TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
II. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4μm dan tebal 0,3-0,6μm. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah
1. Mycobacterium tuberculosis
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. Mycobacterium bovis
M. tuberculosis
High-Risk Groups for Tuberculosis Infection and Disease From Cherry JD et al:
Feigin and Cherry's textbook of infectious diseases , ed 8, Philadelphia, 2019,
Elsevier.
V. Patogenesis
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasih sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat samasekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelejar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberculosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis tersebut yang dikenal epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis
milier, meningitis tuberculosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
anak ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan:
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma)
atau
- Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberculosis primer.
B. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Localized tuberculosis, tuberculosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberculosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apical
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil.
Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan denga
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pnemoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pnemoni baru. Sarang pnemoni ini
akan menjadi pola perjalanan seperti yag disebutkan di atas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh tetap mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).
VI. Klasifikasi Tuberkulosis
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB.
Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada
TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis.
d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.
o Uji tuberkulin.
VIII. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjunctiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan
suatu kelainanpun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih
dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adanya infiltrate yang agak
luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan
didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila
infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah.
Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hypersonor atau
tympani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan febris yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot intercostals. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi
pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Disini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dan gagal jantung kanan seperti
takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-
Steel, bunyi P-2 yang mengeras tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali,
asites dan edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Pernafasan memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberculin yang positif.
2. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat
untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan
sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi
TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%,
dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin
besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi
primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Pemeriksaan
standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas
indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Penegakkan Diagnosis
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2:
1) Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif.
2) Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB
dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi.
Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto
rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru
kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA
positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari)
dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Komplikasi
Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium
lanjut:
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. , sehingga terjadi ketidak mampuan
menampung atau menyimpan oksigen dari lobus.
3) Bronkiectasis dan fibrosis pada Paru. Bronkiectasis adalah endapan nanah ada
bronkus setempat karena terdapat infeksi pada bronkus. Penyebabnya yaitu
kerusakan yang berulang pada dinding bronchial dan keadaan abnormal dari
jaringan penghasil mucus mengakibatkan rusaknya jaringan pendukung menuju
saluran nafas. Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat pada roses pemulihan
atau penyembuhan.
4) Efusi Pleura adalah adanya cairan abnormal dalam rongga pleura yang disebabkan
oleh tekanan yang tidak seimbang pada kapiler yang utuh dan menyebabkan
kapasitas paru-paru tidak berkembang.
5) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.
6) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
7) Insufisiensi Kardio Pulmoner atau penurunan fungsi jantung dan paru-paru sehingga
kadar oksigen dalam darah rendah.
X. Penatalaksanaan
Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak,
terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA
positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka
dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai
pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi
2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Catatan: Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya.
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket
untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Dosis KDT untuk Sisipan
Farmakologi obat
• Isoniazid (INH). INH adalah obat antiTBC yang paling efektif saat
ini , bersifat bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan
bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura,
cairan ascites, jaringan kaseosa, dan angka timbulnya reaksi simpang
sangat rendah 2. Dosis harian yang biasa diberikan 5-15 mg/kg/ hari
maksimal 300 mg./hari, diberikan satu kali pemberian. INH yang
tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam
bentuk sirup 100mg/ 5 ml 2. INH mempunyai dua efek toksik utama
hepatotoksik, neuritis perifer, jarang terjadi pada anak tetapi
frekuensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Hepatotoksik yang bermakna secara klinik jarang terjadi. Hepatotoksik
akan meningkat apabila INH diberikan bersama rifampisin dan
PZA.Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi kompetitif akibat
metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan INH, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak
diperlukan piridoksin tambahan.Namun pada remaja dengan diet yang
tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang,
malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI memerlukan piridoksiin
tambahan.Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering terjadi adalah
mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan
satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 gram INH.
• Rifampisin Merupakan antibiotika spektrum luas yang dipakai untuk
berbagai infeksi pada anak-anak. Obat ini bersifat bakteriosid pada
intrasel dan ekstrasel , dapat memasuki semua jaringan , dapat
membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH2.
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong
dan kadar puncak serum tercapai pada 2 jam. Makanan menghambat
bioavaibility rifampisin kira-kira 30%7. Diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kg BB/ hari (buck, 2004), dosis maksimal 600
mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan
bersama INH dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/ hari dan
dosis INH 10mg/kgBB/hari. Didistribusikan secara luas kedalam
jaringan tubuh termasuk cairan serebrospinal2. Ekskresi melalui
traktus biliaris. Efek yang kurang menyenangkan pada pasien adalah
perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata menjadi
oranye kemerahan. Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri
kepala, mengantuk, fatigue, rasa gatal dikulit (dengan atau tanpa rash),
gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), anoreksia, diare,
hiperbilirubinemia, dan hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang
biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang
asimtomatik. Dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin,
digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin.
Tersedia dalam bentuk sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg.
• Pirazinamid. Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh
termasuk sistem saraf pusat, cairan serebrospinal, bakterisid hanya
pada intrasel pada suasana asam , direbsopsi baik pada saluran
pencernaan.Diberikan secara oral dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari2.Kadar serum puncak 45 ug/ml
dalam waktu 2 jam.Aman pada anak. Tersedia dalam bentuk tablet 500
mg.
• Etambutol. Jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada
mata. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman
dapat dicegah resistensi terhadap obat-obat lain.Tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Dosisnya 15-
20 mg/kgBB/hari, maksimum 1,25 mg/hari dengan dosis tunggal.
Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam. Tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis perifer dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat
laporan toksisitas optik pada anak-anak. Namun obat ini tidak
digunakan secara luas karena pada anak kecil tidak dapat dilakukan
pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman penglihatan. Etambutol
sebaiknya jangan diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan
pemeriksaan penglihatan. Namun dapat digunakan pada anak dengan
TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat lainnya
tidak tersisa atau tidak dapat digunakan.
• Streptomisin. Bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman
ektraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif
membunuh kuman ekstraseluler. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan TBC , tetapi penggunaannya penting
dalam pengobatan TBC yang resesten obat . Dapat diberikan secara
intramuskular 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram /hari. Kadar
puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam. Sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak
yang tidak meradang.Berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura
dieksresi melalui ginjal2. Toksisitas utama pada nervus kranial VIII
yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga
berdenging dan pusing. Dapat menembus plasenta sehingga
kontraindikasi pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak
saraf pendengaran janin.
c) INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati
perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990).
*Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan
kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan
kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk. Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
• Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan,
ikhterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes,
2003), serta bersifat hepatotoksik atau meracuni hati (Soeparman, 1990)
Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan terapeutik TB Paru meliputi
nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan. Menurut
Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum
BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita
batuk darah masif atau berulang.
Vaksinasi BCG. Daya proteksinya hanya sebagian saja pada anak-anak selama ini.
Tetapi BCG tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap
tuberculosis berat dan tuberculosis ekstra paru lainnya.
Kemoprofilaksis. Kemoprofilaksis terhadap tuberculosis merupakan masalah
tersendiri dalam peanggulangan tuberculosis paru di samping diagnosis yang cepat
dan pengobatan yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya
murah dan efek sampingnya sedikit. Setelah itu pilihan keduannya ialah Rimfapisin.
Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita
TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer. Anak yang kontak erat dengan penderita
TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi
profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber
penularan TB aktif sudah tidak ada.
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder. Anak dengan infeksi TBC yaitu uji
tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama
6-9 bulan.