Anda di halaman 1dari 16

CATATATAN TB PARU

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian
besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra
paru lainnya.

2.2 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab penyakit


tuberkulosis yang merupakan anggota Actinomicetales serta famili
Mycobactericeae. Selain Mycobacterium tuberculosis, beberapa genus lain yang
bersifat patogen antara lain Mycobacterium bovis dan Mycobacterium avium.
Kuman berbentuk batang (basil) melengkung, tidak tergolong dalam Gram positif
ataupun Gram negatif karena sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai
sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman
batang tahan asam (BTA). Hal tersebut dikarenakan kuman memiliki dinding sel
yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat).
Disamping itu bakteri ini bersifat pleiomorfik tergantung dari keadaan
lingkungan sekitarnya, tidak bergerak, bersifat aerob obligat, tidak membentuk
spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 μm. Basil Mycobacterium tuberculosis
dapat dibiakan dalam media non selektif dan selektif seperti media Lowenstein
Jensen.

Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara


melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 mikron) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik
juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau
pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil
berukuran 1-5 μm dapat menampung 1-5 basili, dan bersifat sangat infeksius, dan
dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat
kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi. Ada 3 faktor yang menentukan
transmisi M.TB :

a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.


b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan


minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang
lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan
cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap.
Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan
risiko penularan.

2.3 Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang sejak dahulu kala (zaman Mesir


kuno) sudah ada namun saat ini masih menjadi masalah kesehatan global.
Berdasarkan data dari WHO melalui TB Global Report 2020, pada tahun 2019
terdapat sekitar 10 juta jiwa terinfeksi TB atau sekitar 130 kasus per 100.000
populasi secara global. Kasus TB dengan HIV positif sekitar 700-900 ribu atau
sekitar 7-9% dari total kasus TB. Kasus kematian akibat TB dengan HIV negatif
diperkirakan antara 1.130 – 1.290 ribu jiwa dari seluruh kasus TB global,
sementara itu pada kasus TB dengan HIV angka kematiannya sejumlah 177-242
ribu jiwa. Berdasarkan kelompok usianya, secara global sebagian besar pasien TB
berada dalam kelompok usia produktif yaitu pada 24-54 tahun dan berdasarkan
jenis kelamin, pasien TB lebih banyak pada laki-laki. Tingkat pendidikan yang
rendah diketahui menjadi prevalensi tertinggi pengidap TB. Studi menemukan
tidak ada perbedaan signifikan terhadap kelas ekonomi bawah dan menengah
pada prevalensi terjadinya TB.

Benua Asia terutama Asia Tenggara menjadi daerah dengan penyumbang


kasus TB terbanyak secara global, menyumbang sekitar 45% kasus TB global
diikuti wilayah Benua Afrika (25%) dan Pasifik Barat (17%). Terdapat 30 negara
yang menjadi high-burden countries terkait dengan tingginya prevalensi TB di
negara tersebut. 8 dari 30 negara tersebut menyumbang kurang lebih dua pertiga
dari jumlah kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia (8.5%), Cina (8.4%),
Filipina (6.0%), Pakistan (5.7%), Nigeria (4.4%), Bangladesh (3.6%) and Afrika
Selatan (3.6%).

Pada tahun 2020, estimasi kasus TB di Indonesia berjumlah 845.000


dengan total insidensi TB yang ternotifikasi sekitar 543.874 kasus. 2%
diantaranya terkonfirmasi positif HIV dan prevalensi resistensi OAT sekitar 1.8%.
Mortalitas TB di Indonesia pada tahun yang sama diperkirakan sebesar 2.2% dari
total insidensi. Prevalensi pengidap TB pada anak sebesar 11%. Insidensi TB
menurun dari tahun ke tahun, cakupan pengobatan TB dari seluruh kasus pada
tahun yang sama mencapai 87%.

2.4 Faktor Risiko

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB. Faktor risiko terinfeksi TB dapat dibagi menjadi faktor
penularan, faktor lingkungan dan faktor personal. Umumnya Orang dengan
kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif dibanding orang
dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60% orang dengan HIV-positif yang
terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi
pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada
kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang. Selain itu faktor risiko lainnya adalah
sebagai berikut

a. Perokok
b. Konsumsi alkohol tinggi
c. Anak usia <5 tahun dan lansia
d. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif
yang infeksius.
e. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberculosis
(contoh: lembaga pemasyarakatan, fasilitas perawatan
jangka panjang)
f. Petugas kesehatan

2.5 Patogenesis

Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebar secara aerosol akan


masuk ke dalam saluran pernapasan manusia dan dapat pula melalui saluran
cerna. Respon awal berkembangnya bakteri berupa akumulasi sel-sel
polimorfonuklear yang akan digantikan oleh sel mononuklear (makrofag dan
monosit), yang merupakan sel fagosit kuat dari sistem retikuloendotelial.
Perjalanan infeksi kuman TB berlangsung dalam 4 fase :

1. Fase primer : Basil TB yang telah masuk ke saluran napas dan


mencapai alveoli akan menimbulkan reaksi radang yang mengaktivasi
sistem imun tubuh dan membentuk fokus primer (Ghon). Jika basil
dibawa oleh sel-sel limfatik menuju kelenjar limfatik, maka akan
terjadi proses terbentuknya limfadenitis primer yaitu granuloma sel
epiteloid dan nekrosis perkijuan. Fokus primer dan limfadenitis ini
disebut kompleks primer.
2. Fase miliar : Kompleks primer yang telah terbentuk akan terjadi
penyebaran miliar berupa penyebaran secara hematogen yang
menginfeksi seluruh lapang paru dan organ lain. Fase ini dapat
berlangsung terus hingga penderita meninggal atau mungkin dapat
sembuh sempurna atau juga menjadi laten (dorman).
3. Fase laten : Infeksi pada tempat lain yang terbentuk kompleks primer
atau reaksi inflamasi mengalami resolusi membentuk jaringan parut
yang didalamnya terdapat basil dorman yang menetap selama
bertahun-tahun. Jika imunitas penderita sedang tidak baik maka basil
yang dorman akan mengalami reaktivasi.
4. Fase reaktivasi : Fase ini dapat terjadi di paru atau ekstra paru. Organ-
organ yang diserang oleh reaktivasi sarang infeksi selain paru antara
lain kelenjar getah bening, tulang, saluran cerna, otak, ginjal, kelenjar
adrenal dan kelenjar mammae.
2.6 Klasifikasi

Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis, hasil


pemeriksaan bakteriologis, riwayat pengobatan, hasil pemeriksaan uji kepekaan
obat dan status HIV. Berdasarkan lokasi anatomisnya, tuberkulosis
diklasifikasikan menjadi TB paru dan TB ekstraparu. TB paru merupakan TB
dengan lokasi berada di parenkim paru saja, termasuk juga struktur
trakeobronkial, sedangkan TB ekstra paru adalah TB dengan lokasi anatomis di
luar paru seperti pleura, selaput jantung, selaput otak, otak, kelenjar getah bening,
abdomen, saluran genitorurinaria, kulit dan sendi. Berdasarkan status
bakteriologis, pasien TB dibagi menjadi TB terkonfirmasi klinis dan TB
terdiagnosis klinis. Pasien TB terkonfirmasi klinis yaitu TB paru maupun
ekstraparu dengan hasil BTA, biakan, maupun tes cepat molekular (TCM) yang
positif. Sedangkan TB terdiagnosis klinis adalah pasien TB paru dengan BTA
negatif namun foto toraks mendukung gambaran TB, atau pasien TB paru BTA
negatif namun tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT dan
memiliki faktor risiko TB, atau pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara
klinis, laboratoris, maupun histopatologis, atau pasien TB anak yang terdiagnosis
berdasarkan sistem skoring.

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, kasus TB dapat


diklasifikasikan menjadi:

a. Pasien TB kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28
dosis bila memakai obat program).
b. Pasien TB kasus riwayat yang sudah pernah mendapat pengobatan OAT
lebih dari 28 dosis dan dibagi kembali berdasarkan hasil pengobatannya
menjadi:
i. Kasus kambuh : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan
saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi
atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
ii. Kasus pengobatan setelah gagal : pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
iii. Kasus setelah loss to follow up (putus berobat) : pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih
dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan putus berobat sebagai hasil
pengobatan.
iv. Kasus lain-lain : pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
c. Pasein TB kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui : pasien yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

Berdasarkan hasil uji kepekaan OAT, TB diklasifikasikan menjadi :

a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H)


dan rifampisin (R) secara bersamaan.

d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi.

Sedangkan berdasarkan status HIV diklasifikasikan menjadi :

a. Kasus TB dengan HIV positif : kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau


terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif.
b. Kasus TB dengan HIV negatif : kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV
yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini
diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui : kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan
tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila
pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali
disesuaikan klasifikasinya.

2.7 Diagnosis Tuberkulosis

Pendekatan diagnosis TB umumnya sama seperti penyakit lainnya yaitu


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis untuk mengetahui gejala klinis yang dialami pasien. Gejala TB
bergantung lokasi anatomis dari infeksi kuman TB tersebut. Gejala utama yang
dapat dirasakan pada pasien yang pertama kali mengalami TB meliputi batuk
lebih dari 2 minggu, batuk berdahak yang dapat bercampur darah, dapat disertai
adaya nyeri dada atau sesak napas. Gejala lainnya yang mungkin dapat ditemukan
antara lain malaise, penurunan berat badan, menurunnya nafsu makan, menggigil,
demam atau berkeringat di malam hari. Namun yang harus diwaspadai juga ialah
terdapat pengidap TB yang tidak memberikan gejala klinis sama sekali. Faktor
risiko yang dimilki pasien juga pelu diketahui lebih lanjut lagi. Pada pemeriksaa
fisik, dari keadaan umum biasanya tampak baik. Status gizi pasien dapat normal
atau underweight. Jika pasien tampak sesak dan saturasi oksigen menurun
menandakan infeksi paru yang meluas. Pemeriksaan paru terutama auskultasi
dapat ditemukan adanya ronki basah kasar, dengan suara napas bronkial jika
konsolidasi paru terjadi dekat dengan dinding dada. Dapat terdengar suara napas
amforik jika terdapat kavitas.

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis


untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat
yang telah mendapat rekomendasi WHO. Bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan yaitu sputum 2 bahan yang salah satunya diambil di pagi hari.
Interpretasi hasil uji sputum menggunakan skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis dan Lung Disease) dengan interpretasi sebagai berikut :

Tabel 2.1 Interpretasi hasil uji sputum berdasarkan skala IUATLD

Hitung BTA per Lapang Pandang Interpretasi

Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang Negatif

1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Scanty (disebutkan angka


hasilnya)

10-99 BTA dalam 100 lapang pandang +

1-10 BTA per lapang pandang, minimal ++


terdapat dalam 50 lapang pandang

>10 BTA per lapang pandang, minimal +++


terdapat dalam 20 lapang pandang
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal
terhadap rifampisin dan isoniazid terutama pada kelompok pasien dengan riwayat
pengobatan OAT atau pasien TB kasus baru yang tinggal di daerah dengan
prevalensi TB resistan obat yang tinggi. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
dapat dilakukan dengan 2 metode. Metode konvensional menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT
(Mycobacterium growth indicator tube). Dibandingkan media padat, media cair
memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu sekitar 2 minggu. Saat ini sudah
banyak digunakan metode tercepat uji kepekaan obat menggunakan metode
molekuler yang dikenal dengan tes molekuler cepat (TCM).
Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya dengan
Non Tuberculous Mycobacteria (NTM). Selain itu metode molekuler dapat
mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam mekanisme kerja obat
antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO merekomendasikan penggunaan Xpert
MTB/RIF untuk deteksi resistensi rifampisin. Pemeriksaan dengan TCM dapat
mendeteksi basil TB dan gen pengkode resisten rifampisin pada sputum kurang
lebih dalam waktu 2 (dua) jam. Namun bagaimanapun juga, konfirmasi hasil uji
kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih digunakan sebagai
baku emas. Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi
spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur invasif
seperti bronkoskopi atau torakoskopi. Pemeriksaan tambahan pada semua pasien
TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah
pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi
misalnya fungsi hepar dan fungsi ginjal.
Pasien terduga TB paru dapat dilakukan pemeriksaan radiologis jika tidak
memiliki akses uji molekular maupun pemeriksaan BTA. Pemeriksaan foto toraks
dapat ditemukan konsolidasi atau infiltrat terutama pada lapang atas paru serta
penebalan hillus menggambarkan infeksi yang aktif. Selain itu dapat ditemukan
adanya kavitas bersama dengan konsolidasi menandakan infeksi yang aktif hasil
dari reaktivasi TB. Jika pasien memiliki riwayat TB dengan pengobatan
sebelumnya, dapat ditemukan adanya opasitas fibronodular, bercak milier,
penebalan selaput pleura atau bahkan efusi pleura.
2.8 Tatalaksana

Pengobatan TB memiliki tujuan untuk menyembuhkan, mempertahankan


kualitas hidup dan produktivitas pasien yang sedang menderita TB. Selain itu
tujuan lainnya yaitu mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan,
mencegah kekambuhan TB, mengurangi penularan TB kepada orang lain,
mencegah perkembangan dan penularan resistan obat serta mencegah dampak
buruk sosial dan ekonomi. Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen
terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.

Pengobatan TB yang adekuat harus memenuhi prinsip pengobatan


diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam
obat untuk mencegah terjadinya resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat,
ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan
obat) sampai selesai masa pengobatan dan pengobatan diberikan dalam jangka
waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan.

Pengobatan tahap awal (fase intensif) diberikan setiap hari dengan tujuan
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh. Untuk seluruh
pasien baru, pengobatan diberikan selama 2 bulan. Tingkat penularan pasien
tersebut sudah menurun setelah 2 minggu pertama jika pengobatan diberikan
secara efektif dan kuman TB sensitif terhadap OAT. Pengobatan tahap lanjutan
diberikan selama 4 bulan dengan untuk membunuh sisa kuman terutama yang
presisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Pengobatan dengan OAT dapat diberikan menggunakan metode obat kombipak
(obat lepasan) atau dengan obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT) yaitu seluruh jenis
obat diberikan dalam tablet kombinasi dengan jumlah sesuai dosis dengan tujuan
kepatuhan yang lebih baik karena jumlah obat yang diminum hanya 1 macam dan
lebih sedikit dan mencegah penggunaan obat tunggal sehingga risiko resistensi
obat juga menurun.

OAT lini pertama terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). OAT ini dalam pemberiannya dibagi
menjadi dua kategori. Kategori pertama diberikan bagi pasien baru TB Paru
dengan BTA positif, pasien baru TB paru dengan BTA negatif namun foto toraks
positif, dan pasien baru TB ekstra paru. Pengobatannya selama 6 bulan dengan
komposisi 2HRZE/4(HR)3. Pemberian obat dengan metode kombipak dihitung
berdasarkan jumlah dosis masing-masing OAT (Tabel 2.2). Obat KDT kategori 1
diberikan dengan kombinasi tablet 4KDT selama 56 hari yang diminum setiap
hari pada tahap intensif dan tablet 2KDT selama 16 minggu yang diberikan 3 kali
seminggu selama tahap lanjutan. Jumlah tablet yang diminum bergantung pada
kelompok berat badannya (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

dosis rekomendasi
3 kali per minggu
harian
OAT
dosis Dosis dosis Dosis
maksimum maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) -

Tabel 2.3 Dosis OAT KDT Kategori 1

Berat Badan (kg) Tahap Intensif Tahap Lanjutan

30 – 37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 - 70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT


Pada pasien TB dengan BTA positif yang telah mendapat pengobatan
sebelumnya dengan status pengobatan pasien kambuh, pasien gagal, atau pasien
dengan pengobatan setelah putus berobat maka OAT yang diberikan adalah
kategori 2. Pengobatan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan. Tahap intensif
selama 3 bulan dengan 2 bulan pertama diberikan regimen HRZE ditambah
dengan injeksi streptomisin setiap harinya. 1 bulan berikutnya hanya diberikan
HRZE. Kemudian tahap lanjutan selama 5 bulan dengan pemberian regimen
(HR)3E3. Pemberian pengobatan dengan kombipak dihitung berdasarkan dosis
per kilogram berat badan dan dengan KDT berdasarkan berat badan pasien (Tabel
2.3).

Tabel 2.4 OAT KDT Kategori 2

Berat Tahap intensif (setiap hari) Tahap Lajutan (3


Badan (kg) kali seminggu)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30 – 37 2 tab 4KDT + 500 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2


mg Streptomisin tab etambutol
inj.

38 – 54 3 tab 4KDT + 750 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3


mg Streptomisin tab etambutol
inj.

55 – 70 4 tab 4KDT + 1000 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4


mg Streptomisin inj. tab etambutol

≥ 71 5 tab 4KDT + 1000 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5


mg Streptomisin inj. tab etambutol

Pada pasien TB paru yang berat atau dengan kondisi sistemik yang buruk
(pasien TB paru dengan gambaran radiologis infiltrat ekstensif, pasien TB paru
dengan klinis sesak nafas, penurunan berat badan yang signifikan, atau pasien
dengan status gizi yang buruk) selain OAT, diberikan terapi kortikosteroid. Jenis
kortikosteroid yang diberikan yaitu prednisone 30-60 mg per hari dengan
tappering off perlahan setelah 4 minggu.

2.9 Pemantauan Pengobatan


Pemantauan pengobatan TB Paru menggunakan pemeriksaan BTA sputum,
tidak boleh menggunakan metode molekuler (TCM) karena diperuntukkan hanya
menegakkan diagnosis. Pemberian OAT sisipan sudah tidak dilakukan.
Pemeriksaan BTA sputum dikerjakan pada :

 Akhir tahap intensif (akhir bulan ke-2 pada kategori 1 atau akhir bulan ke-
3 pada kategori 2).

- Pada akhir kategori 1 ulang BTA di akhir bulan ke-3. Bila tetap positif,
pasien ditetapkan sebagai terduga TB resisten obat (RO). Pengobatan
tetap dilanjutkan.
- Pada pengobatan kategori 2, bila tetap positif di akhir bulan ke-3,
pasien ditetapkan sebagai terduga TB RO dan pengobatan tetap
dilanjutkan.
 Akhir bulan ke-5, bila tetap positif dinyatakan gagal pengobatan baik pada
kategori 1 dan kategori. Pemberian OAT langsung dihentikan.
 Akhir pengobatan (akhir bulan ke-6 pada kategori 1 atau akhir bulan ke-8
pada kategori 2), jika positif, dinyatakan gagal pengobatan.

Pada pasien yang telah putus berobat, kelanjutan pengobatan harus melihat
lamanya berhenti minum obat dan status pemeriksaan BTA

 Putus berobat < 1 bulan: lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis


terpenuhi. ∙ Putus berobat 1 – 2 bulan : periksa sputum BTA SP. Tindak
lanjutan terdapat pada tabel 4.5.
 Putus berobat > 2 bulan : hentikan pengobatan dan periksa BTA (sputum
SP dan TCM). Tindak lanjutan terdapat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Keputusan lanjutan pengobatan pada pasien TB yang berobat tidak
teratur

BTA Regimen Lama Keputusan


Awal
Pengobatan
Awal
Putus berobat 1 – 2 bulan

Negatif OAT Lanjutkan sisa regimen


kategori 1 pengobatan hingga dosis
atau 2 terpenuhi

Positif Kategori 1 ≤ 5 bulan Lanjutkan sisa regimen


atau 2 pengobatan hingga dosis
terpenuhi

Positif Kategori 1 ≥ 5 bulan Berikan OAT kategori 2, evaluasi


kemungkinan TB RO

Positif Kategori 2 ≥ 5 bulan Evaluasi dan rujuk ke rujukan TB


RO

Putus berobat > 2 bulan

Negatif OAT Bila membaik boleh observasi.


kategori 1 Bila belum, lanjutkan sisa
atau 2 regimen hingga tuntas

Positif Kategori 1 < 1 bulan Ulangi OAT kategori 1 dari awal

Positif Kategori 1 > 1 bulan Berikan OAT kategori 2

Positif Kategori 2 < 1 bulan Ulangi OAT kategori 2 dari awal

Positif Kategori 2 > 1 bulan Rujuk ke spesialis

Resisten Apapun Rujuk ke rujukan TB MDR


Rifampisi
n

Manajemen efek samping pengobatan merupakan hal penting yang harus


diperhatikan karena merupakan salah satu penyebab putus berobat pada TB. Efek
samping dibagi menjadi efek samping ringan dan berat.

Tabel 4.6 Efek Samping OAT dan Manajemennya.

Efek Samping Obat Penyebab Manajemen


Ringan

Mual, nyeri perut, Isoniazid, rifampisin, OAT diminum malam


anoreksia. etambutol sebelum tidur atau diminum
dengan sedikit makanan
Nyeri sendi Pirazinamid Diberikan OAINS

Kesemutan, Isoniazid Piridoksin (vitamin B6) 1 x


neuropati perifer 50 – 75 mg

Gatal tanpa ruam Isoniazid, rifampisin, Simptomatis : antihistamin,


pirazinamid, pelembap kulit
streptomisin

Efek Samping Berat

Ruam Isoniazid, rifampisin, OAT dihentikan dan


pirazinamid, merujuk pasien untuk drug
streptomisin challenge.

Gangguan Streptomisin Obat dihentikan


pendengaran dan
keseimbangan

Gangguan Etambutol Obat dihentikan


penglihatan

Oligouria Streptomisin Obat dihentikan

Purpura, reaksi Rifampisin Obat dihentikan


anafilaksis

Drug induced Semua jenis OAT Semua obat dihentikan dan


liver injury merujuk pasien untuk
(enzim hati 3-5 menentukan regimen
kali nilai normal) pengganti
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tata


Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2020.
2. Pozniak A. Clinical manifestation and complication of pulmonary tuberculosis.
[Internet]. Diperbaharui 26 Jan 2018. http://www.uptodate.com/contents/clinical
manifestations-and-complications-of-pulmonary-tuberculosis.
3. BMJ Best Practice. Pulmonary Tuberculosis. [Internet]. Diperbaharui Mar
2018. http://www.bestpractice.bmj.com/topics/en-gb/165.
4. Carroll KC, Morse SA, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s
Medical Microbiology. 27th ed. McGraw-Hill Education; 2016.
5. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Geneva: WHO; 2020.
6. WHO. Tuberculosis Profile: Indoensia [Internet]. 2020 [dikutip 23 September
2021]. Tersedia pada:
https://worldhealthorg.shinyapps.io/tb_profiles/?_inputs_&entity_type=
%22country% 22&lan=%22EN%22&iso2=%22ID%22.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.

Anda mungkin juga menyukai