Anda di halaman 1dari 14

Penyakit pada Kuda

Penyakit adalah suatu kondisi yang tidak normal pada tubuh sebuah mahluk hidup baik
disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan berbagai mikrooganisme yang merugikan
lainnya beberapa penyakit yang menyerang pada kuda sebagai berikut

1. Selakarang
Penyakit mikotik ini disebabkan oleh cendawan dimorfik Histoplasma farciminosum,
atau dengan beberapa nama lain yaitu Cryptococcus farciminosum, Equine
Blastomycosis, Equine Histoplasmosis. Umumnya menyerang bangsa kuda
(JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972 dalam AHMAD (2005).

Etiologi

Cendawan Histoplasma farciminosum penyebab penyakit ini adalah jenis


dimorfik (Gambar 2A, B). Dinamakan dimorfik karena cendawan tersebut dapat
berbentuk khamir (spora) pada temperatur 37 oC dan miselium pada temperatur 25 – 30
o
C. Selain itu morfologi mirip dengan Histoplasma capsulatum. Cendawan tersebut
berbentuk khamir mulai dalam wujud ovoid sampai globos dengan diameter berukuran 2
– 5 μm, dapat ditemukan pada ekstra-seluler dan intra-seluler di dalam sel-sel makrofag
dan sel raksasa. Dalam bentuk miselia tumbuh dengan lambat berbentuk arial. Koloni
berwarna abu-abu dan permukaannya seperti kulit. Pada media Sabouroud Dekstrosa
Agar (SDA) menghasilkan hifa yang pendek-pendek dan tidak teratur bentuknya. Hifa ini
mengelilingi badan cendawan yang kemudian akhirnya membentuk oval sehingga
dinamakan Rudimentary aleuriospora (Gambar 3A, B) (JUNGERMAN dan
SCHWARTZMAN, 1972 dalam AHMAD 2005). Pada media agar darah,
pertumbuhannya di medium berwarna abu-abu, tebal dan datar dengan koloni agak rapat
mempunyai segmen tipis dengan pertumbuhan khlamidospora di ujung.

Patogenesis
Inkubasi mulai beberapa minggu hingga 6 bulan. Infeksi oleh Histoplasma
farciminosum dapat berkembang ketika mikrokonidia atau fase miselia (25 – 30 C)
terhirup masuk ke paru-paru dan ketika cendawan ini masuk ke dalam tubuh yang
bersuhu 37 C menjadi bentuk khamir yang patogenik. Khamir difagositosit oleh
makrofag-makrofag namun khamir tersebut berubah menjadi parasitik dan menggunakan
makrofag sebagai tempat memperbanyak diri. Hasil proliferasi di dalam
bronkhopneumonia itu termasuk pada lobulus-lobulus paru-paru sekunder yang tertular.

Jalur lain masuknya H. farciminosum juga lewat perlukaan atau kulit yang terbuka
karena luka lecet atau
gesekan, kemudian masuk ke peredaran darah. Bila tubuh lemah maka akan terjadi
infeksi yang menyebabkan terjadinya penyakit. Invasi mulai dari kulit, organisme
menyebar melalui pembuluh limfe menuju daerah limfonodul, atau masuk menembus
organ dalam, lesi bernanah dan bisul ada di dalam kulit di sepanjang pembuluh limfe.
Lesi mukosal terjadi pada mukosa nasal dan mukosa okuler. Paru-paru juga terkena dan
menimbulkan gejala pneumonia. Responpatogenik ditandai dengan peradangan
granulomatous yang didominasi oleh sel makrofag, limfosit, sel plasma dan sel-sel
raksasa. Migrasi oleh limfosit regional dan akibat dari dominasi hematogenous
memperbanyak parasit yang telah difagositosis makrofag melalui sistem Reticulo
Endothelial System (RES) khususnya limpa. Di dalam kasus imuno kompeten inang
spesifik, sel T imunitas berkembang dalam 1 – 4 minggu dan terjadi pengendalian
infeksi, bersamaan dengan kejadian ini gejala klinis spontan meningkat, involusi
dan kapsulisasi serta kejadian kalsifikasi menjadi residu dari infeksi yang khas
membentuk granuloma
(AL-ANI, 1999; GILBERT, 2005, WHEAT dan KAUFFMAN, 2010) baik direct atau
indirect, uji aglutinasi darah, ELISA, pewarnaan Gram, H & E, PAS dan uji hipersensitif
kulit (OIE, 2004; ENDEBU dan
ROGER, 2005; KAUFFMAN, 2007). Selanjutnya AMENI et al. (2006) mengembangkan
uji histofarcin pada kulit
kuda di Ethiopia, dan DE MATOS-GUEDES et al. (2011) mengembangkan teknik
diagnosis dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR) berdasarkan dari sekuensing nukleotida dari M antigen.
Gejala klinis

Kuda yang terserang akan ditandai dengan ulserasi pada kulit yang bersifat
undulatif. Kerusakan jaringan
ini terjadi setelah beberapa minggu hingga 3 bulan masa infeksi. Bisul-bisul ditemukan
pada bagian kaki,
dada, leher, bibir, skrotum, mata dan kaki yang selanjutnya ditemukan penebalan saluran
limfe bagian
superfisial, pembesaran nodus limfangitis regional, pembentukan abses bercampur darah
dan berakhir
dengan terbentuknya ulser pada kulit yang lebih kecil-kecil yang lama kelamaan ulser
akan menyatu sehingga kulit menebal membentuk jaringan ikat. Menurut tempat
serangannya dapat digolongkan kutan dan nasal serta okuler

Diagnosis
Selain gejala klinis yang nampak pada hewan dapat dilakukan pemeriksaan
langsung pada agen penyebab penyakit melalui preparat ulas yang diwarnai dengan
pewarnaan Gram atau lactophenol cotton blue. Pemeriksaan biakan yang diinokulasikan
pada agar medium juga dapat dilakukan, namun memerlukan waktu yang cukup lama.
Melalui uji serologis dapat menghemat waktu diagnosis, misalnya passive
haemagglutination test, Fluorescent Antibody Test.
Pencegahan

Untuk meminimalkan kejadian penyakit disarankan memperkenalkan penggunaan


obat-obatan untuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Pencegahan
selalu lebih baik dari pada pengobatan. Pencegahan dimulai dengan mengendalikan
kantung-kantung pemeliharaan kudadengan lalu lintas perdagangannya. Hewan kuda
yang
diperdagangkan harus bebas Selakarang. Pemeliharaan kuda dan peralatannya harus
dilakukan dengan baik. Penularan pada benda yang berhubungan dengan kuda yang sakit
seharusnya dimusnahkan dengan dibakar. Selain itu, diberi penyuluhan kepada pemilik
dan pengurus kuda tentang penyakit ini (AMENI, 2006). Hal ini karena organisme
Selakarang dapat hidup pada lingkungan yang terinfeksi selama berbulan-bulan pada
daerah kondisi yang cocok. Pencegahan lainnya adalah memberantas lalat sebagai vektor
penyakit. Umumnya kuda yang terinfeksi harus dieliminasi. Kuda dapat juga
disembuhkan dengan pengobatan. Sanitasi, kebersihan dan manajemen pakan serta
kandang adalah kunci utama untuk pencegahan penyakit Selakarang. Selama kuda sehat
dengan kondisi yang baik akan terhindar dari serangan penyakit tersebut.

Pengobatan

Pengobatan ada berbagai macam, mulai dengan melakukan operasi dengan


pembedahan pada nodulus, bisul, ulser, lalu diobati dengan KI, atau HgI juga dengan
suntikan HgCl2, sampai dengan penggunaan Amphotericin B, Clotrimazole, Nystatin
yang juga efektif di dalam kasus Selakarang ini (GILBERT, 2005). Kemudian HADUSH
et al. (2008) menambahkan pengobatan dengan Sodium Iodida (NaI), Ended (Phytolocia
dodecanta) dan PenStrep (8 mg Procaine penicillin dan 10 mg Dihydrostreptomycin
sulfat). Pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi sekunder dari bakteri. Namun
demikian hendaknya dipikirkan bahwa pengobatan pada ternak tidak begitu ekonomis
kecuali hewan kesayangan. Operasi dan pengobatan harus dilakukan dengan seksama dan
menyeluruh agar kuda tidak kambuh lagi. Vaksinasi dengan bibit kuman yang telah
dimatikan atau dilemahkan dapat dilakukan pada daerah endemis. Diharapkan kuda yang
sembuh dari gejala klinis akan kebal terhadap serangan infeksi ulang penyakit. Namun
sementara ini vaksinnya belum tersedia (OIE, 2004).

Penyakit Parasit Gastrointestinal


Strongylosis pada Kuda

Strongyloides merupakan agen penyebab Strongiloidiasis yang terdapat pada usus.


Strongyloides menginfeksi manusia, kucing, anjing, dan satwa sejenisnya serta
dapat ditularkan dari manusia ke satwa atau sebaliknya. Strongyloidiasis
bertanggung jawab untuk kematian sekitar 60-85 % atau sekitar 100 juta orang di
seluruh dunia. Tingkat kematian untuk pasien yang membutuhkan rawat inap
dengan infeksi Strongyloides adalah sekitar 16,7 %. Parasit ini endemik di daerah
beriklim tropis dan subtropis dimana pada daerah tersebut terdapat kelembapan
yang tinggi seperti Eropa Timur, Eropa Selatan, Asia Tenggara, Amerika Tengah,
dan Afrika (Iriemenam et al. 2010).
Infeksi cacing Strongylus pada kuda, dan spesies lain dari Equidae, terutama
oleh S. vulgaris, merupakan kejadian yang sangat sering dalam praktek di hampir
semua bagian dunia. Strongylosis dapat menyebabkan kolik aneurismata bila
infeksinya berat. Bila infeksi juga diperberat oleh cacing sejenis dari genus
Strongylus, yaitu Triodontophorus dan Trichonema akan mengakibatkan kekurusan
7dan anemia. Pada peternakan kuda yang padang penggembalanya sudah tercemar
berat oleh telur cacing secara masif sangat sulit membebaskan kuda-kuda dari
kejadian Strongylosis (Subronto, 2007).

Fascioliasis (Distomatosis, Liver Fluke Disease, Liver Rot, Penyakit Cacing


Hati)

Fascioliasis (hepatik) atau penyakit hati (PCH) merupakan penyakit yang


berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola,
Fascioloides, dan Dicrocoelium (Subronto, 2007). Fasciola spp merupakan cacing
hati asli Indonesia. Infeksi Fasciola spp pada umumnya menyerang sapi, domba
dan kambing. Fasciola spp juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing,
rusa, kelinci, marmot, dan hewan sejenisnya. Telur Fasciola juga berhasil
ditemukan pada tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon. Infeksi
Fasciola pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis Selatan, Inggris, dan
Aljazair. Fasciola spp hidup didalam tubuh satwa yang terinfeksi sebagai parasit
di dalam saluran empedu hidup dari cairan empedu
merusak sel-sel epitel, dinding empedu untuk mengisap darah penderita (Sayuti, 2007).

Paramfistomiasis (Porangen, Stomach Fluke Disease, Intestinal Amphistomiasis)

Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum


sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda. Paramphistomum sp. hidup
di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau kandung kemih hewan yang
diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen menjadi terganggu sehingga pakan tidak
dapat dicerna dengan sempurna (Darmin, 2014). Menurut Widnyana (2013), Parasit cacing
Paramphistomum sp. Dari kelas termatoda ini dapat mengakibatkan ternak tersebut
menjadi lemah, mudak capek, badan makin kurus dan mencret. Infeksi Paramphistomum
sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intensital, cacing
muda menyebabkan pendarahan, bengkak serta merah di dalam duodenum dan abomasum.
Hal ini dapat menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada fase ruminal, cacing akan
menyebabkan perubahan epitel dari rumen yang menganggu kapasitas resorbsi (Darmin,
2014).

Askariasis

Ascaris sp. merupakan salah satu penyebab infeksi cacing usus yang penularannya
dengan perantara tanah (Soil Transmited Helminths). Menurut Soedarto (1995), penularan
Ascariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif kedalam
mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang
kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan
menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah
dan memasuki aliran darah. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukan
gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar akan menimbulkan kekurangan gizi
(Syamsu, 2006).

Gangguan reproduksi karena infeksi bakteri dan jamur masih cukup tinggi.
Kejadian di negara maju 2-13%, di Indonesia 20,44%. Akibat umum: kesuburan
menurun, kejadian abortus meningkat, calving interval lebih panjang, service per
conception jelek, jumlah anak satu kelahiran yang hidup rendah. Secara umum dibedakan
menjadi 3 kelompok yaitu: Infeksi uterus oleh berbagai bakteri non spesifik, infeksi
uterus oleh bakteri spesifik, dan infeksi oleh jamur (mikosis).

1. Infeksi uterus oleh berbagai bakteri non spesifik


Menyebabkan metritis, menghalangi proses fertilisasi, implantasi, dan kebuntingan.
Sering tidak diikuti adanya gejala klinis sehingga sering tidak terdeteksi. Akibat yang
ditimbulkan antara lain: penurunan angka kelahiran, penurunan produksi susu dan berat
badan, repeat breeder, steril dan berdampak pada kerugian ekonomis Gejala.Kasus
ringan tanpa disertai gejala klinis. Pada kasus metritis berat muncul gejala klinis seperti
abortus, keluarnya kotoran dari alat kelamin, anestrus. Gejala umum juga menyertai
seperti hilangnya nafsu makan, suhu tubuh naik, dan berat badan turun,

Penyebaran penyakit. Sering terjadi setelah melahirkan. Tingkat penularan sangat


dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan. Kejadian infeksi postpartum pada sapi perah lebih
tinggi daripada sapi potong. Kasus kelahiran yang tidak normal seperti distokia, retensi
plasenta, pneumovagina, dan prolapsus uteri bisa merupakan penyebab infeksi terbesar
pada uterus. Juga alat pembantu kelahiran yang tidak steril.

Penyebab penyakit. • Kelompok bakteri koliform (E. Coli, Proteus, Enterobacter), •


Kelompok bakteri insidental (streptokokus, Satfilokokus, Pasteurella, Hemolitica,
Basillus, Dipteroid), • Kelompok bakteri korine (Corynebacterium pyogenes), •
Kelompok bakteri gram negatif anaerob (Bakteroid, Fuso bacterium, Veillonella), •
Kelompok bakteri gram positif anaerob (Clostridium).

2. Infeksi uterus oleh berbagai bakteri spesifik

Infeksi karena bakteri ini dikenal sebagai penyakit kelamin menular yang ditandai oleh
adanya abortus, retensio sekundinae dan endometritis berat. Termasuk dalam kelompok
ini adalah Campilobacteriosis (Vibriosis), Brucellosis, Leptospirosis, dan Listeriosis. a.
Campilobacteriosis Penyakit menular kelamin yang dapat menyerang sapi perah dengan
akibat adanya infertilitas disertai abortus pada sapi yang bunting. Kasus pada sapi potong
lebih sering terjadi dibanding sapi perah, pada domba jarang terjadi. Penyakit pada sapi
perah disebabkan oleh bakteri campylobacter fetus var veneralis. Bakteri ini peka
terhadap cahaya, kekeringan, lingkungan yang ekstrim, dapat menghasilkan H2S pada
media biakan, toleran terhadap glisin, katalase negatif, gram negatif, di bawah mikroskop
terlihat bentuk batang seperti huruf “S” atau heliks, tidak membentuk spora tetapi koloni,
akan terbentuk dalam media biakan selama 48-72 jam setelah ditanam, diameter 1-2 mm,
berwarna putih kecoklatan, dan tidak memecah darah.
Penyebaran penyakit. Pada betina, melalui perkawinan alami ataupun inseminasi buatan,
karena spermatozoa yang terinfeksi bakteri campylobacter. Bakteri tersebut akan berkembang
cepat di dalam vagina, kemudian menjalar ke serviks dan uterus dan akan berkembang biak
selama 6-8 minggu. Sebagian kecil bakteri dapat mencapai tuba fallopi dan apabila induk
bunting bakteri akan hidup selama masa kebuntingan. Pada jantan,
campylobacter akan berkembang pada praeputium. Selanjutnya pejantan akan menjadi karier
selama hidupnya tanpa memberi gejala yang jelas. Gejala. Gejala klinis tidak begitu jelas
sebelum terjadi infertilitas. Gejala utama adalah penurunan kebuntingan. Gejasla klinis secara
individual adalah timbulnya endometritis disertai eksudat yang mukopurulen, infertilitas
sementara selama 2-6 bulan, ada kematian embrio dini, atau fetus yang diabortuskan. Siklus
estrusnya panjang 27-52 hari karena ada kematian embrio umur 12-14 hari. Kasus abortus dapat
mencapai 4-20% yang terjadi pada bulan 4-6 masa kebuntingan.

b. Brucellosis [ilustrasi :1] Merupakan penyakit pada ternak yang menjadi problem nasional
baik untuk kesehatan masyarakat atau persoalan ekonomi peternak. Penyakit ini mengganggu
sistem reproduksi dan penyakit ini zoonosis. Orang yang terancam adalah pemilik hewan, anak
kandang, dokter hewan, inseminator, pemerah susu, dan konsumen hasil ternak. Penyebab
penyakit. Disebabkan oleh brucella yang terdiri dari 8 biotipe tetapi tidak ada perbedaan
antigenesitas dan patogenesitas dari tiap biotipe. Karena zoonosis maka perlu pengawasan
terhadap hasil-hasil ternak dan ikatannya seperti susu, keju, dan mentega. Gejala. Gejala yang
sering terjadi adalah abortus, setelah bulan ke-5 masa kebuntingan atau juga dalam masa
kebuntingan. Dapat juga tidak terjadi abortus namun anak yang dilahirkan lemah atau mati
beberapa hari kemudian. Retensio sekundinarum dapat mengikuti abortus karena brucellosis
menyebabkan juga endometritis yang akut maupun kronis. Produksi susu berhenti setelah 2-3
minggu setelah penularan. Pada jantan, brucellosis dapat menyerang testis dan mengakibatkan
orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula. Adanya
penularan juga mengganggu libido dan dapat pula tidak.

c. Leptospirosis Penyakit ini mengganggu sistem reproduksi yang sering diikuti dengan abortus
atau kelahiran pedet yang lemah dan diikuti dengan kematian beberapa hari pasca kelahiran.
Induknya pun dapat mati karena penyakit ini. Penyakit ini zoonosis. Penyebab penyakit.
Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta dengan beberapa genus leptospira, kuman ini teridi dari
beberapa serotipe dan tiap serotipe ini dibagi menjadi beberapa serovar. Beberapa yang sering
menyerang sapi perah adalah L. pamona, L. hardjo, L. grippotyphosa, L. hebdomadis, L.
ichterohaemorrhagica. Leptospira ini mudah mati karena panas, sinar matahari, pengeringan,
lingkungan asam, dan desinfektan. Akan tetapi memiliki daya hidup yang lama di luar tubuh sapi
pada tempat yang lembab dan pH yang normal. Gejala. Pada fase akut, terjadi penurunan nafsu
makan, kondisi badan, serta produksi susu, diikuti demam, anoreksia, anemia, haemolitika,
haemoglubinuria, dan ikterus. Pada sapi bunting diikuti abortus. Gejala klinis pada sapi muda
lebih berat daripada sapi yang tua. Mortalitas dapat tinggi tetapi jika sembuh membutuhkan
waktu yang lama. Pada fase kronis, pada induk bunting akan terjadi abortus atau kelahiran anak
yang lemah, disertai cairan keruh dari alat kelaminnya. Abortus biasanya diikuti oleh retensio
sekundinarum, metritis, dan infertilitas. Kasus abortus karena leptospirosis mencapai 50 %.

d. Listeriosis Penyakit pada ternak sapi dan domba yang menyerang susunan saraf pusat dan
selaput
otak serta uterus ditandai dengan encephalitis dan meningitis, abortus, retensio sekundinarum,
dan metritis. Abortus bersifat sporadic yang terjadi pada akhir kebuntingan. Penyebab penyakit.
Bakteri listeria monositogenes yang bentuknya seperti batang, gram positif, dan bersifat aerob.
Tidak membentuk spora dan kapsul, tumbuh baik pada suhu 20-40ºC. Penyebaran bakteri
bersama dengan makanan atau minuman yang tercemar. Sumber penularan adalah feses atau air
susu yang mengandung listeria. Dalam feses bakteri dapat hidup selama 2 tahun dalam
lingkungan yang baik. Gejala. Hewan yang tertular menderita depresi, abortus, dan retensio
sekundinarum. Pada kasus yang berat kematian mencapai 50%. Abortus terjadi pada umur
kebuntingan tua. Encephalitis bersama-sama abortus dapat terjadi pada induk yang tertular atau
juga hanya abortus saja.

3. Infeksi uterus oleh jamur (mikosis) Aspergillus fumigatus adalah jamur yang merupakan
penyebab utama dalam menimbulkan gangguan reproduksi pada ternak sapi meliputi 73% dari
kasus, jenis lainnya adalah Absidia (21%) dan Mucor (6%) (Hardjopranjoto, 1995). Infeksi oleh
jamur biasanya menyebabkan abortus. Abortus terjadi pada tengah – akhir masa kebuntingan,
penyebaran jamur biasanya terjadi karena pakan yang terkontaminasi. Diagnosis infeksi ini
berdasarkan adanya mycelium pada fetal membrane atau berkembangnya jamur pada lapisan
perut dari fetus.

Penyakit Viral
Selain bakteri, jamur, dan protozoa, penyakit reproduksi dapat juga disebabkan oleh virus.
Gangguan reproduksi oleh virus tidak langsung menyerang organ reproduksi secara langsung,
namun menyerang bagian tubuh yang lain kemudian mempengaruhi alat reproduksi. Penyakit
reproduksi yang disebabkan oleh virus biasanya diberi nama hampir sama dengan gejala klinis
yang menonjol yang timbul. Berikut ini adalah beberapa penyakit reproduksi yang disebabkan
oleh virus: a. Bovine Viral Diarrhea (BVD) Bovine viral diarrhea (BVD) adalah salah satu
penyakit pada sapi yang disebabkan oleh virus BVD, hampir sama dengan penyakit Border pada
domba dan Hog Kolera pada babi. BVD diketahui pertama kali di Canada sekitar tahun 1940 dan
sampai sekarang hanpir dikenal di seluruh dunia. Penyakit ini biasanya menyerang sapi umur 8
sampai 18 bulan. Penyakit ini dideskripsikan sebagai penyakit yang tidak menunjukkan gejala
yang berarti dan kurang begitu jelas, nafsu makan turun, kurus, diare, dan pertumbuhan yang
kurang baik. Diare yang berangsur-angsur, suhu tubuh yang meningkat, dan gangguan saluran
pencernaan, yang berlangsung selama 1-2 minggu mengindikasikan gejala yang akut dari
penyakit ini. Gejala awal adalah naiknya suhu tubuh dan menurunnya leukosit darah. Pada sapi
perah, produksi susu turun karena turunnya nafsu makan. Dari mulut dan hidung keluar cairan
yang berlebihan, juga adanya lepuh-lepuh yang berupa erosi dan nekrosa pada mukosa mulut dan
saluran pencernaan. Sedangkan untuk gejala kronis, tanda-tanda klinis yang muncul pada waktu
akut dan berlangsung pada waktu yang cukup lama, 2-6 bulan, namun kematian sangat jarang
ditemui. Penyebaran penyakit. Dapat terjadi penularan secara langsung ataupun tidak. Sekresi
cairan yang mengandung virus melalui air liur, ingus, urine, maupun feses menyebabkan
penularan secara langsung kepada ternak lain melalui tempat pakan, tempat minum yang sama,
juga oleh udara. Masa inkubasi secara alami kurang lebih selama 21 hari. Viremia atau adanya
virus di dalam aliran darah setelah terjadinya penularan kemudian diikuti dengan kerusakan sel
epithel pada mukosa saluran pencernaan. Penularan pada hewan yang bunting menyebabkan
radang plasenta (plasentritis) yang diikuti oleh infeksi fetus kemudian diikuti abortus atau
kelahiran abnormal. b. Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) atau Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV), kadang juga disebut Red
Nose, penyakit oleh virus yang menyerang sapi, baik jantan maupun betina. Virus ini menurut
sifat-sifat secara fisik, biokimiawi, epidemiologi, dan imunologis termasuk dalam kelompok
herpes. Gejala. Gejala yang terlihat pada bagian alat pernafasan, yaitu keluarnya cairan dari
hidung, pernafasan yang cepat, dan juga batuk. Kemudian lepuh-lepuh pada mukosa vulva dan
vagina, yaitu bintik-bintik merah sebesar jarum pentul berdinding tipis dan berisi cairan, dan
dalam 2-3 hari akan membesar. Kemudian terjadi demam, radang vagina (vaginitis), vulva
menjadi bengkak dan keluar cairan yang semula bening kemudian bersifat nanah. Kemudian
terjadi radang konjungtiva (konjungtivitis). Pada hewan jantan, gejala terlihat adalah adanya
bintik-bintik halus pada mukosa penis dan praeputium. Apabila terjadi perkawinan, dapat
menularkan penyakit tersebut kepada hewan betina. Penyebaran penyakit. Virus ini menyebar
secara aerogen dan penularannya sangat cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
ruminansia dapat tertular penyakit ini termasuk babi. Masa inkubasi virus ini selama 4-6 hari.
Diagnosa. Adanya autolisis pada fetus yang mati merupakan diagnosis yang baik untuk penyakit
ini. Virus dapat diisolasi dari hati, kelenjar adrenal, ginjal, plasenta, dan jaringan lain dari fetus
yang diabortuskan. Uji yang dilakukan adalah uji antibodi fluorosen. c. Epizootic Bovine
Abortion (EBA) Penyakit ini ditularkan melalui binatang perantara, ditandai dengan adanya
abortus pada sapi di akhir bulan kebuntingan. Penyakit ini menyebabkan abortus secara
epizootic. Gejala yang ditimbulkan kurang begitu jelas, setelah abortus kesuburan akan
terganggu. Binatang perantara yang menularkan adalah sejenis caplak dengan masa inkubasi
virus kurang lebih 3 bulan. Abortus yang terjadi karena penyakit ini dapat mencapai 30-40%
pada kebuntingan pertama. Pada fetus yang diabortuskan menunjukkan adanya titik-titik merah
pada mukosa (ptechia) yang merata, udema subkutan, dan cairan serous mengalir dalam rongga
tubuh. Untuk pencegahan penyakit dapat dipergunakan vaksin adjuvans pada kambing, tetapi
vaksin ini tidak dapat menunjukkan hasil yang baik pada sapi.

d. Epididimitis Vaginitis (EPIVAG) Adalah penyakit kelamin pada sapi yang ditularkan
melalui hubungan kelamin. Masa inkubasi kurang lebih satu minggu. Jika penyakit ini bersifat
akut, terdapat cairan berlebihan dalam vagina yang baunya tidak enak, berwarna putih
kekuningan, dan biasa menempel pada bulu ekor. Pada sapi jantan, penyakit ini menyebabkan
radang pada praeputium kemudian masuk ke dalam urethra dan akhirnya masuk ke dalam vas
deferens, selanjutnya ke dalam epididimis. Epididimitis ini menyebabkan kemandulan total.
Penanggulangan sulit dilakukan, yang penting adalah menjaga tidak terjadi infeksi sekunder oleh
kuman dan dijaga agar daya tahan tubuh dalam keadaan baik dengan pemberian pakan
berkualitas baik.

Penyakit Protozoa
Di antara jenis protozoa yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi adalah trichomonas dan
toxoplasma. Kedua jenis protozoa tersebut mempunyai beberapa species, namun tidak semuanya
bersifat patogen dan menimbulkan gangguan reproduksi. Berikut adalah penyakit yang
disebabkan oleh protozoa, antara lain: a. Trichomoniasis Adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh protozoa Tritrichomonas foetus. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia.
Trichomonas bentuknya seperti buah pear, terdiri dari 3 flagella di depan dan 1 flagella berada di
belakang. Flagella ini merupakan kelanjutan dari membrane undulans yang berjalan sepanjang
pinggiran tubuhnya. Sebuah aksostil memanjang dari blefaroplas yang berdekatan dengan sebuah
inti sel ke arah belakang dan berakhir di bagian posterior tubuhnya.Ukuran dari protozoa ini 10-
25 μm dengan lebar 3-15 μm. Tritrichomonas foetus (Bon Durant, R. H. Diagnosis, Treatment
and Control of Bovine Trichomoniasis. Compendium on Continuing Education for Veterinarians,
7(3): March 1985, S179-S187). Gejala. Fase akut, fase ini dijumpai banyak kegagalan
perkawinan setelah adanya pejantan yang baru masuk ke dalam suatu kelompok ternak. Panjang
siklus birahi menjadi bervariasi setelah terjadinya perkawinan yang gagal, dapat mencapai lebih
dari 30 hari. Dalam dua minggu setelah penularan dapat ditemukan adanya pembengkakan vulva
dan jaringan sekitarnya disertai dengan keluarnya cairan mukopurulen. Adanya keradangan
mukosa vagina yang diikuti adanya serpihan-serpihan nanah di dalam cairan yang keluar dari
alat kelamin. Fase sub-akut, pada permulaan fase ini banyak perkawinan yang berhasil dan
banyak betina menjadi bunting akan tetapi sebelum fase ini berakhir terlihat siklus birahi
diperpanjang 70 hari tanpa disertai abortus. Cairan mukopurulen ditemukan dari vagina
ditemukan setelah ada perkembangan piometra dalam uterus. Abortus sering terjadi pada umur
kebuntingan 4 bulan. Setelah abortus siklus birahi normal kembali. Fase kronis, terlihat gejala
piometra, siklus birahi tidak teratur dan berlangsung pada waktu yang lama. Penyebaran
penyakit. Penyakit ini dapat menyebar melalui perkawinan alami, IB dengan alat yang dicemari
oleh protozoa ini, atau pertolongan kelahiran yang tidak bersih. Pada infeksi pertama kali
protozoa berkembang biak di dalam vagina kemudian menjalar ke uterus. Pada sapi jantan,
trichomonas hidup pada permukaan penis, orifisium urethra bagian anterior dan kantong
praeputium. b. Toxoplasmosis Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa
toxoplasma gondii sub-class Coccidia. Penyakit ini bersifat zoonosis, yaitu dapat menular pada
manusia. Mula-mula ditemukan pada hewan pengerat (ctenodactylus gondii) di Afrika pada
tahun 1908 dan sekarang sudah tersebar hampir di seluruh dunia. Dalam perkembangbiakannya,
toxoplasma mempunyai tiga bentuk, yaitu proliferatif, disebut endozoite/trophozoit atau lebih
dikenal dengan tachyzoite, bentuknya seperti pisang atau bulan sabit yang salah satu ujungnya
tumpul dengan panjang 4-7 μm dan lebarnya 2-3 μm. Bentuk ini ditemukan di dalam berbagai
tipe sel, eksudat dan aliran darah selama fase parasitemia. Kedua, kista, disebut juga cytozoite
atau bradzoite yang ditemukan dalam berbagai jaringan terutama otot dan saraf dalam bentuk
kista dengan pembungkus yang jelas, bentuk bulat dan diameternya 100 μm. Ketiga, ookista,
atau zigot yang ditemukan pada sel epithel usus kecil dari kucing dan dikeluarkan bersama
dengan kotoran, bentuknya lonjong berukuran panjang 11-14 μm dan lebar 9-11 μm terdiri dari
dua buah sporosit berbentuk bulat panjang berisi beberapa sporosit.
[Ilustrasi : 2] A. Tachyzoite pada paru-paru (tanda panah). Tachyzoite (kepala panah) ukurannya
dibandingkan dengan sel darah merah dan leukosit (pengecatan GIEMSA).
B. Jaringan kista pada irisan otot. Dinding jaringan sangat tipis (tanda panah) dan tertutup oleh
banyak sekali bradzoite (kepala panah). (pengecatan hematoxylin dan eosin) C. Jaringan kista
dipisahkan dari jaringan induk dihomogenisasi pada otak yang terinfeksi. Dinding jaringan kista
(tanda panah) dan ratusan bradzoite (kepala panah). (tanpa pengecatan). D. Schizont (tanda
panah) dengan beberapa merozoit (kepala panah). Usus kucing yang terinfeksi. (pengecatan
GIEMSA). E. Gamet jantan dengan 2 flagella (tanda panah). Usus kucing yang terinfeksi.
(pengecatan GIEMSA). F. Ookista pada feses kucing (tanpa pengecatan). G. Ookista dengan
dinding yang tipis (panah besar), 2 sporosit (kepala panah), setiap sporosit mempunyai 4
sporozoite (panah kecil). (tanpa pengecatan) Gejala. Gejala yang terlihat di setiap ternak
berbeda-beda, secara umum terlihat sesak nafas, demam, dan gangguan saraf. Apabila
menginfeksi betina yang sedang bunting maka terjadi gangguan reproduksi seperti abortus,
partus premature juga stillbirth. Pada domba abortus terjadi pada minggu ke-4 sampai ke-6 masa
kebuntingan. Sebagai kelanjutannya adalah kelahiran yang tidak normal, biasanya terjadi
retensio sekundinae. Toxoplasma dapat ditemukan pada dinding uterus dan selaput fetus setelah
abortus. Penyebaran penyakit [ilustrasi: 3]. Kucing merupakan induk semang definitif dari
toxoplasma gondii. Di dalam kotoran kucing yang terinfeksi mengandung jutaan ookista.
Penularan dapat terjadi secara oral, yaitu dengan memakan daging yang mengandung kista atau
pula melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh ookista toxoplasma gondii. Penyakit
Metabolisme a. Paresis Puerpuralis (Milk Fever) Merupakan penyakit metabolisme pada
hewan yang terjadi pada waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya ditandai
dengan penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan tubuh bagian
belakang dan tidak sadarkan diri yang terjadi 18-24 jam setelah melahirkan. Sapi lebih rentan
terhadap paresis puerpuralis dibanding ternak lain terutama sapi perah produksi susu tinggi.
Biasanya terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali ataua lebih tua, jarang terjadi pada
induk yang lebih muda atau sebelum beranak ketiga. Bangsa sapi Jersey lebih sering menderita
dibanding Frisian Holstein dan bangsa sapi lain. Penyakit ini bersifat habitualis, artinya dapat
terulang pada partus berikutnya. Penyebab penyakit. Belum jelas ditemukan penyebabnya
namun diduga karena produksi susu yang tinggi. Terjadi hypocalcaemia di dalam darahnya, yaitu
penurunan kadar kalsium yang cepat. Kadar Ca normal 9-12 mg persen, pada keadaan paresis
puerpuralis menjadi 3-7 mg persen dengan rata-rata 5 mg persen. Dijumpai pula hipofosfatemia,
hipermagnesemia, atau hipomagnesemia dan hiperglikemia. Induk sapi perah yang pernah
menderita paresis puerpuralis dapat menurunkan juga kepada anaknya. Gejala. Biasanya kadar
kalsium dalam darah menurun hingga 7 mg persen atau lebih rendah. Demikian juga dengan
kadar fosfor turun dari 6 mg persen menjadi 1 mg persen dalam darah. Penurunan kalsium dan
fosfor tersebut terjadi akibat pemakaian mineral secara besar-bearan dalam sintesis susu dalam
ambing dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran. Kadar magnesium dalam
darah akan mempengaruhi, apabila terlalu tinggi akan menyebabkan kelemahan tubuh dan
mengantuk (samnolense) namun apabila terlalu rendah akan menyebabkan kejang-kejang
(tetanus). Stress yang terjadi pada waktu melahirkan dapat mempengaruhi steroid dalam darah
sehingga esterogen
meningkat sehingga kejadian ini menyebabkan terganggunya keseimbangan kalsium dalam
tubuh begitu juga di dalam darah. Gejala lainnya adalah mata membelalak dan pupilnya
berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya kering, anggota badan dingin, denyut nadi 50-85,
alat pencernaan mengalami atoni, defekasi terhambat dan anus relaksasi. Apabila tidak segera
mendapat pertolongan dapat mengakibatkan kematian. b. Ketosis (Acetonaemia) Adalah
penyakit metabolisme pada sapi perah yang mempunyai produksi susu tinggi dan selalu berada
dalam kandang, terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah kelahiran yang normal.
Selain terjadi pada sapi juga terjadi pada kambing dan domba. Penyakit ini ditandai dengan
adanya penurunan berat badan induk yang terus menerus disertai penurunan produksi susu secara
drastis, hipoglikemia, ketonaemia, ketonuria, dan penderita tidak dapat berdiri, selalu dalam
keadaan berbaring. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara jelas, ada yang mengatakan
karena kemampuan metabolisme energi berkurang dan ada yang mengatakan karena gangguan
kelenjar adrenal. Gejala. Gejala klinis adalah depresi umum, konstipasi dengan feses yang
terbungkus lemak, berat badan menurun, produksi susu cepat menurun, pergerakan yang
sempoyongan, tubuh menjadi lemah (paresis), mudah terangsang (sensitif), pernafasan dangkal
dan pada ketosis yang berat tercium bau aseton dari nafasnya. Pemeriksaan darah menunjukkan
hipoglikemia dan pemeriksaan urine menunjukkan adanya ketonurea, dan adanya eosinofil yang
tinggi dalam darah. Ketosis dapat terjadi pada induk sapi yang mengalami malnutrisi atau induk
yang diberi pakan yang kaya protein tetapi kurang karbohidrat. c. Paraplegia Pasca Melahirkan
Adalah suatu keadaaan pada induk hewan yang sedang bunting tua atau beberapa hari sesudah
partus tidak dapat berdiri, selalu dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi tubuhnya karena
adanya kelemahan pada bagian belakang tubuh. Terutama terjadi pada sapi perah, kuda dan babi
jarang terjadi. Penyebab penyakit. Antara lain adanya kelemahan badan akibat menerima beban
terlalu berat misalnya pada waktu bunting anak terlalu besar, anak kembar, atau induk yang
menderita hidrop allantois. Dapat juga terjadi pada induk yang menderita ascities. Penyebab lain
adalah kandang yang terlalu sempit sehingga induk tidak dapat bergerak, kecapaian berdiri
kemudian tidak dapat berdiri setelah berbaring terlalu lama. Patah tulang femur, sacrum, atau
lumbal dan melesetnya persendian panggul, adanya osteomalasia karena defisiensi vitamin D
juga dapat menjadi penyebab. Gejala. Secara tiba-tiba hewan yang baru saja melahirkan terlihat
jatuh dan tidak dapat berdiri. Gejala ini terlihat 2-3 hari selama partus. Keadaan umum dari
tubuhnya tidak terganggu. d. Paralisa Pasca Melahirkan Paralisa dapat terjadi pada salah satu
atau kedua kaki belakang, disebabkan oleh gangguan saraf obturatoria pada waktu bunting tua
dan pada saat setelah melahirkan, menyebabkan ketidakmampuan hewan untuk berdiri. Biasanya
terjadi pada sapi perah produksi susu tinggi tapi juga dapat terjadi pada kuda, domba, dan anjing.
Luka saraf obturatoria disebabkan oleh fraktura tulang pelvis, adanya pertumbuhan tulang
(callus) dari pelvis yang menderita fraktura atau adanya tumor pada tulang pelvis. Penyebab lain
adalah fraktura ligamentum pelvis atau distokia dimana fetus lama berada di jalan kelahiran
sehingga menekan saraf. Jika paralisa terjadi pada waktu yang lama akan diikuti atropi
muskularis pada bagian paha. Apabila masih akut, kondisi tubuh tidak terpengaruh, nafsu makan,
denyut jantung, dan pernafasan masih normal. e. Eklamsia Puerpuralis Suatu penyakit pada
induk hewan terutama anjing dan sapi dengan ditandai adanya kekejangan dari anggota badan
yang terjadi setelah melahirkan atau pada permulaan laktasi. Sebab-sebab tidak jelas, gejalanya
akan terlihat lebih jelas bila induk penderita disuntik dengan garam kalsium atau dengan bahan
narkotik secara intravenous. Gejala. Penyakit ini menyerupai gejala-gejala paresis puerpuralis,
yaitu adanya kehilangan nafsu makan (anoreksia) disertai rasa sakit, tidak tenang, pernafasan
lebih cepat, kekejangan terus menerus atau dengan interval tertentu. Suhu tubuh mencapai 40-
42ºC, suhu tubuh tinggi terasa pada alat kelamin dan ambingnya. f. Retensio Sekundinarum
Pada peristiwa kelahiran yang normal, selaput fetus (sekundinae) akan keluar dari alat kelamin
induknya dalam waktu 1-2 jam setelah kelahiran, pengeluaran selaput fetus lebih dari waktu
tersebut di atas harus dipandang sebagai keadaan yang tidak normal atau patologi. Keadaan
patologi ini disebut dengan retensio sekundinarum. Pada sapi retensio sekundinarum dapat
berjalan 4-8 hari atau lebih bila tidak ada pertolongan. Dalam keadaan tersebut selaput fetus
sudah mengalami perubahan-perubahan berupa pembusukan di dalam saluran alat kelamin betina
khususnya di dalam uterus, sehingga bersifat racun bagi uterus. Penyebab penyakit. Gangguan
mekanis (hanya 0,3% kasusnya), selaput fetus yang sudah terlepas dari dinding uterus tetapi
tidak dapat terlepas dan keluar dari alat kelamin karena masuk ke dalam kornu uteri yang tidak
bunting atau kanalis servikalis yang terlalu cepat menutup sehingga selaput fetus terjepit.
Penyebab lain adalah induk yang kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah
melahirkan, dikarenakan adanya atoni uteri pasca melahirkan (kasusnya 1-2%). Mungkin juga
karena adanya defisiensi hormon yang menstimulir kontraksi uterus pada waktu melahirkan
seperti oksitosin dan esterogen. Kasus yang paling sering terjadi (mencapai 98%) adalah karena
gangguan pelepasan sekundinae dari karankula dari induknya. Gejala. Adanya selaput fetus
yang menggantung di luar alat kelamin, kadang-kadang selaput tersebut menggantung di atas
lantai kandang. Bibir vulva bengkak dan warnanya kemerah-merahan, ada bintik-bintik merah
pada mukosanya. Sekundinae dapat menutupi pintu keluar saluran urine sehingga susah kencing.
Ekor digerak-gerakkan, terlihat kontraksi uterus yang lemah, induk depresi, respirasi cepat, suhu
tubuh meningkat, dan nafsu makan menurun sehingga produksi susu menurun.

Anda mungkin juga menyukai