ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh.3,6,10,15 kaspofungin juga telah disetujui
penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal diterapi dengan terapi AMB
atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin diperlukan dalam terapi
fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari terjadi fungemia resisten.15
Mekanisme kerja
Kaspofungin

menghambat

sintesis

-(1,3)-D-glukan

yang

merupakan

komponen dinding sel dermatofita.10

Gambar 11. Struktur Kaspofungin8

Farmakokinetik
Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg
akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 13 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan
menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan
( 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1%
dari dosis akan dieksresi tanpa ada perubahan melalui urin. Kaspofungin
dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu
(35%) dan urin (40%).9,10,15

Dosis
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan
50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui
infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan
dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg.8
23

Efek Samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual,
muntah.7,12
Interaksi Obat
Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase
2-3 kali lipat dari batas normal.12
KELOMPOK ANTIDERMATOFITA LAIN
Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antibiotik antidermatofita yang berasal dari spesies
Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antidermatofita pada
tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada
hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1658 untuk pengobatan infeksi
dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti dermatofita yang
pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.5,8,9,10

Gambar 13. Struktur griseofulvin8

Mekanisme Kerja
Griseofulvin merupakan obat antidermatofita yang bersifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel dermatofita
sehingga tetap dalam fase metafase. 5
Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan
konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam.
Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar
50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan
dalam bentuk metabolit.10
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.
Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat
24

meningkatkan absorpsi mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih


tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum
albumin dan distribusi di jaringan ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya
menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat serta akan dideposit di sel
prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya terjadi ikatan yang kuat dan
menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan digantikan dengan lapisan keratin baru
yang lebih resisten terhadap serangan dermatofita. Pemberian griseofulvin secara oral
akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam.5,10
Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan
akan dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-17 jam dan kurang dari 1%
dari dosis akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10
Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan
ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada
saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea
kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh
Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-anak 13-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 1513 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu.5
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari
(microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis
tunggal atau terbagi.

10

Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4

minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis
selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10
Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah,
dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada
sebagian pasien.5
Interaksi obat
Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital,
namun efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama
25

makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan


kontrasepsi juga ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin bersasma
dengan penggunaan kontrasepsi oral.10
GOLONGAN ANTI DERMATOFITA TOPIKAL
Obat anti dermatofita topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada
kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk
pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan
luas, serta infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antidermatofita topikal lebih
sedikit dibandingkan obat anti dermatofita sistemik. Pengobatan topikal memiliki
beberapa keuntungan yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain,
pengobatan terlokalisir pada tempat yang sakit, dan biaya yang murah. 4
Jenis obat topikal yang sering digunakan yaitu :
(1) azol-imidazol : ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol,
oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol
(2) alilamin dan benzilamin : naftifin, terbinafin, butenafin
(3) polien: nystatin
Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan
untuk terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik
(gentian violet), siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. 4

GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL
Merupakan kelompok anti dermatofita azol yang memiliki dua nitrogen pada
cincin azol. Ditemukan setelah tahun 1660.
Mekanisme kerja
Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara
menghambat pembentukan 14 -sterol demethylase, suatu enzim

sitokrom P450

(CYP). Hal ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma dermatofita


dan menyebabkan akumulasi 14 - metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid
sehingga mengganggu fungsi enzim pada membran dermatofita seperti ATP ase dan
26

enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme ini yang mengakibatkan efek
pertumbuhan dermatofita terhambat. 4

1.

Klotrimazol

Gambar 14. Struktur Klotrimazol8

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis

oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches
(10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis
vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 130 mg hari ke-2, atau 100 mg hari
ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi dermatofita pada
kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya pengobatan tergantung
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Mikonazol

Gambar 16. Struktur mikonazol8

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,


serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada
stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari 1%
diabsorpsi dalam darah. Absorpsi kurang dari 1,3% di vagina. 8 Pengobatan
kandidiasis vaginalis diberikan dosis 130 selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari
yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral gel
(25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi dermatofita pada kulit digunakan mikonazol

27

krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi
7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin
rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus.
Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari
pemakaian pada kehamilan trimester pertama.10
3. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan
menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4
minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat
dihentikan.13
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik.
Pengobatan infeksi dermatofita pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik
dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol
2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.13
GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN
Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada
tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas
squalene

epoksidase.

Dengan

berkurangnya

ergosterol

akan

menyebabkan

penumpukan squalene pada sel dermatofita sehingga mengakibatkan kematian sel


dermatofita.

Alilamin dan benzilamin bersifat fungistatik terhadap

albicans.
1.

Terbinafin

Gambar 17. Struktur Terbinafin8

28

Candida

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis


versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang dioleskan 1
atau 2 kali sehari. Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama
1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama
1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu.10
2.

Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antidermatofitanya sama

dengan golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan


dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis,
dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.4

BAB III
PENUTUP
2.1. KESIMPULAN
Dermatofitosis adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan
oleh Dermatofita dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku.
Dermatofita

dibagi

menjadi

Microsporum,

Trichophyton,

dan

Epidermophyton.
Klasifikasi berdasarkan lokasi :
a) Tinea kapitis, Dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
b) Tinea barbe, Dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c) Tinea kruris, Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d) Tinea pedis et manum, Dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e) Tinea unguium, Dermatofitosis pada kuku kaki dan tangan.
f) Tinea korporis, Dermatofitosis pada bagian badan.

29

Umumnya dermatofita pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu


bercak bercak yang berbatas tegas (eritema, squama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi) disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga
memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif
serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang
Terapi dermatofita berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas

obat

sistemik dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat


golongan utama yaitu polien, azol, alilamin, dan ekinokandin.
Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol
yaitu kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan
efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1311.

2.

Verma S, Heffernan MD. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,


onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1309.p 1207-1217.

3.

Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1309.p 1231-1244

4.

Gupta AK, Copper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis.


Mycopathologia (1310) 166;353-367

5.

High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1309.p 1716-1717

6.

Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.1311.p 1211-1217
30

7.

Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR,
Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 1309. p161-166

8. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS,
Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics.
11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 1310
9.

Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug


Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry 1311; 6: 3-15

10. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini
RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 1312.
11. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol
1310; 3(2): 71-81
12. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections.
Dermatologic Therapy 1311; 17: 532538
13. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy New Options, New Tradeoffs. N Engl J
Med 1312; 346(4): 278-280
14. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole:
A Broad-Spectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 1309; 5: 77585
15. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses.
Indian J Chest Dis Allied Sci 1310;42:357-366
16. Phillips RM, Rosen T. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders
Company;1312. 547-568.
17. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol
1310:5(6):443-461.
18. Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic
Therapy 1313; 17: 517-512

31

Anda mungkin juga menyukai