Anda di halaman 1dari 14

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.

LATAR BELAKANG Walaupun kondisi kehidupan sudah membaik,vaksinasi sudah meluas, dan tersedia antibiotik yang efektif, di amerika serikat penyakit infeksi masih menimbulkan banyak korban di antara mereka yang mengidap penyakit kronis, mendapat obat imunosupresif, atau mengidap sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) tanpa terapi antiretrovirus efektif. Di negara yang sedang berkembang, sanitasi yang buruk dan maltunitrisi berperan dalam penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada lebih dari 10 juta orang setiap tahun. Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada anak yang menderita infeksi pernapasan dan diare akibat virus serta bakteri. Selain itu, semakin banyak kematian pada orang dewasa di afrika dan asia yang disebabkan oleh inveksi HIV dan tidak mampu membeli obat antivirus yang paling murah sedikitpun. Dalam referat ini akan dibahas tentang aspek molekuler infeksi bakteri serta bagaimana proses molekuler dari infeksi bakteri dan juga respon-responnya terhadap tubuh manusia. Oleh karena itu Sangatlah penting bagi seorang dokter untuk mengetahui bagaimana aspek molekuler infeksi bakteri serta proses dari molekuler infeksi bakteri.

1.2.TUJUAN DAN MANFAAT Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil beberapa tujuan dan manfaat yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Tujuan dan manfaat yang didapat diantaranya : 1.2.1 Tujuan : 1. Mengetahui tentang aspek molekuler infeksi bakteri 2. Menjelaskan bagaimana proses molekuler dari infeksi bakteri 1.2.2 Manfaat 1. Untuk memahami aspek molekuler dari infeksi bakteri 2. Untuk lebih memahami bagaimana proses dari molekuler infeksi bakteri

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. PENYEBARAN MIKROBA KE SELURUH TUBUH Mikroba menyebar secara cepat di sepanjang permukaan basah epitel usus, paru, dan saluran kemih kelamin dan secara lambat, kalaupun terjadi, dipermukaan kulit yang kering. Banyak mikroba tidak bergerak melebihi epitel karena mikroba tersebut hanya berpoliferasi di lapisan superfisial epitel (misal HPV), tetapi yang lain mampu menembus (misal streptokokus dan stafilokokus, yang menghasilkan hialuronidase, yang menguraikan matriks ekstrasel di antara sel pejamu). Rute penyebaran mikroba pada awalnya mengikuti bidang jaringan yang resistensinya paling rendah dan anatomi limfe dan vaskular regional. Sebagai contoh, stafilokokus menyebabkan abses kulit yang membesar lokal (furunkel), diikuti oleh limfadentis regional yang kadang-kadang menyebabkan bakteremia (infeksi yang menyebar melalui darah) dan kolonisasi organ jauh yang terletak dalam (jantung, hati, otak, limpa, tulang). Setelah berada di dalam darah, organisme diangkut dengan berbagai cara. HBV dan virus polio, sebagian besar bakteri dan jamur, beberapa parasit protozoa (misal tripanosoma afrika), dan semua cacing diangkat dalam bentuk bebas di dalam plasma. Penyebaran patogen dalam darah dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda infeksi sistemik, termasuk demam, yang disebabkan oleh berbagai sitokin pejamu yang keluar sebagai respon endotoksin bakteri. Invasi secara besar-besaran oleh bakteri piogenik dan parasit tertentu (misal, spesies plasmodium, penyebab malaria) kedalam aliran darah dapat menyebabkan kematian. Fokus infeksi yang menyebar melalui darah disebut fokus sekunder dan biasanya memiliki distribusi yang luas, baik pada satu organ (misal, ditribusi miliaris, atau seedlike, tuberculosis progresif di dalam paru) atau pada banyak jaringan (misal, mikroabses di seluruh ginjal, usus, dan kulit akibat embolus septik yang terlepas dari infeksi stafilokokus di katup aorta). Mikroba invasif cepat menyebar di dalam rongga berlapis serosa sepoerti pleura, peritoneum, dan meningem. Oeganisme sering menyebabkan penyakit dengan menivestasi yang jauh dari tempat mask. Sebagai contoh, virus cacar air masuk melalui paru tetapi menyebabkan ruam di kulit, virus polio masuk melalui usus, tetapi secara selektif merusak neuron motorik, dan organisme schistoma mansoni menembus kulit, tetapi akhirnya terlokalisasi di pembuluh darah sistem porta dan mesenterium, menyebabkan kerusakan hati dan usus. Organisme rabdovirus, penyebab rabies,

berjalan ke otak secara retrograd di sepanjang saraf, sedangkan virus varisela-zoster, setelah fase viremia, bersembunyi di ganglion akar dorsal dan kemudian dapat berjalan disepanjang saraf untuk menimbulkan dompo (cacar ular, shingles). Dapat terjadi kerusakan berat pada janin yang sedang tumbuh apabila apai uterus melalui vagina untuk menginfeksi plasenta dan janin. Infeksi plasenta atau janin oleh bakteri sering menyebabkan persalinan prematur atau lahir mati, sedangkan inveksi virus juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin, bergantung pada waktu infeksi. Infeksi rubela pada trimester pertama dapat menyebabkan penyakit jantung kongenital, retadarsi mental, katarak, atau ketulian pada bayi, sedangkan pada trimester ketiga infeksi ini hanya menyebabkan sedikit kerusakan. Sebaliknya, infeksi treponema menyebabkan sifilis hanya apabila organisme menginvasi janin pada akhir trimister kedua, tetapi setelah ituorganisme ini dapat menyebabkan osteokondritis dan periostitis yang berat pada hjanin yang menyebabkan lesi tulang multipel. 2.2. SAWAR PEJAMU TERHADAP INFEKSI DAN BAGAIMANA SAWAR TERSEBUT RUSAK Sawar pejamu terhadap infeksi mencegah akses mikroba keseluruh tubuh serta penyebaran selanjutnya ke seuruh jaringan. Sawar pertama adalah permukaan kulit dan mukosa yang utuh serta sekresi yang dihasilkannya (misal, lisosom di dalam air mata menguraikan dinding peptidoglikan bakteri). Sawar ini merupakan pertahanan yang kuat terhadap sebagian besar infeksi. 2.2.1. KULIT Kulit manusia secara normal dihuni oleh berbagai macam spesies bakteri dan jamur, termasuk beberapa yang opurtunistik, seperti S. Epidermidis dan C. Albicans. Lapisan kulit luar yang padat dan berkeratin serta mengandung mikroba residen secara terus menerus dilepaskan dan diperbaharui. pH kulit yang rendah (sekitar 5,5) dan adanya asam lemak juga menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi kulit yang basah lebih permeabel terhadap mikroorganisme. Virus papiloma manusia (HPV), penyebab kulit genital, dan treponema pallidum, penyebab sifilis, keduanya menembus kulit yang hangat lembab sewaktu hubungan kelamin. Infeksi superfisial pada stratum korneum epidermis oleh S. Aureus (impetigo) atau oleh jamur kulit, semuanya diperparah oleh panas dan kelembaban. Larva skistosoma yang dilepaskan dari siput air tawar menembus kulit orang yang berenang dengan

mengelarkan kolagenase, etalase, dan enzim lain yang melarutkan matriks ekstrasel. Sebagian besar mikroorganisme lain masuk melalui lesi di kulit, termasuk tusukan superfisial (infeksi jamur), luka dalam (stafilokokus), luka bakar (pseudomonas aeruginosa), dan lecet di kaki akibat tekanan atau diabetes (infeksi multibakteri). 2.2.2. SALURAN UROGENITAL Patogen yang menginfeksi saluran kemih (terutama bekteri dari daerah perianal atau dari pasangan seksual yang terinfeksi (misal, Gonococcus) adalah patogen yang paling mudah melekat ke epitel saluran kemih. Sebagian besar ISK akut disebabkan oleh beberapa strain E.coli yang memiliki fimbria adheren, sedangkan infeksi kronis disebabkan oleh Proteus, Pseudomonas, Klebsiella, atau Enterococcus spp., yang sering kebal terhadap obat. 2.2.3. SALURAN NAPAS Sekitar 10.000 mikroorganisme, termasuk virus, bakteri, dan fungus, terhirup setiap hari oleh setiap penduduk kota. Jarak yang ditempuh oleh berbagai mikroorganisme ini di sistem pernapasan berbanding terbalik dengan ukuran mereka. Mikroba besar terperangkap di mukus yang dikeluarkan oleh sel goblet dan kemudian diangkut oleh gerakan silia ke bagian belakang tenggorokan tempat mikroorganisme tersebut ditelan atau dikeluarkan. Organisme yang lebih kecil dari pada 5 mm berjalan secara langsung ke alveoli, tempat organisme tersebut difagositosis oleh makrofag alveolus atau neutrofil yang direkrut ke paru oleh berbagai sitokin. Kerusakan pada sistem pertahanan mukosiliaris terjadi akibat cedera berulang pada para perokok dan pasien dengan fibrosis kistik, sedangkan cedera akut terjadi pada pasien yang diintubasi dan mereka yang mengalami aspirasi asam lambung. Patogen pernafasan yang virulen lolos dari sistem pertahanan mukosiliaris dengan melekat melalui hemaglutinin ke karbohidrat pada sel epitel saluran nafas bawah dan faring (misal, virus, influenza). Selain itu, virus influenza, parainfluenza, dan gondongan menggunakan neuraminidase untuk mengurangi kekentalan mukus dan membebaskan diri dari perangkap. Organisme tertentu (misal, H.influenzae) mengluarkan berbagai faktor yang menghambat gerakan silia. Infeksi pernapasan sekunder oleh Streptococcus pneumoniae atau Staphylococcus spp., yang tidak memiliki faktor infeksi virus. M. Tuberculosis menyebabkan infeksi pernapasan, karena kuman ini mampu lolos dari pembasmian fagositik oleh magrofag.

Akhirnya, jamur oportunistik menginfeksi paru apabila imunitas selular tertekan atau apabila jumlah leukosit berkurang (misal, P. Carinii pada pasien yang mendapat kemoterapi). 2.2.4. SALURAN CERNA Sebagian besar patogen saluran cerna ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar bahan feses. Oleh karna itu, pembuangangan kotoran yang sesuai sanitasi, meminum air bersih, mencuci tangan, dan memasak makanan dengan benar dapat mengurangi pajanan. Apabila highiene kurang, penyakit diare akan meraja rela. Sistem pertahanan normal terhadap patogen yang tertelan antara lain adalah (1) cairan lambung yang asam, (2) lapisan mukus kental yang menutupi usus (3) enzim litik pankreas dan detergen empedu, dan (4) sekresi antibodi

immunoglobulin A (IgA). Antibodi IgA dibuat oleh sel B yang terletak dalam jaringan limfoid terkait mukosa (mucosa-associated lymphoid tissue, MALT), yang ditutupi oleh satu lapis sel epitel khusus yang disebut sel M. Sel M penting untuk tranfortasi antigen ke MALT dan untuk mengikat dan /atau menyerap patogen usus,termasuk virus polio, E-coli entropatik, Vibrio cholerae, Salmonella typhy, dan Shigella flexneri. 2.2. MEKANISME CIDERA AKIBAT BAKTERI : ADHESIN DAN TOKSIN BAKTERI Kerusakan jaringan pejamu oleh bakteri bergantung pada kemampuan bakteri melekat dan masuk ke sel pejamu atau mengeluarkan toksin. Koordinasi antara perlekatan bakteri dan pengeluaran toksin merupakan hal yang sangat penting bagi virulensi bakteri sehingga gen yang mengkode protein perekat dan toksin sering dikendalikan bersama oleh sinyal lingkungan spesifik. Sebagai contoh, perubahan suhu, osmolaritas, atau pH memicu sintesis 20 protein yang berbeda oleh bordetella pertussis, termasuk hemaglutinin filamentosa, protein fimbrie, dan toksin pertusis. Demikian juga, virulensi E.coli enterotoksik bergantung pada ekspresi protein perekat yang memungkinkan bakteri melekat ke sel epitel usus serta membentuk dan mengeluarkan toksin labil-panas atau stabil-panas yang menyebabkan sel usus mengeluarkan cairan isotonis. 2.2.1. ADHESIN BAKTERI Adhesin bakteri adalah molekul yang mengikatkan bakteri ke sel pejamu. Jenis adhesin terbatas, tetapi rentang spesifitas sel pejamunya luas.

Permukaan kokus gram-positif misalnya streptokokus ditutupi oleh dua jenis molekul yang mungkin memperantarai perlekatan bakteri ke sel pejamu. Pertama, asam lipoteikoat merupakan molekul hidrofobik yang berikatan dengan permukaan semua sel eukariot, tetapi memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor tertentu di sel darah dan sel epitel mulut. Kedua, suatu adhesin nonfibrilar yang disebut protein F berikatan dengan fibronektin, suatu protein matriks ekstrasel yang ditemukan disebagian besar sel. Protein M, yang membentuk fibril di permukaan bakteri gram-positif dan kapsul karbohidratnya mencegah fagositosis oleh makrofag pejamu. Pada kasus Pneumokokus terdapat bentuk transparan (memiliki kapsul tipis) yang beradaptasi untuk melekat ke epitel nasofaring, dan bentuk opak (kapsul tebal) yang beradaptasi untuk dapat bertahan hidup dalam darah. Fimbria, atau pili, dipermukaan batang dan kokus gram-negatif adalah struktur filamentosa nonflagela yang terdiri atas pengulangan subunit. Pili seks digunakan untuk mempertukarkan gen yang terdapat di plasmid atau transposon dari satu bakteri ke bakteri lain, sebagian besar pili memperantarai perlekatan bakteri ke sel pejamu. Untuk berbagai bakteri (misal mycobacterium, pseudomonas, neisseria), pangkal subunit yang melekatkan pilus ke dinding sel bakteri tidak banyak berbeda. Di ujung pili terdapat komponen protein minor yang menentukan ke sel pejamu mana mikroba akan melekat (tropisme bakteri. Pada E.coli, protein minor ini secara antigenis berbeda-beda dan berkaitan dengan infeksi tertentu (misal, protein I mengikat manosa dan menyebabkan infeksi saluran kemih bagian bawah, protein tipe P mengikat galaktosa dan menyebabkan pielonefritis, protein tipe S mengikat asam sialat dan menyebabkan meningitis). Satu bakteri dapat mengekspresikan lebih dari satu jenis pilus, serta adhesin yang tidak terletak di pilus (misal, protein I dan II pada gonokokus). Molekul lain di permukaan bakteri gram-negatif yang penting untuk virulensi adalah lipopolisakarida dan kapsul karbohidrat.

Tidak seperti virus, yang menginfeksi beragam sel pejamu, bakteri intrasel fakultatif lebih terbatas dan menginfeksi sel epitel (shigella dan E.coli enteroinvasif), makrofag (M. Tuberculosis, M. Leprae), atau keduanya (S. Typhi). Protein bakteri yang berperan untuk perlekatan dan invasi sering

diatur bersama dan diekspor oleh mesin sekreotik tipe III, yang mengangkut protein menembus selubung bakteri dan menyuntikannya ke dalam sitosol sel sasaran. Sebagian besar bakteri ini melekat ke integrin sel pejamu, protein membran plasma yang mengikat komplemen, atau protein matriks ekstrasel, termasuk fibronektin, laminin, dan kolagen. Sebagai contoh , organisme legionella, M. Tuberculosis, dan protozoa leishmania melekat ke CR3, sel reseptor untuk komplemen C3bi. E.coli enteropatik mengeluarkan suatu protein yang masuk ke dalam membran plasma sel sasaran dan digunakan oleh bakteri sebagai tempat perlekatan tambahan. Shigella mengeluarkan protein yang menyebabkan reorganisasi kerangka (cytoskeleton) sel epitel sasaran dan membungkus bakteri. Setelah berada didalam sitoplasma, shigella dan E. Coli menghambat sintesis protein pejamu , membelah diri dengan pesat, dan dalam 6 jam melisiskan sel pejamu. Sebaliknya, organisme salmonella dan yersinia bereplikasi didalam fagolisosom makrofag, sedangkan organisme mycobakterium dan lagionella menghambat

pengasaman yang biasanya tetjadi setelah endosom menyatu dengan lisosom. Didalam fagolisosom organisme salmonella mengekuarkan rangkaian kedua protein melalui aparatus tipe III sedangkan organisme legionella

menggunakan perangkat sekretorik tipe IV untuk mengganggu proses endositik. Tanpa adanya respon imun seluller pejamu banyak organisme yang terus menerus berkembang biak didalam makrofag (misal, kusta lepromatosa, infeksi M. Avium-intraselullare pada pasien AIDS) tetapi makrofag aktif dapat mematikan berbagai organisme ini atau membatasi pertumbuhannya.

Endotoksin bakteri. Endotoksin bakteri adalah suatu lipopolisakarida LPS yang merupakan komponen struktural dinding luar sel pada bakteri gram-negatif. Lipopolisakarida terdiri dari suatu jangkar asam lemak rantai panjang (lipid A) yang berhubungan dengan suatu rantai gula (sebagai inti) keduanya sama untuk semua bakteri gram-negatif. Pada gula inti ini melekat beragam rantai karbohidrat (antigen O) yang digunakan untuk menentukan serotipe dan membedakan berbagai bakteri. Berbagai aktifitas biologis endotoksin. Semua aktifitas biologis endotoksin berasal dari lipid A dan gula inti aktifitas tersebut diperantarai oleh efek langsung endotoksin dan melalui induksi sitokin pejamu seperti IL-1, TNF, dll.

Superantigen bakteri (misal, enterotoksin stafilokokus dan toksin sindrom syok toksik) menyebabkan demam, syok, dan gagal multi organ melalui mekanisme yang berbeda dengan yang digunakan endotoksin. Suprantigen bakteri melekat ke molekul komplek histokompatibilitas mayor (MHC) kelas II dipermukaan banyak sel penyaji antigen (antigen presentingcells, APC) tanpa pengolahan internal atau diskriminasi seperti biasanya. APC yang mengandung super antigen ini kemudian secara membabibuta merangsang banyal sel T untuk mengeluarkan IL-2 dalam jumlah besar yang akhirnya menyebabkan pembentukan berlebihan TNF dan sitokin lain yang menyebabkan gangguan sistemik.

2.2.2. EKSOTOKSIN BAKTERI Eksotoksin bakteri adalah protein yang dikeluarkan dan secara langsung menyebabkan cidera sel serta menentukan manifestasi penyakit. Sebagai contoh, faktor letal, yaitu eksotoksin basilus antaksis, kemunngkinan besar merupakan penyebab ps kelima dan keenam di mesir. Karena antraks membentuk spora, yang resisten panas dan menginfeksi melalui aerosol, bakteri ini memiliki potensi besar sebagai senjata biologis. Toksi difteri terdiri atas fragmen B (ujung karboksil) dan fragmen A (ujung amino) yang disatukan oleh sebuah jembatan disulfida. Toksin mengikat glikoprotein di permukaan sel sasaran via ujung karboksinya dan masuk endosom asam, tempat toksin menyatu dengan membran endosom dan masuk ke sitoplasma sel. Didalam sitoplasma, ikatan disulfida toksin difteri mengalami reduksi dan putus, membebaskan fragmen A amino yang secara enzimatis aktif. Fragmen ini mengatalitis pemindahan kofalen adenosin difosfat (ADP) ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) ke EF-2 (elongation faktor pada sintesis polipeptida) dan menyebabkan inaktif. Satu molekul toksin dapat mematikan sebuah sel dengan melakukan ADP ribosilasi terhadap lebih dari 106 molekul EF-2. Efek toksi adalah menciptakan suatu lapisan sel mati ditenggorokan, pada mana bakteri kornebakterium diphteriae dapat tumbuh mengalahkan bakteri pesaing kemudian, penyebaran secara luas toksin difteri menyebabkan disfungsi saraf dan jantung.

Enterotoksin labil-panas dari V. Cholerae dan E.coli juga memiliki struktur A-B dan merupakan ADP-ribosil transferase, tetapi enzim ini mengkatalisis pemindahan dari NAD ke komponen regulatorik adenilat siklase yang dependen-guanil nukleotida. Hal ini menyebabkan pembentukan berlebihan adenosin monofosfat siklik (cAMP), yang menyebabkan sel epitel usus mengeluarkan cairan isosmotik dalam jumlah besar serta menimbulkan diare encer dan kehilangan cairan dan elektrolik. Anerobik gram-positif clostridium perfringens, penyebab gas gangren, secara harfiah mencerna jaringan pejamu, termasuk kolagen yang relatif resisten. Toksin alfa-nya merupakan suatu lesitinase yang merusak membran plasma, termasuk membran sel darah merah dan putih. Colostridium tetani, suatu kontaminan luka, mengeluarkan suatu eksotoksin yang disebut tetanospasmin yang mengganggu pelepasan zat transmisitter inhibitorik seperti asam -aminobutirat dari ujung prasinaps antarneuron spinal. Akibatnya adalah kontraksi hebat otot yang merupakan tanda spasme tetanus. Toksin colostridium botulinum menghambat pelepasan neurotransmiter koligernik, terutama di taut neuromuskulus sehingga terjadi paralisis progresif ekstermitas, otot pernafasan, dan saraf motorik kranialis. Yang menarik, baik toksin botulinum maupun tetanus adalah endopeptidase yang memecah sinaptobrevin, yaitu protein yang berperan dalam pembentukan vesikel sinaps.

2.2. CARA MIKROBA MENGHINDAR DARI SISTEM IMUN Respon imun humoral dan selular yang melindungi pejamu dari sebagian besar infeksi dan mekanisme kerusakan jaringan pejamu yang diperantarai oleh sistem imun dan dipicu oleh mikroba (misal, reaksi anafilaksis, reaksi kompleks imun). Disini, kita berfokus pada cara mikroba lolos dari sistem imun pejamu dengan (1) tetap tidak dapat diakses (2) memecah antibodi, bertahan terhadap lisis yang diperantarai oleh komplemen, atau bertahan hidup di sel fagostik (3) mengubahubah atau melepaskan antigen (4) menyebabkan supresi imun spesifik atau nonspesifik. Mikroba yang berkembang biak dalam lumen usus (misal, colostridium difficle penghasil toksin) atau kandung empedu (misal, S. typhi) tidak dapat diakses oleh pertahanan imun pejamu, termasuk IgA sekrotik. Sebagian organisme menimbulkan infeksi melalui invasi sel pejamu secara cepat sebelum respon humoral pejamu

efektif (misal, sporozoit malaria masuk ke sel hati, trichinella dan T. Cruzi yang masuk ke otot rangka dan jantung). Kapsul karbohidrat di permukaan semua patogen utama yang menyebabkan pneumonia atau meningitis (streptococus pneumoniae, neisseria meningitidis, haemophilus, klebsiella, dan E.coli) menyebabkan patogen tersebut lebih verulen karena membungkus antigen bakteri dan mencegah fagositosit organisme oleh neutrofil. Bakteri pseudomonas mengeluarkan suatu leukotosin yang mematikan neutrofil. Beberapa E. Coli memilikib antigen K yang mencegah aktivasi komplemen melalui jalur alternatif dan lisis sel. Sebaliknya, beberapa bakteri gramnegatif memiliki antigen O polisakarida tang sangat panjang yang mengikat antibodi pejamu dan mengaktifkan komplemen pada jarak yang cukup jauh dari bakteri sehingga bakteri tersebut tidak mengalami lisis. Stafilokokus dibungkus oleh molekul protein A yang mengikat bagian Fc antibodi sehingga fagositosis terhambat. Neisseria, haemophilus, dan streptokokus spp. Mengeluarkan protase yang menguraikan antibodi. Pneumokokus mampu melakukan lebih dari 80 permutasi kapsul

polisakaridanya, sehingga pada infeksi berulang kecil kemungkinan bagi pejamu untuk mampu mengenali serotipe baru. N. Gonorrhoeae memiliki protein pilus (perlekatan) yang terdiri atas suatu regio konstan dan suatu regio hipervariabel. Salah satu spesies neisseria mampu menyerap DNA dari spesies neisseria lain sehingga mikroba tersebut mampu mengubah rangkaian protein perlekatannya tanpa mengalami mutasi. Spiroketa borelia recurrentis menyebabkan demam kambuhan (relapsing fever) dengan berkali-kali mengganti antigen permukaannya sebelum pejamu membasmi setiap klon.

2.3. RESPON PERADANGAN TERHADAP AGEN INFEKSI Secara umum respon peradangan terhadap agen infeksi terdapat lima pola histologis reaksi jaringan yaitu: 2.3.1. PERADANGAN POLIMORFONUKLEUS SUPURATIF Peradangan ini adalah reaksi umum terhadap kerusakan jaringan akut , yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskular dan eksudasi neutrofil. Neutrofil tertarik ke tempat infeksi akibat pelepasan kemoatrakan dari bakteri piogenik yang cepat membelah yang memicu respon ini, terutama kokus gram-positif ekstrasel dan batang gram-negatif. Kemoatrakan

bakteri antara lain peptida bakteri, yang semuanya mengandung residu Nformil metionin di terminal aminonya dan dikenali oleh reseptor spesifik pada neutrofil. Selain itu, bakteri menarik neutrofil secara tidak langsung dengan mengeluarkan endotoksin, yang merangsang makrofag untuk mengeluarkan endotoksin, yang merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 atau TNF, atau dengan memecah komplemen menjadi peptida kemoatrakan C5a. Berkumpulnya neutrofil menyebabkan terbentuknya pus. Ukuran lesi eksudatif dapat sangat berfariasi, dari mikroabses kecil yang terbentuk di banyak organ saat sepsis sekunder akibat kolonisasi katup jantung , hingga peregangan tuba fallopi oleh pus yang disebabkan oleh N, gonorrhoae (gonokokus), sampai keterlibatan difusmenngen sewaktu infeksi H. Infulenzae, atau pneunomia , dan beberapa lobus paru terkena. Seberapa besar tingkat destruktivitas suatu lesi bergantung pada lokasi dan organisme yang terlibat. Sebagai contoh pneumokokus biasanya tidak mengenai dinding alveolus dan membentuk abses, yang selanjutnya akan diikuti oleh pembentukan jaringan parut. Faringitis bakteri sembuh tanpa sekuele, sedangkan peradangan bakteri akut yang tidak diobati dapat meusak sebuah sendi dalam hitungan hari. 2.3.2. PERADANGAN MONONUKLEUS Sebuah difus yang terutama terdiri atas sel mononukleus di interstisium merupakan gambaran semua proses peradangan kronis, tetapi apabila terjadi secara akut, sebukan ini sering merupakan respon terhadap virus, bakteri, intrasel, atau parasit intrasel. Selain itu, spirokaeta dan cacing menyebabkan peradangan kronis. Jenis sel mononukleus yang predominan di dalam suatu lesi peradangan bergantung pada respon imun pejamu terhadap organisme. Sebagai contoh, pada lesi primer dan sekunder sifirilis ditemukan banyak sel plasma, sedangkan pada infeksi HBV atau infeksi virus otak yang predominan adalah limfosit. Limfosit ini sendiri mencerminkan imunitas selular terhadap patogen atau sel yang terinfeksi patogen. Pada ekstrem yang lain, makrofag yang dipenuhi oleh m. Avium-intraculare ditemukan ditemukan banyak pada jaringan pasien AIDS, yang tidak lagi mempunyai SelT helper dan tidak dapat membentuk respon imun terhadap mikro organisme. Pada infeksi M.leprae dan leismaniasis kutis, sebagian orang membentuk respon imun yang kuat sehingga lesi mereka mengandung sedikit organisme, sedikit makrofag, dan banyak limfosit, yang lain, dengan raspon imun lemah,

memiliki lesi yang mengandung banyak organisme, banyak makrofag dan sedikit limfosit. Peradangan granulomaltosa adalah bentuk tersendiri dari peradangan mononukleus yang biasanya dipicu oleh agen infeksi yang relatif lambat membelah (M. tuberculosis) dan oleh agen yang ukurannya besar (misal, telur skistosoma). Peradangan granulomaltosa hampir selalu

mencerminkan reaksi imun seluler.

2.3.3. PERADANGAN SISTOPATIK-SITOPOLISERATIF Reaksi ini biasanya ditimbulkan oleh virus , ditandai dengan kerusakan sel pejamu individual, dengan sedikit atau tanpa respon peradangan pejamu. Beberapa virus membelah diri di dalam sel dan membentuk agregat virus yang hanya dapat dilihat sebagai badan inlkusi (misal, CMV, adenovirus) atau memicu sel untuk menyatu dan membentuk polikarion (misal, campak, virus herpes). Kerusakan sel fokal dapat menyebabkan sel epitel teregang satu sama lain dan membentuk bula (misal, virus cacar air). Virus juga dapat menyebabkan sel epitel berpoliferasi dan mengambil bentuk tak lazim (misal, kutil genital oleh HPV atau papul berumbilikasi pada moskulum kontagiosum oleh virus pox). Akhirnya virus dapat menyebabkan perubahan displastik dan kangker pada sel epitel dan limfosit. 2.3.4. PERADANGAN NEKROTIKANS Ferfingens dan organisme lain yang mengeluarkan toksin poten menyebabkan kerusakan jaringan yang sedemikian cepat dan berat sehingga kematian sel menjadi gambaran yang dominan. Karena hanya sedikit sel peradangan yang terlibat, lesi ini mirip infark, dengan kerusakan atau hilangnya pewarnaain inti basofilik dan dipertahankannya kerangka sel. Klostrida sering merupakan patogen oportunistik yang masuk kedalam jaringan otot melalui trauma tembus atau infeksi usus pada pejamu neutropenik. Demikian juga, parasit E.hystolitica menyebabkan ulkus kolon dan abseshati yang ditandai dengan kerusakan jaringan yang luas disertai nekrosis perkijauan tanpa sebukan peradangan. Kadang-kadang virus dapat menyebabkan peradangan nekrotikans apabila kerusakan sel pejamu sedemikian meluas dan berat, sebagai contoh, mungkin terjadi kerusakan total lobus temporalis otak oleh virus gerpes atau hati oleh HVB.

2.3.5.PERADANGAN KRONIS DAN PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT Jalur umum akhir yang terjadi pada banyak infeksi adalah peradangan kronis, yang dapat menyebabkan jaringan parut luas (misal, salpingitis gonokokus kronis). Inveksi HBV kronis dapat menyebabkan sirosis hati, pada infeksi tersebut terbentuk septum padat fibrosa yang mengelilingi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi. Untuk sebagian organisme yang bersifat relatif inert, respon pembentukan jaringan parut yang berlebihan oleh pejamu merupakan penyebab utama penyakit (misal, fibrosis pipe-steam di hati akibat telur skistomosa atau guma sifilis tersier di hati, susunan saraf pusat, dan tulang). Pola reaksi jaringan ini bermanfaat untuk menganalisis proses infeksi, tetapi pola tersebut sering tumpsng tindih. Sebagai contoh, lesi kulit pada leismaniasis dapat mengandung dua regio histopatologik yang berlainan : dareah tengah berulkus terisi oleh neutrofil dan regio perifer mengandung infiltrat campuran limfosit dan sel mononukleus, terdapat parasit leismania berada. Paru seorang pasien AIDS mungkin terinfeksi CMV, yang menyebabkan sitolisis, dan pada saat yang sama oleh pneumocytis, yang menyebabkan peradangan intertisium. Pola peradangan serupoa juga dapat ditemukan pada respon jaringan terhadap zat kimia atau fisik serta pada penyakit peradangan yang sebenarnya tidak diketahui.

BAB 3 PENUTUP

3.1. KESIMPULAN Mikroba menyebar secara cepat di sepanjang permukaan basah epitel usus, paru, dan saluran kemih kelamin dan secara lambat, kalaupun terjadi, dipermukaan kulit yang kering. Banyak mikroba tidak bergerak melebihi epitel karena mikroba tersebut hanya berpoliferasi di lapisan superfisial epitel (misal HPV), tetapi yang lain mampu menembus (misal streptokokus dan stafilokokus, yang menghasilkan hialuronidase, yang menguraikan matriks ekstrasel di antara sel pejamu). Rute

penyebaran mikroba pada awalnya mengikuti bidang jaringan yang resistensinya paling rendah dan anatomi limfe dan vaskular regional. Penyebaran patogen dalam darah dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda infeksi sistemik, termasuk demam, yang disebabkan oleh berbagai sitokin pejamu yang keluar sebagai respon endotoksin bakteri. Kerusakan jaringan pejamu oleh bakteri bergantung pada kemampuan bakteri melekat dan masuk ke sel pejamu atau mengeluarkan toksin. Koordinasi antara perlekatan bakteri dan pengeluaran toksin merupakan hal yang sangat penting bagi virulensi bakteri sehingga gen yang mengkode protein perekat dan toksin sering dikendalikan bersama oleh sinyal lingkungan spesifik. Sebagai contoh, perubahan suhu, osmolaritas, atau pH memicu sintesis 20 protein yang berbeda oleh bordetella pertussis, termasuk hemaglutinin filamentosa, protein fimbrie, dan toksin pertusis. Demikian juga, virulensi E.coli enterotoksik bergantung pada ekspresi protein perekat yang memungkinkan bakteri melekat ke sel epitel usus serta membentuk dan mengeluarkan toksin labil-panas atau stabil-panas yang menyebabkan sel usus mengeluarkan cairan isotonis seperti adhinesin dan ekotoksin. . 3.2. SARAN Sehubungan dengan masalah yang dibahas mengenai aspek molekuler infeksi bakteri, penulis berharap para pembaca bisa memahami bagaimana penyebaran bakteri dalam tubuh serta bagaimana dia bisa melewati sistem imun. Selain itu, respon peradangan agen infeksi apa. Sebagai seorang dokter sudah sepatutnya mengerti dan memahami bagaima itu terjadi. Oleh karena itu, jagalah tubuh kita agar tetap sehat supaya metabolise dalam tubuh kita selalu berjalan dengan baik dan tidak terganggu oleh penyakit-penyakit yang bisa menurunkan atau bahkan mengancam kesehatan kita.

Anda mungkin juga menyukai