Anda di halaman 1dari 8

Trycophyton mentagrophytes: TEKNIK IDENTIFIKASI,

GEJALA KLINIS, DAN PENGOBATAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Penyakit Mikal dan Bakterial (IPH 323)

Disusun oleh:

Kelompok 6 Paralel 2

Alwi Hadad B04160042


Andi Maisya Rezki Juliana B04160043
Siti Nur Khalisyah B04160045
Raudhatuf Fitri B04160113

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Munculnya penyakit dalam suatu sistem disebabkan karena


ketidakseimbangan agen, inang, dan lingkungan. Ketidakseimbangan ini bisa
diakibatkan oleh aktivitas agen, kelemahan inang, atau perubahan lingkungan yang
mendukung invasi agen terhadap inang, atau bahkan lainnya. Agen penyebab
penyakit beragam diantaranya disebabkan oleh virus, parasit, toksin, bakteri,
cendawan, dan sebagainya. Beberapa agen tersebut bahkan bersifat zoonotik.
Dermatofita merupakan penyakit mikal yang dapat menginfeksi bagian
superfisial kulit. Kapang kelompok ini bersifat keratinofilik. Adapun genus kapang
dermatofita diantaranya adalah Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton.
Diantara tiga genus tersebut, Epidermatophyton hanya menyerang manusia,
sedangkan Microsporum dan Epidermophyton dapat menyerang manusia maupun
hewan (CFSPB 2005). Dermatofita dapat ditemukan di tanah, lantai, kolam renang,
rambut hewan liar, kulit hewan domestik, dan kaki (Mohammad et al. 2015).
Havlickova et al. (2008) melaporkan bahwa dermatofitosis menyerang 20-
25% dari total populasi di dunia. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat manifestasi
dermatifitosis salah satunya adalah ringworm. Namun, Mohammad et al. (2015)
menyebutkan bahwa kultur dermatofita pada hewan dan manusia dapat diikuti
dengan gejala klinis ringworm atau tidak sama sekali. Selain ringworm, gejala
klinis lain akibat manifestasi dermatofita adalah alopesia, eritema, erosi, crusting
dan scaling (Sunartatie 2010; Mohammad et al. 2015).
Trycophyton sp. telah banyak dilaporkan menginvasi keratin beberapa
hewan domestik. CFSPB (2005) menyebutkan bahwa spesies Tricophyton
verrucosum ditemukan mengifeksi sapi, kambing, dan domba, Tricophyton
equinum menginfeksi kuda, dan Tricophyton gallinae menginfeksi burung dan
unggas. Jungerman dan Schwartzman dalam Sunartatie (2010) menyebutkan bahwa
dermatofitosis pada kambing dan domba umumnya disebabkan oleh genus
Tricophyton. Namun, kasus invasi dermatofitosis dari spesies Tricophyton
mentagrophytes jarang dilaporkan.
Zoonosis ini ditransmisikan melalui kontak dengan artrospora atau konidia.
Infeksi dimulai pada rambut atau stratum korneum kulit. Penularan antar inang
dapat terjadi melalui kontak langsung maupun melalui udara yang menmbawa
spora Tricophyton sp (CFSPB 2005). Umumnya, identifikasi dermatofita secara
sederhana dapat dilakukan memalui pewarnan sederhana yang dikaitkan dengan
manifestasi klinis yang ditimbulkan. Namun, kini metode molekular merupakan
golden standard dalam identifikasi dan klasifikasi dermatofita. Tricophyton
mentargrophytes merupakan spesies dermatofita yang sulit diidentifikasi melalui
morfologinya saja. Takashio menyebutkan bahwa spesies ini mirip dengan
Arthroderma vanbreuseghemii, A. Simii, A. Benhamiae, dan T. interdigitale.
Pengobatan dermatofitosis umumnya menggunakan sediaan yang dapat membunuh
seluruh genus ini.

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mempelajari morfologi, teknik identifikasi, dan


pengobatan penyakit akibat infeksi Trycophyton mentagorophytes.

PEMBAHASAN
Tricophyton mentagrophytes

Agen dan Morfologi Karakteristik


Tricophyton mentagrophytes merupakan kapang zoofilik yang berpotensi
zoonosis. Struktur kapang terdiri atas makrokonidia bergerombol dengan bentuk
seperti cerutu dan bentuk hifa spiral (Khusnul et al. 2018). Kapang ini memiliki
enzim proteinase, elastase, dan keratinase untuk menginvasi keratin kulit. Secara
umum dermaatofita terdiri atas hifa, mikrokonidia dan makrokonidia. Struktur
infektifnya memiliki hifa yang berbentuk spiral, hifa bersepta atau hifa senosit. Hifa
terbagi atas tiga jenis, seperti hifa vegetatif, reproduktif, dan aerial. Hipa vegetatif
memiliki pern dalam mengambil makanan dari inang atau media tumbuhnya.
Sedangkan, hifa reporoduktif dapat menghasilkan spora dan memiliki peran dalam
mengikat oksigen (Baltazar et al. 2014). Cambier et al . (2015) melaporkan bahwa
dosis 3,0 x 105 sel makrokonidia/ml meupakan dosis infektif pada hewan coba.

Gambar 1 Tricophyton mentagrophytes (a) penampakan mikroskopis dengan


pewarnaan laktophenol biru (Surendran et al. 2014); (b) kultur T.
mentagrophytes dalam media Sabouraud’s dextrose agar (Jegadeesan et al.
2017)

Penyakit
Trichophyton mentagrophytes adalah kapang dermatofit yang dapat
menginfeksi manusia maupun hewan, yaitu pada kulit, kuku, dan rambut atau bulu.
Penyakit yang ditimbulkannya disebut dermatofitosis atau disebut tinea pada
manusia dan ringworm pada hewan. Gejala klinis dermatofitosis yang dapat diamati
berupa kulit yang kemerahan, bersisik, di bagian tepi berbentuk cincin (Wulandari
et al. 2019).

Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit kurap/kadas/ringworm berupa cincin melingkar pada
tempat yang terinfeksi dan kebotakan bulu dan rambut pada bagian yang terserang
dan bagian tubuh yang mengandung karatin. Gejala yang ditimbulkan adalah bercak
merah, bernanah, dan bulu rontok, terutama pada kulit bagian muka, leher, dan
punggung. Penularannya melalui kontak langsung. Jamur yang berhasil melekat
pada kulit menyebabkan patologik. Derajat keasaman kulit juga memengaruhi
pertumbuhan jamur. Apabila jamur tumbuh pada lapisan kulit mati bagian dalam
(keratin) maka pertumbuhannya bersifat mengarah ke dalam karena toksin yang
dihasilkan menyebabkan jaringannya hidup (Khairiyah 2011).
Lesio yang ditimbulkan umumnya ditandai dengan kebotakan yang
berbentuk lingkaran pada daerah kepala dan muka serta dapat menyebar ke bagian
tubuh lain. Penularan terjadi akibat kontak antrospora atau konidia. Infeksi biasanya
dimulai pada rambut yang sedang tumbuh atau pada stratum korneum kulit.
Penularan di antara inang terjadi akibat kontak langsung maupun melalui udara
dengan rambut atau kulit berspora kapang yang terkelupas (Sunartatie 2010).
Dermatofitosis dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa faktor predisposisi
yang menyebabkan infeksi ini adalah personal hygiene, penggunaan pakaian yang
ketat, status sosial ekonomi, kondisi tempat tinggal padat yang dapat
mengakibatkan kontak langsung kulit ke kulit atau kontak yang erat dengan hewan,
serta adanya penyakit kronis (imunosupresi) seperti Human Immunodeficiency
Virus (HIV), penggunaan sitostatika, dan kortikosteroid jangka panjang (Surekha
et al. 2015).
Gambaran koloni kapang yang tumbuh mula-mula menunjukkan seperti
bulu-bulu halus, flat, dan berwarna kuning. Kemudian koloni berubah menjadi
fluffy-powdery dan berwarna krem kecoklatan, sertamenunjukkan adanya
pertumbuhan yang bersifat concentric rings. Gambaran mikroskopis kapang hasil
isolasi menunjukkan hifa bersepta dan bercabang, beberapa ujung hifa terlihat
berbentuk spiral, makronidia berbentuk cerutu yang terdiri dari 3-6 sel berdinding
tipis dan halus. Makronidia menempel pada hifa dengan tangkai pendek.
Makronidia berbentuk seperti tetesan air mata yang tersusun sepanjang hifa. Selain
itu ditemukan juga klamidiospora dan nodular bodies (Sunartatie 2010).

Penyebaran Penyakit
Penyebaran penyakit terjadi lewat kontak langsung antara hewan
(zoophilic), antara manusia (anthropophilic) atau dari hewan ke manusia (zoonotic),
jarang terjadi menular dari manusia ke hewan. Kejadian infeksi dari hewan ke
manusia biasanya menyerang pemelihara ternak dengan cara kontak langsung atau
tidak langsung melalui alat-alat yang digunakan. Tergantung dari habitat dan jenis
induk semang, sebagian jenis dermatofit dapat menginfeksi induk semang secara
luas, sementara yang lain hanya menginfeksi beberapa jenis hewan. Satu spesies
hewan bisa terinfeksi oleh beberapa spesies dermatofit (Gholib & Rachmawati
2010).

Patogenesis
Jenis jamur dermatofit kemungkinan besar berasal dari tanah (geofilik),
tetapi sebagian meninggalkan sifat saprofitnya dan berubah menjadi parasit.
Menurut Edwardson dan Andrews (1979), masa inkubasi infeksi sekitar 1 bulan,
lamanya suatu infeksi pada satu kelompok ternak pada anak sapi, berlangsung
selama 8 bulan, dan tiap ekor mengalami infeksi rata-rata 2 bulan. Kejadian sering
terdapat pada kelompok besar, karena terlalu padat dan kontak antar individu besar.
Musim berpengaruh untuk menyebarnya penyakit, yaitu di musim dingin atau
penghujan.
Di luar induk semang, jamur T. verrucosum bisa tahan selama 4 – 5 tahun,
yaitu mencemari peralatan di dalam kandang, terutama yang terbuat dari kayu, sisa-
sisa rontokan epitel kulit dari penderita, sehingga dalam lingkungan tersebut,
kemungkinan sapi akan selalu kontak dengan jamur. Tetapi viabilitasnya dapat
berkurang oleh sinar matahari, sehingga jamur hanya bertahan dalam beberapa
bulan. Menurut Carter dan Wise (2004), produk ekstra-seluler dari dermatofit
(keratinase, elastase, dan collagenase) sangat berperan penting dalam patogenitas
penyakit. Enzim-enzim tersebut mencerna jaringan dari induk semang untuk
mendapatkan nutrisi guna pertumbuhannya. Enzim ini bisa menimbulkan reaksi
radang dari dermatofit tertentu pada induk semang.
T. verrucosum merupakan dermatofit yang infeksius, karena dermatofitosis
adalah penyakit yang dapat menular dari sapi ke hewan lain seperti kuda, domba,
kelinci, tikus dan juga manusia. Spora T. verrucosum yang menginfeksi pada sapi,
bertunas dan menyerang pangkal dari rambut, serat-serat rambut, sehingga terjadi
kerusakan rambut, dan akhirnya terjadi kebotakan (alopecia). Pada lapisan
permukaan kulit, terutama stratum corneum , akan terjadi eksudat dan keluar
merembas dari kulit yang rusak dan bercampur dengan sisa-sisa dari kulit dan
rambut membentuk lapisan kerak. Lapisan kerak berwarna putih keabuan tampak
menonjol disekitar kulit (Gholib & Rachmawati 2010). T. verrucosum menginfeksi
jenis hewan terbatas, terutama pada ruminansia, sedangkan T. mentagrophytes
spektrum infeksinya lebih luas, termasuk jenis rodensia dan kelinci (Carter & Wise
2004).

Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan
kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata
daripada bagian tengahnya. Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH
10-20%. Pemeriksaan KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel
dari batas lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu
adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora. Pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan klinis, yang dapat berupa
kerokan kulit, rambut, dan kuku

Diagnosa Banding
Menurut Daili (2005), diagnosis banding dari Tinea Kruris (manusia) atau
ringworm (hewan) yaitu:
a. Psoriasis adalah peradangan menahun yang ditandai dengan plak
eritematosa dengan skuama lebar, kasar, berlapis dan putih seperti mika.
Perjalanan penyakit ini kronis residif. Efloresensi : plakat eritematosa
berbatas tegas ditutupi skuama tebal, berlapis-lapis dan berwarna putih
mengkilat. Terdapat tiga fenomena, yaitu bila digores dengan benda tumpul
menunjukan tanda tetesan lilin. Kemudian bila skuama dikelupas satu demi
satu sampai dasarnya akan tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan
nama Auspits sign. Adanya fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu
timbul lesi-lesi yang sama dengan kelainan psoriasis akibat bekas trauma /
garukan.
b. Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik merupakan penyakit
papuloskuamosa yang kronik. Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah
yang mempunyai banyak kelenajar sebasea. Seperti pada muka, kepala,
dada. Efloresensi : Plakat eritematosa dengan skuama berwarna kekuningan
berminyak dengan batas tegas.

Pengobatan
Dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin
yang bersifat fungistatik. Bagan dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Lama
pengobatan tergantung dari lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita. Efek
samping griseofulvin jarang di jumpai, yang merupakan keluhan utama ialah
sefalgia yang di dapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat berupa
gangguan traktus digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga
bersifat fotosensitif dan dapat menggangu fungsi hepar.

(a) Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi
konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam
salisilat,asam benzoat, sulfur dan sebagainya.
(b) Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ; griseofulvin 500-1.000 mg
selama 2-3 minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.
Pencegahan
Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah
penyebaran sehingga tidak terjadi endemik bila ada serangan penyakit di berbagai
macam jenis ternak, untuk itu perlu ditingkatkan masalah kebersihan, perbaikan
gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara
memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat
diperlukan untuk anjing dan kucing. Sedangkan untuk ternak khususnya sapi perah
harus sering dijaga kebersihannya dengan memandikan secara teratur, lalu
diberikan konsentrat, rumput dan vitamin seperlunya. Vaksinasi adalah pencegahan
yang baik pula, namun relatif mahal. Pemakain vaksin perlu dipertimbangkan
(SMITH dan GRIFFIN,1995). Dengan cara pengembangan vaksin terhadap respon
Cell-Mediateds Immune (CMI) yang menstimulasi limfosit tipe I dan sitokin seperti
interleukin 2 dan interferon gamma. Di Indonesia pemakaian vaksin dermatofit
belum dilaksanakan.

SIMPULAN

Tricophyton mentagrophytes merupakan kapang zoofilik yang berpotensi


zoonosis (dapat menginfeksi manusia maupun hewan) yaitu pada kulit, kuku, dan
rambut atau bulu. Penyakit yang ditimbulkannya disebut dermatofitosis atau
disebut tinea pada manusia dan ringworm pada hewan. Gejala klinis yang berupa
kulit yang kemerahan, bersisik, di bagian tepi berbentuk cincin melalui kontak
langsung. Diagnosis penyakit berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan
kulit serta pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan
kerokan kulit. Dermatofitisis dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang
bersifat fungistatik dan cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah
penyebaran dan menjaga sanitasi lingkungan hewan dan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[CFSPB] Center for Food Security and Public Health. 2005. Dermatophytosis,
Ringworm, Tinea, Dermatomycosis. Iowa (US): Iowa State University.
Baltazar LM, Santos PC, Paula TP, Rachid MA, Cisalpino PS, Souza DG, Santos
DA. 2014. IFN-gamma impairs Tricophyton rubrum proliferation in a
murine model of dermatophytosis through the production of IL-1beta and
reactive oxygen species. Medical Mycology. 52 (1): 293-302.
Cambier L, Bagut ET, Heinen MP, Tabart J, Antoine N, Mignon B. 2015.
Assessment of immunogenicity and protective efficacy of Microsporum
canis secreted components coupled to monophosphoryl lipid-A adjuvant in
a vaccine study using guinea pigs. Journal Veterinary Microbiology.1 (1):
304-311.
Carter GR. dan Wise DJ. 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and
Mycology. Sixth Edition Blackwell Publishing.
Daili. 2005. Infeksi Menular Seksual. Jakarta (ID) : FKUI Press.
Edwardson J dan Andrews AH. 1979. An outbreak of ringworm in a group of young
cattle. The Veterinary Record. 2(1) : 474 – 477.
Gholib D dan Rachmawati S.2010. Kapang dermatofit Trichophyton verrucosum
penyebab penyakit ringworm pada sapi. Wartazoa. 20 (1): 43-52.
Havlickova B, Czaika VA, Fredrich M. 2008. Epidemiological trends in skin
mycoses worldwide. Mycoses. 51 (1): 2-15.
Jegadeesan M, Kuruvila S, Nair S. 2017. Clinico-etiological study of tinea corporis:
Emergence of Tricophyton mentagrophytes. International Journal of
Scientific Study. 5(1): 161-165.
Khairiyah. 2011. Zoonosis dan upaya pencegahannya (kasus Sumatera Utara).
Jurnal Litbang Pertanian 30 (3): 117-124.
Khusnul, Kurniawati I, Hildana R. 2018. Isolasi dan identifikasi jamur
dermatophyta pada sela-sela jari kaki petugas kebersihan di Tasikmalaya.
Jurnal Kesehatan Bakti Tumas Husada. 18(1): 44-49.
Mohammad AH, Abdollah D, Iman M. 2015. Tricophyton mentagrophytes
dermatofitosis in a caracal (Caracal caracal). Online Journal of Veterinary
Research. 19(5): 344-348.
Sunartatie T. 2010. Trichophyton mentagrophytes sebagai agen penyebab
dermatofitosis pada kambing. Jurnal Sain Veteriner. 28 (1): 48-52.
Surekha A, Kumar GR, Sridevi K, Murty DS, Usha G, Bharati G. 2015. Superficial
dermatomycoses: a prospective clinico-mycological study. J Clin Sci Res. 4:
7-15.
Surendran KAK, Ramesh MB, Rekha B, Nandakishore B, Sukumar D. 2014. A
clinical and mycological study of dermatophytic infections. Indian Journal
of Dermatology. 59(3): 262-267.
Smith JMB dan Griffin JFT. 1995. Strategies for the development of a vaccine
against ringworm. Journal of Medical and Veterinary Mycology. 33(1): 87-
91
Wulandari RL, Hidayati N, Nuria MC. 2019. Efek anti jamur Trichophyton
mentagrophytes losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah (Morinda
citrifolia L.) secara in vivo. Prosiding SNST Fakultas Teknik. 1 (1): 7-12.

Anda mungkin juga menyukai