Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ILMU PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL

“MYCOSIS OPORTUNISTIK”

Oleh

Kelompok 12

1.Kristoandi Poeting (1709010001)

2.Vivi Sumanti (1709010005)

3.Marike J.M Rabila (1709010043)

4.Serviana Bupu Papang (1709010047)

5.Rut Elisabet Loak (1709010060)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga saat ini masih memberikan kita
nikmat iman dan kesehatan sehingga kami diberi kesempatan yang luar biasa untuk
menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Micosis Oportunistik” dengan baik. kami pun
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membngun dari para pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat.

Kupang, 10 Juni 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mikosis adalah infeksi jamur pada hewan, termasuk manusia. Infeksi jamur yang dapat
menjangkit permukaan kulit hingga organ tubuh manusia, seperti otak, jantung, hati, ginjal, dan
limpa. Mikosis umumnya menyerang orang yang memiliki sistem daya tahan tubuh lemah,
pengindap kanker, atau mereka yang baru menjalani operasi besar (misalnya transplantasi
organ). Mycosis umumnya terdapat diberbagai kondisi lingkungan serta fisiologis dan dapat
berkontribusi pada perkembangan penyakit jamur. Menghirup spora jamur atau kolonisasi lokal
pada kulit dapat memicu infeksi persisten; oleh karena itu, mycosis sering terjadi di paru-paru
atau di kulit. Infeksi jamur pada kulit adalah penyakit paling umum ke-4 pada tahun 2010 yang
mempengaruhi 984 juta orang. Diperkirakan 1,6 juta orang meninggal setiap tahun akibat infeksi
jamur.

Individu yang diobati dengan antibiotik berisiko lebih tinggi terkena infeksi jamur. Individu
dengan sistem kekebalan yang lemah juga berisiko terkena infeksi jamur. Ini adalah kasus orang
dengan HIV / AIDS, orang yang menjalani terapi steroid, dan orang yang menjalani kemoterapi.
Penderita diabetes juga cenderung mengembangkan infeksi jamur. Orang yang sangat muda dan
sangat tua, juga, adalah kelompok yang berisiko. Meskipun semuanya berisiko terkena infeksi
jamur, kemungkinannya lebih tinggi pada kelompok-kelompok ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana etiologi dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm?
2. Bagaimana patogenesis dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm?
3. Apa saja gejala klinis dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm?
4. Bagaimana pengendalian penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm


2. Untuk mengetahui patogenesis dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia, ringworm
3. Untuk mengetahui apa saja gejala klinis dari penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia,
ringworm
4. Untuk mengetahui bagaimana pengendalian penyakit aspergilus, alfatoksin, candidia,
ringworm
BAB II

PEMBAHASAN

Mycosis Oportunistik

Mikosis oportunistik/Opportunistic mycoses (OM) yang mempengaruhi kulit dan mukosa


maupun organ internal yang disebabkan oleh ragi dan jamur. Infeksi tersebut dapat terjadi
sebagai akibat lemahnya sistem kekebalan sel inang. Kandidiasis adalah infeksi endogen. OM
lainnya adalah infeksi eksogen disebabkan oleh jamur yang secara alami menghuni tanah atau
tanaman. Di lingkungan jamur biasanya menyerang melalui saluran pernapasan. Yang paling
penting adalah aspergillosis, criptococcosis, dan candida. Selain Candida dan ragi yang lain,
phaeohyphomycetes dan hyalohyphomycetes, yang hanya sangat sedikit patogen, juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik. Semua OM memiliki fokus infeksi primer, biasanya pada saluran
pernapasan atas atau bawah. Fokus patogen dapat menyebarkan hematogen dan / atau
lymphogenously menginfeksi organ tambahan. Fokus infeksi harus hilangkan dengan
pembedahan jika memungkinkan. Agen antimikotik yang digunakan adalah kemoterapi. Pasien
yang terinfeksi biasanya immunocompromised (imunitas lemah) (kondisi abnormal di mana
kemampuan seseorang untuk melawan infeksi menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh proses
penyakit, obat-obatan tertentu, atau kondisi yang hadir saat lahir. Istilah yang mungkin terkait:
Bakteremia), prognosis biasanya kurang.
2.1. Aspergillosis

a. Klasifikasi

Kingdom : Myceteae

Divisi : Amastigomycota

Kelas : Ascomycetes

Ordo : Eurotiales

Famili : Euroticeae

Genus : Aspergillus

Spesies : Aspergillus fumigatus

Aspergillus flavus

Aspergillus niger

b. Karakteristik Etiologi

Aspergillosis Merupakan salah satu penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh
Aspergillus. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan, paling banyak Aspergillus yang
menyebabkan Aspergillosis adalah Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, dan Aspergillus
niger. Penyakit ini dapat menyerang hewan maupun manusia. Di Indonesia sendiri Aspergillosis
merupakan penyakit mikotik yang paling sering terjadi pada ayam. Hal ini tentu saja
menyebabkan kerugian terlebih pada peternakan ayam.
Aspergillus yakni penyebab Aspergillosis merupkan suatu jamur yang termasuk dalam kelas
Ascomycetes yang dapat ditemukan di alam. Aspergillus tumbuh sebagai saprofit pada tumbuh-
tumbuhan yang membusuk dan terdapat pula pada tanah, debu organik, makanan dan merupakan
kontaminan yang lazim ditemukan di rumah sakit dan laboratorium.
Aspergillus adalah jamur yang membentuk filamen-filamen panjang bercabang, dan dalam
media biakan membentuk miselia dan konidiospora. Aspergillus berkembang biak dengan
pembentukan hifa atau tunas dan menghasilkan konidiofora pembentuk spora. Sporanya tersebar
bebas di udara terbuka sehingga inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk kedalam saluran
pernapasan.
c. Faktor Virulensi
Faktor virulensi Aspergillosis terdiri atas biofilm, proteinase, haemolysin, α amylase,
fosfolipase, lipase, dan pektinase. Berbagai factor virulensi ini menyebabkan degradasi jaringan
karbohidrat (α-amilase), protein (proteinase), fosfolipid (fosfolipase),dan pectin (pektinase).
Pembentukan biofilm membantu pencegahan fagositosis dan memungkinkan peertumbuhan
eksponensial. Haemolisin menyebabkan lisis sel darah merah. Demikian pula, lesi cytotoxic dan
cytolytic diproduksi oleh aspergilli.
Faktor-faktor virulensi ini bersama dengan racun awalnya menyebabkan gangguan fungsi
seluler, secara bertahap berkembang menjadi nekrosis / lisis sel dan jaringan yang melibatkan
bagian organ yang lebih besar dan akhirnya menyebabkan kegagalan organ.
d. Patogenesis
Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak.
Aspergillosis juga ditularkan melalui udara, kandang atau alas kandang tercemar. Dilaporkan
bahwa alas kandang sering menjadi sumber konidia Aspergillus. Penularan lewat udara di dalam
mesin retas pernah dilaporkan.
 Interaksi Aspergillus dengan sel-sel epithelial respirasi
Setelah Aspergillus masuk kedalam, jamur akan bersentuhan dengan lender yag berada
pada saluran pernapasan serta sel-sel epithelial. Sel-sel epithelial ini berfungsi sebagai
penghalang fisik dan juga sebagai system imun bawaan. Sel-sel ini nantinya akan menelan
konidia yang tertanam di atrium dan bagian-bagian infundibula pada parabronchus (Maina,
2002). Mengevaluasi koinidia dari A. fumigates dan A. flavus ini akan menghambat apoptosis
sel pernapasan pasien tersebut. Sel-sel epitetlial pernapasan diinternalisasi sebagian dari konidia
dengan endositosis, sementara itu beberapa spora berkecambah dan membentuk hifa eksteral
yang menembus dan merusak sel-sel (Bellanger et al., 2009; Nardoni et al,. 2006; Cacciuttolo et
al., 2009). Invasi hifa melalui ruang diantara dan didalam epitel menyebabkan kehilanga silia dan
detasemen sel (Amitani dan Kawanami, 2009).
 Interaksi Aspergillus dengan makrofag
Sistem pernapasan akan merespon masuknya Aspergillus. Dalam hal ini makrofag
berfungsi sebagai fagositik dalam system respirasi. Respon proinflamasi dihasilkan yang ditandai
dengan produksi sitokin dan kemokin. Dectin-1 khusus megikat karbohidrat jamur.
Makrofag menelan spora dan keluar melalui intestinum ke dalam aliran darah serta
limfatik dan kemudian menuju ke organ lain (Richard dan Thurston, 1983). Infiltrasi makrofag
dan pembentukan agregat yang terdiri dari sel raksasa makrofag multinuklear dapat berfungsi
sebagai pertahanan seluler terhadap penyebaran penyakit ini ke organ tubuh yang lain.
Namun Van Waeyenberghe dkk. (2009) dan Qureshi et al. (2000) mengemukakan bahwa
spora A. Fumigatus juga dapat terhindar dari makrofag. Sejumlah besar konidia A. fumigatus
menyebabkan perkecambahan intraseluler dan lisis sel-selphagocytic (Van Waeyenberghe et al.,
2012). Spesies Aspergillus menghasilkan mycotoxin yang sangat imunosupresif (gliotoxin) yang
menyebabkan degenerasi, onkosis dan nekrosis makrofag (Watanabe et al., 2004). Dengan
demikian ini dapat berkontribusi pada kolonisasi saluran pernapasan.
Penularan melalui telur dapat terjadi, secara percobaan telur-telur yang diinkubasi dengan
suspense jelly petroleum mengandung konidia A. fumigates dan infeksi meningkat apabila telur
diinkubasi dalam incubator dicemari dengan konidia A. fumigates dan dalam waktu 8 hari
inkubasi telah terjadi penetrasi jamur melalui kulit telur. Penyakit ini dapat juga ditularkan
melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat
menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena
aspergilosis (Tabbu, 2002).
Aspergillosis memperlihatkan gejala patologis sebagai berikut : terdapat lesi pada paru-paru
berupa noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter ± 1 mm. Lesi disertai plaque
yang terdiri atas eksudat kaseus berwarna kuning mengumpul pada daerah koloni jamur. Noduli
kaseus terdiri dari eksudat radang dan jaringan jamur. Pada kasus yang melanjut, plaque semakin
banyak dan membentuk agregat.
Perubahan makroskopik : lesi stadium awal sangat menciri dengan timbulnya timbunan
limfosit, makrofag, dan beberapa giant cells. Pada stadium selanjutnya akan terlihat lesi yang
menjadi granuloma terdiri dari daerah nekrosis sentral menganduung heterofil dan dikelilingi
makrofag, giant cells, limfosit, dan sejumlah jaringan ikat. Lesi pada otak terdiri dari abses
dengan bagian yang sama namun pada daerah nekrosis ditemukan hifa, pada chamber dan retina
ditemukan heterofil, makrofag, hancuran sel, dan hifa (Tabbu, 2002).
e. Gejala klinis
Masa inkubasi sekitar 4-10 hari, dan proses penyakit sekitar 2 hingga beberapa minggu. Bentuk-
bentuk penyakit aspergillosis :
1. Akut
Aspergillosis akut memperlihatkan gejala berikiut ini: dyspnea, peningkata frekuensi
pernafasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk, terjadi paralisis dan kejang yang disebabkan
oleh toksin dari Aspergillus sp pada otak. Pada stadium akhir penyakit terjadi diare. Dari hidung
dan mukosa mata keluar cairan berlendir. Beberapa unggas dalam waktu 24 jam menunjukkan
gejala konvulsi dan tortikolis yang terjadi pada beberapa jenis unggas seperti ayam, kalkun dan
angsa. Ayam yang terinfeksi berat biasanya akan mati dalam waktu 2-4 minggu. Pada ayam
muda aspergillosis menyebabkan morbiditas-mortalitas tinggi (Tabbu, 2002).

2. Kronis
Aspergillosis kronis memperlihatkan gejala berikut ini : kehilangan nafsu makan, lesu, sulit
bernafas, emasiasi, sianosis (kepala dan jengger berwarna kebiruan) dan dapat berlanjut dengan
kematian. Sering ditemukan gangguan saraf pada kalkun. Aspergillosis dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan pada ayam dan menyebabkan morbiditas-mortalitas yang rendah.
Aspergillosis kronis biasanya menyerang ayam dewasa.
f. Diagnosa
 Mikroskop Secara Langsung
Identifikasi dapat dilakukan dengan menyiapkan olesan basah. Untuk cara ini, nodul
bisa dibedah dan dilumatkan pada slide di bawah slip penutup dalam tetesan 20% kalium
hidroksida dan Laktophenol cotton blue.Lactophenol cotton blue mmampu member noda pada
hifa jamur. Visa juga menggunakan 10% KOH dan Calcoflour dan pewarnaan gram.
 Pewaraan HE
Aspergillosis juga bisa didiagnosa menggunaan pewarnaan HE. Sampel diambil lalu
dicampurkan pada formalin 10% lalu ditanam dalam blok paraffin barulah kemudian diwarnai
menggunakan pewarnaan HE.
 Kultur
Untuk identifikasi spesies yang tepat, organisme patogenik harus diisolasi dengan
membiakkannya pada media diferensial. Potongan kecil lesi yang diambil secara aseptik
ditempatkan slants yang mengandung agar-agar, agar glukosa sabouraud atau antibiotik
dandiinkubasi pada 37ºC selama 24 jam. Spesies Aspergillus dapat diidentifikasi dengan
mengamati kepala konidia dan koloni yang khas.

 Serologis
Sejumlah tes serologis telah diterapkan dalam diagnosis aspergillosis. ini termasuk
Coouterimmuo Electrphoresis (CIE) Agar Gel Immunodiffusion (AGI) dan tes immunosorbent
terkait enzim (ELISA). Namun, mereka tidak boleh digunakan sendiri, dan harus berkorelasi
dengan data klinis dan diagnostik lainnya (Redig et al, 1997; Cray et al., 2006; 2009). Dalam
kasus akut, titer antibodi rendah dan dengan demikian mendeteksi beredar aspergillus antigen
dalam serum (Crayet al., 2006, sementara dalam kasus kronis di mana tingkat antigen yang
rendah, deteksi antibodi (Jones dan Orosz, 2000) dapat digunakan. Perlu dicatat bahwa uji
serologis belum divalidasi pada unggas dan saat ini tidak digunakan di peternakan untuk
menyelidiki wabah Aspergillosis. França et al (2012) melaporkan uji serologi untuk aspergillosis
pada ayam broiler komersial dan kalkun.
g. Pengobatan, Pencegahan dan Kontrol
Pengobatan untuk Aspergillosis rumit dan tergantung pada penggunaan obat anti jamur.
Kesuksesan pengobatan tergantung pada lokasi dan luasnya infeksi. Namun obat yang paling
ampuh sekalipun tidak mampu mencapai granuloma jamur. Hasil pengobatan terbaik jika lesi
granulomatosa didebridakan dan pengobatan topik bersamaan dengan terapi sistemik diberikan.
Obat-obatan yang digunakan termasuk itrakonazol, flukonazol, klotrimazol, mikonazol,
ketokonazol dan amfoterisin B.
Tidak ada vaksin yang mampu membasmi aspergillosis yang tersedia sampai saat ini.
Beberapa vaksin autogenous telah diterapkan namun hanya sedikit informasi tentang vaksin ini.
Meskipun banyak protokol antijamur telah diusulkan untuk menyembuhkan pasien atau
penderita aspergillosis, namun pada unggas tidak bisa. Untuk pencegahan sendiri perlu
diperhatikan sanitasi kandang.

2.2. AFLATOKSIKOSIS
Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari fungi
Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan lembap, terutama pada suhu
27-40°C (80-104°F) dan kelembapan relatif 85%. Sebagai mikotoksin, senyawa tersebut lebih
stabil dan tahan selama pengolahan makanan. Spesies Aspergillus yang paling banyak ditemukan
adalah Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin B dan A. Parasiticus yang menghasilkan
afla-toksin B dan G. Sementara itu, aflatoksin M1 dan M2 merupakan metabolit hasil
hidroksilasi aflatoksin B1 dan B2 oleh sitokrom p450 1A2 pada manusia atau hewan yang
mengonsumsi makananyang tercemar aflatoksin. Aflatoksin M dijumpai dalam air susu dan
urine. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang memiliki iklim tropis dengan suhu udara
dan kelembapan yang tinggi sehingga komoditas pangan dan pakan ternak sangat rentan terhadap
kontaminasi aflatoksin. Jenis-jenis bahan pangan dan pakan yang rentan terhadap kontaminasi
aflatoksin antara lain jagung, kacang-kacangan, beras, dan produk susu.
Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan,
kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi
lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang
disimpan.
A. Etiologi
Aflatoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh aflatoksin, mikotoksin yang sangat
toksik dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh fungi Aspergillus flavus Aspergillus parasticus
dan Penicillium puberulum (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004). Ketiga jenis fungi tersebut
luas di alam, udara dan tanah, serta dapat ditemukan di dalam hewan dan tanaman yang hidup
ataupun mati. Selain itu, aflatoksin juga dapat ditemukan mencemari makanan dan pakan,
terutama pada daerah tropik dan subtropik, karena temperatur dan kelembaban pada daerah
tersebut memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan fungi (Tabbu, 2002). Aflatoksin
bersifat relatif stabil di dalam pakan dan bahan baku pakan tetapi bersifat sensitif terhadap agen
oksidasi, seperti hipoklorit (Tabbu, 2002).
Berdasarkan atas reaksi warna terhadap sinar fluoresen dari nilai Rf kromatografik, maka
aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 dan B2 yang berwarna biru (B) dan
aflatoksin G1 dan G2 yang berwarna hijau (G). Dari semua jenis aflatoksin, aflatoksin
B1 merupakan jenis yang paling toksik dan mempunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik
pada berbagai jenis hewan, termasuk ayam (Tabbu, 2002).

B. Patogenesis
Rute utama penularan aflatoksin adalah inhalasi dan ingesti (Murtidjo, 1992). Tempat
metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam
darah dan organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi,
konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun
dari aflatoksin. Aflatoksin akan dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan
air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis
dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker
(manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam bervariasi
(pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius dan timus,
perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi,
nefrosis, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding (Ahmad, 2009).
C. Metabolisme dan Residu
Pada broiler, metabolisme tertinggi aflatoksin B1 dan B2 terjadi di gizzard, hati dan ginjal
tetapi akan hilang setelah 4 hari. Pada ayam, aflatoksin B1 dimetabolisme menjadi aflatoksin
B2a dan M1 di hati. Dan juga enzim NADP- linked cytoplasmic pada hepar ayam mereduksi
aflatoksin B1 dan B2 menjadi aflatoxicol. Aflatoksin B1dieksresikan melalui bilirubin, urine dan
intestinal denga rasio 70:15:15. Masa paruh waktu aflatoksin B pada ayam betina yaitu 67 jam.
Kebanyakan aflatoksin di eksresikan melalui bilirubin dan intestinal tetapi aflatoksin B1 dan
aflatoxicol dapat ditemukan di ovarium dan telur. Aflatoksin B2 terakumulasi pada organ
reproduksi dan di transfer ke telur (albumin dan yolk) dan anak ayam (Saif dkk, 2010).
D. Gejala Klinis
Aflatoksikosis dapat bersifat akut maupun kronis, tergantung pada dosis, lama kontak dan
umur ayam. Keracunan akut biasanya ditemukan pada ayam muda yang mendapat dosis tinggi
aflatoksin B1 sekitar 1000 ppb, sedangkan keracunan kronik biasanya dapat dijumpai pada ayam
yang lebih tua (lebih dari 5 minggu) yang mengkonsumsi bahan toksik tersebut dengan kadar
yang rendah (ppb) selama beberapa minggu (Tabbu, 2002). Ayam pada semua umur umumnya
sensitif terhadap aflatoksin, namun ayam muda bersifat lebih peka (Tabbu, 2002). Gejala
keracunan akut, meliputi lesu, kehilangan napsu makan, gangguan pertumbuhan, pigmentasi
abnormal pada kaki dan jari, dan kelumpuhan.
Di samping itu, terlihat juga adanya ataksia, konvulsi dan opistotonus yang dapat berakhir
dengan kematian (Tabbu, 2002). Dari Pial hingga jengger bisa menjadi pucat (Murtidjo, 1992).
Pada keracunan yang lebih kronik, akan terlihat adanya hambatan pertumbuhan, peningkatan
konversi pakan, penurunan produksi telur dan penurunan fertilitas dan daya tetas telur. Pada
broiler, terlihat juga penurunan kualitas karkas (pigmentasi karkas) dan peningkatan lesi
(memar) pada kulit akibat adanya pembuluh darah kapiler yang lebih rapuh. Selain itu, telur
yang dihasilkan oleh layer menjadi lebih kecil (Tabbu, 2002; Murtidjo, 1992). Ayam yang
menderita aflatoksikosis akan mengalami imunosupresi sehingga lebih peka terhadap berbagai
penyakit. Di samping itu, ayam yang menderita juga akan mempunyai respon yang suboptimal
terhadap berbagai program vaksinasi dan pengobatan. Aflatoksikosis dapat juga menyebabkan
anemia dan abnormalitas pada proses pembekuan darah (Tabbu, 2002). Aflatoksikosis juga dapat
menyebabkan kematian pada ayam penderita (Fadilah dan Polana, 2004).
Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi
karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui,
meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi
insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin
dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi
dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan
kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi
aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
- Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
- Penyakitnya tidak menular.
- Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.
- Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.
- Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).
E. Diagnosis
Dapat didasarkan atas sejarah kasus dan perubahan patologik pada jaringan. Diagnosis pasti
aflatoksikosis hendaklah didasarkan atas isolasi, identifikasi dan kuantifikasi adanya toksin yang
khusus (Tabbu, 2002).
Terhadap tiga metode yang umum digunakan untuk menganalisis alfatoksin makanan, yakni
Kromatografi Lapis Tipis Densitometri (KLT Densitometri), Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay(ELISA).
F. Pencegahan
Untuk mencegah pembentukan aflatoksin tersebut dapat dilakukan dengan praktek
manajemen yang ketat, khususnya pemilihan (kontrol kualitas), distribusi, dan penyimpanan
bahan baku pakan. Di samping itu, dapat diberi anti fungi atau bahan pengikat toksin yang dapat
menginaktifkan mikotoksin tersebut (Tabbu, 2002).
Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan
pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk
pangan.
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana
jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan
menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah
rasa atau tengik
G. Pengobatan
Pengobatan yang spesifik belum ada (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004). Pakan yang
mengandung aflatoksin harus dibuang dan diganti dengan yang bebas aflatoksin. Ayam biasanya
mengalami kesembuhan dari sebagian besar kasus mikotoksikosis dalam waktu yang singkat
setelah pemberian pakan yang mengandung bahan tersebut dihentikan (Tabbu, 2002). Kadar
vitamin, mikromineral (terutama selenium), protein dan lemak dalam pakan perlu ditingkatkan
atau dapat diberikan sebagai tambahan melalui air minum. Peningkatan kadar protein kasar dan
vitamin dalam pakan dapat menghambat efek aflatoksin (Tabbu, 2002).

2.3. Candidiasis
A. Klasifikasi

Candidiasis adalah penyakit mukokutan lokal yang disebabkan oleh spesies jamur seperti
Candida , paling sering C albicans. Ini didistribusikan ke seluruh dunia dalam berbagai hewan.
C albicans sering menyerang nasofaring, saluran pencernaan, dan genitalia eksternal dari banyak
spesies hewan dan bersifat oportunistik dalam menyebabkan penyakit.

Kingdom: Fungi
Filum: Ascomycota

Subfilum: Saccharomycotina

Kelas: Saccharomycetes

Ordo: Saccharomycetales

Famili: Saccharomycetaceae

Genus: Candida

Spesies: C.Albicans

A. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Candida. Candida mempunyai morfologi bulat,


lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x 3-6 µ hingga 2-5 x 5-28 µ. Khamir ini
memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang disebut blastospora dan blastospora ini
terus memanjang membentuk hifa semu. Spesies Candida terdiri dari C.albicans, C.krusei,
C.tropicalis, C.dubliniensis, C.famata, C.firmetaria, C.glabrata, C.guilliermondii,
C.inconspicua, C.kefyr, C.lipolytica, C.lusitaniae, C.norvegensis, C.parapsilosis, dan
C.rugosa. Spesies-spesies Candida adalah khamir imperfecti (tidak memiliki bentuk
seksual), tergolong dalam famili Cryptococcacea, ordo Cryptoccales, klas Blastomycetes,
dan divisi fungi imperfecti.

Spesies Candida yang dikenal banyak menimbulkan penyakit baik pada manusia
maupun hewan adalah Candida albicans.

B. Faktor Virulensi
 Phenotypic Switching
Phenotypic switching merupakan bagian yang sangat penting pada jamur untuk
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan selama invasi pada host. Kemampuan untuk
menginfeksi beberapa jaringan sangat penting dalam keberhasilan invasi dan penyebaran pada
host. Kadang-kadang beberapa subpopulasi sel C. albicans dapat berubah secara morfologi,
sifat permukaan sel, gambaran koloni, sifat biokimia dan metabolisme untuk menjadi lebih
virulen dan lebih efektif selama infeksi. Koloni-koloni dapat berubah fenotif meliputi; halus,
kasar, berkerut, berumbai atau berbintik dengan frekuensi yang tinggi yaitu sekitar satu koloni
berubah per 10-104 koloni. Proses phenotypic switching secara molekuler, masih belum jelas,
kemungkinan karena rearrangement kromosom dan regulasi gen SIR2 (Silent Information
Regulator) dalam proses ini. Contoh yang paling umum pada perubahan koloni adalah koloni
berwarna putih berubah menjadi kusam. Koloni berwarna putih, berbentuk oval dan halus juga
dapat berubah menjadi koloni yang berwarna abu-abu dan kasar. Sel-sel yang berwarna kusam
menghasilkan SAP1 (Secrete Aspartyl Proteinase) dan SAP3 dan bersifat kurang virulen,
sedangkan sel- sel yang berwarna putih menghasilkan SAP2 dan lebih bersifat virulen selama
infeksi sistemik. Phenotypic switching kemungkinan besar merupakan sinyal proses perubahan
beberapa sifat molekuler dan biokimia pada patogen, yang berguna untuk pertahananan hidup
jamur dalam organisme host.

 Dimorfisme

Kemampuan untuk berubah bentuk antara sel yeast uniseluler dengan sel berbentuk filamen
yang disebut hifa dan pseudohifa dikenal sebagai dimorfisme morfologi. Transisi diantara
bentuk morfologi yang berbeda ini merupakan respon terhadap rangsangan yang beragam dan
sangat penting bagi patogenisitas jamur. Morfologi dapat berubah mengikuti berbagai kondisi
lingkungan, termasuk respon terhadap suhu fisiologis 37 °C, pH sama atau lebih tinggi dari 7,
konsentrasi CO2 5,5%, adanya serum atau sumber karbon yang merangsang pertumbuhan hifa.
Produksi bentuk uniseluler dirangsang oleh suhu yang lebih rendah dan pH yang lebih asam,
dan tidak adanya serum dan konsentrasi glukosa tidak tinggi. Sel yeast dianggap bertanggung
jawab untuk penyebaran ke dalam lingkungan dan menemukan host baru, sedangkan hifa
diperlukan untuk merusak jaringan dan invasi. Proses molekuler pada dimorfisme morfologi C.
albicans masih kurang jelas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor transkripsi Cph1p
dan Efg1p diperlukan untuk membentuk hifa selama infeksi.
 Adhesi

Perlekatan pada sel host dan jaringan sangat penting untuk C. albicans dalam memulai
invasi, kemudian penyebaran ke dalam organisme host. Pada permukaan dinding sel C. albicans
menyediakan reseptor yang bertanggung jawab untuk adhesi pada sel epitel dan endotel, protein
serum dan protein matriks ekstraseluler. Adhesi dan pembentukan biofilm saat ini menjadi
masalah serius dalam pengobatan, karena sering terjadi resistensi terhadap agen antijamur dan
peningkatan patogenisitas diantara sub-populasi dari sel-sel yang membentuk biofilm. Selama
pembentukan biofilm sekresi SAP lebih tinggi.13 Sel C. albicans membentuk biofilm selalu
terkait dengan matriks polisakarida yang mengandung residu mannosa dan glukosa.14 Produksi
matriks biofilm berperan sangat penting dalam resistensi obat pada biofilm C. albicans, tetapi
perkembangan resistensi dapat multifaktorial.

Kemampuan Candida untuk menginvasi pada lingkungan yang berbeda dalam organisme
host merupakan hasil adaptasi jamur. Selain itu karena adanya adhesin yang memfasilitasi
perlekatan dengan permukaan sel host, yang penting pada tahap pertama infeksi. Adhesin ini
meliputi familia protein Als (Agglutinin-like sequence), Hwp1p (Hyphae specipic adhesion),
Eap1p (Enhanced adhesion to polystyrene), Csh1p (Contribution of cell surface hydrophobicity
protein) dan reseptor permukaan sel lainnya yang kurang dikenal. Semua reseptor yang telah
dikenal berhubungan dengan dinding sel jamur.

 Sekresi Enzim Hidrolitik

Produksi dan sekresi enzim hidrolitik seperti protease, lipase dan fosfolipase merupakan
faktor virulensi yang sangat penting. Enzim ini berperan dalam nutrisi tetapi juga merusak
jaringan, penyebaran dalam organisme host, dan sangat berkontribusi terhadap patogenisitas
jamur. Aktivitas fosfolipase sangat tinggi terjadi selama invasi jaringan, karena enzim ini
bertanggung jawab untuk menghidrolisis ikatan ester dalam gliserofosfolipid yang menyusun
membran sel. Sel-sel C. albicans yang diisolasi dari darah menunjukkan aktivitas fosfolipase
ekstraseluler lebih tinggi daripada strain komensal. Ada empat jenis sekresi fosfolipase
meliputi; A, B, C dan D, yang khusus menghidrolisis ikatan ester dalam gliserofosfolipid.
Fosfolipase yang sangat penting bagi virulensi jamur adalah aktivitas PLB (Phospholipase B),
yang mempunyai dua aktivitas yaitu hidrolase dan lisofosfolipasetransasilase. PLB dapat
melepaskan asam lemak dari fosfolipid dan asam lemak yang tersisa dari lisofosfolipid, dan
kemudian menstransfer asam lemak bebas ke lisofosfolipid dan menghasilkan fosfolipid. Selain
fosfolipase, C. albicans dapat menghasilkan lipase yang dapat menghidrolisis ikatan ester dari
mono-, di-, dan triasilgliserol.

Kelompok sekresi enzim hidrolitik C. albicans yang paling terkenal adalah SAP (Secreted
Aspartyl Proteinase). Familia gen SAP mencakup setidaknya 10 gen yang berbeda SAP1-
SAP10 yang menyandi enzim dengan fungsi dan karakter yang serupa, tetapi berbeda sifat
molekul, seperti massa molekul, titik isoelektrik dan pH untuk aktivitas yang optimal. Ekspresi
gen SAP diatur pada tingkat transkripsi, dan preproprotein diproses oleh sinyal peptidase dalam
retikulum endoplasmatic dan oleh Kex2-like proteinase dalam aparatus Golgi. Kemungkinan
SAP1 - SAP3 hanya disekresikan oleh sel yeast dan SAP 4 - SAP6 oleh sel hifa. Sedangkan
produksi SAP 9 dan SAP10 dihubungkan dengan dinding sel jamur. Sintesis dan fungsi dari
SAP 7 dan SAP8 masih belum diketahui. Banyak protein host terhidrolisis oleh SAP meliputi;
kolagen, laminin, fibronektin, musin, laktoferin saliva, makroglobulin α2, hampir semua
imunoglobulin, interleukin-1β sitokin proinflamasi, laktoperoksidase, cathepsin D, complement,
cystatine A, dan beberapa prekursor faktor koagulasi darah. Spektrum pH optimal untuk
aktivitas SAP adalah dari 2,0 - 7,0 sehingga enzim ini dapat berkontribusi untuk patogenesis
jamur dan infeksi berkembang di berbagai tempat pada organisme host. Selain aspartyl
proteinase, C. albicans juga mensekresi protease yang lain yaitu; metallopeptidase dan
peptidase serin. Peptidase serin aktif dalam berbagai pH (5,07,2) dan menghidrolisis banyak
substrat host termasuk protein matriks ekstraseluler dan protein serum.

 Faktor Virulensi yang Lain

Kemampuan mikroorganisme patogen untuk mendapatkan zat besi dari lingkungan


selama infeksi merupakan factor virulen yang sangat penting. Kemampuan untuk mengatasi
sistem host dihubungkan dengan transport dan akumulasi zat besi yang sangat penting untuk
bertahan hidup selama invasi pada aliran darah. Pada anggota C. albicans membutuhkan
hemoglobin dan hemin untuk memperoleh zat besi. Tanpa protein hemoglobin dan hemin
metabolisme zat besi C. albicans sangat terganggu. Selama infeksi sel Candida yang terkena
oksigen reaktif yang diproduksi oleh sel imun, mengatasi mekanisme respon ini dengan beberapa
faktor virulensi meliputi; katalase, superoksida dismutase dan heat shock protein. Ekspresi
beberapa faktor virulensi sering tergantung pada kondisi lingkungan, oleh karena itu jamur harus
memiliki sensor terhadap perubahan lingkungan. Kemungkinan calcineurin berperan seperti
sensor. Calcineurin adalah protein yang terlibat dalam respon stres jamur, yang terdiri dari dua
subunit, subunit A dengan aktivitas katalitik dan subunit B dengan fungsi regulasi.

C. Gejala Klinis

Tanda-tanda bervariasi dan tidak spesifik dan mungkin lebih terkait dengan kondisi primer
atau predisposisi dibandingkan dengan candidiasis itu sendiri. Candidiasis pada forestomach
(perut depan) memiliki gejala diare berair, anoreksia, dan dehidrasi, dengan kemajuan bertahap
hingga kematian. Hewan yang terkena tidak beralasan dan telah mengurangi asupan pakan dan
tingkat pertumbuhan. Candidiasis mempengaruhi mukosa mulut, esofagus, dan lambung, dengan
diare dan kekurusan tanda-tanda yang paling konsisten.
Lesi-lesi kotor pada kulit dan mukosa umumnya merupakan massa tunggal atau multipel,
terangkat, melingkar, dan putih yang ditutupi dengan scab. Organisme ini dapat menembus epitel
keratin dan menyebabkan penebalan keratin pada mukosa lidah, esofagus, dan rumen. Pada
burung, esofagus berwarna putih, ulkus melingkar dengan scabs permukaan yang meninggi yang
menghasilkan penebalan mukosa; pseudomembran yang mudah dihilangkan sering terjadi.
Gejala klinis dari ayam yang menderita kandidiasis berupa hilangnya berat badan, terjadi
muntah secara berkala, dan terlihat lesu. Gejala lain adalah menurunnya laju pertumbuhan pada
ayam muda, diare, dan hambatan aliran makanan pada tembolok disertai dengan penebalan atau
dilatasi dinding. Selain gejala klinis di atas, gejala lain yang biasanya muncul adalah terjadinya
lesio di mulut berupa peradangan kaseosa pada mulut. Pada tahap yang lebih parah, lesio pada
mulut menjadi obstruktif dan dapat mengganggu respirasi dan pencernaan, sehingga
menyebabkan kelesuan dan terhambatnya pertumbuhan serta penambahan bobot badan.
Candidiasis pada tembolok dan esofagus unggas

D. Patogenesis

Jamur C. albicans merupakan mikroorganisme endogen pada traktus gastrointestinal,


traktus genitalia dan kadang-kadang pada kulit. Secara mikroskopis ciri-ciri C. albicans adalah
yeast dimorfik yang dapat tmbuh sebagai sel yeast(ragi), sel hifa atau pseudohyphae.

Infeksi C. albicans pada umumnya merupakan infeksi opportunistik, dimana penyebab


infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme penghuni sementara ketika host
mengalami kondisi immunocompromised. Dua faktor penting pada infeksi opportunistik adalah
adanya paparan agent penyebab dan kesempatan terjadinya infeksi. Faktor predisposisi meliputi
penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit serta
adanya benda asing.
Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel host menjadi syarat mutlak untuk
berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan sel
pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan
reseptor. Makanan dan protein merupakan molekul-molekul Candida albicans yang mempunyai
aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat pada dinding sel Candida albicans juga
berperan dalam aktifitas adhesif. Setelah terjadi proses penempelan, Candida albicans
berpenetrasi ke dalam sel epitel mukosa. Enzim yang berperan adalah aminopeptidase dan asam
fosfatase, yang terjadi setelah proses penetrasi tergantung dari keadaan imun dari host.
C. albicans membentuk blastospora dan hifa, bentuk blastospora diperlukan untuk
memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa yang melakukan invasi
dengan proses tersebut terjadilah reaksi radang.

E. Diagnosa

Organisme jamur banyak dalam jaringan epitel yang berkembang biak, dan diagnosis
dapat dilakukan dengan pemeriksaan kerokan atau spesimen biopsi dari lesi mukokutan. C
albicans adalah ovoid, tunas sel ragi (diameter 2-4 μm) dengan dinding tipis, atau terjadi dalam
rantai yang menghasilkan pseudohyphae ketika blastospora tetap melekat setelah pembagian
tunas.

Diagnosa candidiasis juga dapat berdasarkan dari gejala klinis yang ditemukan, factor
predisposisi, dan lesion yang ditemukan.

 Pemeriksaan Kultur pada Candida albicans

Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah Sabouraud dextrose agar/SDA
dengan atau tanpa antibiotik, ditemukan oleh Raymond Sabouraud (1864-1938) seorang ahli
dermatologi berkebangsaan Perancis. Pemeriksaan kultur dilakukan dengan mengambil sampel
cairan atau kerokan sampel pada tempat infeksi, kemudian diperiksa secara berturutan
menggunakan Sabouraud’s dextrose broth kemudian Sabouraud’s dextrose agar plate.
Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis. Kultur
sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit diseminata lainnya.
Sabouraud’s dextrose broth/SDB berguna untuk membedakan C. albicans dengan spesies jamur
lain seperti Cryptococcus, Hasenula, Malaesezzia. Pemeriksaan ini juga berguna mendeteksi
jamur kontaminan untuk produk farmasi. Pembuatan SDB dapat ditempat dalam tabung atau
plate dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, setelah 3 hari tampak koloni C. albicans
sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat dengan jelas. Koloni C.
albicans berwarna putih kekuningan, menimbul di atas permukaan media, mempunyai
permukaan yang pada permulaan halus dan licin dan dapat agak keriput dengan bau ragi yang
khas. Pertumbuhan pada SDB baru dapat dilihat setelah 4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai
hasil negatif. Jamur dimurnikan dengan mengambil koloni yang terpisah, kemudian ditanam
seujung jarum biakan pada media yang baru untuk selanjutnya dilakukan identifikasi jamur.
Pertumbuhan C. albicans dan jamur lain/C. dublinensis pada SDB dapat dilihat pada Gambar 3 di
berikut ini.

`Sabouraud’s dextrose agar plate/SDA plate direkomendasikan untuk sampel atau bahan
klinis yang berasal dari kuku dan kulit. Media ini selektif untuk fungi dan yeast melihat
pertumbuhan dan identifikasi C. albicans yang mempunyai pH asam/pH 5,6. Penambahan
antibiotika membuat media ini lebih selektif yang bertujuan untuk menekan bakteri yang tumbuh
bersama jamur di dalam bahan klinis. Pertumbuhan pada SDA plate terlihat jamur yang
menunjukkan tipikal kumpulan mikroorganisma yang tampak seperti krim putih dan licin disertai
bau khas/yeast.

 Pemeriksaan Serologi dan Biologi Molekuler pada Candida albicans

Pemeriksaan serologi terhadap Candida albicans dapat menggunakan metode


imunofluoresen/fluorecent antibody test yang sudah banyak tersedia dalam bentuk rapid test.
Hasil pemeriksaan harus sejalan dengan keadaan klinis penderita, ini disebabkan karena
tingginya kolonisasi. Pemeriksaan Candida albicans dengan metode serologis sangat berguna
untuk kandidiasis sistemik. Pemeriksaan biologi molekuler untuk C.albicans dilakukan dengan
polymerase chain reaction/PCR, restriction fragment length polymorphism/RFLP, peptide
nucleic acid fluorescence in situ hybridization/PNA FISH dan sodium dodecyl sulphate-poly
acrylamide gel electrophoresis/SDS.

Pemeriksaan biologi molekuler untuk Candida albians sangat berguna karena dapat
memberikan hasil yang lebih cepat dari pada pemeriksaan dengan biakan.
Pemeriksaan dengan PCR untuk identifikasi spesies kandida, hasilnya cukup cepat akan
tetapi kurang sensitif dibandingkan dengan biakan pada media. Sekarang ini belum berhasil
dibuat oligonukleotida primer yang spesifik untuk Candida albicans. Amplifikasi dengan PCR
dan analisis restriksi enzim dengan RFLP sudah dapat dipakai untuk mengetahui genotipe dari
Candida albicans. Pembacaan hasil dari kedua pemeriksaan tersebut dilakukan dengan
menggunakan sinar UV illumination dan gel image dengan alat khusus, dan terbaca sebagai
bentuk pita (band). Pemeriksaan PNA FISH adalah hibridisasi asam nukleat untuk identifikasi
Candida albicans dan Candida glabrata, dengan sampel yang dipakai adalah kultur darah.
Pemeriksaan dapat dilakukan langsung dari hasil kultur yang jamur positif, dapat juga dilakukan
pada semua jenis sampel dari media kultur darah. Pemeriksaan ini menggunakan label fluoresen
untuk melapisi ribosomal RNA/rRNA Candida albicans.

F. Pengobatan

Penyakit ini tidak dapat diobati dengan hasil yang memuaskan. Beberapa ahli melaporkan
bahwa pemberian nistatin melalui pakan dengan dosis 142 mg/kg pakan selama 4 minggu dapat
mencegah kandidiasis. Peneliti lain melaporkan bahwa kandidiasis dapat diobati dengan
pemberian nistatin ini melalui air minum dengan dosis 62,5 — 250 mg/L yang dicampur dengan
Na-lauril sulfat pada dosis 7,8 — 25 mg/L selama 5 hari.

Pengobatan dapat dilakukan menggunakan cooper sulfat dengan takaran 1 : 2000 (1


bagian cooper sulfat dan 2000 bagian air minum selama penyakit tersebut berlangsung).
Pengobatan juga dapat dilakukan menggunakan gentian violet yang dicampur dalam pakan
dengan dosis 1 pound per ton pakan, Pemberian multivitamin, terutama vitamin A akan menekan
derajat keparahan penyakit tersebut. Meskipun demikian, pada kondisi lapangan pengobatan
terhadapkan didiasis tidak dilakukan oleh karena hasilnya kurang memuaskan.

G. Pencegahan

Mengingat infeksi Candida albican serat hubungannya dengan berbagaia aspek


manajemen yang tidak optimal, misalnya kondisi sanitasi yang tidak memadai, penggunaan
antibiotika yang berlebihan dan tingkat kepadatan kandang yang tinggi, maka pengendalian
kandidiasis terutama ditujukan untuk menghilangkan berbagai factor pendukung tersebut. Ayam
yang terinfeksi hendaklah dipisahkan dari ayam lain yang sehat. Kandang dan lingkungannya
dapat didesinfeksi dengan larutan 2% formaldehida atau larutan 1% NaOH selama 1 jam; dan
larutan 5% yodium monoklorida bercampur asam hidroklorat selama 3 jam.

2.4. Ringworm
Ringworm adalah penyakit kulit yang disebabkkan oleh jamur.beberapa spesies jamur
bersifat zoonosis karena hewan penderita merupakan sumber penularan pertama pada manusia
ataupun sebaliknya. Penyakit ini disebabkan oleh jamur yang bersifat keratinofilik yang terdapat
pada jarngan yang membentk keratin, seperti epitel, rambut, kuku, baik pada hewan maupun
manusia. Mortalitas penyakit rendah namun kerugia ekonomi terjadi karena penurunan berat
badan pada hewan. Jenis jamur sebagai penyebab ringworm adalah kelompok dermatofit,
termasuk kelompok Deuteromycota. Pembedaan antara spesies tergantung pada perbedaan
morfologi makroskopik dan gejala klinis dari infeksi

1. Etilogi
Jamur penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok Dermatophyta. Terdapat 4
(empat genus yaitu Trichophyton, microsporum, Epidermophyton, dan keratinomyces yang
menyebabkan penyakit pada hewan adalah trichophyton dan microsporum. Berdasarkan
morfologi makrokonidia, ordo dari jamur dermatofit pertama kali ditentukan menjadi 3 genus,
yaitu Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton oleh EMMONS pada tahun 1934.
Sejumlah spesies di dalam subdivisi Deuteromycotina mempunyai siklus hidup seksual/jamur
perfect (sempurna, teleomorfis) dan membentuk ascospora. Spesies ini sekarang diklasifikasi ke
dalam famili Gymnoascaceae dari subdivisi Ascomycotina. Spesies yang berstatus perfect dari
genus Trichophyton dan Microsporum masing-masing dimasukkan ke dalam genera
Arthroderma dan Nannizia. Status jenis perfect ini berguna untuk identifikasi spesies tertentu.
Untuk tujuan identifikasi, diutamakan pengenalannya kepada sel konidianya dari suatu isolat
(STOCKDALE, 1964).
Di dalam bidang veteriner, hanya genus Trichophyton dan Microsporum yang berperanan
penting untuk kesehatan hewan. Jumlah spesies yang telah diketahui dari masing-masing genus,
yaitu Trichophyton (26 spesies), Microsporum (14 spesies), dan Epidermophyton (1 spesies).
Diantaranya hanya 23 spesies dikenal sebagai patogen baik pada hewan maupun manusia, yaitu
15 spesies Trichophyton sp., 7spesies Microsporum sp. dan Epidermophyton floccosum (hanya
menginfeksi manusia) (AL-DOORY,1980).

2. Epidemiologi
Jenis jamur dermatofit kemungkinan besar berasal dari tanah (geofilik), tetapi sebagian
meninggalkan sifat saprofitnya dan berubah menjadi parasit. Hal ini disebabkan adanya proses
adaptasi, dengan hilangnya status perfect (siklus hidup seksual) menjadi status imperfect
(aseksual). Penyebaran penyakit terjadi lewat kontak langsung antara hewan (zoophilic), antara
manusia (anthropophilic) atau dari hewan ke manusia (zoonotic), jarang terjadi menular dari
manusia ke hewan. Kejadian infeksi dari hewan ke manusia biasanya menyerang pemelihara
ternak dengan cara kontak langsung atau tidak langsung melalui alat-alat yang digunakan.
Tergantung dari habitat dan jenis induk semang, sebagian jenis dermatofit dapat menginfeksi
induk semang secara luas, sementara yang lain hanya menginfeksi beberapa jenis hewan. Satu
spesies hewan bisa terinfeksi oleh beberapa spesies dermatofit.
Menurut EDWARDSON dan ANDREWS (1979), masa inkubasi infeksi sekitar 1 bulan,
lamanya suatu infeksi pada satu kelompok ternak pada anak sapi, berlangsung selama 8 bulan,
dan tiap ekor mengalami infeksi rata-rata 2 bulan. Kejadian sering terdapat pada kelompok besar,
karena terlalu padat dan kontak antar individu besar. Musim berpengaruh untuk menyebarnya
penyakit, yaitu di musim dingin atau penghujan. Di luar induk semang, jamur T. Verrucosum
bisa tahan selama 4 – 5 tahun, yaitu mencemari peralatan di dalam kandang, terutama yang
terbuat dari
kayu, sisa-sisa rontokan epitel kulit dari penderita, sehingga dalam lingkungan tersebut,
kemungkinan sapi akan selalu kontak dengan jamur. Tetapi viabilitasnya dapat berkurang oleh
sinar matahari, sehingga jamur hanya bertahan dalam beberapa bulan. Menurut CARTER dan
WISE (2004), produk ekstra-seluler dari dermatofit (keratinase, elastase, dan collagenase) sangat
berperan penting dalam patogenitas penyakit. Enzim-enzim tersebut mencerna jaringan dari
induk semang untuk mendapatkan nutrisi guna pertumbuhannya. Enzim ini bisa menimbulkan
reaksi radang dari dermatofit tertentu pada induk semang

3. Gejala klinis

Lesi klinis yang teramati pada sapi bali yang dicurigai terinfeksi ringworm ini berupa
alopesia berbentuk bulat berwarna putih, abuabu, atau coklat kehitaman disertai dengan adanya
hiperkeratosis, scale (sisik), dan krusta (Gambar 3). Semua sapi yang positif ringworm (delapan
ekor) menampakkan lesi berbentuk bulat disertai alopesia, tiga ekor terdapat scale, tiga ekor
terdapat hiperkeratosis, satu ekor terdapat krusta, enam ekor menampakkan hiperpigmentasi, dan
dua ekor sudah mulai tumbuh rambut pada bagian tengah lesi. Lesi tersebut sesuai dengan yang
dilaporkan oleh Al-Ani et al. (2002). Pada tiap sapi tidak memperlihatkan semua bentuk lesi
tersebut, namun ada yang hanya memperlihatkan satu atau dua bentuk lesi saja. Alopesia
merupakan suatu kondisi hilangnya rambut secara parsial (sebagian) atau secara keseluruhan
pada bagian tubuh. Alopesia pada ringworm disebabkan oleh adanya inflamasi pada folikel
rambut yang dapat mengakibatkan rusaknya batang rambut dan kerontokan rambut (Scott et al.,
2001).
4. Diagnosa
Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dan rambut, ditemukan adanya elemen
jamur berupa arthrospora dan hifa, namun tidak dapat diidentifikasi secara spesifik spesies
dermatofitanya. Spesies dermatofita dapat diidentifikasi menggunakan teknik kultur jamur.
Arthrospora teramati berbentuk bulatanbulatan yang bergerombol atau tersusun seperti rantai
sedangkan hifa teramati seperti pita yang panjang dengan septa-septa (sekat-sekat). Teknik
pewarnaan menggunakan tinta cina (Parker®) ternyata tidak memperlihatkan hasil yang bagus
pada pemeriksaan rambut sapi namun memperlihatkan hasil yang cukup bagus pada pemeriksaan
kerokan kulit sapi. Bond (2010) menyatakan bahwa ringworm pada sapi umumnya disebabkan
oleh Trichophyton verrucosum.

5. Penanggulangan Penyakit
Ringworm umumnya bersifat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi hal ini akan
berjalan lama yaitu sekitar 9 bulan, bila tidak diobati. Penanggulangan penyakit ringworm
dengan cara pengobatan dianggap belum memuaskan, karena pada kejadian wabah, pengobatan
secara topikal hanya sedikit berefek menyembuhkan. Walaupun demikian, pengobatan dapat
mengurangi lamanya penyakit. Mekanisme secara alami berupa pencegahan yang dapat
menggagalkan infeksi sebaiknya dipertimbangkan sebelum pengobatan, terutama pada tahap
transformasi spontan atau induksi dari pertumbuhan rambut aktif (anagen) ke pertumbuhan
rambut tahap tidak aktif (telogen), dan tahap penghentian produksi keratin sebagai hasil dari efek
reaksi inflamasi yang kuat pada matrik di pangkal rambut.
Sejumlah obat topikal sudah banyak diproduksi dan dipasarkan, tetapi efeknya tergantung
bagian tubuh yang diobati, pada kulit yang tidak berambut hasilnya sebagian besar mempunyai
efek yang baik dibandingkan dengan bagian yang berambut, yaitu hanya sebagian kecil yang
berefek baik. Tapi sejak penemuan antibiotik griseofulvin, pengobatan pada bagian yang
berambut menghasilkan efek yang memuaskan. Bermacam-macam zat anti fungi mempunyai
aktivitas terutama sebagai fungistatik, aktivitasnya menggagalkan perkembangan dari ujung hifa,
dan menyebabkan hifa keriting (curling), menebal dan distorsi, sedangkan yang bersifat
fungisida berefek terutama pada sel-sel jamur yang masih muda dan aktif perkembangannya.
Ada 5 proses yang berperan pada pengobatan ringworm, yaitu:
(1). bersifat iritasi, yaitu merangsang reaksi peradangan akan berakibat tidak
terjadinya infeksi
(2). bersifat keratolitik, akan melepaskan dan membuang stratum corneum,
dimana dermatofit menyusup
(3). bersifat fungisida, langsung membunuh atau merusak dermatofit
(4). bersifat fungistatik, yaitu menghambat pertumbuhan dermatofit
(5). zat yang merubah anagen (pertumbuhan aktif rambut/bulu) menjadi telogen
(pertumbuhan rambut/bulu berhenti) atau menghentikan produksi keratin seperti
thallium atau radiasi sinar X .
Pemakaian spray atau cairan pembersih seperti senyawa bensuldazic acid 0,5 – 1%,
berguna untuk sterilisasi permukaan tubuh hewan dan lingkungan kandang serta penggunaan
sikat dalam pemberian larutan pemutih juga efektif. Berbagai bahan obat yang tak terdaftar
secara resmi telah dicobakan dari snail slime sampai senyawa Copper bentuk spray
(AINSWORTH dan AUSTWICK, 1973). Penanggulangan dengan pencegahan infeksi, adalah
lebih utama dibandingkan dengan pengobatan, seperti manajemen sanitasi yang baik meliputi
kebersihan hewan, kandang, peralatan dan lingkungan (ventilasi, cahaya matahari yang cukup),
isolasi hewan tertular, dan pengkarantinaan hewan yang baru masuk.
Program vaksinasi pada hewan muda diperkirakan akan memberi harapan lebih besar
untuk pencegahan penyebar luasan penyakit. Vaksinasi akan menurunkan jumlah hewan yang
terinfeksi secara nyata, dan anak sapi yang terinfeksi akan memperlihatkan ukuran lapisan kerak
(crust) yang sedikit. Pada sebagian besar peternakan, hal ini mungkin tidak banyak
menguntungkan, tetapi vaksinasi akan berguna sekali pada peternakan dengan kasus yang hebat,
terutama jika terjadi pada sapi dewasa. Dengan memperhatikan efektivitas vaksinasi, yaitu
dengan timbulnya proteksi pada hewan yang divaksinasi, maka vaksinasi merupakan program
yang berhasil dan direkomendasikan pada peternakan sapi (TORNQUIST et al., 1985).
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Mikosis oportunistik adalah infeksi yang berhubungan dengan jamur yang memiliki
virulensi yang rendah yang berarti bahwa patogen ini terdiri dari jamur dalam jumlah yang tidak
terbatas. Memiliki kecenderungan ke arah “penyakit” karena resistensi direndahkan bila hospes
memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Pada kenyataannya bagi orang yang memiliki daya tahan
tubuh yang lemah, tidak ada jamur yang tidak pathogen. Jamur yang paling sering diisolasi dari
pasien yang mengalami penurunan daya tahan tubuh adalah bersifat saprofitik (misalnya dari
lingkungan) atau endogen (komensal). Spesies yang paling lazim adalah spesies Candida,
Aspergillus dan zygomycetes. Aflatoksin merupakan cemaran alami yang berbahaya bagi
kesehatan manusia dan hewan karena bersifat karsinogenik.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. Z. 2009. Cemaran Kapang Pada Pakan Dan Pengendaliannya.


Jurnal://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3281093.pdf. [14 Januari 2013]
Carter, G. R. & darla J. Wise. 2004. Essentials of Veterinary Bakteriology and Mycology. Lowa;
lowa State Press.

Durkin M, Witt J, LeMonte A, et al. Antigen assay with the potential to aid in diagnosis of
blastomycosis. J Clin Microbiol 2004;42(10):4873-4875.

Fadilah, R. dan Polana, A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal 130-131

https://en.wikipedia.org/wiki/Mycosis

Murtidjo, B.A. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Kanisius. Yogyakarta. Hal 90-91

Revankar, G. S. 2017. Merck & Co., Inc, Kenilworth, NJ, USA. MSD and the MSD Veterinary

Rinaldy. MG. 1993. Biology and pathogenicity of candida species. Di dalam : Bodey GP editor .
candidiasis pathogenesis, diagnosis dan treatment. Ed ke-2. New York: raven press.
Saif, Y.M., Barner, H.J., Fadly, A.M., Glisson, J.R., McDaugld, L.R., dan Swayne, D.E. 2003.
Disease of Poultry. Edisi ke-11. CD-ROM Version. Iowa State University Press.
Blackwell Publishing Company.

Spector D, Legendre AM, Wheat J, et al. Antigen and antibody testing for the diagnosis of
blastomycosis in dogs. J Vet Intern Med 2008;22(4):839-843.

Spector D, Wheat J, Bemis D, et al. Antigen testing for the diagnosis of blastomycosis. Proc 24th
Annu ACVIM Forum 2006:731.

Taboada J. 2017. Merck & Co, Inc, Kenilworth, NJ, USA. MSD and the MSD Veterinary

Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Kanisius. Yogyakarta.
Hal 171-174.

Anda mungkin juga menyukai