DI RUANG CATTLEYA II
RSUD RAA SOEWONDO PATI
Disusun Oleh :
ANISYA EKA APRILINA
B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer & Bare (2016), Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menularkan dengan cara penderita
penyakit TB paru aktif mengeluarkan organisme. Individu yang rentan menghirup
droplet dan bisa terinfeksi. Bakteria ditransmisikan ke alveoli dan dapat
memperbannyak diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan
bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa. Menurut Muttaqin Arif
(2012), Ketika pasien TB Paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tidak
sengaja bisa tertular droplet nurkei dan jatuh ke tanah, lantai atau tempat lainya.
Akibat terkena sinar matahari atau suhu panas, droplet atau nuklei dapat menguap.
Menguapnya droplet bakteri tuberculosis yang terkandung dalam droplet nuklei
terbang ke udara. Jika bakteri terhirup oleh orang sehat maka orang itu berpotensi
terkenan TB Paru.
Resiko tinggi yang tertular virus Tuberkulosis menurut Smeltzer & Bare (2016)
yaitu:
1. Mereka yang terlalu dekat kontak dengan pasien TB Paru yang mempunyai
TB Paru aktif.
2. Individu imunnosupresif (lansia, pasien dengan kanker, meraka yang dalam
terapi kortikosteroid atau mereka yang terkontaminasi oleh HIV).
3. Mengunakan obat-obatan IV dan alkhoholik
4. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma, tahanan,
etnik dan juga ras minoritas, terutama pada anak-anak di bawah uiasa 15
tahun dan dewasa muda sekitar usia 15 sampai 44 tahun).
5. Gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (diabetes, gagal ginjal kronis,
silikosis, dan penyimpanan gizi).
6. Individu yang tinggal di daerah perumahan yang kumuh atau sub stardar.
7. Pekerjaan (tenangga kerja kesehehatan, terutama yang melakukan aktivitas
yang memiliki resiko tinggi)
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Somantri (2009), Terinfeksinya dari awal di karena seseorang yang
menghirup basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebar dari jalan
napas menuju alveoli lalu berkembang biak dengan terlihat bertumpuk.
Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area
lain dari paru (lobus atas). Basil juga bisa menyebar melalui sistem limfe dan aliran
darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteksserebri) dan area lain dari paru
(lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan daya tubuh memberikan suatu respon
dengan cara reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis(menelan bakteri), sementara limfositspesifik-tuberkulosis
menghancurkan dengan (melisiskan) basil dan jaringannya normal. Infeksi dari
awal biasanya timbul sekitar 2-10 minggu setelah itu terpapar bakteri. Interaksi
antara Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada penderita
awalnya infeksi membentuk seuatu massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terbagi atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan
fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang
terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang bentuknya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan
menjadi klasifikasi dan juga dapat membentuk jaringan kolagen, kemuadian bakteri
itu menjadi nonaktif.
Setelah terinfeksi awal jika respon sistemnya imun tidak adekuat maka
penyakitnya akan semakin parah. Penyakit semakin parah akan menimbulkan
infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif lagi,
Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga dapat menghasilkan
necrotizing caseosa di dalambronkus.Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi
sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian
meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel Makrofag
yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkelepiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-
20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
E. PATHWAY/PATHOFLOW
Sumber:
NANDA, 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan, Jakarta: Prima Medika
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkat, limfositosis.
2. Pemeriksaan sputum BTA : hanya 30 – 70 % klien yang dapat didiagnosa dengan
pemeriksaan ini.
3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) : uji serologi imunoperoksidase memakai
alat histogen staining untuk menentukan adanya igG spesifik terhadap basil TB.
4. Tes Mantoux / Tuberkulin : suatu cara untuk mendiagnosis TBC.
5. Tehnik Polymerase Chain Reaction : deteksi DNA kuman secra spesifik melalu
amplifikasi dalam meskipun hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga
dapat mendeteksi adanya resistensi.
6. Becton Dickinson diagnostic instrumen sistem (BACTEC): deteksi growth indeks
berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh
mikrobakterium Tuberkulosis.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi oksigen: pemberian oksigen rendah nasal atau masker ventilator mekanik
dengan memberikan tekanan positif kontinu
2. Inhalasi: nebulizer
3. Fisioterapi dada
7. OAT harus di berikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisi
dengan atau tanpa obat ketiga.
Tujuan pemberian OAT adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
OAT yang biasa digunakan antara lain :
a. Isoniazid (INH)
b. Rifampisin (R)
c. Pirazinamid (Z)
d. Steptomosin (S) yang bersifat bekterisid dan etambutol yang bersifat
bakteriostatik.
e. EMB (Ethambutol Hydrochloride)
Prinsip pengobatan :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumblah cukup dan dosis yang tepat sesuai kategori pengobatan. Tidak dianjurkan
menggunakan monoterapi (OAT tunggal)
b. Lakukan pengawasan langsung atau DOT ( directely observed treatment) untuk
memastikan kepatuhan pasien meminum obat. Hal ini sangat penting diperhatikan
agar pasien dapat menjalankan terapi dengan tuntas untuk mematikan dan
mencegah infeksi dari TB berulang.
Hal ini sangat penting diperhatikan agar pasien dapat menjalankan terapi dengan
tuntas untuk mematikan dan mencegah infeksi dari TB berulang. Pengobatan TB
dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif (2 bulan pertama setiap hari), dengan kegiatan bekterisid
untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat. minimal 3
macam obat seperti INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
b. Fase lanjutan (tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan, kecuali pada TB
berat),dengan 2 macam obat Rifampisin (R) dan INH.
c. Konsultasi dokter secara teratur
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian Berdasarkan 11 Pola Fungsional Gordon (Potter & Perry, 2010)
c. Pola eliminasi
Mengambarkan bagaimana pola BAB dan BAK klien, seperti frekuensi sehari,
banyaknya, warna, bau dan lain sebagainya. 4) Pola aktivitas-latihan
Mengambarkan pola latihan, aktivitas, hiburan, dan rekreasi; kemampuan
untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.
d. Pola aktivitas-latihan
Mengambarkan pola latihan, aktivitas, hiburan, dan rekreasi; kemampuan
untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.
f. Pola kognitif-persepsi
Mengambarkan pola persepsi sensorik; kemampuan berbahasa, ingatan dan
pembuatan keputusan.
i. Pola seksual-reproduksi
Mengambarkan pola kepuasan dan ketidakpuasan seksual klien; pola
reproduksi klien; masalah pre dan postmenoupause.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Aditama T. Y., Surya S., Bing W., Carmelia B., Dewi R., Diantika, D. D., Eka S.,
Elia R., Erwinas,. Budhoyono, F. X., Frank,i L., Jane S., Jelsi, M., Alsagaf,
H. & Mukty, H. A. (2008). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. 5th ed.
Airlangga University Press: Surabaya.