Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS


(TBC)

OLEH :
Ni Komang Putri Swantari, S.Kep
15.901.1201

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
2015

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS
(TBC)

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A.
Pengertian TBC
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat
infeksi primer. Selain itu, TBC juga dapat menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang
dan selaput otak.
B.

Epidemiologi

Secara global, penyakit ini menyebar secara luas diseluruh dunia, termasuk Rusia, Cina,
India, Indonesia, Argentina, Bangladesh, Barbados, Bolivia, Belize, Brasil, Kamboja,
Costa Rica, Republik Dominika, El Salvador, Guatemala, Guyana, Honduras, India,
Jamaika, Laos, Malaysia, Meksiko, Mikronesia, Panama, Paraguay, Filipina, Puerto Riko,
Samoa, Singapura, Sri Langka, Suriname, Taiwan, Thailand, Trinidad dan Venezuela.
WHO memperkirakan bakteri penyebab TBC dapat membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap
tahunnya. Pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2020 diperkirakan sekitar 1 miliar
manusia akan terinfeksi TBC. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56
juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10% diantara infeksi berkembang menjadi penyakit, dan
40% diantara yang berkembang menjadi penyakit berakhir dengan kematian. Secara
global, penyakit ini menyebar secara luas diseluruh dunia, maka tidak berlebihan jika
penyakit tuberculosis dikatakan sebagai pemusnah massal.
Sedangkan untuk TBC di Indonesia :
a. 54,2% setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru
TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.
b. Di Indonesia, TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.
c. Indonesia telah berhasil mencapai angka keberhasilan pengobatan sesuai dengan
target global, yaitu 85% dan tetap dipertahankan dalam empat tahun terakhir.

d. Hampir seluruh propinsi di Indonesia memberikan kemajuan dalam pengobatan


penderita dan peningkatan. Target angka kesuksesan pengobatan telah dicapai
dan dipertahankan sejak tahun 2001.
e. Pada tahun 2010, peringkat TBC diIndonesia turun ke urutan 5 dunia setelah
hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia.
Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global ini disebabkan :
a. Kemiskinan pada berbagai penduduk
b. Meningkatnya penduduk dunia
c. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi
d. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit TB
e. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan

C.
Etiologi
Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu: mycobacterium tuberculosis
dengan ukuran panjang 1-4 UM dan tebal 1.3-0.6 UM termasuk golongan bakteri
aerobgram positif serta tahan asam atau basil tahan asam. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (basil
tahan asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dominan selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan
dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama
kontak yang erat TBC merupakan penyakit yang sangat infensius. Seorang
penyakit TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang disekitarnya. Menurut
perkiraan WHO, 1/3 penduduk saat ini telah terinfeksi mycrobacterium
tuberculosis.
D.
Patofisiologi
Penularan TBC terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersikan sehingga
penyebaran kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan darah). Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
ada/tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan kelembaban. Dalam suasana yang
gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari-hari bahakan berbulanbulan, bila partikel infeksi ini terisap oleh orang yang sehat akan menempel pada
alveoli kemudian partikel ini akan berkembang dan bisa sampai puncak apeks

paru sebelah kanan/kiri dan dapat pula keduanya berpindah dengan melewati
pembuluh limfe. Setelah itu, infeksi akan menyebar melalui sirmulasi, yang
pertama terangsang adalah: limfokinase yang dibentuk lebih banyak untuk
merangsang makrofag, berkurang tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah
makrofag. Karena fungsinya adalah membunuh kuman/basil, apabila proses ini
berhasil dan makrofag lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan
tubuh akan meningkat.
Tetapi apabila kekebalan tubuhnya menurun maka kuman tadi akan bersarang di
dalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel. Tuberkel lama-kelamaan
akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama tumbuh
permajuan di temapat tersebut. Apabila jaringan nerkosis dikeluarkan saat
penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk
darah (hemaptoe).
1. Tuberkulosis Primer
Tuberculosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup
dari udara melalui saluran pernapasan mencapai alveoli atau bagian
terminal saluran pernafasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan
oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri
ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak
dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari
proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit(makrofag)
dari aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan
bakteri,makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang
dihasilkan limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama.
Ada makrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri dan
perangsang limfosit. Beberapa makrofag menghasilkan protease, elastase,
kolagenase, serta colony stimulating factor untuk merangsang produksi
monosit dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar melalui
saluran pernapasan ke kelenjar getah bening regional (hilus) membentuk
epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai

akibat timbulnya hipersensitivitas seluler (delayed hepersensitivity)


terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat
pada tes tuberculin. Hipersensitivitas seluler terlihat sebagai akumulasi
local dari limfosit dan makrofag.
Bakteri TB yang berada dialveoli akan membentuk focus local (focus
Ghon), sedangkan focus inisial bersama-sama dengan limfadenopati
bertempat dihilus (kompleks primer Ranks) dan disebut juga TB primer.
Focus primer baru biasanya bersifat unilateral dengan subpleura terletak
diatas atau dibawah fisura interlobaris, atau dibagian basal dari lobus
inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau aliran
darah dan akan tersangkut pada berbagai organ. Jadi, TB primer
merupakan infeksi yang bersifat sistemis.
2. Tuberkulosis Sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB
masih hidup dalam keadaan dorman dijaringan parut. Sebanyak 90 %
diantaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB
pasca primer/ TB pasca sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun,
alkoholisme, keganasan, silikosis, diabetes mellitus dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan
organ lainnya juga terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi
imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan
yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan
menghasilkan lesi kaseosa ( perkijuan) yang luas dan disebut tuberkuloma.
Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan
pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dikatakan bahwa terbentuknya
kavitas dan manisfestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari
reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler.
TB paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber
eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah
terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada aderah apical atau
segmen posterior lobus superior (focus Simon), 10-20 mm dari pleura, dan
segmen apical lobus inferior. Hal ini mungkin disebabkan oleh kadar

oksigen yang tinggi didaerah ini sehingga menguntungkan untuk


pertumbuhan bakteri TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan paru
diakibatkan oleh produksi sitokin ( tumor necroting factor) yang
berlebihan. Kavitas yang terjadi diliputi oleh jaringan fibrotic yang tebal
dan berisi pembuluh darah pulmonal. Kavitas yang kronis diliputi oleh
jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas yang kronis
adalah

kolonisasi

mycetoma(Isa,2000).

jamur

seperti

aspergillus

yang

menumbuhkan

E.

Pathway
Invasi bakteri tuberculosis via inhalasi

Penyebaran bakteri secara


bronkogen, limfogen, dan
hematogen

Infeksi primer

Sembuh

Sembuh dengan focus


Ghon

Infeksi pasca-primer
(Reaktivasi)

Bakteri dorman

Sembuh dengan
fibrotik

Bakteri muncul beberapa tahun kemudian

Reaksi infekksi/inflamasi, membentuk kavitas dan


merusak parenkim paru

Edema trakeal/faringeal
Meningkatkan produksi srkret
Pecahnya pembuluh darah jalan nafas

Batuk produktif
Batuk darah
Sesak nafas
Penurunan kemampuan batuk efektif

Penuran jaringan efektif paru, atelektasis,


kerusakan membrane alveolar-kapiler
merusak pleulra, dan perubahan cairan
intrapleura

Komplikasi TB paru:
Efusi pleura
pneumothoraks

Reaksi sistemis: anoreksia,mual, demam,


penurunan berat badan,dan kelemahan

Intake nutrisi tidak adekuat


Tubuh makan kurus
Ketergantungan aktivitas sehari-hari
Kurang pemenuhan istirahat dan tidur
Kecemasan
Kurangnya informasi

Sesak napas, penggunan otot bantu


napas, dan pola napas tidak efektif
Ketidak efektifan bersihan
jalan napas
Risiko tinggi sufokasi
Pola napas tidak efektif
Gangguan pertukaran gas

Perubahan pemenuhan nutrisi kurang


dari kebutuhan
Gangguan pemenuhan ADL (activity
Daily Living)
Gangguan pemenuhan istirahat dan
tidur
Kecemasan
Kurang informasi

F.
Gejala Klinis
1. Gejala sistematik
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang
masuk.
b. Badan terasa lemah
c. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
2.

Gejala respiratorik
a. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Batuk biasanya terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif
dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk berdarah dapat
terjadi bila ada pembuluh darah yang robek.

b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
c. Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
G.

Klasifikasi Penyakit

Penentuan Klasifikasi dan tipe penderita Tuberculosis memerlukan suatu Definisi


Kasus yang memerlukan dan memberikan batasan baku dari setiap klasifikasi
dan tipe penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan
definisi kasus, yaitu:
1. Organ Tubuh yang sakit: Paru/Ekstra Paru (selain paru-paru).
2. Hasil pemeriksaan dahak secara Makroskopis langsung: BTA positf /BTA
negatif.
3. Riwayat pengobatan sebelumnya: Baru/sudah pernah diobati.
4. Tingkat keparahan penyakit: ringan, sedang atau berat.
TBC diklasifikisikan menjadi TBC paru-paru dan TBC ekstra paru-paru,adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. TBC paru-paru adalah TBC yang menyerang jaringan paru-paru. TBC paruparu dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. TBC paru-paru BTA positif (sangat menular)
1) Pada TBC paru-paru BTA positif penderita telah

melakukan

pemeriksaan sekurang-kurangnya 2 dari 3 kali pemeriksaan dahak dan


memberikan hasil yang positif.
2) Satu kali pemeriksaan dahak yang memberikan hasil yang positif dan
foto rontgent dada yang menunjukkan TBC aktif.
b. TBC paru-paru BTA negative
Penderita paru-paru BTA negative, yaitu apabila pada pemeriksaan dahak
dan foto rontgent menunjukkan TBC aktif, tetapi hasilnya meragukan
karena jumlah kuman (bakteri) yang ditemukan pada waktu pemeriksaan
belum memenuhi syarat positif.

2. TBC ekstra paru adalah TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paruparu, misal selaput paru, selaput otak, selaput janutng, kelenjar getah bening,
tulang, persendian kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Adapun klasifikasi TBC menurut The American Thoracic Society (1981)
adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi 0

: tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak

menderita TBC.
2. Klasifikasi I
: tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC.
3. Klasifikasi II
: terinfeksi TBC/test tuberculin (+), tetapi tidak
menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung, dan
bakteriologi negative).
4. Klasifikasi III
: sedang menderita TBC.
5. Klasifikasi IV : pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif.
6. Klasifikasi V
: dicurigai TBC
H.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik umum
per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(Breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system
pernapasan.

1. Keadaan Umum Tanda-tanda vital


Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai
secara umum temntang kesadaran klien yang terdiri atas CM, apatis, somnolen,
sopor,soporkoma, atau koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan
pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum sehingga dengan cepat dapat
menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila kesadaran klien
menurun yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan penilaian.

Hasil pemeriksaan TTV pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan


peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi nafas meningkat apabila
disertai sesak nafas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan
suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan
adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.
2. B1 (breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan focus yang
terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
a.

Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernafasan. Sekilas pandang klien dengan TB
paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proposi
diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proposi diameter
lateral. Apabila ada penyulit dari tb paru seperti adanya efusi pleura yang
massif, maka terlihat adanya ketidaksemetrisan rongga dada, pelebaran
intercosta space (ICS)pada sisi yang sakit. Tb paru yang disertai atelektasis
paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercosta speace(ICS) pada sisi
yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya
gerakan pernafasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian jika
terdapak komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada perenkim paru
biasanya klien akan terlihat mengalami sesak nafas , peningkatan frekuensi
nafas, dan menggunakan otot bantu nafas. Tanda lainnya adalah klien
dengan TB paru juga mengalami efusi pleura yang massif pneumothorak,
abses paru massif, dan hidopneumotorak. Tanda- tanda tersebut membuat
gerakan pernafasan menjadi tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah
pada sisi yang sakit pergerakan dadanya tertinggal.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan
produksi secret dan sekresi, sputum yang porulen. Periksa jumlah produksi
sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya bronkhiektasis yang

membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat


banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum perhari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi yang telah diberikan.
b.

Palpasi
Palpasi Trachea. Adanya pergerakan trakea menunjukan- meskipun- tetapi
tidak spesifik penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai
adanya efusi pleura massif dan pneumothorak akan mendorong posisi
trakea kearah berlawanan dari sisi sakit.
Gerakan dinding thorak anterior/ ekskrusi pernafasan. Tb paru tanpa
komplikasi pada saan dilakukan palapasi , gerakan dada saat bernafas
biasanya normal dan seimbang antara bagian kiri dan bagian kanan.
Adanya penurunan gerakan dinding pernafasan biasanya ditemukan pada
klien tb paru dengan kerusakan paenkim paru yang luas.
Getaran suara. Getaran yang terasa ketika perawat meletakan tangannya
didada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk
membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi
konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus. Adanya penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB
paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi pleura
massif , sehingga hantaran suara menurun karena transmisi getaran suara
harus melewati cairan yang berakumulasi dirongga pleura

c.

Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan
didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi efusi pleura akan didapatkan
bunyi redup samapai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumotorak maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothorak ventil yang
mendorong posisi paru kesisi yang sehat.

d. Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi nafas tambahan (ronkhi)
pada

sisi

yang

sakit

penting

bagi

perawat

memeriksa

untuk

mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana di dapatkan ronkhi.


Bunyi yang terdengar stetoskope ketika klien berbicara disebut sebagai
resonan vocal. Klien dengaqn Tb paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura dan pneumothorak akan di dapatkan penurunan resonan vocal
pada sisi yang sakit.
3.

B2 (blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

4.

a.
b.
c.

Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik


Palpasi: denyut nadi perifer melemah
Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan

d.

efusi pleura massif mendorobng kesisi sehat.


Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan

biasanya tidak didapatkan.


B3 (brain)
Kesadaran biasanya CM, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah
meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada
TB paru dengan hemotoe massif kronis, sclera pada TB paru dengan
gangguan fungsi hati.

5. B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh
karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut
merupakan tanda awal dari syok. Klienj diinformasikan agar terbiasa dengan
urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal
masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin.
6. B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan.

7. B6 (bone)
Aktivitas sehari- hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala
yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup
menetap, dan jadwal olahraga menjadi tak teratur.
I.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Tuberculin Skin Test
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutan 0.1 ml pada bagian
punggung/dorsal dari lengan bawah. Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan
dipakai karena hanya menunjukan ada tidaknya antibodi anti TBC pada seseorang,
sedangkan menurut penelitian 80% penduduk indonesia sudah pernah terpapar
antigen TBC, walaupun tidak bermanifestasi sehingga akan banyak memberikan
false positif.
2.
Pemeriksaan Radiologis
Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan dengan 1 kali pemeriksaan
rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rongen dada. Dengan rontgen, paling
mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar
paratrakeal. Gejala dari foto rontgen yang mencurigai TB adalah:
a.
Milier
b.
Atelektasis/kolaps konselidasi
c.
Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilas/paratrakeal
d.
Konsolidasi (lobus)
e.
Reaksi pleura/efusi pleura
f.
Klasifikasi
g.
Bronkiektasis
h.
Kavitas
Bila ada diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran rontgen, harus
dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (Posterior Anterior)
dan lateral, tapi kalau tidak mungkin PA saja.
3.

Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang


meragukan, tidak sensitif dan tidak juga spesifik. Pada saat TBC baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leokosit yang sedikit meninggi dengan hitungan
jenis pergeseran kekiri. Jumlah limfosit masi di bawah normal, laju endap darah
mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leokosit kembali normal

dan jumlah limfosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap
dan mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan
gambaran normakron dan normasiter, gama globulin meningkat dan kadar natrium
darah meningkat.
4.

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukan kuman BTA,


diagnosis TBC sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila ditemukan
3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
J.
Therapy/Tindakan Penanganan
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan khusus terlebih dahulu
berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi,
apusan sputum dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu
pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly
Observed Treatment Short Course (DOTSC).
DOTSC yang direkomendasikan WHO terdiri atas lima komponen :
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan
dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung,
sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis
dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana
tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dibawah pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua
bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas 2 kelompok :
1. Obat Primer

: INH (isoniazid), rifampisin, etambutol, streptomisin,

pirazinamid. Obat primer memperlihatkan efekstivitas yang tinggi dengan


toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian penderita masih dapat
disembuhkan dengan obat-obat ini. INH atau isoniazid secara in Vitro
bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid

(membunuh bakteri). Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting


untuk mengobati semua tipe TBC. Efek sampingya dapat menimbulkan
anemia sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah
darah seperti piridoksin(vitamin B6).
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin, dan kanamisin.
Meskipun demikian, pengobatan TBC paru-paru hampir selalu menggunakan 3
obat yaitu : INH, rifampisin, dan pirazinamid pada bulan pertama selama tidak
ada resistensi terhadap satu atau lebih obat TBC primer ini.
Bagi para penderita TBC, ada satu hal penting yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan dan dilakukan, yaitu keteraturan minum obat TBC sampai
dinyatakan sembuh. Biasanya waktu yang diperlukan oleh penderita TBC dalam
menjalani pengobatan sudah dinyatakan sembuh adalah selama 6-8 bulan. Apabila
hal ini tidak dilakukan (tidak teratur minum obat), maka akan terjadi beberapah
hal sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Kuman penyakit TBC kebal sehingga penyakitnya lebih sulit diobati


Kuman berkembang lebih banyak dan dapat menyerang organ lain.
Penderita akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh.
Biaya pengobatan akan semakin mahal
Masa produktif yang hilang akan semakin banyak, karena masa
pengobatan yang semakin panjang.

Jangka waktu pengobatan


Pada umumnya, pengobatan TBC akan selesai dalam jangka waktu 6 bulan.
Biasanya, 2 bulan pertama dilakukan pengobatan intensif setiap hari, kemudian
dilanjutkan dengan pengobatan yang dilakukan selama 3 kali dalam seminggu
selama 4 bulan (pengobatan tahap lanjutan). Pada kasus tertentu, penderita bisa
minum obat setiap hari selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan tiga kali seminggu
selama 4 bulan. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, penderita
menular akan menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Resistensi
Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC dilakukan
dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan
mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya

kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu
antara 6-9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obat selama
menjalani terapi.
Tempat pengobatan
1.
2.
3.
4.
K.

Puskesmas
Rumah Sakit
BPA (rumah sakit Paru)
Dokter umum atau dokter spesialis
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Medis
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tubercolosis paru menjadi tiga bagian,
yaitu pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita (active case finding).
Pencegahan tubercolosis paru
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tubercolosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi ter
tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thorak diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negative, diberikan BCG vaksinasi bila positif , berarti terjadi,
konversi hasil teks tuberkulindan diberikan kemoprofilaksis
2. Mass chest x-ray yaitu pemeriksaan masal terhadap kelompok- kelompok
populasi tertentu misalnya :
a. Karyawan rumah sakit / puskesmas/ balai pengobatan.
b. Penghuni rumah tahanan
c. Siswa- siswi pesantren
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgbb selama 6 sampai 12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang
masih sedikit indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang
menyusu pada ibu dengan BTA positif , sedangkan kemoprofilaksis sekunder
diperlukan bagi kelompok berikut:
a. Bayi di bawah 5 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko
timbulnya TB milier dan meningitis TB.
b. Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkolin positif
yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular

c. Individu yang menunjukan konfersi hasil tes tuberkolin dari negative


menjadi positif
d. Penderita
yang

menerima

pengobatan

steroid

atau

obat

imunosupresifjangka panjang.
e. Penderita DM
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tubercolosis
kepada masyarakat ditingkat puskesmas maupun ditingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM ( mis: Perkumpulan Pemberantasan
Tubercolosis Paru Indonesia- PPTI)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan Utama
Tuberculosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah klien gejala yang timbul tidak
jelas sehimgga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan
dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Keluhan respiratoris, meliputi:
a) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk
bersifat nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah.
b) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien TB paru selalu menjadi alasan utama klien
untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut klien
pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus menanyakan
seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak, berupa
garis, atau bercak-bercak darah.
c) Sesak napas

Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia dan
lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem pernafasan di pleura terkena TB.
2) Keluhan sistemis, meliputi:
a) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
b) Keluhan sistemik lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual
muncul dalam beberapa minggu-bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan
batuk, panas, dan sesak napas, walaupun jarang dapat juga timbul
menyerupai gejala pneumonia.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Dilakukan
pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya
Ya atau Tidak atau hanya dengan anggukan dan gelengan kepala. Apabila
keluhan utama adalah batuk, maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama
keluhan batuk muncul (onset). Pada klien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk
yang biasa ada dipasaran.
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk akan timbul
apabila proses penyakit telah melibatkan bronchus, batuk akan menjadi produktif

yang berguna untuk membuang produk ekskresi peradangan dengan sputum yang
bersifat mukoid atau purulen.
Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada keluhan lain seperti
demam, keringat malam, atau menggigil yang mirip dengan influenza karena
keluhan demam dan batuk merupakan gejala awal dari TB paru. Tanyakan batuk
disertai sputum yang kental atau tidak, serta apakah klien mampu untuk
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan secret yang menempel pada jalan
napas.
Apakah keluhan utama adalah batuk darah, maka perlu ditanyakan
kembali berapa banyak darah yang keluar. Saat melakukan anamnesis, perawat
perawat perlu meyakinkan pada klien tentang perbedaan anatara batuk darah dan
muntah darah, karena pada keadaan klinis, hal ini sering menjadi rancu.
Klien TB paru sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah
menimbulkan kecemasan pada diri klien karena batuk darah sering dianggap
sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi seperti ini
seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan pelayanan keperawatan yang
baik pada klien dengan memberi penjelasan tentang kondisi yang sedang terjadi
pada dirinya. Wilson-barnett dalam Nancy Roper (1996) mengatakan bahwa
adanya hubungan terapeutik dengan menjelaskan pada klien mengenai apa yang
akan terjadi pada dirinya dapat mengurangi kadar tingkat kecemasan.
Pada batuk darah, gejala permulaan biasanya rasa gatal pada tenggorokan
atau adanya keinginan batuk dan kemudian darah dibatukkan keluar. Darah
berwarna merah terang dan berbuih, dapat bercampur sputum dan bersifat alkali
(Harrison, 1999). Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan
ringannya batuk darah yang timbul bergantung pada besar kecilnya pembuluh
darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma
pada dinding kavitas, tapi juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa
bronkhus (Yunus,1992). Kebanyakan batuk darah pada TB paru terjadi pada
kavitas tetapi dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus. Batuk darah yang
dikeluarkan klien mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah dan gumpalangumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak.

Batuk darah jarang merupakan salah satu tanda permulaan penyakit


tuberculosis, karena batuk darah adalah tanda terjadinya ekskavasi dan ulserasi
dari pembuluh darah pada inding kavitas. Oleh karena itu, proses TB paru harus
cukup parah untuk dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi. Batuk darah
masih terjadi bila ada robekan dari aneurisma pada dinding kavitas atau ada
perdarahan yang berasal dari bronkhiektsis atau ulserasi trakeobronkhial. Batuk
darah jarang berhenti mendadak karena itu klien masih akan terus-menerus
mengeluarkan gumpalan-gumpalan darah yang berwarna coklat selama beberapa
hari.
Batuk darah merupakan suatu keadaan kegawatan paru yang memerlukan
tindakan segera dan intensif. Setiap batuk darah, terutama yang masih perlu
mendapat pengawasan yang ketat karena tidak dapat dipastikan apakah akan
segera berhenti atau berlanjut. Komplikasi batuk darah yang mengancam jiwa
adalah asfiksia pada saat itu terjadi sufokasi atau akumulasi bekuan darah yang
menutup jalan nafas. Komplikasi lain adalah kegagalan kardiosirkulasi akibat
kehilangan darah yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam setiap klien
batuk darah kecuali batuk darah dengan sedikit darah dalam sputum sebaiknya
dirawat untuk diobservasi dan dievaluasi lebih lanjut (Arif dan Nirwan, 1992).
Perdarahan pulmonal merupakan peristiwa menakutkan yang menyebabkan
kematian karena dapat terjadi asfiksia bila dalam waktu beberapa menit jalan
napas tidak dibersihkan dengan cara dibatukkan atau diisap.
Tabrani Rab (1998) mengemukakan bahwa semakain gugup klien untuk
mengeluarkan darah semakin besar kemungkinan terjadinya asfiksia/akumulasi
bekuan darah pada jalan napas. Kecemasan melihat darah pada saat batuk akan
menyebabkan klien menahan batuknya agar darah tidak banyak keluar. Keadaan
ini memungkinkan terjadinya akumulasi darah pada jalan napas dan dapat
menyebabkan kematian karena penyumbatan saluran pernapasan oleh bekuan
darah.
Kecemasan yang dialami klien karena hal tersebut merupakan respons
psikologis terhadap keadaan stress yang dialaminya karena adanya perasaan takut
yang membuat hati tidak tenang dan timbul rasa keraguan-raguan. Kecemasan

berat sampai panik yang terjadi pada klien merupakan risiko yang harus dihindari
karena memungkinkan terjadinya risiko aspirasi atau sufokasi (bekuan darah
yang tidak dapat dikeluarkan dengan batuk) yang berlanjut pada tersumbatnya
jalan napas, asfiksia, dan kematian (Alsagaff, 1995). Peran perawat sangat besar
dalam menurunkan kecemasan yang dialami klien dan memenuhi informasi yang
sesuai dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan klien tentang perawatan batuk
darah terutama pada klien dengan batuk darah masih diatas 600 cc.
Pada sebuah penelitian tentang hubungan perawatan batuk darah dan
penurunan tingkat kecemasan ditemukan adanya tingkat variasi kecemasan pada
klien dengan TB paru (batuk darah) dari tingkatan tidak mengalami kecemasan.,
kecemasan ringan, sampai kecemasan sedang. Kesimpulannya adalah terdapat
hubungan yang cukup kuat antara perawatan batuk darah dengan tingkat
kecemasan.
Hal ini secara teoritis dapat diterangkan dari adanya berbagai tindakan
keperawatan sebagai bentuk dukungan professional dan dukungan sosial yang
dapat memberikan pengaruh baik fisik maupun psikologis klien. Perawat yang
memberikan pelayanan keperawatn yang baik pada klien yang membuat klien
merasa lebih aman dan akhirnya tingkat kecemasanya menurun. Hubungan
terapeutik dilakukan dengan menjelaskan kepada klien tentang apa yang akan
terjadi pada dirinya dapat mengurangi tingkat kecemasannya. Perawatan batuk
darah yang komprehensif bertujuan agar klien dapat beradaptasi dengan
keadaannya dan mengurangi tingkat batuk darah, serta menghilangkan atau
menurunkan tingkat kecemasan (Mutaqqin, 2003).
Oleh karena itu, peran perawat dalam mengkaji keluhan batuk darah yang
komprehensif sangat mendukung tindakan perawatan selanjutnya. Hal ini
bertujuan untuk menurunkan kecemasan dan mengadaptasikan klien dengan
kondisi yang dialaminya.
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah
darah yang dikeluarkan:
a. Batuk darah massif. Darah yang dikeluarkan adalah lebih dari 600 cc/24
jam.

b. Batuk darah sedang. Darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.


c. Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan atau
menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara sesak napas yang disebabkan
oleh gangguan pada sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular.
Sesak napas yang disebabkan oleh TB paru, biasanya akan ditemukan
gejala jika tingkat kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal
yang menyertainya seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
Agar memudahkan perawat mengkaji keluhan sesak napas, maka dapat
dibedakan sesuai tingkat klasifikasi sesak. Pengkajian ringkas dengan
menggunakan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi
pengkajian.
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila istirahat?
Quality of pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien. Sifat keluhan (karakter), dalam hal ini perlu ditanyakan
kepada klien apa makasud dari keluhan-keluhannya. Apakah rasa sesakknya
seperti tercekik atau sudah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
Region: radiation, relief: dimana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
Harus ditunjukkan dengan cepat oleh klien.
Severity (Scale) of pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala sesak sesuai klasifikasi sesak napas dank lien menerangkan
seberapa jauh sesak napas memepengaruhi aktivitas sehari-harinya.
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari. Sifat mula timbulnya (onset), tentukan apakah
gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga. Tanyakan apakah
timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermiten). Tanyakan apa
yang sedang dilakukan klien pada waktu gejala timbul. Lama timbulnya (durasi),
tentukan kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset) misalnya tanyakan

kepada klien apa yang pertama kali dirasakan sebagai tidak biasa atau tidak
enak. Tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit yang sama
sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberculosis
dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat
TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa
lalu yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat
adanya efek samping obta. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan
berat nadan (BB) dalam 6 bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB
paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena obat OAT.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor
predisposisi penularan didalam rumah.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif,
dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien
tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi
klinis, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai
dengan keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman klien bertempat
tinggal. Hal ini penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka
yang bertempat tinggal dipemukiman padat dan kumuh karena populasi bakteri Tb
paru lebih mudah hidup ditempat yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan
sinar matahari yang kurang.

TB paru merupakan penyakit yang pasa umumnya menyerang masyarakat


miskin karena tidak sanggup meningkatkna daya tahan tubuh nonspesifik dan
mengonsumsi makanan kurang bergizi. Selai itu, juga karena ketidaksangguapn
membeli obat, ditambah lagi kemiskinan membuat individunya diharuskan
bekerja secara fisik sehingga mempersulit penyembuhan penyakitnya.
Klien TB paru kebnayakan berpendidikan rendah, akibatnya mereka sering
kali tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan kesehatan merupakan hal
yang pentimg. Pendidikan yang rendah sering kali menyebabakan seseorang tidak
dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai taraf hidup yang baik.
Padahal, taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan pada
umumnya dan dalam menghadapi infeksi pada khususnya.
f. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik umum
per sistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(Breathing), B2 (Blood), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh sistem
pernapasan.
a. Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai
secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis,
somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Seorang perawat perlu mempunyai
pengalaman dan pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum sehingga
dengan cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila
kesadaran klien menurun yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasannya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secra signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasannya
sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.
b. B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien Tb paru merupakan pemeriksaan focus yang terdiri
atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
1) Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru
biasanya tamapak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proposisi diameter
bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada
penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya
ketidaksemetrisan rongga dada, pelebaran intercostals space (ICS) pada sisi yang
sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space
(ICS) pada sisi yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya
gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika
terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya
klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas. Tanda lainnya adalah klien dengan TB paru juga
mengalami efusi pleura yang masif, pneumothoraks, abses paru masif, dan
hidropneumothoraks. Tanda-tanda tersebut membuat gerakan pernapasan menjadi
tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah pada sisi yang sakit pergerakan
dadanya tertinggal.
Batuk dan sputum. Saat melakuakan pengkajian batuk pada klien dengan klien TB
paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanaya bronkhiektasis
yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat
banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
2) Palpasi
Palpasi trachea. Adanya pergeseran trachea menunjukkan meskipun tetapi tidak
spesifik, penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai adanya efusi
pleura masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trachea kea rah
berlawanan dari sisi sakit.

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi


pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal dan
seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding
pernapasan biaannya pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang
luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat
dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus. Adanya
penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB paru biasanya ditemukan pada
klien yang disertai komplikasi efusi pleura masif, sehingga hantaran suara
menurun karena transmisi getarn suara harus melewati cairan yang berakumulasi
di rongga pleura.
3) Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasannya akan didapatkan
bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru
yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai
pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonor terutama
jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
4) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi
yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar
melalui stetoskop ketika klien berbicara disebut sebagai resonan vocal. Klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumothoraks
akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
c. B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

1) Inspeksi

: Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan

fisik.
2) Palpasi

: Denyut nadi perifer melemah

3) Perkusi

:Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan

efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat.


4) Auskultasi

: Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan

biasanya tidak didapatkan

d. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan
wajah meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB
paru dengan hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikterik pada TB paru dengan
gangguan fungsi hati.
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena
itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda
awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna
jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai
ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin.
f. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan.
g. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada kien dengan TB paru. Gejala yang
muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga menjadi tak teratur.
g. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks


Pada hasil pemeriksaan Rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu
lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan
fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan Rontgen menemukan
suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi
di lobus bawah dan biasanya berada disekitar hilus. Karakteristik kelainan ini
terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan
batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar kurang jelas ini sering
diduga sebagai pneumonia atau suatu proses eksudatif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras, sebagaimana gambaran dari penyakit fibrotic
kronis. Tidak jarang kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas maupun
bawah, memanjang didaerah klavikula atau satu bagian lengan atas, dan
selanjutnya tidak mendapat perhatian kecuali dilakukan pemeriksaan Rontgen
yang lebih teliti.
Klien dengan kelainan ini sering kali dapat tidak terdeteksi hingga
mencapai stadium lanjut, sehingga tidak jarang baru ditemukan kelainan yang
sudah lanjut dengan gambaran kavitas dan penyebaran bronkhogenik ke paru lain
maupun lobus bawah pada paru yang sama. Pada klien lainnya, foto polos thoraks
menampakkan konsolidasi yang luas pada daerah segmental maupun lobus paru
yang menunjukkan adanya pneumonia TB.
Pemeriksaan Rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri
tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari
klien. Penyembuhan yang lengkap sering kali terjadi di beberapa area dan ini
adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini
tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relative di mana
prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
Pada klien dengan kelainan progresif yang menyebabkan nekrosis,
penyembuhan yang lengkap tidak mungkin terjadi. Pada klien ini, terjadi fibrosis
yang disertai kontraksi dari jaringan parut. Selain itu, terjadi pula penyusutan
volume lobus yang terlibat atau segmen dan hal ini kadang menurunkan ukuran

hemithoraks. Struktur mediastinal retraksi pada bagian yang terlibat, termasuk di


dalamnya hilum tertarik ke lobus atas yang sakit dan kadang hemidiafragma
ditingkatkan. Lesi yang berisi jaringan granulasi sama baik dengan lesi kaseosa
dan sering kali ditemukan sedikit nodul yang memperlihatkan pengurangan
ukuran secara bertahap. Nodul yang individual dapat lebih jelas didefinisikan
melalui pemeriksaan rontgen. Demikian pula penyebab fibrosis dan kontraksi.
Tipe lesi ini sering kali menjadi tempat pengendapan kalsium dan pada beberapa
contoh menjadi klasifikasi yang padat seiring perjalanan penyakit. Banyak dari
lesi daerah sentral dengan nekrosis dapat ditemukan organism yang dapat hidup
setelah periode tidak aktif (Lutfi, 2001. )
b. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotic
ireguler,

pita

parenkilam,

klasifikasi

nodul

dan

adenopati,

perubahan

kelengkungan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat


hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu
dihubungkan dengan kultur sputum yang negative dan pemeriksaan secara serial
setiap saat.
Gambaran adanya kavitas sering ditemukan pada klien dengan TB paru
dan sering tampak pada gambaran Rontgen karena kavitas tersebut membentuk
lingkaran yang nyata atau bentuk oval radiolicent dengan dinding yang cukup
tipis. Jika penampakan kavitas kurang jelas, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan
untuk memastikan atau menyingkirkan adanya gambaran kavitas tersebut.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan
kavitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
c. Radiologis TB paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru militer akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB
milier akut diikuti oleh invansi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT.

Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat disebabkan oleh penyebaran
dari TB primer dan mengakibatkan manifestasi klinis yang berat. Keadaan ini
biasa terjadi pada bayi-bayi dengan gizi buruk atau penyakit kronis yang
biasannya sangant rentan. Pada sebagian besar anak-anak, jumlah bakteri hanya
sedikit dalam tubuhnay (hospes), namun cukup resisten untuk mencegah
penyebaran milier sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis.
Pada orang dewasa, khususnya orang tua, angka kejadian penyakit ini
cukup tinggi dan sulit sekali diidentifikasi. Hasil pemeriksaan Rontgen thoraks
bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat
pada Rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat
sebagai nodul-nodul sangat kecil yang menyebar secara difus dikedua lapangan
paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak
terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
Pada klien lain, nodul-nodul tersebut dapat berupa garis tebal yang tidak
begitu tajam dengan daerah-daerah yang kabur di sekitarnya. Pada bebrapa klien
TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil rontgen thoraks, tetapi pada
beberapa kasus, bentuk milier klasik berkembang seiring perjalanan penyakitnya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit tuberculosis diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium
antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat kolonii, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap
OAT dan kemoterapeutik, perbedaaan kepekaan trhadap binatang percobaan
kepekaan kulit terhadat berbagai jenis antigen Mycobakterium. Bahan
pemeriksaan untuk isolasi Mycobakterium tuberculosis berupa:
1.

Sputum klien. Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama
keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan selama 24 jam.

2. Urine. Urine yang diambil adalah urine yang oertama di pagi hari atau
urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan
kateter maka urine yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil.

3. Cairan kumbah lambung. Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika


anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan sputum. Bahan
pemeriksaan diambil pagi hari sebelum sarapan.
4. Bahan-bahan lain. Misalnya pus, cairan serebrospinal (sumsum tulang
belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab tenggorok.
Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara mikroskopis dengan membuat sediaan
dan diwarnai dengan pewarnaan tahan asam serta diperiksa dengan lensa
rendam minyak. Hasil pemeriksaan mikroskopik dilaporkan sebagai berikut:

Bila setelah pemeriksaan teliti selama 10 menit tidak ditemukan


bakteri-bakteri tahan asam, maka diberikan label (penanda): Bakteri
tahan asam negative atau BTA (-).

Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh sediaan,
maka jumlah yang ditemukan harus disebut, dan sebaiknya dibuat
sediaan ulangan.

Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka harus diberi label:


Bakteri tahan asam positif atau BTA (+)

Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang


sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED
biasanya disebkan peningkatan immunoglobulin terutama IgG dam IgA (Loman,
2001).
2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi
mucus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema
tracheal/faringeal.
b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungaan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga
pleura.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler, dan edema bronkhial.

d. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
e. Ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari (ADL) yang
berhubungan dengan keletihan (keadaan fisik lemah).
f. Risiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang resiko patogen.
g. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit
yang belum jelas.
h. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan yang
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan dirumah.
3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi
mucus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema
tracheal/faringeal.
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan intervensi kebersihan jalan nafas
kembali efektif.
kriteria evaluasi :
-

Klien mampu melakukan batuk efektif


Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu

nafas. Bunyi napas normal dan pergerakan nafas normal.


Intervensi
Rasional
Mandiri
kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, Penurunan bunyi nafas menunjukkan
kecepatan,

irama,

kedalaman,

penggunaan otot bantu nafas)

dan atelektasis,

ronkhi

menunjukkan

akumulasi secret dan ketidakefektifan


pengeluaran sekresi yang selanjutnya
dapat menimbulkan penggunaan otot
bantu napas dan peningkatan kerja

pernapasan
Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, Pengeluaran akan sulit bila secret
catat karakter, volume sputum dan sangat kental (efek infeksi dan hidrasi

adanya hemoptisis.

yang tidak adekuat). Sputum berdarah


bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau
luka

Befrikan

posisi

brokhial

dan

memerlukan

intervensi lebih lanjut


fowler/semifowler Posisi fowler memaksimalkan ekspansi

tinggi dan bantu klien berlatih napas paru dan menurunkan upaya nafas.
dalam dan batuk efektif

Ventilasi

maksimal

membuka

area

atelektasis dan meningkatkan gerakan


secret ke jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
Pertahankan intake cairan sedikitnya Hidrasi yang
2500

ml/hari

kecuali

adekuat

membantu

tidak mengencerkan secret dan mengektifkan

diindikasikan.
pembersihan jalan nafas
Bersihkan secret dari mulut dan trachea, Mencegah obstruksi dan
bila

perlu

(suction).
Kolaborasi
OAT

lakukan

aspirasi.

penghisapan Pengisapan diperlukan bila klien tidak


mampu mengeluarkan secret.
Pengobatan

tuberculosis

terbagi

menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).
Paduan obat yang digunakan terdiri atas
obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan sesuai
dengan

rekomendasi

rifampisin,
Agen Mukolitik

INH,

WHO

adalah

Pirazinamid,

Streptomisin, dan Etambutol.


Agen
mukolitik
menurunkan
kekentalan dan perlengketan secret

Bronkodilator

paru untuk memudahkan pembersihan


Bronkodilator meningkatkan diameter
lumen

percabangan

trakeobronkhial

sehingga menurunkan tahanan terhadap


aliran udara.

Kortikosteroid

Kortikosteroid

berguna

dengan

keterlibatan luas pada hipoksemia dan


bila

reaksi

inflamasi

mengancam

kehidupan.
2. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali
efektif.
Kriteria evaluasi :
- Klien mampu melakukan batuk efektif
- Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan berada pada batas normal,
pada pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan
dan bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi
Identifikasi factor penyebab

Dengan

Rasional
mengidentifikasi

factor

penyebab, kita dapat menentukan jenis


efusi pleura sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
Kaji fungsi pernafasan, catat kecepatan Distress pernafasan dan perubahan
pernafasan,

dispnea,

perubahan tanda vital

sianosis

dan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat


stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syok akibat

hipoksia.
Berikan posisi fowler/semifowler tinggi Posisi fowler memaksimalkan ekspansi
dan miring pada sisi yang sakit, bantu paru dan menurunkan upaya nafas.
klien latihan napas dalam dan batuk Ventilasi
efektif

maksimal

membuka

area

atelektasis dan meningkatkan gerakan


secret ke jalan nafas besar untuk

Auskultasi bunyi nafas

dikeluarkan
Bunyi nafas dapat menurun/tak ada
pada area kolaps yang meliputi satu
lobus, segmen paru atau seluruh area
paru (unilateral).

Kaji pengembangan dada dan posisi Ekspansi menurun pada area kolaps.
trachea

Deviasi trachea ke arah sisi yang sehat

Kolaborasi

pada tension pneumothoraks


tindakan Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau

untuk

thorakosentesis atau kalu perlu WSD


Bila

dipasang

pengontrol

WSD

penghisap

:
dan

isapan yang benar


Periksa batas cairan

udara dan memudahkan ekspansi paru

secara maksimal
periksa Mempertahankan
jumlah intrapleural

pada

tekanan

yang

negative

meningkatkan

ekspansi paru optimum


botol Air dalam botol penampung berfungsi

penghisap dan pertahankan pada batas sebagai sekat yang mencegah udara
yang ditentukan
atmosfer masuk ke dalam pleura
Observasi gelembung udara dalam Gelembung udara selama ekspirasi
botol penampung

menunjukkan keluarmya udara dari


pleura sesuai dengan yang diharapkan.
Gelembung biasanya menurun seiring
dengan bertambahnya ekspansi paru.
Tidak adanya gelembung udara dapat
menunjukkan bahwa ekspansi paru
sudah optimal atau tersumbatnya selang

drainase
Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang Deteksi dini
masuk

dengan

observasi

tanda

menunjukkan

kassa

steril

yang

dan penting

terjadinya
seperti

komplikasi
berulangnya

dapat pneumothoraks

berulangnya

pneumothoraks seperti napas pendek,


keluhan nyeri
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolarkapiler, dan edema bronkhial
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan intervensi, gangguan pertukaran
gas tidak terjadi

Kriteria evaluasi :
- Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea
- Klien menunjukkan tidak ada gejala distress pernafasan
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentang normal
Intervensi
Rasional
Mandiri
Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, TB paru mengakibatkan efek luas pada
peningkatan

upaya

pernapasan, paru dari bagian kecil bronkopneumonia

ekspansi thoraks, dan kelemahan

sampai

inflamasi

difus

yang

luas,

nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang


luas.

Efeknya

terhadap

pernafasan

bervariasi dari gejala ringan, dispnea


berat, sampai distress pernapasan
Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, Akumulasi secret berkurangnya jaringan
catat sianosis, dan perubahan warna paru yang sehat dapat mengganggu
kulit, termasuk membrane mukosa dan oksigenasi organ vital dan jaringan
kuku.
tubuh
Tunjukkan dan dukung pernapasan Membuat tahanan melawan udara luar
bibir

selama

untuk

klien

ekspirasi
dengan

khususnya untuk mencegah kolaps/ penyempitan

fibrosis

kerusakan parenkim paru


Tingkatkan
aktivitas
perawatan

tirah
dan
diri

kebutuhan klien
Kolaborasi
Pemeriksaan AGD

napas

sehingga

membantu

menyebarkan udara melalui paru dan

baring,
bantu

dan jalan

mengurangi napas pendek


batasi Menurunkan konsumsi oksigen selama

kebutuhan periode penurunan pernapasan dan dapat

sehari-hari

sesuai menurunkan beratnya gejala

Penurunan kadar O2 (PO2) dan/atau


saturasi

dan

menunjukkan

peningkatan

PCO2

kebutuhan

untuk

intervensi/perubahan program terapi.


Pemberian oksigen sesuai kebutuhan Terapi oksigen dapat mengoreksi
tambahan

hipoksemia
penurunan

yang

terjadi

akibat

ventilasi/menurunnya

permukaan alveolar paru.


Kortikosteroid
berguna

Kortikosteroid

dengan

keterlibatan luas pada hipoksemia dan


bila

reaksi

inflamasi

mengancam

kehidupan.
4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan keletihan, anoreksia, atau dispnea, dan peningkatan metabolisme
Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan, intake
klien terpenuhi
Kriteria evaluasi ;
- Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang
-

menjadi adekuat
Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Intervensi

Rasional

Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, Memvalidasi dan menetapkan derajat
berat badan, derajat penurunan berat masalah untuk menetapkan pilihan
badan,

integritas

kemampuan

mukosa

menelan,

oral, intervensi yang tepat


riwayat

mual/muntah, diare
Fasilitasi klien untuk memperoleh diet Memperhitungkan keinginan individu
biasa

yang

disukai

klien

(sesuai dapat memperbaiki intake gizi

indikasi)
Pantau intake dan output, timbang berat Berguna dalam mengukur keefektifan
badan secara periodic (sekali seminggu)

intake gizi dan dukungan cairan

Lakukan dan ajarkan perawatan mulut Menurunkan rasa tak enak karena sisa
sebelum dan sesudah makan serta makanan, sisa sputum, atau obat pada
sebelum

dan

intervensi/pemeriksaan per oral

sesudah pengobatan system pernapasan yang


dapat merangsang pusat muntah

Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan Memaksimalkan intake nutrisi tanpa


dalam porsi kecil tapi sering

kelelahan dan energy besar serta

menurunkan iritasi saluran cerna


Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Merencanakan diet dengan kandungan
menetapkan komposisi dan jenis diet gizi yang cukup untuk memenuhi
yang tepat

peningkatan kebutuhan energi dan


kalori

sehubungan

dengan

status

hipermetabolik klien
Kolaborasi

untuk

pemeriksaan Menilai kemajuan terapi diet dan

laboratorium khususnya BUN, protein membantu


serum, dan albumin
Kolaborasi

perencanaan

intervensi

selanjutnya

untuk

pemberian Multivitamin

multivitamin

bertujuan

untuk

memenuhi kebutuhan vitamin yang


tinggi sekunder dengan peningkatan
laju metabolisme umum.

5.

Ketidakmampuan

melakukan

aktifitas

sehari-hari

(ADL)

yang

berhubungan dengan keletihan (keadaan fisik lemah).


Tujuan : dalam waktu x24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan, klien
menunjukkan atau melaporkan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
adanya atau berkurangnya keletihan
Kriteria evaluasi :
- Laporan verbal berkurangnya keletihan yang dirasakan
- Klien menunjukkan kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari
Intervensi
Evaluasi

Rasional
respons

klien

aktivitas,

terhadap Menetapkan

peningkatan pasien

dan

kemampuan/kebutuhan
memudahkan

pilihan

kelemahan/kelelahan dan perubahan intervensi


tanda

vital

selama

dan

setelah

aktivitas
Berikan

lingkungan

tenang

dan Menurunkan

stress

dan

rangsangan

batasi pengunjung selama fase akut berlebihan, meningkatkan istirahat


sesuai indikasi. Dorong penggunaan

manajemen stress dan pengalihan


yang tepat.
Jelaskan pentingnya istirahat dalam Pembatasan aktivitas ditentukan dengan
rencana pengobatan dan perlunya respons individual klien terhadap aktivitas
keseimbangan aktivitas dan istirahat
Bantu pasien memilih posisi nyaman Pasien mungkin nyaman dengan kepala
untuk istirahat dan/atau tidur

tinggi, tidur dikursi atau menunduk ke


depan meja/bantal

Bantu aktivitas perawatan diri yang Meminimalkan kelelahan


diperlukan.

Berikan

kemajuan

peningkatan aktivitas selama fase


penyembuhan.

8. Risiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan


kurangnya pengetahuan tentang resiko pathogen.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan dalam waktu x24 jam, klien
mampu memahami tentang resiko pathogen dan mencapai waktu perbaikan
infeksi berulang tanpa komplikasi
Kriteria hasil :
- Klien menunjukkan adanya
-

perubahan terhadap bagaimana cara

pengeluaran dan penjagaan sputumnya


Klien menunjukkan tidak adanya infeksi sekunder
Intervensi

Anjurkan

klien

Rasional

memperhatikan Meskipun

klien

dapat

menemukan

pengeluaran secret dan melaporkan pengeluaran dan upaya membatasi atau


perubahan warna, jumlah dan bau menghindarinya, penting bahwa sputum
secret

harus dikeluarkan dengan cara aman.


Perubahan
menunjukkan

karakteristik

sputum

perubahan

perbaikan

ataupun mengalami infeksi sekunder


Tunjukkan atau dorong cuci tangan Efektif

berarti

menurunkan

efektif

penyebaran/tambahan infeksi

Batasi pengunjung sesuai indikasi

Menurunkan

pemajanan

terhadapa

pathogen infeksi lain


Lakukan isolasi pencegahan sesuai Teknik isolasi mungkin diperlukan untuk
individual

mencegah penyebaran /melindungi pasien


dari proses infeksi lain.

6. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang


dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit
yang belum jelas
Tujuan : setelahg diberikan tindakan keperawatan dalam waktu x24 jam klien
mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan
Kriteria evaluasi :
- Klien terlihat mampu bernapas secara normal dan mapu beradaptasi
-

dengan keadaannya.
Respons nonverbal klien tampak lebih rileks dan santai
Intervensi

Rasional

Bantu dalam mengidentifikasi sumber Pemanfaatan sumber koping yang ada


toping yang ada

secara konstruktif sangat bermanfaat


dalam mengatasi stress

Ajarkan tehnik relaksasi

Mengurangi

ketegangan

otot

dan

kecemasan
Pertahankan hubungan saling percaya Hubungan saling percaya membantu
antara perawat dan klien
Kaji

factor

yang

timbulnya rasa cemas

memperlancar proses terapeutik


menyebabkan Tindakan yang tepat diperlukan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi klien
dan membantu kepercayaan dalam
mengurangi kecemasan

Bantu klien mengenali dan mengakui Rasa cemas merupakan efek emosi
rasa cemasnya

sehingga apabila sudah teridentifikasi


dengan baik, maka perasaan yang

mengganggu dapat diketahui

7. kurang informasi dan pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan,


proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan dalam waktu x24 jam klien
mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan
Kriteria evaluasi :
- Klien terlihat mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang
ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien
Intervensi

Rasional

Kaji kemampuan klien untuk mengikuti Keberhasilan


pembelajaran

(tingkat

kecemasan, dipengaruhi

kelelahan umum, pengetahuan klien emosional,


sebelumnya dan suasana yang tepat)

proses
oleh
dan

pembelajaran

kesiapan

fisik,

lingkungan

yang

kondusif

Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi Meningkatkan partisipasi klien dalam


pemberian, kerja yang diharapkan dan program pengobatan dan mencegah
alas

an

mengapa

pengobatan

TB putus obat karena membaiknya kondisi

berlangsung dalam waktu lama

pasien sesuai jadwal terapi selesai

Ajarkan dan nilai kemampuan klien Dapat menunjukkan pengaktifan ulang


untuk mengidentifikasi gejala/ tanda proses penyakit dan efek obat yang
reaktivasi

penyakit

(hemomptisis, memerlukan evaluasi lanjut

demam, nyeri dada, kesulitan bernapas,


kehilangan pendengaran dan vertigo).
Tekankan pentingnya mempertahankan Diet TKTP dan cairan yang adekuat
intake nutrisi yang mengandung protein memenuhi

peningkatan

kebutuhan

dan kalori yang tinggi serta intake metabolic tubuh. Pendidikan kesehatan
cairan yang cukup setiap hari.

tentang hal itu akan meningkatkan


kemandirian klien dalam perawatan
penyakitnya.

4. Evaluasi

a. Kebersihan jalan napas klien kembali efektif


1) Klien mampu melakukan batuk efektif.
2) Pernapasan klien normal (16-20x/menit) tanpa ada penggunaan otot
bantu napas. Bunyi napas normal dan pergerakan napas normal.
b. Pola napas klien kembali efektif.
1) Klien mampu melakukan batuk efektif.
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas normal,
pada pemeriksaan Rontgen dada tidak ditemukan adanya akumulasi
cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.
c. Gangguan pertukaran gas tidak terjadi.
1) Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.
2) Klien menunjukkan tidak ada gejala distress pernapasan.
3) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentang normal.
d. Intake nutrisi klien terpenuhi.
1) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang
menjadi adekuat.
2) Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
e. klien menunjukkan atau melaporkan kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari tanpa adanya atau berkurangnya keletihan.
1) Laporan verbal berkurangnya keletihan yang dirasakan.
2) Klien menunjukkan kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari.
f. klien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
1) Klien terlihat mampu bernapas secara normal dan mapu beradaptasi
dengan keadaannya.
2) Respons nonverbal klien tampak lebih rileks dan santai.
g. klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
1) Klien terlihat mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang
ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien.
h. klien mampu memahami tentang resiko pathogen dan mencapai waktu
perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
1) Klien menunjukkan adanya perubahan terhadap bagaimana cara
pengeluaran dan penjagaan sputumnya.
2) Klien menunjukkan tidak adanya infeksi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Vol I . Jakarta:EGC
Prince A. Silvia. 1995. pathofisiologi. Edisi 4. jakarta:EGC
Doenges E. Marylin dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Pearce C. Evelyn .1990. anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta:EGC.
Zulkifli Amin, Asril bahar. 2006. tuberculosis paru, buku ajar penyakit dalam.
Jakarta: UI. Http://www. Medicastore.com/tbc/penyakit-tbc.htm.
Muttaqin,Arif. 2008. Askep Klien dengan Infeksi dan Inflamasi Sistem
Pernafasan. Jakarta:Salemba Medika.
Anggraeni, Dini Siti. 2011. STOP! Tuberkulosis. Jawa Barat : Cita Insan Madani.

Anda mungkin juga menyukai