Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan
tidak termasuk golongan tumbuhan. Jamur bersifat heterotropik yaitu
organisme yang tidak mempunyai klorofil sehingga tidak bisa membuat
makanan sendiri melalui proses fotosintesis seperti tanaman. Jamur
memerlukan zat organik yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan,
serangga, dan lain-lain kemudian dicerna menjadi zat anorganik yang
kemudian diserap oleh jamur sebagai makanannya. Sifat inilah yang dapat
menyebabkan kerusakan pada benda dan makanan, Jamur juga masuk ke
dalam tubuh manusia sehingga dapat menimbulkan penyakit sehingga
menimbulkan kerugian dan diperlukan biaya yang besar untuk mencegah
kerusakan tersebut (Brandt, Warnock, 2003).
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri maupun jamur di negara
berkembang termasuk Indonesia masih tinggi. Hal ini masih menjadi masalah
besar dan tantangan serius bagi negara Indonesia untuk melakukan usaha
antibiotik alternatif guna mengurangi tingginya penderita penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh bakteri ataupun jamur tersebut (Utami, 2005).
Manusia selalu terpajan jamur yang tumbuh hampir di semua tempat
terutama di daerah tropis namun tidak semua orang bisa terkena penyakit
jamur. Jamur lebih tahan hidup dalam keadaan lingkungan yang tidak
menguntungkan daripada mikroorganisme lain. Infeksi nosokomial yang
disebabkan oleh jamur akhir-akhir ini semakin meningkat dan sering
dilaporkan yaitu penyakit infeksi jamur. Hal ini di akibatkan dari
bertambahnya kecepatan pertumbuhan jamur karena kondisi lingkungan yang
lembab. Salah satu contoh penyakit tersebut adalah penyakit radang kornea
(Keratomikosis) dan penyakit paru yang disebabkan oleh jamur Aspergillus
niger.
Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea oleh jamur, Keratomycosis
disebut juga keratitis fungi yang merupakan infeksi jamur yang menyerang
kornea, pada bagian anterior dari pupil. Jamur penyebab radang kornea

1
biasanya oleh karena Aspergillus, Candida, Fusarium, Penicillium yang
berkaitan dengan trauma (terutama yang melibatkan batang pohon, atau
sayuran), pemakaian lensa kontak, penggunaan steroid topikal, defek epitel
yang tidak sembuh, dan keadaan penurunan daya tahan tubuh. Ulkus ini
memiliki karakteristik tertentu yaitu infiltrat satelit, dan plak endotel. Jamur
dapat berpenetrasi hingga ke lapisan membran Descement sedangkan
Aspergillus niger merupakan sejenis jamur yang sporanya terdapat pada
kotoran burung dan kelelawar. Spora ini dapat memasuki parenkim paru-paru
bila terhirup dan menimbulkan Aspergillosis paru-paru. Penyakit Aspergillosis
disebut juga Brooder Pneumonia, mycotic pneumonia, atau pneumomycosis.
Sebagai negara tropis Indonesia menjadi lahan subur tumbuhnya jamur.
Karena itu, penyakit-penyakit akibat jamur sering kali menjangkiti
masyarakat. Guna menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh kedua jamur
tersebut maka diperlukan selain pengetahuan obat anti jamur juga pengetahuan
umum sehingga kita bisa mengenal apa dan bagaimana gejala, dampak, dan
cara pengobatan dari penyakit ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Keratomikosis dan Aspergilosis?
2. Apa penyebab dari Keratomikosis dan Aspergilosis?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Keratomikosis dan Aspergilosis?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari Keratomikosis dan Aspergilosis?
5. Bagaimana diagnosa penyakit Keratomikosis dan Aspergilosis?
6. Bagaimana penanggulangan penyakit Keratomikosis dan Aspergilosis?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan Keratomikosis
dan Aspergilosis.
2. Agar mahasiswa mengetahui apa penyebab dari Keratomikosis dan
Aspergilosis.
3. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana perjalanan penyakit
Keratomikosis dan Aspergilosis.
4. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana manifestasi klinik dari
Keratomikosis dan Aspergilosis.

2
5. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana diagnosa penyakit Keratomikosis
dan Aspergilosis.
6. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit
Keratomikosis dan Aspergilosis.
D. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan Keratomikosis dan
Aspergilosis.
2. Mahasiswa mengetahui apa penyebab dari Keratomikosis dan
Aspergilosis.
3. Mahasiswa mengetahui bagaimana perjalanan penyakit Keratomikosis dan
Aspergilosis.
4. Mahasiswa mengetahui bagaimana manifestasi klinik dari Keratomikosis
dan Aspergilosis.
5. Mahasiswa mengetahui bagaimana diagnosa penyakit Keratomikosis dan
Aspergilosis.
6. Mahasiswa mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit
Keratomikosis dan Aspergilosis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mikosis Superfusialis
Mikosis superfisialis ialah infeksi jamur yang menyerang kulit dan
terbagi atas 2 jenis, yaitu dermatofitosis dan non-dermatofitosis. (Mohamad I,
2017).
1. Dermatofitosis
Pembagian ini didasarkan pada etiologinya. Infeksi jamur
dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang berasal dari genus
Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. Dikenal berbagai
bentuk dermatofitosis dan secara klinis lebih sering dikelompokan
berdasarkan lokasi. Bentuk yang ada yaitu (Mohamad I, 2017) :
a. Tinea Kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
b. Tinea Barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
c. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d. Tinea Pedis et Manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku tangan dan kaki
f. Tinea Korporis, dermatofitosis pada bagian yang lain yang tidak
termasuk bentuk 5 tinea diatas.
Selain 6 tinea, masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus,
yaitu (Mohamad I, 2017) :
a. Tinea imbrikata, dermatofitosis dengan susunan skuama yang
konsentris dan disebabkan Trichophyton concentricum.
b. Tinea favosa atau favus, dermatofitosis yang teutama disebabkan
Trichophyton schoenleini secara klinis antara lain terbentuk skutula
dan berbau seperti tikus (mousy odor).
c. Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukan daerah kelainan.
d. Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif
morfologis.

4
Selain itu dikenal juga tinea incognito, yangberarti dermatofitosis
dengan bentuk klinis yang tidak khas karena telah diobati dengan steroid
topikal kuat. (Mohamad I, 2017).
2. Nondermatofitosis
Secara umum penyakit kulit akibat jamur / mikosis superfisial
berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi infeksi jamur
dermatofitosis dan non dermatofitosis. Infeksi jamur non dermatofitosis
mencakup semua jenis infeksi jamur yang menyerang jaringan yang
mengandung zat tanduk dan tidak disebabkan oleh golongan dermatofita.
Jamur yang termasuk ke dalam golongan dermatofita adalah yang berasal
dari genus Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. (Mohamad
I, 2017).
Menurut Mohamad I, (2017) Adapun yang termasuk ke dalam
infeksi jamur non dermatofitosis meliputi:
a. Pitriasis versikolor
b. Piedra
c. Tinea nigra
d. Otomikosis
e. Keratomikosis
f. Kandidiasis kutis
Kandidiasis mencakup infeksi yang luas baik menyerang kulit,
mukosa dan organ dalam.
B. Keratomikosis (Radang Kornea)
1. Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks
refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25
dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya,
kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang
berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai
oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang
memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100
kali jika dibandingkan dengan konjungtiva (AAO, 2008). Kornea dewasa

5
rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter horizontalnya sekitar 11,75
mm dan vertikalnya 10,6 mm ( Riordan-Eva, 2010).

Gambar 2.1. Gambar Struktur Mata


2. Keratitis Fungal
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan
kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat
melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Lokasi keratitis dapat berada di
bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya
terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis
mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan
destruksi jaringan kornea. Kondisi ini sangat mengancam tajam
penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidang oftalmologi (Ilyas,
2004).
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang
pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat
terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan
menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah
perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya
diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan
profunda atau interstisial (Ilyas, 2004).

6
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada
kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan
menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies
jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. Keratitis merupakan
infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea
yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel
atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma. Faktor
predisposisi antara lainnya adalah trauma, pemakaian kontak lensa, dan
steroid topikal. Trauma pada kornea yang memicu terjadinya
keratomikosis, biasanya trauma dengan tumbuhan atau benda-benda
organic (Ilyas, 2004).
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis
terbanyak pada negara India sedangkan data prevalensi di Indonesia belum
tersedia. Jamur terkadang merupakan flora normal eksternal di mata
karena berhasil diisolasi dari sakus konjungtiva pada 3-28% mata
normal.14 Pada mata yang mengalami penyakit, angka isolasi jamur dapat
mencapai 17-37%. Jamur yang umumnya terdapat pada mata normal
adalah Aspergillus spp., Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp.,
Cladosporium spp., dan Alternaria spp. Insidensi keratomikosis di
Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi di daerah pedesaan.
Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di
seluruh dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab
keratitis jamur terbanyak di Amerika Serikat.Fusarium spp. dilaporkan
sebagai penyebab keratitis jamur di Afrika, India, China dan Jepang. Isolat
terbanyak di negara India adalah Aspergillus spp., Penicillium spp., dan
Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat penting untuk
pencegahan paparan di masa yang akan datang dan penentuan modalitas
terapi terbaik (Vera, 2000).

7
Gambar 2.2 keretomikoisis
3. Etiologi
Etiologi atau penyebab keratitis dapat dibedakan sebagai berikut
(Dorland, 2000) :
a. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa.
b. Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
c. Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
d. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas:
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
e. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp,
Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
f. Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda
penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di
Asia Timur Aspergillus sp.
4. Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.
Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid.
Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik
melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah
konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea
neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau herpes
simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor

8
predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah
jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa
kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten (Vera, 2000).
Trauma umumnya terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan
tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan insiden keratitis jamur
yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada pengguna lensa kontak yang
dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with Moisture Loc. Penyebab
yang paling mungkin adalah hilangnya aktivitas fungistatik akibat
peningkatan suhu yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran pada
tahun 2006, angka keratitis jamur telah kembali menurun. Selain
Fusarium, jamur lain yang juga dihubungkan dengan penggunaan lensa
kontak adalah Acremonium, Alternaria, Aspergillus, Candida,
Collectotrichum, and Curvularia. Jamur dapat tumbuh di dalam matriks
lensa kontak soft.
Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar
negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik
pada mata. Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki
prevalensi 18% dari seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit
digali pada sebagian besar kasus, oleh karena itu seluruh kasus dengan
kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur jamur.
Trauma dengan bahan-bahan dari tanaman atau tumbuhan faktor
resiko yang penting dari keratitis fungal. Predisposisi utama adalah para
petani yang menggunakan alat pemotong rumput atau sejenisnya yang
menggunakan peralatan mesin dilapangan berumput, tanpa memakai
pelindung mata. Trauma dihubungkan dengan penggunaan kontak lensa
yang merupakan faktor resiko umum yang lain untuk terjadinya keratitis
fungal. Kortikosteroid topikal adalah faktor resiko mayor lainnya,
Kortikosteroid topikal mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur
dengan mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi. Meningkatnya
penggunaan kortikosteroid topikal selama akhir dekade ke-empat
merupakan implikasi mayor penyebab meningkatnya insiden keratitis
fungal selama periode tersebut. Selain itu, penggunaan kortikosteroid

9
sistemik bisa mensupresi respon sistem imun, karena itu merupakan
predisposis terjadinya keratitis fungal. Faktor resiko lainnya adalah
termasuk operasi kornea (contohnya keratoplasti dan keratotomi radial),
dan keratitis kronis (contohnya herpes simpleks, herpes zoster, atau vernal/
konjungtivitis alergi).
Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada
epithelium, kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis pada
jaringan dan menyebabkan reaksi inflamasi. Kerusakan pada epitelium
biasanya disebabkan dari trauma (contohnya, penggunaan kontak lensa,
benda asing, operasi kornea). Organisme dapat menembus kedalam
membran descment yang intak dan mencapai bagian anterior atau segmen
posterior. Mikotoksin dan enzim proteolitik menambah kerusakan jaringan
yang ada. Keratitis fungal juga dapat terjadi sekunder dari endophthalmitis
fungal. Pada kasus ini, organisme jamur dari segmen posterior menembus
membran Descemet dan masuk kedalam stroma kornea (Brunner and
suddarth, 2001).
5. Perjalanan Penyakit
Fungi biasanya tidak menyebabkan keratitis mikroba karena
normalnya, fungi tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan epitel kornea
yang intak dan tidak masuk ke dalam kornea lewat pembuluh darah limbus
episklera. Defek pada epitel sering diakibatkan oleh trauma (mis.,
pemakaian lensa kontak, benda asing, riwayat operasi kornea). Organisme
dapat berpenetrasi ke dalam membran Descement yang intak dan masuk
ke dalam stroma. Ia membutuhkan cedera penetrasi atau riwayat defek
epitel untuk masuk ke dalam kornea. Setelah berada di dalam kornea,
organisme dapat berproliferasi (Ilyas, 2001).
Organisme yang menginfeksi defek pada epitel sebenarnya
merupakan mikroflora normal yang terdapat pada konjungtiva dan
andeksa. Fungi filamentosa merupakan kausa tersering dari infeksi pasca
trauma. Fungi filamentosa berproliferasi di dalam stroma kornea tanpa
melepaskan substansi kemotaktik, sehingga menunda munculnya respon
imun host/ respon inflamasi. Berbeda dengan fungi filamentosa, Candida

10
albicans memproduksi fosfolipase A dan lisofosfolipase pada permukaan
blastospora, untuk membantu ia masuk ke dalam jaringan. Fusarium
solani, yang merupakan fungus yang virulen, dapat menyebar di dalam
stroma kornea dan berpenetrasi ke dalam membrane Descemet. Trauma
kornea akibat tumbuhan merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya
keratomikosis. Terutamanya, petani yang tidak memakai alat proteksi diri,
khususnya kaca mata. Trauma akibat pemakaian lensa kontak juga adalah
salah satu faktor resiko terjadinya keratomikosis. Trauma kornea paling
sering menyebabkan keratomikosis dan merupakan factor resiko major
tipe keratitis tersebut. Seorang dokter harus mempertimbangkan besar
kemungkinan suatu keratomikosis jika pasien mempunyai riwayat trauma
kornea, terutama adanya kontak dengan tumbuhan atau tanah. Resiko
trauma akibat pemakaian lensa kontak adalah kecil, dan bukan merupakan
faktor resiko major untuk keratomikosis (Brunner and suddarth, 2001).
Selain dari itu, kortikosteroid topikal diketahui dapat mengaktivasi
dan meningkatkan virulensi organisme jamur dengan menurunkan
resistensi kornea terhadap infeksi. Candida sp menyebabkan infeksi okuler
pada hospes yang mengalami imunodefisiensi dan pada kornea dengan
ulkus kronik. Pemakaian kortikosteroid yang semakin meningkat sejak 4
dekade yang lalu telah berimplikasi sebagai suatu penyebab utama
peningkatan insidensi keratomikosis. Tambahan, pemakaian kortikosteroid
sistemik dapat menekan respon imun hospes, sehingga terjadi perdisposisi
kepada keratomikosis. Faktor resiko lainnya termasuk operasi kornea
(mis., PK, keratotomi radial) dan keratitis kronik (mis., herpes simpleks,
herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi).
Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh
trauma, atau pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat
timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat
terjadi pada satu mata atau dua mata.
6. Gejala dan Manifestasi Klinik
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial.
Gejala awal dapat berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan

11
rasa nyeri. Tanda klinis yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan
lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis mikrobial seperti
supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang
di bilik mata depan atau hipopion. Tanda klinis yang dapat membantu
penegakan diagnosis keratitis jamur filamentos adalah ulkus kornea yang
bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas,
permukaan yang kering dan kasar, serta lesi satelit Tampilan pigmentasi
coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous Keratitis
jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak dengan infiltrat
stroma yang dalam. Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas
untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa
pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis jamur dan
bakterial.
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena
infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan
antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada
lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin
imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Pasien biasanya datang dengan
keluhan rasa mengganjal, nyeri yang bertambah berat, penglihatan
menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata, lakrimasi berlebihan, dan
fotofobia (takut cahaya) (Ilyas, 2001).
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat
menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar,
dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit
yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus.
Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara
antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan
sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan
kamera okuli anterior dapat cukup parah.

12
Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus kornea tidak ada.
Infeksi awal dapat sama seperti infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat
limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan keratitis bakteri.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang
memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga
terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang cukup berat. Pasien dengan
keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi yang
minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri
dan hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis
filamentosa sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi
tampak kering dengan tepi ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas
filamentosa. Lesi superficial mungkin muncul sebagai elevasi dari
permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan permukaan kering,
kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan kerokan
kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat
jarang terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi
jamur cukup dalam atau cukup luas (Ilyas, 2001).
7. Diagnosis
a. Anamnesa
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan,
penglihatan kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat.
Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat trauma, kemasukan

13
benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit vaskulitis atau
autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

Gambar 2.1. Anamnesa membedakan penyebab keratitis


b. Pemeriksaan fisis
1. Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat
unilateral), seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa.
Dapat juga ditemukan hipopion yaitu akumulasi sel darah putih
(nanah) di ruang anterior mata. (Melati P, 2016).
2. Pada pemeriksaan Visus
Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang
mengalami infeksi oleh karena adanya defek pada kornea sehingga
menghalangi refleksi cahaya yang masuk ke dalam media refrakta.
(Melati P, 2016).
3. Pada pemeriksaan dengan Slit lamp
Menurut Melati P (2016) Pada pemeriksaan dengan Slit
lamp terdiri dari :
a. Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya
kekeruhan pada kornea.
b. Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva
ataupun perikornea.
c. Tanda yang umum pada pemeriksaan slitlamp yang tidak
spesifik, termasuk didalamnya :

14
1) Injeksi konjungtiva
2) Kerusakan epitel kornea
3) Supurasi
4) Infiltrasi stroma
5) Reaksi pada bilik depan
6) Hipopion
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan langsung dengan menggunakan KOH 10% atau
pewarnaan
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum
menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah
melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula
Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-
60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan
kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine
Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. (Melati P, 2016).
Cara kerjanya ialah bahan-bahan kerokan ulkus pada kornea di
ambil dengan cara mengerok bagian kornea yang mengalami
kekeruhan kornea. Lalu kerokan diletakan pada objek gelas dan
bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH% atau ditambahkan
dengan pewarna seperti tinta Parker Biru Hitam, giemsa dan
pewarnaan gram lalu dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas,
penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya
memang jamur. (Melati P, 2016).
2. Pemeriksaan dengan cara kultur
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur
dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud
atau agar ekstrak maltose. Menggoreskan bahan kerokan pada

15
media Sabouraud Dextrose Agar menggunakan kawat ose secara
aseptik. Menginkubasi media pada inkubator dengan suhu 37⁰C
selama 4-15 hari. (Melati P, 2016).
C. Mikosis Sistemik
Mikosis sistemik diyakini yang paling berbahaya dari semua infeksi jamur.
Hal ini terutama karena mereka menyerang organ internal dengan langsung
masuk melalui paru-paru, saluran pencernaan atau infus. Ini dapat disebabkan
oleh dua kelompok jamur, jamur patogen primer atau jamur oportunistik.
Contoh penyakit jamur milik kelompok pertama meliputi blastomycosis,
histoplasmosis, paracoccidioidomycosis dan coccidiomycosis. Jamur
oportunistik umumnya mempengaruhi orang-orang dengan sistem kekebalan
yang lemah atau dengan beberapa cacat metabolisme yang serius. Penyakit
yang termasuk dalam kategori ini adalah kriptokokosis, kandidiasis, dan
aspergillosis (Uswatun, 2017)
Aspergillosis didefinisikan sebagai suatu kelompok mikosis yang
disebabkan oleh berbagai macam jamur patogen genus Aspergillus, salah satu
jenisnya yang paling banyak menyebabkan infeksi jamur sistemik yaitu
Aspergillus fumigatus (Jawetz and Adelberg, 2007). Infeksi sistemik ini
umumnya dapat memperparah kondisi manusia yang terinfeksi apabila dalam
kondisi kekebalan tubuh rendah, sehingga Aspergillus fumigatus tergolong
jamur patogen oportunistik (Jawetz et al., 1996). Konidia jamur ini akan
tumbuh dengan baik pada salah satu bagian tubuh atau organ yang
ditempelinya, umumnya dalam paru-paru, sebab aspergillus memiliki suhu
optimum untuk tumbuh dan berkembang pada rentang ± 30C, hampir sama
dengan suhu tubuh normal manusia yaitu 36,5-37,2C (Pasanen, 1991).
Aspergillosis yaitu infeksi oputunistik yang paling sering terjadi pada
paruparu dengan gejala yang mirip dengan TB paru. Penyakit ini disebabkan
Aspergillus spp. terutama Aspergillus fumigatus (Rusdi, 2013).
Aspergillosis pulmonary infection merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan yang disebabkan oleh infeksi hifa jamur Aspergillus fumigatus.
Infeksi dapat bertambah parah dan menjadi semakin susah diobati apabila
terjadi resistensi jamur patogen penyebab penyakit terhadap obat. Umumnya

16
infeksi ini baru diketahui ketika infeksi telah menyebar (invasif). Resistensi
dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya akibat penggunaan terapi
antijamur primer (amfoterisin B) secara terus-menerus dalam jangka waktu
panjang sebagai bentuk toleransi adanya penyebaran infeksi (Karthaus, 2011).
Kebanyakan manusia menghirup spora Aspergillus setiap hari, namun
aspergillosis umumnya hanya berkembang pada individu yang
immunocompromised (imun rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus
yang paling umum menyerang adalah Aspergillus fumigatus berbentuk bola
yang mengisi kavitas. Terjadi reaksi imunologis terhadap proses ini. Pada
umumnya terdapat antibody pemicu (IgG) dan pada 50% kasus disertai hasil
tes kulit positif terhadap Aspergillus (Uswatun, 2017)
D. Aspergilosis
Aspergillosis juga merupakan penyakit sistem pernapasan yang
disebabkan oleh infeksi jamur dari genus Aspergillus. Aspergillus
membutuhkan suhu yang hangat, kelembaban, dan material organik untuk
berkembang biak. Jamur akan tumbuh dan menghasilkan banyak spora.
Aspergillus adalah suatu jamur yang termasuk dalam kelas Ascomycetes yang
dapat ditemukan dimana–mana di alam ini. Ia tumbuh sebagai saprofit pada
tumbuh-tumbuhan yang membusuk dan terdapat pula pada tanah, debu
organik, makanan dan merupakan kontaminan yang lazim ditemukan di
rumah sakit dan Laboratorium. Aspergillus adalah jamur yang membentuk
filamenfilamen panjang bercabang, dan dalam media biakan membentuk
miselia dan konidiospora (Uswatun, 2017)
Aspergillus berkembang biak dengan pembentukan hifa atau tunas dan
menghasilkan konidiofora pembentuk spora. Sporanya tersebar bebas di udara
terbuka sehingga inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk melalui
saluran pernapasan ke dalam paru. Sebagai negara tropis Indonesia menjadi
lahan subur tumbuhnya jamur. Karena itu, penyakit- penyakit akibat jamur
sering kali menjangkiti masyarakat (Uswatun, 2017)
Aspergillosis didefinisikan sebagai suatu kelompok mikosis yang
disebabkan oleh berbagai macam jamur patogen genus Aspergillus, salah satu
jenisnya yang paling banyak menyebabkan infeksi jamur sistemik yaitu

17
Aspergillus fumigatus (Jawetz and Adelberg, 2007). Infeksi sistemik ini
umumnya dapat memperparah kondisi manusia yang terinfeksi apabila dalam
kondisi kekebalan tubuh rendah, sehingga Aspergillus fumigatus tergolong
jamur patogen oportunistik (Jawetz et al., 1996). Konidia jamur ini akan
tumbuh dengan baik pada salah satu bagian tubuh atau organ yang
ditempelinya, umumnya dalam paru-paru, sebab aspergillus memiliki suhu
optimum untuk tumbuh dan berkembang pada rentang ± 30C, hampir sama
dengan suhu tubuh normal manusia yaitu 36,5-37,2C (Pasanen, 1991).
Aspergillosis yaitu infeksi oputunistik yang paling sering terjadi pada
paruparu dengan gejala yang mirip dengan TB paru. Penyakit ini disebabkan
Aspergillus spp. terutama Aspergillus fumigatus (Rusdi, 2013).
Aspergillosis pulmonary infection merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan yang disebabkan oleh infeksi hifa jamur Aspergillus fumigatus.
Infeksi dapat bertambah parah dan menjadi semakin susah diobati apabila
terjadi resistensi jamur patogen penyebab penyakit terhadap obat. Umumnya
infeksi ini baru diketahui ketika infeksi telah menyebar (invasif). Resistensi
dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya akibat penggunaan terapi
antijamur primer (amfoterisin B) secara terus-menerus dalam jangka waktu
panjang sebagai bentuk toleransi adanya penyebaran infeksi (Karthaus, 2011).
Kebanyakan manusia menghirup spora Aspergillus setiap hari, namun
aspergillosis umumnya hanya berkembang pada individu yang
immunocompromised (imun rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus
yang paling umum menyerang adalah Aspergillus fumigatus berbentuk bola
yang mengisi kavitas. Terjadi reaksi imunologis terhadap proses ini. Pada
umumnya terdapat antibody pemicu (IgG) dan pada 50% kasus disertai hasil
tes kulit positif terhadap Aspergillus (Uswatun, 2017)
1. Morfologi Jamur dan koloni
Spesies keluarga Eurotiaceae genus khas Aspergillus ini memiliki
morfologi tertentu yang dapat diidentifikasi secara mikroskopik dan
makroskopik. Pada umumnya, antar Aspergillus sp. dapat dibedakan satu
dengan yang lain dari warna dan bentuk konidianya (Mehrotra and
Aneja, 1990). Perbedaan warna hifa pada tiap jamur inilah yang

18
digunakan sebagai parameter karakterisasi yang khas dari tiap spesies
Aspergillus sp. (Clark et al., 1983).
Jamur berfilamen ini dapat secara jelas diamati dengan mikroskop
dengan mewarnai konidia jamur menggunakan larutan lactophenol cotton
blue yang sebelumnya telah ditetesi alkohol 70% ke dalamnya (Henrici,
1948, Clark et al., 1983). Oleh karena itu, seringkali penampang
mikroskopik Aspergillus fumigatus berwarna kebiruan.

Gambar II.III Pengamatan dengan mikroskop konidia jamur, Aspergilus fumigatus

Aspergillus fumigatus koloni muncul sebagai filamen putih kemudian


berubah warna hijau tua atau hijau gelap dengan pinggiran putih dan
permukan bawah koloni berwarna kekuningan sampai coklat. Hal ini
sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Gholib dan Tarmudji (2005)
bahwa Aspergillus fumigatus yang tumbuh berwarna hijau kebiruan,
diameter 1-2 cm, permukaan koloni seperti beludru (velvety). (Hayanin
N, 2017).

Gambar II.IV Koloni A. fumigatus


A. niger memiliki warna koloni hitam dan bagian bawah koloni berwarna
putih kekuningan. Secara mikroskopis vesikel berbentuk bulat hingga
semi bulat. Konidia bulat hingga semi bulat dan berwarna coklat.

19
Pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya adanya hifa bersepta, tonjolan.
(Hayanin N, 2017).

Gambar II.V koloni A. Niger


2. Epidemiologi
Jamur Aspergillus tersebar di seluruh dunia. Konidianya dapat hidup
di tanah dan di udara. Sehingga spora jamur ini selalu dapat terhirup oleh
manusia. Terjadinya infeksi Aspergillus pada manusia lebih berperan
pada faktor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi jamurnya
sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi jamur Aspergillus (Kumala,2006).
3. Gejala dan Tanda-Tanda
Tanda-tanda dan gejala aspergillosis bervariasi. Berikut adalah di
antaranya :
a. Reaksi Alergi
Beberapa orang dengan asma atau cystic fibrosis akan
mengalami reaksi alergi saat terpapar jamur aspergillus. Tanda dan
gejala dari kondisi yang dikenal sebagai alergi bronchopulmonary
aspergillosis, meliputi: demam, batuk yang disertai darah dan lendir,
memburuknya asma (Uswatun, 2017)
b. Kumpulan Serat Jamur
Kumpulan serat jamur dapat terbentuk di paru-paru yang
memiliki rongga. Jenis aspergillosis ini disebut aspergilloma.
Rongga paru-paru dapat terjadi pada orang yang mengalami penyakit
paru-paru serius seperti emfisema, tuberkulosis, dan sarcoidosis.

20
Aspergilloma adalah kondisi jinak yang pada awalnya mungkin tidak
menimbulkan gejala, tapi seiring waktu menyebabkan: batuk yang
sering berdarah, sesak napas, penurunan berat badan, kelelahan
(Uswatun, 2017)
c. Infeksi
Bentuk paling parah aspergillosis disebut aspergillosis paru
invasif. Kondisi ini terjadi ketika infeksi menyebar dengan cepat dari
paru-paru melalui aliran darah ke otak, jantung, ginjal, atau kulit.
Aspergillosis paru invasif umumnya terjadi pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh melemah karena penyakit tertentu atau saat menjalani
kemoterapi. Tanda dan gejala tergantung pada organ yang terkena,
tetapi secara umum meliputi: demam dan menggigil, batuk berdarah,
pendarahan parah dari paru-paru, sesak napas, nyeri dada dan nyeri
sendi, mimisan, pembengkakan wajah pada satu sisi, lesi kulit (lecet-
lecet pada kulit) (Uswatun, 2017)
Kondisi buruk aspergillosis dapat menyebar melalui aliran darah
untuk menyebabkan kerusakan organ luas. Gejalanya meliputi
demam, menggigil, shock, delirium, kejang, dan pembekuan darah,
dapat mengem-bangkan gagal ginjal, gagal hati (menyebabkan
penyakit kuning), dan kesulitan bernapas, kematian dapat terjadi
dengan cepat. Aspergillosis dari saluran telinga menyebabkan gatal
dan kadang-kadang nyeri (Uswatun, 2017)
Infeksi Aspergillus invasif cepat di paru-paru sering
menyebabkan batuk, demam, nyeri dada, dan kesulitan bernapas.
Selain gejala tersebut di atas, sebuah X-ray atau computerized
tomography (CT) scan daerah yang terinfeksi memberikan petunjuk
untuk membuat diagnosis (Uswatun, 2017)
4. Penyebab Aspergilosis
Aspergillosis tidak menular dari orang ke orang. Jamur aspergillus
tidak dapat dihindari. Jamur dapat ditemukan dalam daun membusuk,
kompos, pohon-pohon dan tanaman biji-bijian. Sedangkan di dalam
ruangan, spora dapat berkembang di ruangan AC, saluran pemanas,

21
isolasi, beberapa makanan dan rempah-rempah. Paparan harian terhadap
jamur aspergillus biasanya tidak menimbulkan masalah bagi orang yang
memiliki sistem imun yang sehat. Jika spora jamur terhirup, sel-sel pada
sistem kekebalan tubuh (yang sehat) akan mengepung dan
menghancurkan spora jamur tersebut. Tetapi pada orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah karena sakit atau berada di
bawah kendali obat imunosupresan, tubuh hanya memiliki sedikit sel
yang melawan spora tersebut sehingga aspergillus dapat mengambil alih
kontrol sistem, menyerang paru-paru dan bahkan menyerang bagian
tubuh lain (Siregar, 2004).
5. Diagnosis
Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya
fungi penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun
melalui biakan. Disamping itu dapat pula dilakukan uji serolog
a. Pewarnaan
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat
pula dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak
dikeluarkan oleh penderita setelah sebelumnya berkumur-kumur
dengan air bersih berkali-kali. Tanpa pengawet dahak dikirim
secepatnya untuk pemeriksaan . Dengan pemeriksaan langsung
dibawah mikroskop biasanya dapat dikenali dan nampak spora, hipa
clan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah dan jelas bila
dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat
sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa (Sukamto, 2004)
b. Kultur
Dilakukan kultur dengan media PDA. Menggoreskan bahan
sputum pada media PDA menggunakan kawat ose secara aseptik.
Menginkubasi media pada inkubator dengan suhu 37⁰C selama 4-15
hari. (Melati P, 2016).
c. Serologi
Pemeriksaan serologis kurang efektif. ELISA dapat dilakukan
untuk mengetahui adanya antibodi spesifik terhadap Aspergillus

22
fumigatus dan Aspergillus flavus. Diferensial diagnosisnya adalah
daktilariosis. Dengan AGP jamur dapat dibedakan berdasarkan garis
presipitasi yang dihasilkan. Aspergillus fumigates menghasilkan
garis presipitasi sedangkan A. flavus tidak menghasilkan garis
presipitasi (Tabbu, 2002).
Terjadi reaksi imunologis terhadap proses ini. Pada umumnya
terdapat antibody pemicu (IgG) dan pada 50% kasus disertai hasil tes
kulit positif terhadap Aspergillus (Uswatun, 2017)
6. Pencegahan
Sulit untuk menghindari menghirup tingkat normal spora Aspergillus.
Bagi orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah atau
penyakit paru- paru parah, ada beberapa langkah yang dapat diambil
untuk membantu mengurangi eksposur, termasuk :
a. Pakailah masker ketika dekat atau berada di lingkungan berdebu
seperti lokasi konstruksi.
b. Hindari aktivitas yang melibatkan kontak dekat dengan tanah atau
debu, seperti pekerjaan halaman atau berkebun.
c. Gunakan langkah-langkah perbaikan kualitas udara seperti filter
High Efficiency Particulate Air (HEPA).
d. Minum obat antijamur profilaksis jika dianggap perlu oleh penyedia
layanan kesehatan.
e. Bersihkan luka kulit dengan sabun dan air, terutama jika cedera telah
terkena tanah atau debu (Uswatun, 2017)
7. Perawatan dan Pengobatan
Perawatan dan pengobatan aspergillosis dapat dilakukan dengan
cara:
a. Observasi : Aspergillomas tunggal biasanya tidak membutuhkan
pengobatan, dan obat-obatan biasanya tidak efektif dalam mengobati
massa jamur ini. Aspergillomas yang tidak menimbulkan gejala
mungkin diperiksa secara ketat dengan bantuan rontgen dada. Jika
kondisi terus berkembang, penggunaan obat anti-jamur mungkin
disarankan.

23
b. Kortikosteroid oral : Tujuan mengobati alergi aspergilosis
bronkopul-moner adalah untuk mencegah asma yang sudah ada atau
memburuknya cystic fibrosis. Cara terbaik untuk melakukannya
adalah dengan kortikosteroid oral. Obat anti-jamur tidak membantu
untuk alergi aspergilosis bronkopulmoner, tetapi dapat dikombina-
sikan dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis steroid dan
meningkatkan fungsi paru-paru.
c. Obat antijamur : Obat ini adalah pengobatan standar untuk
aspergillosis paru invasif. Secara historis, obat yang sering
digunakan adalah amfoterisin B, tetapi obat yang lebih baru
vorikonazol (Vfend) kini lebih disukai karena tampaknya menjadi
lebih efektif dan mungkin memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Semua obat anti-jamur dapat menyebabkan masalah serius seperti
kerusakan hati atau ginjal. Obat juga dapat berinteraksi dengan obat
lain jika diberikan kepada orang-orang dengan sistem imun lemah.
d. Operasi : Karena obat anti-jamur tidak cukup untuk mengatasi
aspergillomas yang parah, operasi untuk mengangkat massa jamur
adalah pilihan pengobatan pertama yang diperlukan ketika terjadi
pendarahan di paru-paru. Karena operasi sangat berisiko, dokter
mungkin menyarankan embolisasi sebagai gantinya. Dalam
embolisasi, ahli radiologi akan mengulir kateter kecil ke dalam arteri
yang memasok darah ke rongga yang berisi bola jamur dan
menyuntikkan bahan yang menyumbat arteri. Meskipun prosedur ini
dapat menghentikan pendarahan masif, tetapi pendarahan bisa saja
terulang. Embolisasi umumnya dianggap sebagai pengobatan
sementara (Barnes and Marr, 2006 )

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Mikosis superfisialis ialah infeksi jamur yang menyerang kulit dan terbagi
atas 2 jenis, yaitu dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Pembagian ini
didasarkan pada etiologinya. Infeksi jamur dermatofitosis disebabkan oleh
jamur yang berasal dari genus Microsporum, Epidermophyton dan
Trichophyton. Secara umum penyakit kulit akibat jamur / mikosis
superfisial berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi infeksi jamur
dermatofitosis dan non dermatofitosis. Infeksi jamur non dermatofitosis
mencakup semua jenis infeksi jamur yang menyerang jaringan yang
mengandung zat tanduk dan tidak disebabkan oleh golongan dermatofita.
Jamur yang termasuk ke dalam golongan dermatofita adalah yang berasal
dari genus Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton
2. Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.
Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma,
membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan
lebih dari satu lapisan kornea.
3. Mikosis sistemik diyakini yang paling berbahaya dari semua infeksi jamur.
Hal ini terutama karena mereka menyerang organ internal dengan
langsung masuk melalui paru-paru, saluran pencernaan atau infus.
4. Aspergillosis juga merupakan penyakit sistem pernapasan yang
disebabkan oleh infeksi jamur dari genus Aspergillus.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis mohon dengan sangat masukan
dan kritikan dari bapak dosen agar menjadi lebih baik lagi, karena dalam
penyusunan makalah ini, mungkin banyak kata atau penulisan kata yang salah.

25
DAFTAR PUSTAKA
Barnes PD, Marr KA. 2006. Aspergillosis: spektrum penyakit, diagnosis, dan
pengobatan. Menginfeksi Dis Clin Utara Am. 2006 September, 20 (3): 545-
61, vi.

Brunner and suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa
: dr. H.Y. Kuncara dkk.Jakarta : EGC

Hayanin N.,Erina.,Darniati 2017. ISOLASI Aspergillus sp Pada Paru-Paru Ayam


Kampung (Gallus domesticus) Junral Jimvet vol 1 edisi 4

Henrici, 1948. Pengantar Mikologi. Padang: Andalas Universitas Press.

Ilyas, Sidharta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Penerbit FKUI

Ignativicus, Donna D. 1991. Medical Surgical Nursing. First edition. Philadelphia

Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., 1996, Mikrobiologi Kedokteran,


Edisike-20, 213, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

Jawetz., et al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg,


Ed.23, Translation of Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical
Microbiology, 23thEd. Alih bahasa oleh Hartanto, H., et al. Jakarta: EGC

Karthaus,2011.Panduan Lengkap Jamur. Bogor: Penebar Swadaya.

Kumala W, 2006, Mikologi dasar kedokteran, Diagnosis Laboratorium, Penerbit


Universitas Trisakti, Jakarta, pp. 27-28

Mehrotra, R. S. & Aneja, K. R., 1990, An Introduction to Mycology, Wiley, New


York, Wiley Eastern Limited.

Muhammad I, 2017. Mikosis. Universitas Kresten Indonesia. Jakarta

Melati P, 2016. Penyakit yang Disebabkan Oleh Jamur.


http://www.academia.edu/12045145/Makalah_Penyakit_yang_disebabka
n_oleh_jamur Diakses Pada Tanggal 25 November 2018

Pasanen, A. L., 1991, Laboratory studies on the relationship between fungal


growth and atmospheric temperature and humidity, Environment
International, 17.

Rusdi, R, 2013. Jamur Paru Aspergillosis. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

Siregar, R.S., 2004. Penyakit Jamur Kulit, editor, Huriawati Hartanto. Ed.2.
Jakarta: EGC. pp : 17,43

26
Sukamto, 2004. Pemeriksaan Jamur Bilasan Bronkus Pada Penderita Bekas
Tuberkulosa Paru. USU digital library. Vol.1

Tabbu, Charles Rangga. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume


1. Yogyakarta : Kanisius

Uswatun, 2017. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera Vol. 15 (30) Desember 2017 p-
ISSN: 1693-1157, e-ISSN: 2527-9041

Vera, H.D dan Margaret R.T. 2000. Perawatan Mata. Yogyakarta : penerbit ANDI
Yogyakarta

27

Anda mungkin juga menyukai