Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di
negara-negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang
sering muncul di tengah masyarakat Indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban
udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan jamur.
Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga masalah kebersihan
lingkungan, sanitasi dan pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam
kehidupan seharihari masyarakat Indonesia (Hare, 1993).
Jamur yang dapat menyebabkan infeksi antara lain Candida albicans.
Candida albicans adalah suatu ragi lonjong, bertunas yang menghasilkan
pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan maupun eksudat.
Ragi ini adalah anggota flora normal selaput mukosa saluran pernafasan, saluran
pencernaan, dan genitalia wanita. Pada genitalis wanita Candida albicans
menyebabkan vulvovaginitis yang menyerupai sariawan tetapi menimbulkan
iritasi, gatal yang hebat, dan pengeluaran sekret. Hilangnya pH asam merupakan
predisposisi timbulnya vulvovaginitis kandida. Dalam keadaan normal pH yang
asam dipertahankan oleh bakteri vagina (Jawetz et al., 1986).
Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik yang terdapat di alam dalam
bentuk miseliumnya (saprofit) dan pada jaringan manusia sebagai ragi.
Histoplasma capsulatum  menyebabkan histoplasmosis, infeksi mikotik di paru
yang sering terjadi pada manusia dan hewan. Di alam, H. capsulatum tumbuh
sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat burung, diperkaya oleh
substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H.capsulatum dan histoplasma dan
histoplasmosis, yang dimulai dengan inhalasi konidia, terjadi di seluruh dunia.
Namun insidennya sangat bervariasi dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika
Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama tersebut dari gambaran sel ragi pada
potongan histopatologik; namun, baik protozoa maupun saprofit tersebut tidak
mempunyai kapsul.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Apa definisi jamur candidiasis dengan jamur histoplasma ?
2. Bagaimana morfologi dari jamur candidiasis dan jamur histoplasma ?
3. Bagaimana cara infeksi jamur candidiasis dan jamur histoplasma?
4. Bagaimana cara mendiagnosa jamur candidiasis dan jamur histoplasma ?
C. Tujuan
Tujuan pada pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi dari jamur candidiasis dan jamur histoplasma
2. Untuk mengetahui morfologi dari jamur candidiasis dan jamur histoplasma
3. Untuk mengetahui cara infeksi jamur candidiasis dan jamur histoplasma
4. Untuk mengetahui cara mendiagnosa jamur candidiasis dan jamur
histoplasma
D. Manfaat
Manfaat pada pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui definisi dari jamur candidiasis dan jamur
histoplasma
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui morfologi dari jamur candidiasis dan
jamur histoplasma
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara infeksi jamur candidiasis dan jamur
histoplasma
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara mendiagnosa jamur candidiasis dan
jamur histoplasma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi jamur
Secara umum, jamur dapat didefinisikan sebagai organisme eukariotik yang
mempunyai inti dan organel. Jamur tersusun dari hifa yang merupakan
benangbenang sel tunggal panjang, sedangkan kumpulan hifa disebut dengan
miselium. Miselium merupakan massa benang yang cukup besar dibentuk dari
hifa yang saling membelit pada saat jamur tumbuh. Jamur mudah dikenal dengan
melihat warna miseliumnya (Volk and Wheeler, 1993).
Bagian penting tubuh jamur adalah suatu struktur berbentuk tabung
menyerupai seuntai benang panjang, ada yang tidak bersekat dan ada yang
bersekat. Hifa dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga membentuk jaring-
jaring, bentuk ini dinamakan miselium. Pada satu koloni jamur ada hifa yang
menjalar dan ada hifa yang menegak. Biasanya hifa yang menegak ini
menghasilkan alat-alat pembiak yang disebut spora, sedangkan hifa yang menjalar
berfungsi untuk menyerap nutrien dari substrat dan menyangga alat-alat
reproduksi. Hifa yang menjalar disebut hifa vegetatif dan hifa yang tegak disebut
hifa fertil. Pertumbuhan hifa berlangsung terus-menerus di bagian apikal,
sehingga panjangnya tidak dapat ditentukan secara pasti. Diameter hifa umumnya
berkisar 3-30 µm. Jenis jamur yang berbeda memiliki diameter hifa yang berbeda
pula dan ukuran diameter itu dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Carlile
and Watkinson, 1994).
Hifa adalah benang halus yang merupakan bagian dari dinding tubuler yang
mengelilingi membran plasma dan sitoplasma. Jamur sederhana berupa sel
tunggal atau benang-banang hifa saja. Jamur tingkat tinggi terdiri dari anyaman
hifa yang disebut prosenkim atau pseudoparenkim. Prosenkim adalah jalinan hifa
yang kendor dan pseudoparenkim adalah anyaman hifa yang lebih padat dan
seragam. Sering terdapat anyaman hifa yang padat dan berguna untuk mengatasi
kondisi buruk yaitu rhizomorf atau sklerotium. Ada pula yang disebut stroma
yaitu jalinan hifa yang padat dan berfungsi sabagai bantalan tempat tumbuhnya
bermacam-macam bagian lainnya (Sasmitamihardja, 1990).
B. Candidiasis
Candida merupakan jamur yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dalam dua bentuk yang berbeda yaitu blastopore (blasroconidia) adalah bentuk
fenotip yang bertanggung jawab dalam tranmisi dan penyebaran, serta germinated
yeast. Oleh karena itu Candida disebut jamur dimorfik (Tortora, 2001). Perbedaan
ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhi selama proses
pertumbuhan berlangsung. Bentuk fenotip dapat menginvasi jaringan dan
menimbulkan simptomatik karena dapat menghasilkan mycelia (Wibowo, 2010).
Kandidiasis adalah infeksi jamur yang terjadi karena tidak terkontrolnya
pertumbuhan dari spesies Candida (akpan & morgan, 2002), yang dapat
menyebabkan sariawan (Vinces, 2004), lesi pada kulit (Bae et al, 2005),
vulvaginistis (Wilson, 2005), candiduria (Kobayashi et al, 2004), gastrointestinal
candidiasis yang menyebabkan gastriculcer (Brzozowski et al, 2005) atau bahkan
dapat menjadi komplikasi kanker (Dinubile et al, 2005).
Pada orang sehat hidup 30-60% Candida albicans yang hidup normal tanpa
adanya keluhan namun dapat menjadi patogen bila terdapat faktor resiko seperti
menurunnya imunitas, gangguan endokrin, terapi antibiotik jangka panjang,
perokok dan kemoterapi (Mauliani, 2005).
Jamur golongan Candida yang patogen dan merupakan penyebab kandidiasis
adalah Candida albicans. Penyakit kandidiasis banyak dihubungkan dengan
berbagai faktor, seperti keadaan kulit yang terus lembab, pemakaian obatobat
antibiotik, steroid dan sitostatika, perubahan fisiologis tubuh pada kehamilan,
penyakit-penyakit menahun dan kelemahan umum, gangguan endokrin, dan
obesitas serta keadaan malnutrisi (Harahap, 2000).
Infeksi terbanyak secara endogen, karena jemur telah ada di dalam tubuh
penderita, di dalam berbagi organ, terutama di dalam usus. Infeksi biasanya
terjadi bila ada faktor predisposisi. Oleh karena itu C. albicans pada hakikatnya
dimasukkan sebagian jamur oportinis (Suprihatin, 1982). Faktor-faktor
predisposisi utama infeksi C. albicans pada hakikatnya dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok pertama menyuburkan pertumbuhan C. albicans seperti
diabetes mellitus dan kehamilan. Kelompok kedua yaitu memudahkan terjadinya
invasi jaringan atau penyakit yang melemahkan tubuh penderita, misalnya
penyakit menahun dan pemberian kortikosteroid (Suprihatin, 1982).
Menurut Frobisher, (1983) berikut ini klasifikasi Candida albicans yaitu :
Division : Thallophyta
Subdivisio : Fungi
Classis : Deuteromycetes
Ordo : Moniliases
Familia : Cryptococcaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
C. Morfologi kandidiasis

Gambar 1. Morfologi jamur kandidiasis

Sel jamur Candida berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong. Koloninya
pada medium padat sedikit timbul dari permukaan medium, dengan permukaan
halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Besar
koloni bergantung pada umur. Pada tepi koloni dapat dilihat hifa semu sebagai
benang-benang halus yang masuk ke dalam medium. Pada medium cair jamur
biasanya tumbuh pada dasar tabung (Suprihatin, 1982).
Bentuk blastospora dari candida yang tumbuh ke selaput mukosa atau lapisan
epitel kulit adalah gejala adanya infeksi, sebelum terbentuknya pseudohifa dan
filament. Penyebaran candida ke organ viseral mungkin terjadi secara merata
(Soedarmo et al., 2008). Candida dapat masuk ke banyak organ seperti selaput
otak melalui aliran darah, selain itu faktor imunitas yang menurun memicu
cepatnya pertumbuhan jamur tersebut seperti pada pasien dengan penderita
Kanker, AIDS, dan lain-lain (Jawetz et al., 1996).
D. Patogenitas candida
Sumber utama infeksi kandida adalah flora normal dalam tubuh pada pasien
itu sendiri yang menginfeksi secara oportunistik apabila terjadi gangguan sistem
imun inang yang menurun. Kandida dapat juga berasal dari luar tubuh secara
eksogen, contohnya pada bayi baru lahir mendapat infeksi kandida dari vagina
ibunya atau dari lingkungan rumah sakit. Manifestasi klinis kandidiasis
merupakan hasil interaksi antara kandida, mekanisme pertahanan inang dan faktor
pejamu baik endogen maupun eksogen (Hay,Asbee, 2010; Astari,Cholis, 2013).
Kandida adalah jamur dimorfik dimana virulensi jamur ini terjadi apabila ada
perubahan dari sel ragi menjadi pseudohifa dan hifa yang banyak ditemukan saat
stadium invasi pada sel-sel epitel. Virulensi C. albicans ditentukan oleh
kemampuan tumbuh pada suhu tertentu, kemampuan untuk mengadakan
perlengketan, kemampuan untuk tumbuh dalam bentuk filamen dan aktivitas
enzim yang dihasilkan. Faktor lain yang dilaporkan adalah tingkat keasaman pada
kulit. Dikatakan bahwa kondisi kulit yang tertutup akan meningkatkan pH
sehingga jamur kandida akan mudah tumbuh (Naglik, et al, 2003; Astari, Cholis,
2013).
Mekanisme patogenesis infeksi ini dimulai dengan perlengketan kandida pada
sel epitel akibat glikoprotein pada permukaan kandida dan sel epitel. Kemudian
kandida akan memproduksi enzim proteinase, hialuronidase, kondroitin sulfatase
dan fosfolipase. Fosfolipase berfungsi menghidrolisis fosfolipid membran sel
epitel 11 sedangkan protease dan enzim lain bersifat keratolik sehingga
memudahkan penetrasi kandida ke dalam epidermis (Naglik, et al, 2003; Laszlo,
2009).
Pada dinding sel kandida yang mengandung mannan (komponen protein)
berfungsi untuk mengaktivasi komplemen dan merangsang pembentukan
antibodi. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida akan melindungi
kandida dari imunitas inang (Jabra, et al, 2004)
E. Manifestasi klinis
Manifestasi kandidiasis dapat berupa akut, subakut maupun kronis.
Kandidiasis kutan akut bisa tampak seperti intertrigo berupa eritema yang berat,
edema, eksudat kental, dan pustul satelit di area lipatan kulit. Infeksi di daerah
lain bisa lebih kronis, seperti di area interdigiti pada kaki yang tampak lapisan
stratum korneum yang tebal (Kundu, Garg, 2012).
Manifestasi infeksi jamur yang ditimbulkan oleh kandida atau kandidiasis
memiliki variasi yang luas mulai dari yang bersifat superfisial menyerang kulit,
kuku dan mukosa sampai pada infeksi sistemik. Secara umum, klasifikasi
kandidiasis terdiri dari kandidiasis kutan, onikomikosis kandida, kandidiasis
mukokutan dan kandidiasis sistemik (Ramali, 2013)
1. Kandidiasis Mukokutan
Manifestasi klinis kandidiasis mukokutan dapat berupa kandidiasis oral,
kandidiasis vulvovagina, balanitis kandida dan kandidiasis mukokutaneus
kronis (KMK). Kandidiasis oral memiliki beberapa bentuk klinis yaitu
kandidiasis pseudomembran akut, kandidiasis atrofi akut, kandidiasis atrofi
kronis, kandidiasis hiperplastik kronis dan kheilosis kandida (Naglik, et al,
2003; Jabra, et al, 2004).
Kandidiasis mukokutaneus kronik terdiri atas beberapa sindrom klinis
yaitu infeksi kandida superfisial yang kronis, resisten terhadap pengobatan
pada kulit, kuku, dan membran mukosa, dan tidak memiliki kecenderungan
untuk terjadinya 20 kandidiasis diseminata viseral. Infeksi ini sering dikaitkan
dengan endokrinopati termasuk hipoparatiroidisme, hipoadrenalisme dan
hipotiroidisme, serta kondisi yang berhubungan dengan kelainan tertentu pada
imunitas yang dimediasi oleh sel, seperti combined immune deficiency
syndrome, DiGeorge syndrome atau pasien dengan gangguan fungsi sel T
yang berat seperti acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Infeksi
kandida menimbulkan manifestasi klinis berupa kandidiasis pseudomembran
akut, kandidiais popok, angular cheilitis, fisura bibir, kerusakan kuku,
vulvovaginitis dan keterlibatan kulit lainnya. Erupsi kulit dapat timbul berupa
eritema dengan tepi serpiginosa atau area deskuamasi kecoklatan dengan
dasar eritema (Kundu, Garg, 2012).
2. Kandidiasis Kutan
Manifestasi klinis kandidiasis kutan terdiri dari kandidiasis intertriginosa,
kandidiasis kutis kongenital, kandidiasis generalisata, paronikia,
onikomikosis, miliaria kandida dan kandidiasis folikular. Kandidiasis
intertriginosa mengenai daerah lipatan seperti aksila, lipat gluteal,
genitokrural, interdigital, retroaurikuler dan perianal. Pada pasien dengan
obesitas dapat mengenai inframama, umbilikus, lipatan kulit perut dan leher.
Penyakit ini merupakan jenis kandidiasis terbanyak pada dewasa, namun
dapat pula terjadi pada bayi dan anak-anak. Keluhan terutama berupa gatal
hebat disertai rasa panas terbakar yang biasanya bersifat intensif (Kundu,
Garg, 2012; Hay, Ashbee, 2010). Lesi awalnya kecil kemudian meluas,
berbatas tegas, berupa vesikel atau pustul superfisial berdinding tipis
berukuran 2-4 mm, makula eritema dan sering juga disertai erosi dan
maserasi. Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan 21 skuama
kolaret. Lesi satelit berupa vesikel atau pustul juga terdapat di sekelilingnya
(Ramali, 2013)
Jika mengenai sela-sela jari kaki dan tangan akan ditandai oleh maserasi
dengan lapisan tanduk tebal berwarna putih, yang merupakan gambaran yang
menonjol. Pada kasus yang mengenai tangan, beberapa abnormalitas, meliputi
jari tangan yang lebar dan gemuk, juga merupakan predisposisi infeksi. Pada
sindrom khusus ini, sering dikenal sebagai erosio-interdigitalis blastomycetica
atau kandidiasis interdigitalis, dalam keadaan ini kandida dan bakteri gram
negatif seringkali bersifat ko-patogen (Hay, Ashbee, 2010).
3. Kandidiasis oportunistik
Infeksi oportunistik merupakan penyakit yang jarang terjadi pada orang
sehat, tetapi menyebabkan infeksi pada individu yang sistem imunnya
terganggu, termasuk infeksi HIV. Organisme-organisme penyakit ini sering
hadir dalam tubuh, tetapi umumnya dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh
yang sehat. Ketika seseorang terinfeksi HIV/AIDS berkembang infeksi
oportunistik. Umumnya bagian intra oral yang paling banyak dialami
penderita AIDS yakni infeksi jamur Candida
4. Kandidiasis Sistemik
Kandidiasis sistemik merupakan infeksi kandida yang menyebar secara
hematogen mengenai berbagai organ dalam seperti jantung, otak, saluran
cerna, saluran pernafasan dan organ lainnya. Infeksi ini dapat menyebabkan
pasien jatuh ke keadaan sepsis hingga akhirnya dapat meninggal. Beberapa
faktor risiko untuk terjadi kandidiasis sistemik diantaranya yaitu pembedahan,
luka bakar, perawatan jangka panjang pada unit rawat intensif serta riwayat
pemberian antibiotik spektrum luas dan obat imunosupresif sebelumnya.
Selain itu, peningkatan terapi dan teknik kedokteran seperti obat kemoterapi,
transplantasi organ, hemodialisis, nutrisi parenteral dan penggunaan kateter
vena sentral juga berkontribusi dalam meningkatkan kolonisasi dan invasi
kandida ke pembuluh darah (Faergemann, Larko, 2000).
F. Diagnosis Candidiasis
Diagnosis kandidiasis ditentukan berdasarkan gejala klinis yang menyebar
dan tidak mudah dibedakan dari infectious agent yang telah ada. Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen mikroskopis, biakan,
dan serologi. Tujuan pemeriksaan laboratorium adalah untuk menemukan C.
albicans di dalam bahan klinis baik dengan pemeriksaan langsung maupun
dengan biakan. Bahan pemeriksaan bergantung pada kelainan yang terjadi, dapat
berupa kerokan kulit atau kuku, dahak atau sputum, sekret bronkus, urin, tinja,
usap mulut, telinga, vagina, darah, atau jaringan. Cara mendapatkan bahan klinis
harus diusahakan dengan cara steril dan ditempatkan dalam wadah steril, untuk
mencegah kontaminasi jamur dari udara. (Babic M, Hukic M, 2010)
1. Pemeriksaan kultur
Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah Sabouraud
dextrose agar/SDA dengan atau tanpa antibiotik, ditemukan oleh Raymond
Sabouraud (1864-1938) seorang ahli dermatologi berkebangsaan Perancis.
Pemeriksaan kultur dilakukan dengan mengambil sampel cairan atau kerokan
sampel pada tempat infeksi, kemudian diperiksa secara berturutan
menggunakan Sabouraud’s dextrose broth kemudian Sabouraud’s dextrose
agar plate. Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis
kandidiasis dan sepsis. Kultur sering tidak memberikan hasil yang positif pada
bentuk penyakit diseminata lainnya. (D Greenwood, 2007)
Sabouraud’s dextrose broth/SDB berguna untuk membedakan C. albicans
dengan spesies jamur lain seperti Cryptococcus, Hasenula, Malaesezzia.
Pemeriksaan ini juga berguna mendeteksi jamur kontaminan untuk produk
farmasi. Pembuatan SDB dapat ditempat dalam tabung atau plate dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, setelah 3 hari tampak koloni C.
albicans sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat
dengan jelas. Koloni C. albicans berwarna putih kekuningan, menimbul di
atas permukaan media, mempunyai permukaan yang pada permulaan halus
dan licin dan dapat agak keriput dengan bau ragi yang khas. Pertumbuhan
pada SDB baru dapat dilihat setelah 4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai
hasil negatif. Jamur dimurnikan dengan mengambil koloni yang terpisah,
kemudian ditanam seujung jarum biakan pada media yang baru untuk
selanjutnya dilakukan identifikasi jamur. Pertumbuhan C. albicans dan jamur
lain/C. dublinensis pada SDB. (E Yunihastuti, dkk 2005)
Gambar 2. Pertumbuhan C. albicans pada SDA berbentuk
krim berwarna putih, licin disertai bau yang khas

2. Pewarnaan gram
Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan Gram sedikit membutuhkan
waktu dibandingkan pemeriksaan dengan KOH. Pemeriksaan ini dapat
melihat jamur C. albicans berdasarkan morfologinya, tetapi tidak dapat
mengidentifikasi spesiesnya. Pemulasan dengan pewarnaan Gram dapat
disimpan untuk penilaian ulangan. (PS Bhavan, dkk 2010)
Pewarnaan Gram memperlihatkan gambaran seperti sekumpulan jamur
dalam bentuk blastospora, hifa atau pseudohyfae, atau campuran keduanya.
Sel jaringan seperti epitel, leukosit, eritrosit, dan mikroba lain seperti bakteri
atau parasit juga dapat terlihat dalam sediaan. Jamur muncul dalam bentukan
budding yeast cells dan pseudomycelium juga terlihat pada sebagian besar
sediaan (PS Bhavan, dkk 2010)
3. Pemeriksaan serologi dan biologi molekuler
Pemeriksaan serologi terhadap Candida albicans dapat menggunakan
metode imunofluoresen/fluorecent antibody test yang sudah banyak tersedia
dalam bentuk rapid test. Hasil pemeriksaan harus sejalan dengan keadaan
klinis penderita, ini disebabkan karena tingginya kolonisasi. Pemeriksaan
Candida albicans dengan metode serologis sangat berguna untuk kandidiasis
sistemik. (Suprihatin SD, 1982)
Pemeriksaan biologi molekuler untuk C.albicans dilakukan dengan
polymerase chain reaction/PCR, restriction fragment length
polymorphism/RFLP, peptide nucleic acid fluorescence in situ
hybridization/PNA FISH dan sodium dodecyl sulphate-poly acrylamide gel
electrophoresis/SDSPAGE. Pemeriksaan biologi molekuler untuk Candida
albians sangat berguna karena dapat memberikan hasil yang lebih cepat dari
pada pemeriksaan dengan biakan. (Iwen PC, 2007)
Pemeriksaan dengan PCR untuk identifikasi spesies kandida, hasilnya
cukup cepat akan tetapi kurang sensitif dibandingkan dengan biakan pada
media. Sekarang ini belum berhasil dibuat oligonukleotida primer yang
spesifik untuk Candida albicans. Amplifikasi dengan PCR dan analisis
restriksi enzim dengan RFLP sudah dapat dipakai untuk mengetahui genotipe
dari Candida albicans. Pembacaan hasil dari kedua pemeriksaan tersebut
dilakukan dengan menggunakan sinar UV illumination dan gel image dengan
alat khusus, dan terbaca sebagai bentuk pita (band) (Beeson L, dkk.,2010)
Pemeriksaan PNA FISH adalah hibridisasi asam nukleat untuk identifikasi
Candida albicans dan Candida glabrata, dengan sampel yang dipakai adalah
kultur darah. Pemeriksaan dapat dilakukan langsung dari hasil kultur yang
jamur positif, dapat juga dilakukan pada semua jenis sampel dari media kultur
darah. Pemeriksaan ini menggunakan label fluoresen untuk melapisi
ribosomal RNA/rRNA Candida albicans. Gambaran Candida albicans dari
mikroskop fluoresen (PNA FISH, 2010)

Gambar 3. Candida albicans pada PNA FISH terlihat berwarna hijau


terang berfluoresen yang dilakukan pembacaan dengan mikroskop
fluoresenkhas
Deteksi antibodi terhadap Candida albicans sudah dapat dilakukan
terhadap enolase dengan metode SDS-PAGE, serta deteksi antigen jamur
terhadap mannan, (1,3)-Beta-D-Glucan, dan enolase. Pemeriksaan ini sudah
dilakukan pada tahap penelitian, tetapi sampai saat ini hasil yang didapat
belum memuaskan baik dari sensitifitas maupun spesifitiasnya. Pemeriksaan
SDS-PAGE diawali dengan membuat subkultur Candida albicans yang
ditanam pada media yeast-extract-peptone- dextrose/YEPD. Media ini terdiri
dari dekstrosa sebagai bahan utama dan menyediakan karbon, nitrogen,
mineral, vitamin sebagai nutrisi untuk pertumbuhan jamur. Hasil biakan
disentrifugasi kemudian dilakukan pemeriksaan fraksinasi sel dengan SDS-
PAGE. Pembacaan hasil dilakukan dengan pengukuran, dan melihat profil
polypeptide band (Vandepitte J, dkk, 2003)
G. Pengobatan Candidiasis
Menurut Pappas, dkk,. (2004) Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini
pertama dan pengobatan lini kedua. Pengobatan kandidiasis oral lini pertama
yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat
dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi
oral. Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada
penggunaan obat nistatis sebagai anti kandidiasis.
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100
mg/ml dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur kandida pada sel epitel. Efek samping pada
obat ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia
dalam bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa
sensasi tidak nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan
muntah.
Adapun pengobatan kandidiasis lini kedua yaitu:
1. Ketokonazol
Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel fungal dan
diserap dari gastrointestinal dan dimetabolisme di hepar. Dosis yang
dianjurkan adalah 200-400 mg tablet yang diberikan sakali atau dua kali
dalam sehari selama dua minggu. Efek samping adalah mual, muntah,
kerusakan hepar dan juga interaksinya dengan antikoagulan.
2. Flukonazol
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari
dalam dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakan flukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
3. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah 100
mg dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping
utama adalah mual, neuropati dan alergi.
H. Histoplasmosis
Histoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur
Histoplasma capsulatum, yang terutama menyerang paru-paru tetapi kadang-
kadang bisa menyebar ke bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis, adalah jamur
tanah dimorfik ditemukan di daerah beriklim sedang dan subtropis di seluruh
dunia. Histoplasmosis telah didiagnosis pada banyak spesies termasuk anjing ,
kucing, dan manusia. (Lestari S, 2016)
Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik yang terdapat di alam dalam
bentuk miseliumnya (saprofit) dan pada jaringan manusia sebagai ragi.
Histoplasma capsulatum  menyebabkan histoplasmosis, infeksi mikotik di paru
yang sering terjadi pada manusia dan hewan. Di alam, H. capsulatum tumbuh
sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat burung, diperkaya oleh
substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H.capsulatum dan histoplasma dan
histoplasmosis, yang dimulai dengan inhalasi konidia, terjadi di seluruh dunia.
Namun insidennya sangat bervariasi dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika
Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama tersebut dari gambaran sel ragi pada
potongan histopatologik; namun, baik protozoa maupun saprofit tersebut tidak
mempunyai kapsul. (Rizky, 2014)
Secara umum Histoplasma capsulatum telah dibagi menjadi 3 varietas
berdasarkan distribusi geografis dan fenotipik dan karakteristik patogen .
Histoplasma capsulatum var . capsulatum adalah penyebab histoplasmosis di
sebagian besar dunia termasuk pada anjing dan kucing di Amerika Utara.
Histoplasma capsulatum var. duboisii adalah penyebab dari histoplasmosis Afrika
pada manusia di Afrika dan Jepang . histoplasmosis Afrika belum dilaporkan
pada anjing atau kucing . Histoplasma capsulatum var . farciminosum adalah
penyebab limfangitis epidemi pada kuda dan keledai di Afrika dan disebarluaskan
histoplasmosis pada anjing di Japan. (Lestari S, 2016)
Pada 1980-an dan 1990-an histoplasmosis menjadi penyakit yang semakin
penting pada manusia. Hal ini disebabkan peningkatan prevalensi sistem
kekebalan terkait dengan organ dan transplantasi sel hematopoietik, obat yang
menyebabkan imunosupresif pengobatan untuk penyakit peradangan kronis, dan
yang paling penting pandemi HIV / AIDS. (Lestari S, 2016)
Menurut Lestari S, (2016) Taksonomi jamur Histoplasma capsulatum adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Ascomycotina
Class : Ascomycetes
Order : Onygenales
Family : Onygenaceae
Genus : Ajellomyces (Histoplasma)
Species : Histoplasma capsulatum
I. Morfologi Histoplasmia
1. Ciri dan morfologi

Gambar 4. Morfologi Histoplasma

Jamur Histoplasma capsulatum merupakan jamur yang bersifat dimorfik


bergantung suhu. Pada suhu 35 – 37oC jamur ini membentuk koloni ragi
sedangkan pada suhu lebih rendah/suhu kamar (25 – 30 oC) membentuk koloni
filamen (kapang) berwarna coklat tetapi gambarannya bervariasi. Banyak
isolat tumbuh lambat dan spesimen memerlukan inkubasi selama 4 - 12
minggu sebelum terbentuk koloni.   Hialin hifa berseptat menghasilkan
mikrokonidia (2 – 5 µm) dan makrokonidia berdinding tebal berbentuk sferis
yang besar dengan penonjolan materi dinding sel pada daerah perifer (8 – 16
µm).
Dalam jaringan atau in vitro pada medium kaya pada suhu 37 oC, hifa dan
konidia berubah menjadi sel ragi kecil, oval (2 x 4 µm). Dalam jaringan,
merupakan parasit intraseluler fakultatif. Di laboratorium, dengan strain
perkawinan yang tepat, siklus seksual dapat diperlihatkan, menghasilkan
Ajellomyces capsulatus, suatu telomorf yang menghasilkan askospora.
2. Siklus hidup
Fungi ini termasuk fungi dimorfik. Fungi dimorfik adalah fungi yang
dapat memiliki dua bentuk, yaitu kapang dan yeast. Fungi ini termasuk
kedalam Ascomycota parasit yang dapat menghasilkan spora askus (spora
hasil reproduksi seksual). Jamur ini berkembang biak secara seksual dengan
hifa yang bercabang-cabang ada yang berkembang menjadi askogonium (alat
reproduksi betina) dan anteridium (alat reproduksi jantan), dari askegonium
akan tumbuh saluran untuk menghubungkan keduanya yang disebut saluran
trikogin. Dari saluran inilah inti sel dari anteridium berpindah ke askogonium
dan berpasangan. Kemudian masuk ke askogonium dan membelah secara
mitosis sambil terus tumbuh cabang yang dibungkus oleh miselium dimana
terdapat 2 inti pada ujung-ujung hifa. Dua inti itu akan membelah secara
meiosis membentuk 8 spora dan disebut spora askus yang akan menyebar, jika
jatuh di tempat yang sesuai maka akan tumbuh menjadi benang hifa yang
baru, demikian seterusnya
J. Patogenesis dan gejala klinik
Inhalasi mikokonidia merupakan stadium awal infeksi manusia. Konidia
mencapai alveoli, bertunas, dan berproliferasi sebagai ragi. Infeksi awal adalah
bronkopneumonia. Ketika lesi paru awal bertambah usianya, terbentuk sel raksasa
disertai dengan pembentukan granuloma dan nekrosis sentral. Pada saat
pertumbuhan spora, sel ragi masuk ke dalam system retikuloendotelial melalui
system limfatik paru dan limfatik hilus. Penyebaran dengan keterlibatan limfa
khas menyertai infeksi paru primer. Pada hospes normal, respons imun timbul
pada sekitar 2 minggu. Lesi paru awal sembuh dalam 2 sampai 4 bulan tetapi
dapat mengalami kalsifikasi buckshot yang melibatkan paru dan limpa. Tidak
seperti tuberkolosis, reinfeksi dengan H.capsulatum terjadi dan dapat
menimbulkan respons hospes yang berlebihan pada beberapa kasus.
Jamur ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang rusak, biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150. Setelah
berkembang, infeksi dapat menyebar pada paru, kulit, dan kadang kala pada
bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis adalah penyakit yang didefinisi AIDS.
Secara umum histoplasmosis tanpa gejala dan hanya ditandai dengan gejala
hypersensitive terhadap histoplasmin. Berupa tumor pernafasan akut yang jinak,
dengan variasi mulai dari penyakit yang ringan pada saluran pernafasan sampai
dengan tidak dapat melakukan aktivitas karena tidak enak badan, demam,
kedinginan, sakit kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk nonproduktif, kadang-
kadang timbul erythema multiforme dan erythema nodosum. Ditemukan adanya
pengapuran kecil-kecil tersebar pada paru-paru, pengapuran pada kelenjar limfe,
hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari penyakit ini.
K. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari histoplasmosis muncul dengan paparan lanjutan yang
meluas. Infeksi paru awal mungkin menyebarkan secara sistemik, dengan
penyebaran hematogen, dan menghasilkan manifestasi paru. penyebaran
hematogen ke kelenjar getah bening regional dapat terjadi melalui limfatik atau
hati dan limpa. Progresif disebarluaskan histoplasmosis jarang di host dewasa
yang immunocompetent. Sistemik spread biasanya terjadi pada pasien dengan
imunitas seluler terganggu dan biasanya melibatkan sistem CNS, hati, limpa, dan
rematologi, okular, dan hematologi.
Histoplasmosis merupakan jenis infeksi oportunistik. Histoplasmosis didapat
ketika terjadi inhalasi spora berupa mikrokonidia. Walaupun seseorang
menghirup mikrokonidia belum tentu mikrokonidia tersebut berkembang lebih
lanjut menjadi histoplasmosis. Hal tersebut berkaitan dengan respon imunitas
masing – masing orang. Ketika terjadi inhalasi mikrokonidia maka pada awal
terdeteksi oleh tubuh maka terjadi respon imun non spesifik, gejala paling ringan
dari respon imun ini dapat berupa batuk, demam bahkan muntah-muntah. Respon
imun yang baik dapat merecovery hal tersebut walaupun tanpa pengobatan.
Mikrokonidia tumbuh menginfeksi menjadia histoplasmosis jika respon imun
mengalami supresi atau kegagalan dalam melawan parasit.
Infeksi histoplasmosis secara klinis dikenal dalam beberapa bentuk
diantaranya :
1. Histoplasmosis Asimtomatik
Histoplasmosis asimptomatik biasanya terjadi di daerah endemis.
Sebanyak 50 – 85% orang yang tinggal di daerah endemis pernah terinfeksi
jamur tersebut.
2. Histoplasmosis Primer
Jenis infeksi ini terjadi pada fase akut pasca spora terinhalasi ke dalam
paru-paru. Jika respon imun lemah, dapat menimbulkan peradangan yang
bersifat lokal seperti limfadenopati. Bentuk lain dapat berupa penyakit
pernafasan ringan dengan kondisi malaise, demam, menggigil, sakit kepala,
myalgia (nyeri otot), nyeri dada, dan batuk. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan infiltrat kecil-kecil tersebar di paru dan pembesaran kelenjar
pada hilus. Kelainan ini bersifat ringan dan sembuh sendiri. Pada anak-anak
berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Bentuk sekunder, gejalanya serupa
dengan yang primer, pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-nodul milier
tersebar di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan
kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa perkapuran. Uji
tuberkulin negatif sedangkan uji kulit histoplasmin positif
3. Histoplasmosis Diseminata
Jenis ini merupakan suatu infeksi yang terjadi pada bayi, anak kecil dan
penderita imunospresi. Morbiditas dan mortalitas tinggi. Bentuk yang fatal ini
jarang terjadi. Kelainan dimulai dengan infeksi paru akut, demam, batuk,
sesak napas dan cepat menjadi progesif serta menyerang banyak organ.
Penderita tampak sakit berat, mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan
rhonkhi (suara berat dalam pernafasan), limfadenopati, hepatosplenomegali,
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Jika tidak mendapatkan pengobatan,
kelainan akan memburuk dan dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan
gastro-intestinal yang tidak dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler
diseminata (DIC) dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan kematian.
Gambaran radiologis paru terlihat infiltrate interstitial difus atau bentuk
retikulonodular yang dengan cepat menjadi acute respiratory distress
syndrome
4. Histoplasmosis Kronis
Dijumpai pada orang dewasa, perokok dan mempunyai riwayat penyakit
obstruksi paru kronis. Gejalanya demam, batuk kronik dengan produksi
sputum, malaise, lelah, berat badan turun, nyeri dada dan hemoptisis. Pada
pemeriksaan radiologis paru terlihat kavitasi pada lobus atas dan fibrosis yang
progresif pada bagian bawah paru. Histoplasmosis kronis dapat berkembang
menjadi Histoplasmosis diseminata.
L. Diagnosis histoplasma
1. Uji kultur
Kultur dilakukan pada media SDA, dan bermakna klinis jika ditemukan
koloni Histoplasma capsulatum yang pada suhu 37oC membentuk koloni
yeast, sedangkan pada suhu kamar membentuk koloni filament.
2. Pewarnaan
Dengan pewarnaaan HE jamur sulit untuk ditemui, untuk melihat lebih
jelas dapat digunakan pewarnaan PAS, Gridley atau Gomoris’s Methenemine
Silver Stain, dengan pewarnaan ini jamur akan nampak sebagai blastospora.
3. Uji serologi
Imunodifusi dan/atau tes fiksasi komplemen untuk mendeteksi antibodi
telah terbukti berguna dalam diagnosis Histoplasmosis, terutama pada pasien
yang mengalami penekanan daya tahan tubuh. Meskipun demikian, deteksi
antibodi pada pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh seringkali
sulit, 20-50% pasien yang diperiksa menunjukkan hasil negatif.
M. Pengobatan histoplasmosis
1. Pada manusia
Pengobatan histoplasmosis dibedakan antara pengobatan pada penderita
imunokompeten non AIDS dan pengobatan pada penderita AIDS. Pada
kelompok non AIDS pengobatan juga dibedakan antara histoplasmosis
diseminata yang mengancam nyawa dan bentuk yang lebih ringan. Pada
bentuk diseminata yang mengancam nyawa pengobatan dimulai dengan
pemberian amfotersin B secara intravena dengan dosis 0,7 – 1 mg/hari tiap
hari selama 1 – 2 minggu. Dosis total diberikan sebanyak 2500 mg untuk
orang dewasa. Untuk anak-anak disesuaikan dengan umur dan berat badan.
Kemudian diteruskan dengan itrakonazol 200 – 400 mg/hari sampai paling
sedikit 6 bulan. Pada bentuk yang lebih ringan dapat diberikan itrakonazol
200 – 400 mg selama paling sedikit 6 bulan. Pada histoplasmosis paru kronik
dengan kavitas diperlukan pengobatan selama lebih dari satu tahun untuk
mencegah relaps.
Pada penderita AIDS dengan histoplasmosis ringan sampai sedang dapat
diberikan itrakonazol 200 mg tiga kali/hari untuk tiga hari pertama dilanjutkan
denga 2 x 200 mg selama 12 minggu. Prinsip pengobatan histoplasmosis
diseminata adalah pemberian terapi induksi untuk mendapatkan perbaikan
klinis diikuti terapi supresif untuk mencegah relaps. Terapi induksi
menggunakan amfoterisin B 0,5 – 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari – 2 minggu
tergantung respons penderita. Kemudian diikuti terapi supresif dengan
itrakonazol 400 mg/hari selama kurang lebih 3 bulan.
2. Pada Hewan
Pada kasus terjadinya Epizootic Lymphangitis pada kuda, pengobatn yang
dapat dilakuakan yaitu dengan pemberian Iodide Sodium secara intravena,
atau dengan pemberian Potassium Iodide secara peoral, namun terjadinya
penyakit terulang kembali atau kambuh pada beberapa bulan kemudian dapat
terjadi. Secara invitro sensitifitas organisme terhadap Amphotericin B,
Nystatin, dan Clotrimazole telah dilaporkan. Pada kebanyakan kasusu hewan
yang terinfeksi oleh penyakit ini tidak diijinkan untuk dilakukan pengobatan,
dan hewan yang terinfeksi segera dimusnahkan dengan eutanasia.
3. Obat Anti Jamur Untuk Penderita Histoplasmosis
a. Amfoterisin B yang ditemukan dan diisolasi dan strain Str.nodosus pada
tahun 1956 merupakan antibiotika kelompok makrolida poliena. Sesuai
dengan namanya sifat amfoter diberikan oleh gugus karboksil pada cincin
utama dan gugus amino pada mikosamin.
b. Imidazol dan Triazol Berbeda dengan amfoterisin B yang diproduksi
secara alamiah, kelompok antijamur azol merupakan senyawa sintetik
yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan ketokonazol) atau
triazol (itrakonazol dan flukonazol) bergantung kepada jumlah kandungan
atom nitrogennya ada 2 atau 3.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Akpan, A dan Morgan, R. 2002. Oral Candidiasis. Postgrad Met J. 78:p455-459

Babic M, Hukic M. Candida albicans and Non-albicans Species as Etiological Agent


of Vaginitis in Pregnant and Non-Pregnant Women. Institute for Clinical
Microbiology. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences. Sarajevo. 2010;10
(1): 92-7
Bae, Eun, S., Cho, S. Y., Won, Y., D, Lee, S., H, Park, H., J. 2005. A Comparative
Study of the Different Analytical Methods for Analysis of S-allyl Cystein in
Black Garlic by HPLC. The Journal of LWT Food Science and Technology.
Beeson L, Beydonun S, Botz DM. Brunner & Suddarth’s Handbook of laboratory and
Diagnostic Test. Lippicott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2010:123-4
Bhavan PS, Rajkumar R, Radhakrishnan S. Culture and Identification of Candida
albicans from Vaginal Ulcer and Separatian of Enolase on SDS-PAGE.
International Journal of Microbiology. CCSE. Coimbatore. 2010:84-93
Greenwood D, Slack R, Peutherer J, et al. Medical Microbiologi A Guide to
Microbial Infection: Pathonesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control.
Churchill Livingstone Elsevier. Edinburgh. 2007:60, 596, 602-4,614-16
Hay RJ, Ashbee HR. Candidosis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C.
Rook’s Textbook of Dermatology 8th. Ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
2010.
Iwen PC. Mycotic Disease. Dalam: McPherson RA, Pincus MR. Henry’s Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21st ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia. 2007: 1097-8
Jawetz, Melnick & Adelberg : Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC Jakarta 1986
Kobayashi, El, M. Namikoshl, T. Yoshimoto And T. Yokochi. 2004. A Screening
Method For Antimitotic And Antifungal Substances Using Conidia Of
Pyricularia Oryzae, Modification And Application To Tropical Marine Fungi.
The Journal Of Antibiotics 49 (9): 873-878.
Kundu RV, Garg A. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea(Pityriasis) versicolor, and
Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill. 2012.p.2298-2311
Lestari Sukma Dinullah 2016. Ilmu Penyakit Infeksius Histoplasma Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Pappas, PG, Rex, JH, Sobel, JD, Filler, SG, Dismukes, WE, Walsh, TJ, Edwards, JE.
Guidelines for Treatment of CandidiasisCID, 2004;38: 161-89
PNA FISH. Probes for Identification of Candida Species from Blood Cultures.
American Society of Microbiology. 2010.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta
: EGC.
Ramali LM. Kandidiasis Kutan dan Mukokutan. In: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi
W, Widaty S, Ervianty E. Dermatomikosis Superfisialis. 2nd. Ed. 2013:p.100-
119.
Rizky Kharismadiyanti, 2014 Histoplasmosis Dan Mikotoksikosis Kementerian
Kesehatan Republik Indonesiapoliteknik Kesehatan Kemenkes Surabaya
Sasmitamihardja, D. 1990. Dasar- dasar Fisiologi Tumbuhan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: ITB
Soedarmo et al., 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Ilmu
Kesehatan Anak FKUI
Suprihatin SD. Kandida dan Kandidiasis pada Manusia. FKUI. Jakarta. 1982:9-13,25-
32
Tortora, G. J., Funke, B. R., & Case, C. L. (2001). Microbiology, an Introduction
(Seventh Edition). USA: Addison Wesley Longman Inc.
Vandepitte J, Verhaegen J, Engbaek K, et al. 2nd ed. World Health Organization.
Geneva. 2003:61, 76, 144-150
Volk dan Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Jasad V. Jakarta : Erlangga.
Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportusnistik pada AIDS. Pokdisus
AIDS-PDPAI. Balai Penerbit FUKUI. Jakarta. 2005:16-20

Anda mungkin juga menyukai