OLEH :
Ni Komang Putri Swantari, S.Kep
15.901.1201
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS
(TBC)
Epidemiologi
Secara global, penyakit ini menyebar secara luas diseluruh dunia, termasuk Rusia, Cina,
India, Indonesia, Argentina, Bangladesh, Barbados, Bolivia, Belize, Brasil, Kamboja,
Costa Rica, Republik Dominika, El Salvador, Guatemala, Guyana, Honduras, India,
Jamaika, Laos, Malaysia, Meksiko, Mikronesia, Panama, Paraguay, Filipina, Puerto Riko,
Samoa, Singapura, Sri Langka, Suriname, Taiwan, Thailand, Trinidad dan Venezuela.
WHO memperkirakan bakteri penyebab TBC dapat membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap
tahunnya. Pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2020 diperkirakan sekitar 1 miliar
manusia akan terinfeksi TBC. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56
juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10% diantara infeksi berkembang menjadi penyakit, dan
40% diantara yang berkembang menjadi penyakit berakhir dengan kematian. Secara
global, penyakit ini menyebar secara luas diseluruh dunia, maka tidak berlebihan jika
penyakit tuberculosis dikatakan sebagai pemusnah massal.
Sedangkan untuk TBC di Indonesia :
a. 54,2% setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru
TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.
b. Di Indonesia, TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.
c. Indonesia telah berhasil mencapai angka keberhasilan pengobatan sesuai dengan
target global, yaitu 85% dan tetap dipertahankan dalam empat tahun terakhir.
C.
Etiologi
Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu: mycobacterium tuberculosis
dengan ukuran panjang 1-4 UM dan tebal 1.3-0.6 UM termasuk golongan bakteri
aerobgram positif serta tahan asam atau basil tahan asam. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (basil
tahan asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dominan selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan
dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama
kontak yang erat TBC merupakan penyakit yang sangat infensius. Seorang
penyakit TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang disekitarnya. Menurut
perkiraan WHO, 1/3 penduduk saat ini telah terinfeksi mycrobacterium
tuberculosis.
D.
Patofisiologi
Penularan TBC terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersikan sehingga
penyebaran kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan darah). Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
ada/tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan kelembaban. Dalam suasana yang
gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari-hari bahakan berbulanbulan, bila partikel infeksi ini terisap oleh orang yang sehat akan menempel pada
alveoli kemudian partikel ini akan berkembang dan bisa sampai puncak apeks
paru sebelah kanan/kiri dan dapat pula keduanya berpindah dengan melewati
pembuluh limfe. Setelah itu, infeksi akan menyebar melalui sirmulasi, yang
pertama terangsang adalah: limfokinase yang dibentuk lebih banyak untuk
merangsang makrofag, berkurang tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah
makrofag. Karena fungsinya adalah membunuh kuman/basil, apabila proses ini
berhasil dan makrofag lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan
tubuh akan meningkat.
Tetapi apabila kekebalan tubuhnya menurun maka kuman tadi akan bersarang di
dalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel. Tuberkel lama-kelamaan
akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama tumbuh
permajuan di temapat tersebut. Apabila jaringan nerkosis dikeluarkan saat
penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk
darah (hemaptoe).
1. Tuberkulosis Primer
Tuberculosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup
dari udara melalui saluran pernapasan mencapai alveoli atau bagian
terminal saluran pernafasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan
oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri
ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak
dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari
proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit(makrofag)
dari aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan
bakteri,makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang
dihasilkan limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama.
Ada makrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri dan
perangsang limfosit. Beberapa makrofag menghasilkan protease, elastase,
kolagenase, serta colony stimulating factor untuk merangsang produksi
monosit dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar melalui
saluran pernapasan ke kelenjar getah bening regional (hilus) membentuk
epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai
kolonisasi
mycetoma(Isa,2000).
jamur
seperti
aspergillus
yang
menumbuhkan
E.
Pathway
Invasi bakteri tuberculosis via inhalasi
Infeksi primer
Sembuh
Infeksi pasca-primer
(Reaktivasi)
Bakteri dorman
Sembuh dengan
fibrotik
Edema trakeal/faringeal
Meningkatkan produksi srkret
Pecahnya pembuluh darah jalan nafas
Batuk produktif
Batuk darah
Sesak nafas
Penurunan kemampuan batuk efektif
Komplikasi TB paru:
Efusi pleura
pneumothoraks
F.
Gejala Klinis
1. Gejala sistematik
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang
masuk.
b. Badan terasa lemah
c. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
2.
Gejala respiratorik
a. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Batuk biasanya terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif
dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk berdarah dapat
terjadi bila ada pembuluh darah yang robek.
b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
c. Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
G.
Klasifikasi Penyakit
melakukan
2. TBC ekstra paru adalah TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paruparu, misal selaput paru, selaput otak, selaput janutng, kelenjar getah bening,
tulang, persendian kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Adapun klasifikasi TBC menurut The American Thoracic Society (1981)
adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi 0
menderita TBC.
2. Klasifikasi I
: tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC.
3. Klasifikasi II
: terinfeksi TBC/test tuberculin (+), tetapi tidak
menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung, dan
bakteriologi negative).
4. Klasifikasi III
: sedang menderita TBC.
5. Klasifikasi IV : pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif.
6. Klasifikasi V
: dicurigai TBC
H.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik umum
per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(Breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system
pernapasan.
Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernafasan. Sekilas pandang klien dengan TB
paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proposi
diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proposi diameter
lateral. Apabila ada penyulit dari tb paru seperti adanya efusi pleura yang
massif, maka terlihat adanya ketidaksemetrisan rongga dada, pelebaran
intercosta space (ICS)pada sisi yang sakit. Tb paru yang disertai atelektasis
paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercosta speace(ICS) pada sisi
yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya
gerakan pernafasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian jika
terdapak komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada perenkim paru
biasanya klien akan terlihat mengalami sesak nafas , peningkatan frekuensi
nafas, dan menggunakan otot bantu nafas. Tanda lainnya adalah klien
dengan TB paru juga mengalami efusi pleura yang massif pneumothorak,
abses paru massif, dan hidopneumotorak. Tanda- tanda tersebut membuat
gerakan pernafasan menjadi tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah
pada sisi yang sakit pergerakan dadanya tertinggal.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan
produksi secret dan sekresi, sputum yang porulen. Periksa jumlah produksi
sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya bronkhiektasis yang
Palpasi
Palpasi Trachea. Adanya pergerakan trakea menunjukan- meskipun- tetapi
tidak spesifik penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai
adanya efusi pleura massif dan pneumothorak akan mendorong posisi
trakea kearah berlawanan dari sisi sakit.
Gerakan dinding thorak anterior/ ekskrusi pernafasan. Tb paru tanpa
komplikasi pada saan dilakukan palapasi , gerakan dada saat bernafas
biasanya normal dan seimbang antara bagian kiri dan bagian kanan.
Adanya penurunan gerakan dinding pernafasan biasanya ditemukan pada
klien tb paru dengan kerusakan paenkim paru yang luas.
Getaran suara. Getaran yang terasa ketika perawat meletakan tangannya
didada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk
membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi
konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus. Adanya penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB
paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi pleura
massif , sehingga hantaran suara menurun karena transmisi getaran suara
harus melewati cairan yang berakumulasi dirongga pleura
c.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan
didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi efusi pleura akan didapatkan
bunyi redup samapai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumotorak maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothorak ventil yang
mendorong posisi paru kesisi yang sehat.
d. Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi nafas tambahan (ronkhi)
pada
sisi
yang
sakit
penting
bagi
perawat
memeriksa
untuk
B2 (blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
4.
a.
b.
c.
d.
5. B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh
karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut
merupakan tanda awal dari syok. Klienj diinformasikan agar terbiasa dengan
urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal
masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin.
6. B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan.
7. B6 (bone)
Aktivitas sehari- hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala
yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup
menetap, dan jadwal olahraga menjadi tak teratur.
I.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Tuberculin Skin Test
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutan 0.1 ml pada bagian
punggung/dorsal dari lengan bawah. Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan
dipakai karena hanya menunjukan ada tidaknya antibodi anti TBC pada seseorang,
sedangkan menurut penelitian 80% penduduk indonesia sudah pernah terpapar
antigen TBC, walaupun tidak bermanifestasi sehingga akan banyak memberikan
false positif.
2.
Pemeriksaan Radiologis
Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan dengan 1 kali pemeriksaan
rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rongen dada. Dengan rontgen, paling
mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar
paratrakeal. Gejala dari foto rontgen yang mencurigai TB adalah:
a.
Milier
b.
Atelektasis/kolaps konselidasi
c.
Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilas/paratrakeal
d.
Konsolidasi (lobus)
e.
Reaksi pleura/efusi pleura
f.
Klasifikasi
g.
Bronkiektasis
h.
Kavitas
Bila ada diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran rontgen, harus
dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (Posterior Anterior)
dan lateral, tapi kalau tidak mungkin PA saja.
3.
Pemeriksaan Darah
dan jumlah limfosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap
dan mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan
gambaran normakron dan normasiter, gama globulin meningkat dan kadar natrium
darah meningkat.
4.
Pemeriksaan Sputum
kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu
antara 6-9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obat selama
menjalani terapi.
Tempat pengobatan
1.
2.
3.
4.
K.
Puskesmas
Rumah Sakit
BPA (rumah sakit Paru)
Dokter umum atau dokter spesialis
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tubercolosis paru menjadi tiga bagian,
yaitu pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita (active case finding).
Pencegahan tubercolosis paru
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tubercolosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi ter
tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thorak diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negative, diberikan BCG vaksinasi bila positif , berarti terjadi,
konversi hasil teks tuberkulindan diberikan kemoprofilaksis
2. Mass chest x-ray yaitu pemeriksaan masal terhadap kelompok- kelompok
populasi tertentu misalnya :
a. Karyawan rumah sakit / puskesmas/ balai pengobatan.
b. Penghuni rumah tahanan
c. Siswa- siswi pesantren
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgbb selama 6 sampai 12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang
masih sedikit indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang
menyusu pada ibu dengan BTA positif , sedangkan kemoprofilaksis sekunder
diperlukan bagi kelompok berikut:
a. Bayi di bawah 5 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko
timbulnya TB milier dan meningitis TB.
b. Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkolin positif
yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular
menerima
pengobatan
steroid
atau
obat
imunosupresifjangka panjang.
e. Penderita DM
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tubercolosis
kepada masyarakat ditingkat puskesmas maupun ditingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM ( mis: Perkumpulan Pemberantasan
Tubercolosis Paru Indonesia- PPTI)
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia dan
lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem pernafasan di pleura terkena TB.
2) Keluhan sistemis, meliputi:
a) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
b) Keluhan sistemik lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual
muncul dalam beberapa minggu-bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan
batuk, panas, dan sesak napas, walaupun jarang dapat juga timbul
menyerupai gejala pneumonia.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Dilakukan
pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya
Ya atau Tidak atau hanya dengan anggukan dan gelengan kepala. Apabila
keluhan utama adalah batuk, maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama
keluhan batuk muncul (onset). Pada klien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk
yang biasa ada dipasaran.
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk akan timbul
apabila proses penyakit telah melibatkan bronchus, batuk akan menjadi produktif
yang berguna untuk membuang produk ekskresi peradangan dengan sputum yang
bersifat mukoid atau purulen.
Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada keluhan lain seperti
demam, keringat malam, atau menggigil yang mirip dengan influenza karena
keluhan demam dan batuk merupakan gejala awal dari TB paru. Tanyakan batuk
disertai sputum yang kental atau tidak, serta apakah klien mampu untuk
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan secret yang menempel pada jalan
napas.
Apakah keluhan utama adalah batuk darah, maka perlu ditanyakan
kembali berapa banyak darah yang keluar. Saat melakukan anamnesis, perawat
perawat perlu meyakinkan pada klien tentang perbedaan anatara batuk darah dan
muntah darah, karena pada keadaan klinis, hal ini sering menjadi rancu.
Klien TB paru sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah
menimbulkan kecemasan pada diri klien karena batuk darah sering dianggap
sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi seperti ini
seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan pelayanan keperawatan yang
baik pada klien dengan memberi penjelasan tentang kondisi yang sedang terjadi
pada dirinya. Wilson-barnett dalam Nancy Roper (1996) mengatakan bahwa
adanya hubungan terapeutik dengan menjelaskan pada klien mengenai apa yang
akan terjadi pada dirinya dapat mengurangi kadar tingkat kecemasan.
Pada batuk darah, gejala permulaan biasanya rasa gatal pada tenggorokan
atau adanya keinginan batuk dan kemudian darah dibatukkan keluar. Darah
berwarna merah terang dan berbuih, dapat bercampur sputum dan bersifat alkali
(Harrison, 1999). Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan
ringannya batuk darah yang timbul bergantung pada besar kecilnya pembuluh
darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma
pada dinding kavitas, tapi juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa
bronkhus (Yunus,1992). Kebanyakan batuk darah pada TB paru terjadi pada
kavitas tetapi dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus. Batuk darah yang
dikeluarkan klien mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah dan gumpalangumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak.
berat sampai panik yang terjadi pada klien merupakan risiko yang harus dihindari
karena memungkinkan terjadinya risiko aspirasi atau sufokasi (bekuan darah
yang tidak dapat dikeluarkan dengan batuk) yang berlanjut pada tersumbatnya
jalan napas, asfiksia, dan kematian (Alsagaff, 1995). Peran perawat sangat besar
dalam menurunkan kecemasan yang dialami klien dan memenuhi informasi yang
sesuai dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan klien tentang perawatan batuk
darah terutama pada klien dengan batuk darah masih diatas 600 cc.
Pada sebuah penelitian tentang hubungan perawatan batuk darah dan
penurunan tingkat kecemasan ditemukan adanya tingkat variasi kecemasan pada
klien dengan TB paru (batuk darah) dari tingkatan tidak mengalami kecemasan.,
kecemasan ringan, sampai kecemasan sedang. Kesimpulannya adalah terdapat
hubungan yang cukup kuat antara perawatan batuk darah dengan tingkat
kecemasan.
Hal ini secara teoritis dapat diterangkan dari adanya berbagai tindakan
keperawatan sebagai bentuk dukungan professional dan dukungan sosial yang
dapat memberikan pengaruh baik fisik maupun psikologis klien. Perawat yang
memberikan pelayanan keperawatn yang baik pada klien yang membuat klien
merasa lebih aman dan akhirnya tingkat kecemasanya menurun. Hubungan
terapeutik dilakukan dengan menjelaskan kepada klien tentang apa yang akan
terjadi pada dirinya dapat mengurangi tingkat kecemasannya. Perawatan batuk
darah yang komprehensif bertujuan agar klien dapat beradaptasi dengan
keadaannya dan mengurangi tingkat batuk darah, serta menghilangkan atau
menurunkan tingkat kecemasan (Mutaqqin, 2003).
Oleh karena itu, peran perawat dalam mengkaji keluhan batuk darah yang
komprehensif sangat mendukung tindakan perawatan selanjutnya. Hal ini
bertujuan untuk menurunkan kecemasan dan mengadaptasikan klien dengan
kondisi yang dialaminya.
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah
darah yang dikeluarkan:
a. Batuk darah massif. Darah yang dikeluarkan adalah lebih dari 600 cc/24
jam.
kepada klien apa yang pertama kali dirasakan sebagai tidak biasa atau tidak
enak. Tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit yang sama
sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberculosis
dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat
TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa
lalu yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat
adanya efek samping obta. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan
berat nadan (BB) dalam 6 bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB
paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena obat OAT.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor
predisposisi penularan didalam rumah.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif,
dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien
tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi
klinis, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai
dengan keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman klien bertempat
tinggal. Hal ini penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka
yang bertempat tinggal dipemukiman padat dan kumuh karena populasi bakteri Tb
paru lebih mudah hidup ditempat yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan
sinar matahari yang kurang.
Pemeriksaan fisik pada klien Tb paru merupakan pemeriksaan focus yang terdiri
atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
1) Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru
biasanya tamapak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proposisi diameter
bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada
penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya
ketidaksemetrisan rongga dada, pelebaran intercostals space (ICS) pada sisi yang
sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space
(ICS) pada sisi yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya
gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika
terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya
klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas. Tanda lainnya adalah klien dengan TB paru juga
mengalami efusi pleura yang masif, pneumothoraks, abses paru masif, dan
hidropneumothoraks. Tanda-tanda tersebut membuat gerakan pernapasan menjadi
tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah pada sisi yang sakit pergerakan
dadanya tertinggal.
Batuk dan sputum. Saat melakuakan pengkajian batuk pada klien dengan klien TB
paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanaya bronkhiektasis
yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat
banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
2) Palpasi
Palpasi trachea. Adanya pergeseran trachea menunjukkan meskipun tetapi tidak
spesifik, penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai adanya efusi
pleura masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trachea kea rah
berlawanan dari sisi sakit.
1) Inspeksi
fisik.
2) Palpasi
3) Perkusi
d. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan
wajah meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB
paru dengan hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikterik pada TB paru dengan
gangguan fungsi hati.
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena
itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda
awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna
jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai
ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin.
f. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan.
g. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada kien dengan TB paru. Gejala yang
muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga menjadi tak teratur.
g. Pemeriksaan Diagnostik
pita
parenkilam,
klasifikasi
nodul
dan
adenopati,
perubahan
Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat disebabkan oleh penyebaran
dari TB primer dan mengakibatkan manifestasi klinis yang berat. Keadaan ini
biasa terjadi pada bayi-bayi dengan gizi buruk atau penyakit kronis yang
biasannya sangant rentan. Pada sebagian besar anak-anak, jumlah bakteri hanya
sedikit dalam tubuhnay (hospes), namun cukup resisten untuk mencegah
penyebaran milier sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis.
Pada orang dewasa, khususnya orang tua, angka kejadian penyakit ini
cukup tinggi dan sulit sekali diidentifikasi. Hasil pemeriksaan Rontgen thoraks
bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat
pada Rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat
sebagai nodul-nodul sangat kecil yang menyebar secara difus dikedua lapangan
paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak
terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
Pada klien lain, nodul-nodul tersebut dapat berupa garis tebal yang tidak
begitu tajam dengan daerah-daerah yang kabur di sekitarnya. Pada bebrapa klien
TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil rontgen thoraks, tetapi pada
beberapa kasus, bentuk milier klasik berkembang seiring perjalanan penyakitnya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit tuberculosis diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium
antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat kolonii, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap
OAT dan kemoterapeutik, perbedaaan kepekaan trhadap binatang percobaan
kepekaan kulit terhadat berbagai jenis antigen Mycobakterium. Bahan
pemeriksaan untuk isolasi Mycobakterium tuberculosis berupa:
1.
Sputum klien. Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama
keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan selama 24 jam.
2. Urine. Urine yang diambil adalah urine yang oertama di pagi hari atau
urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan
kateter maka urine yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil.
Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh sediaan,
maka jumlah yang ditemukan harus disebut, dan sebaiknya dibuat
sediaan ulangan.
irama,
kedalaman,
dan atelektasis,
ronkhi
menunjukkan
pernapasan
Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, Pengeluaran akan sulit bila secret
catat karakter, volume sputum dan sangat kental (efek infeksi dan hidrasi
adanya hemoptisis.
Befrikan
posisi
brokhial
dan
memerlukan
tinggi dan bantu klien berlatih napas paru dan menurunkan upaya nafas.
dalam dan batuk efektif
Ventilasi
maksimal
membuka
area
ml/hari
kecuali
adekuat
membantu
diindikasikan.
pembersihan jalan nafas
Bersihkan secret dari mulut dan trachea, Mencegah obstruksi dan
bila
perlu
(suction).
Kolaborasi
OAT
lakukan
aspirasi.
tuberculosis
terbagi
rekomendasi
rifampisin,
Agen Mukolitik
INH,
WHO
adalah
Pirazinamid,
Bronkodilator
percabangan
trakeobronkhial
Kortikosteroid
Kortikosteroid
berguna
dengan
reaksi
inflamasi
mengancam
kehidupan.
2. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali
efektif.
Kriteria evaluasi :
- Klien mampu melakukan batuk efektif
- Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan berada pada batas normal,
pada pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan
dan bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi
Identifikasi factor penyebab
Dengan
Rasional
mengidentifikasi
factor
dispnea,
sianosis
hipoksia.
Berikan posisi fowler/semifowler tinggi Posisi fowler memaksimalkan ekspansi
dan miring pada sisi yang sakit, bantu paru dan menurunkan upaya nafas.
klien latihan napas dalam dan batuk Ventilasi
efektif
maksimal
membuka
area
dikeluarkan
Bunyi nafas dapat menurun/tak ada
pada area kolaps yang meliputi satu
lobus, segmen paru atau seluruh area
paru (unilateral).
Kaji pengembangan dada dan posisi Ekspansi menurun pada area kolaps.
trachea
Kolaborasi
untuk
dipasang
pengontrol
WSD
penghisap
:
dan
secara maksimal
periksa Mempertahankan
jumlah intrapleural
pada
tekanan
yang
negative
meningkatkan
penghisap dan pertahankan pada batas sebagai sekat yang mencegah udara
yang ditentukan
atmosfer masuk ke dalam pleura
Observasi gelembung udara dalam Gelembung udara selama ekspirasi
botol penampung
drainase
Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang Deteksi dini
masuk
dengan
observasi
tanda
menunjukkan
kassa
steril
yang
dan penting
terjadinya
seperti
komplikasi
berulangnya
dapat pneumothoraks
berulangnya
Kriteria evaluasi :
- Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea
- Klien menunjukkan tidak ada gejala distress pernafasan
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentang normal
Intervensi
Rasional
Mandiri
Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, TB paru mengakibatkan efek luas pada
peningkatan
upaya
sampai
inflamasi
difus
yang
luas,
Efeknya
terhadap
pernafasan
selama
untuk
klien
ekspirasi
dengan
fibrosis
tirah
dan
diri
kebutuhan klien
Kolaborasi
Pemeriksaan AGD
napas
sehingga
membantu
baring,
bantu
dan jalan
sehari-hari
dan
menunjukkan
peningkatan
PCO2
kebutuhan
untuk
hipoksemia
penurunan
yang
terjadi
akibat
ventilasi/menurunnya
Kortikosteroid
dengan
reaksi
inflamasi
mengancam
kehidupan.
4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan keletihan, anoreksia, atau dispnea, dan peningkatan metabolisme
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan, intake
klien terpenuhi
Kriteria evaluasi ;
- Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang
-
menjadi adekuat
Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Intervensi
Rasional
Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, Memvalidasi dan menetapkan derajat
berat badan, derajat penurunan berat masalah untuk menetapkan pilihan
badan,
integritas
kemampuan
mukosa
menelan,
mual/muntah, diare
Fasilitasi klien untuk memperoleh diet Memperhitungkan keinginan individu
biasa
yang
disukai
klien
indikasi)
Pantau intake dan output, timbang berat Berguna dalam mengukur keefektifan
badan secara periodic (sekali seminggu)
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut Menurunkan rasa tak enak karena sisa
sebelum dan sesudah makan serta makanan, sisa sputum, atau obat pada
sebelum
dan
sehubungan
dengan
status
hipermetabolik klien
Kolaborasi
untuk
perencanaan
intervensi
selanjutnya
untuk
pemberian Multivitamin
multivitamin
bertujuan
untuk
5.
Ketidakmampuan
melakukan
aktifitas
sehari-hari
(ADL)
yang
Rasional
respons
klien
aktivitas,
terhadap Menetapkan
peningkatan pasien
dan
kemampuan/kebutuhan
memudahkan
pilihan
vital
selama
dan
setelah
aktivitas
Berikan
lingkungan
tenang
dan Menurunkan
stress
dan
rangsangan
Berikan
kemajuan
Anjurkan
klien
Rasional
memperhatikan Meskipun
klien
dapat
menemukan
karakteristik
sputum
perubahan
perbaikan
berarti
menurunkan
efektif
penyebaran/tambahan infeksi
Menurunkan
pemajanan
terhadapa
dengan keadaannya.
Respons nonverbal klien tampak lebih rileks dan santai
Intervensi
Rasional
Mengurangi
ketegangan
otot
dan
kecemasan
Pertahankan hubungan saling percaya Hubungan saling percaya membantu
antara perawat dan klien
Kaji
factor
yang
Bantu klien mengenali dan mengakui Rasa cemas merupakan efek emosi
rasa cemasnya
Rasional
(tingkat
kecemasan, dipengaruhi
proses
oleh
dan
pembelajaran
kesiapan
fisik,
lingkungan
yang
kondusif
an
mengapa
pengobatan
penyakit
peningkatan
kebutuhan
dan kalori yang tinggi serta intake metabolic tubuh. Pendidikan kesehatan
cairan yang cukup setiap hari.
4. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Vol I . Jakarta:EGC
Prince A. Silvia. 1995. pathofisiologi. Edisi 4. jakarta:EGC
Doenges E. Marylin dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Pearce C. Evelyn .1990. anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta:EGC.
Zulkifli Amin, Asril bahar. 2006. tuberculosis paru, buku ajar penyakit dalam.
Jakarta: UI. Http://www. Medicastore.com/tbc/penyakit-tbc.htm.
Muttaqin,Arif. 2008. Askep Klien dengan Infeksi dan Inflamasi Sistem
Pernafasan. Jakarta:Salemba Medika.
Anggraeni, Dini Siti. 2011. STOP! Tuberkulosis. Jawa Barat : Cita Insan Madani.