Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
II. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4μm dan tebal 0,3-0,6μm. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah
1. Mycobacterium tuberculosis
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. Mycobacterium bovis

M. tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit


melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –
0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap
upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alcohol, sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. Di
dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen di bagian apikal paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis.

III. Epidemiologi global


Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global disebabkan
oleh :
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju,
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup,
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang
rentan terutama di negara-negara miskin,
4. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan pengawasan
kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat,
5. Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
Cina dan India.
6. Predominant sex “no specific predilection” hal ini berkaitan dengan kasus HIV.
Menurut jenis kelamin penderita TB Paru pada pria selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Data Profil Kesehatan 2005 menyatakan bahwa di
Indonesia jumlah TB Paru BTA positif pada laki-laki lebih tinggi 58,70% (93.114
kasus) dari wanita 41,30% (65.526 kasus). Hal ini di karenakan laki-laki lebih
banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok
7. Predominant age 24-45 tahun

High-Risk Groups for Tuberculosis Infection and Disease From Cherry JD et al:
Feigin and Cherry's textbook of infectious diseases , ed 8, Philadelphia, 2019,
Elsevier.

Groups at High Risk for Exposure or Infection


 Close contacts of persons with tuberculosis
 Foreign-born persons from high-risk regions (Asia, Africa, Latin America,
Russia, eastern Europe)
 Residents and employees of high-risk congregate settings (correctional
institutions, nursing homes, homeless shelters, hospitals serving high-risk
populations, drug treatment centers)
 Medically underserved, low-income populations
 High-risk racial or ethnic minority populations
 Injectable drug users
 Children exposed to adults in high-risk categories

Groups at Higher Risk for Disease Once Infected


 Immunosuppressed patients, including those with HIV
 Patients with recent tuberculosis infection (within past 2 years)
 Persons with certain medical conditions (diabetes mellitus, silicosis, cancer,
end-stage renal disease, gastrectomy, body weight ≤90% of ideal)
 Injectable drug users
 History of inadequately treated tuberculosis
 Children age ≤4 years, especially infants

IV. Cara penularan


Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis
biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi
basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. Pada TB kulit atau
jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik
atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik,
pengobatan teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas.

V. Patogenesis
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasih sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat samasekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelejar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberculosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis tersebut yang dikenal epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis
milier, meningitis tuberculosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
anak ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan:
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma)
atau
- Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberculosis primer.

B. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Localized tuberculosis, tuberculosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberculosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apical
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil.
Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan denga
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pnemoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pnemoni baru. Sarang pnemoni ini
akan menjadi pola perjalanan seperti yag disebutkan di atas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh tetap mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).
VI. Klasifikasi Tuberkulosis
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
 Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB.
 Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:


a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan
TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru
2. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+):
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)


 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.:


a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian).Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi
aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan)
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
akan lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologik
VII. Gejala Klinis
Keluhan yang diarasakan pasien tuberculosis bisa bermacam-macam atau
malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
 Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas dapat mencapai 40-41 °C. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian bisa kambuh kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya
demam influenza ini, sehingga pasien tidak ernah merasa terbebas dari serangan
demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien
dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
 Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk mengeluarkan produk-produk
radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru
yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat
betuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga
terjadi pada ulkus dinding bronkus.
 Sesak nafas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru.
 Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
 Malaise. Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia dan tidak ada nafsu makan, badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes (2003),

1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada
TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis.

2. Gejala lain yang sering dijumpai:

a) Dahak bercampur darah.


b) Batuk darah

c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada

d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB


Paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan
dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru”
atau tersangka penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
o Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
o Pemeriksaan fisik.
o Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
o Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
o Rontgen dada (thorax photo).
• Curiga adanya komplikasi
• Hemoptisis berulang atau berat
• Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)
• Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
 Kaviti,
 Bayangan bercak milier
 Efusi plera

o Uji tuberkulin.
VIII. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjunctiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan
suatu kelainanpun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih
dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adanya infiltrate yang agak
luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan
didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila
infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah.
Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hypersonor atau
tympani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan febris yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot intercostals. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi
pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Disini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dan gagal jantung kanan seperti
takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-
Steel, bunyi P-2 yang mengeras tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali,
asites dan edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Pernafasan memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberculin yang positif.

IX. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Bakteriologik. Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan


kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH) .
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali,
setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

2. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat
untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan
sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi
TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%,
dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin
besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan


bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC
batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena
yaitu paru-paru.
1. Pembengkakan : 0–4mm,uji mantoux negatif.
(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
2. Pembengkakan : 3–9mm,uji mantoux meragukan.
(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan teknik,
reaksi silang dengan Mikobakterium atipik
atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan :≥ 10mm,uji mantoux positif.
(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa.

3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi
primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Pemeriksaan
standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas
indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :


• Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru.
Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit
4. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data
ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh
penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.
5. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah

Penegakkan Diagnosis
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2:
1) Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif.
2) Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB
dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi.
Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto
rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru
kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA
positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari)
dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.

Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Komplikasi
Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium
lanjut:
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. , sehingga terjadi ketidak mampuan
menampung atau menyimpan oksigen dari lobus.
3) Bronkiectasis dan fibrosis pada Paru. Bronkiectasis adalah endapan nanah ada
bronkus setempat karena terdapat infeksi pada bronkus. Penyebabnya yaitu
kerusakan yang berulang pada dinding bronchial dan keadaan abnormal dari
jaringan penghasil mucus mengakibatkan rusaknya jaringan pendukung menuju
saluran nafas. Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat pada roses pemulihan
atau penyembuhan.
4) Efusi Pleura adalah adanya cairan abnormal dalam rongga pleura yang disebabkan
oleh tekanan yang tidak seimbang pada kapiler yang utuh dan menyebabkan
kapasitas paru-paru tidak berkembang.
5) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.
6) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
7) Insufisiensi Kardio Pulmoner atau penurunan fungsi jantung dan paru-paru sehingga
kadar oksigen dalam darah rendah.

X. Penatalaksanaan

Menurut Departeman kesehatan (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk


menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan
tingkat penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT
didasarkan pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin,
Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8
bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap
intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut
kosong. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak,
terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA
positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka
dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai
pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi
2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

Catatan: Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
 Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
 Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
 Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya.

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Tahap Intensif Tahap lanjutan
Badan tiap hari selama 56 hari. 3 kali seminggu selama 16
RHZE minggu. RH (150/150)
(150/75/400/275)
30 – 37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
kg
38 – 54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
kg
55 – 70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
kg
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Dosis per hari/kali


Jumlah
Tahap Lama Tablet hari/kali
Kaplet Tablet Tablet
Pengobatan Pengobatan Isoniazid menelan
Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@300 obat
@450 mgr @500 mgr @250 mgr
mgr

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Lanjutan 3 kali


Tahap Intensif tiap hari RHZE
seminggu Berat RH
Berat badan (150/75/400/275) + S
(150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg 2 tab 4KDT
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg 3 tab 4KDT
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg 4 tab 4KDT
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin inj. Etambutol

Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket
untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Dosis KDT untuk Sisipan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE


Berat Badan
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Catatan: Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT
lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada
OAT lini kedua

Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus


a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada
kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada
umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat
dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic
dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB
pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman
TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan
pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut
sesuai dengan berat badannya.

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi


dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan
kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

d. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada


pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan
dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.

e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan


gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT
meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila
telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat.
Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

f. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin


(R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu
dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar
pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin
dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia,
Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan
dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling
aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus
dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga
dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai
pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada
pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan
pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.
h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti: • Meningitis TB • TB
milier dengan atau tanpa meningitis • TB dengan Pleuritis
eksudativa • TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama
fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per
hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama
pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.

Farmakologi obat
• Isoniazid (INH). INH adalah obat antiTBC yang paling efektif saat
ini , bersifat bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan
bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura,
cairan ascites, jaringan kaseosa, dan angka timbulnya reaksi simpang
sangat rendah 2. Dosis harian yang biasa diberikan 5-15 mg/kg/ hari
maksimal 300 mg./hari, diberikan satu kali pemberian. INH yang
tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam
bentuk sirup 100mg/ 5 ml 2. INH mempunyai dua efek toksik utama
hepatotoksik, neuritis perifer, jarang terjadi pada anak tetapi
frekuensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Hepatotoksik yang bermakna secara klinik jarang terjadi. Hepatotoksik
akan meningkat apabila INH diberikan bersama rifampisin dan
PZA.Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi kompetitif akibat
metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan INH, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak
diperlukan piridoksin tambahan.Namun pada remaja dengan diet yang
tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang,
malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI memerlukan piridoksiin
tambahan.Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering terjadi adalah
mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan
satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 gram INH.
• Rifampisin Merupakan antibiotika spektrum luas yang dipakai untuk
berbagai infeksi pada anak-anak. Obat ini bersifat bakteriosid pada
intrasel dan ekstrasel , dapat memasuki semua jaringan , dapat
membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH2.
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong
dan kadar puncak serum tercapai pada 2 jam. Makanan menghambat
bioavaibility rifampisin kira-kira 30%7. Diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kg BB/ hari (buck, 2004), dosis maksimal 600
mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan
bersama INH dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/ hari dan
dosis INH 10mg/kgBB/hari. Didistribusikan secara luas kedalam
jaringan tubuh termasuk cairan serebrospinal2. Ekskresi melalui
traktus biliaris. Efek yang kurang menyenangkan pada pasien adalah
perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata menjadi
oranye kemerahan. Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri
kepala, mengantuk, fatigue, rasa gatal dikulit (dengan atau tanpa rash),
gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), anoreksia, diare,
hiperbilirubinemia, dan hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang
biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang
asimtomatik. Dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin,
digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin.
Tersedia dalam bentuk sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg.
• Pirazinamid. Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh
termasuk sistem saraf pusat, cairan serebrospinal, bakterisid hanya
pada intrasel pada suasana asam , direbsopsi baik pada saluran
pencernaan.Diberikan secara oral dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari2.Kadar serum puncak 45 ug/ml
dalam waktu 2 jam.Aman pada anak. Tersedia dalam bentuk tablet 500
mg.
• Etambutol. Jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada
mata. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman
dapat dicegah resistensi terhadap obat-obat lain.Tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Dosisnya 15-
20 mg/kgBB/hari, maksimum 1,25 mg/hari dengan dosis tunggal.
Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam. Tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis perifer dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat
laporan toksisitas optik pada anak-anak. Namun obat ini tidak
digunakan secara luas karena pada anak kecil tidak dapat dilakukan
pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman penglihatan. Etambutol
sebaiknya jangan diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan
pemeriksaan penglihatan. Namun dapat digunakan pada anak dengan
TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat lainnya
tidak tersisa atau tidak dapat digunakan.
• Streptomisin. Bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman
ektraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif
membunuh kuman ekstraseluler. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan TBC , tetapi penggunaannya penting
dalam pengobatan TBC yang resesten obat . Dapat diberikan secara
intramuskular 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram /hari. Kadar
puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam. Sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak
yang tidak meradang.Berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura
dieksresi melalui ginjal2. Toksisitas utama pada nervus kranial VIII
yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga
berdenging dan pusing. Dapat menembus plasenta sehingga
kontraindikasi pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak
saraf pendengaran janin.

Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, Rifampisin Semua OAT diminum


mual, sakit perut malam sebelum tidur

Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin

Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)


terbakar di kaki 100mg per hari

Warna kemerahan pada air Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa,


seni (urine) tapi perlu penjelasan
kepada pasien.

Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk


kulit). penatalaksanaan dibawah
*).

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan,


ganti Etambutol.

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan,


ganti Etambutol.

Ikterus tanpa penyebab Hampir semua OAT Hentikan semua OAT


lain sampai ikterus menghilang.

Bingung dan muntah- Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,


muntah (permulaan ikterus segera lakukan tes fungsi
karena obat hati.

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol

Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin.


(syok)
a) Rifampicin : tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni,
purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990)
b) Pirasinamid : nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990)

c) INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati
perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990).

d) Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan


gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990)

e) Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman,


1990).

f) Etionamid : hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990)

*Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan
kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan
kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk. Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
• Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan,
ikhterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes,
2003), serta bersifat hepatotoksik atau meracuni hati (Soeparman, 1990)
Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan terapeutik TB Paru meliputi
nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan. Menurut
Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum
BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita
batuk darah masif atau berulang.

Usaha Preventif Terhadap Tuberkulosis

 Vaksinasi BCG. Daya proteksinya hanya sebagian saja pada anak-anak selama ini.
Tetapi BCG tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap
tuberculosis berat dan tuberculosis ekstra paru lainnya.
 Kemoprofilaksis. Kemoprofilaksis terhadap tuberculosis merupakan masalah
tersendiri dalam peanggulangan tuberculosis paru di samping diagnosis yang cepat
dan pengobatan yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya
murah dan efek sampingnya sedikit. Setelah itu pilihan keduannya ialah Rimfapisin.

Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita
TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer. Anak yang kontak erat dengan penderita
TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi
profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber
penularan TB aktif sudah tidak ada.
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder. Anak dengan infeksi TBC yaitu uji
tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama
6-9 bulan.

Anda mungkin juga menyukai