Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

TUBERCOLOSIS

DISUSUN
OLEH

AMALIA
PO7120421039

PROCEPTOR INSTITUSI PROCEPTOR LAHAN

POLTEKKES KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2021
KONSEP DASAR TEORI TUBERCULOSIS PARU
A. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini
dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer & Bare, 2001). Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri yang
tahan asam (Suriadi, 2001). Dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam
yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia.

B. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
Tb Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb
positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif. Kriteria diagnostik Tb paru BTA
negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh
lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
(Depkes RI, 2006).

C. Epidemiologi
1. Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian
besar penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50
tahun. Data WHO menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara
berkembang banyak terdapat pada umur produktif 15-29 tahun. Penelitian
Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita baru Tb Paru
positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 %
terjadi pada usia lanjut (≤ 55 tahun).
2. Jenis Kelamin
Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan
perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.
3. Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh
sistem tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia
untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah,
kuman Tb paru akan mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan
berkumpul dalam paruparu kemudian berkembang biak.Tetapi, orang
yang terinfeksi kuman TB Paru belum tentu menderita Tb paru. Hal ini
bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut. Apabila, daya tahan
tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant) dan
tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh
lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb
paru Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah
karena sistem imun yang lemah sehingga memudahkan kuman Tb Masuk
dan berkembang biak.
4. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
ditularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat
mempengaruhi penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang
kumuh,kotor. Penderita Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat
yang menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor.
5. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada
tahun 2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru
sebagaian besar berada di negara yang relatif miskin.

D. Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah
kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.
E. Patofisiologi
Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi. Basil tuberkel yang mempunyai permukaan alveolis biasanya
diinstalasi sebagai suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau
cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruangan alveolus biasanya di bagian lobus atau paru-
paru atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan, leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan memfagosit
namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama masa
leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau
proses dapat juga berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang
biak, dalam sel basil juga menyebar melalui gestasi bening reginal. Makrofag
yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit,
nekrosis bagian sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat
dan seperti keju-lesi nekrosis kaseora dan jaringan granulasi di sekitarnya
terdiri dari sel epiteloid dan fibrosis menimbulkan respon berbeda, jaringan
granulasi menjadi lebih fibrasi membentuk jaringan parut akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan
komplet ghon dengan mengalami pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cairan lepas ke dalam
bronkus dengan menimbulkan kapiler materi tuberkel yang dilepaskan dari
dinding kavitis akan masuk ke dalam percabangan keobronkial. Proses ini
dapat terulang kembali di bagian lain dari paru-paru atau basil dapat terbawa
sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan
meninggalkan jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkijaan dapat mengontrol sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung, sehingga kavitasi penuh dengan bahan perkijuan
dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat tidak
menimbulkan gejala dalam waktu lama dan membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi limpal peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran
limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila
fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk
ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh (Price & Wilson,
2005)
F. Manifestasi klinis
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan
kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal
atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda
pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat,
perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di
apeks paru. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti deviasi
trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik
pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.
a. Gejala sistemik/umum
1. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
3. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b. Gejala khusus
1. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-
paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
2. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.

Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit


Dalam (2006) dapat bermacam-macam antara lain :
1. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberculosis yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk
darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat.
Kebanyakan batuk darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
3. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang
ditemukan.
5. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang,
nyeri otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan
hilang timbul secara tidak teratur.

G. Pemeriksaan Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan sewaktu-pagi sewaktu (SPS).
1. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat
suspek tuberkulosis datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
2. P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi
hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa
dan diserahkan sendiri kepada petugas.
3. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen
dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan
dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO.

b. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai
Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

c. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik
untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua
dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk
salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak
menyingkirkan diagnosa TBC.

d. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada
pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada
beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
1. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
2. Hemoptisis berulang atau berat
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.


Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
dan segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan
atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi Pleura

H. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri
merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain
karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila
terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap
kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat
membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri
lain.
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin,
Amikasin, Kuinolon.

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori


yaitu:
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
4. Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus Tb kronik .
I. Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang sering
terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang
pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


J. Pengkajian
Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek
karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat.
Tanda : takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan
sesak (tahap lanjut).
2. Integritas EGO
Gejala : adanya faktor stress lama, masalah keuangan rumah, perasaan
tidak berdaya/tidak ada harapan. Populasi budaya/etnik, missal orang
Amerika asli atau imigran dari Asia Tenggara/benua lain.
Tanda : menyangkal (khususnya selama tahap dini) ansietas ketakutan,
mudah terangsang.
3. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna penurunan berat
badan.
Tanda : turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan otot/hilang
lemak subkutan.
4. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.

5. Pernafasan
Gejala : batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat
tuberculosis terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse
pleura) perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau
penebalan pleural bunyi nafas menurun/tidak ada secara bilateral atau
unilateral efusi pleural/pneumotorak) bunyi nafas tubuler dan bisikan
pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas aspek paru selama
inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic) karakteristik
sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
6. Keamanan
Gejala : adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker.
Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.
7. Interaksi sosial
Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular, perubahan
bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis paru yaitu:
 Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap
akhir penyakit.
 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
 Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10
mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal
antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi
tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif.
 Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
 Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
 Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium
tuberculosis,
 Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya
sel raksasa menunjukkan nekrosis,
 Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya
infeksi.
 GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada
paru.
 Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan
saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis,
kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas)
(Doengoes, 2000).

K. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
6. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat
oksigenasi untuk aktivitas
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan
berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif
9. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan
primer adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi

L. Tindakan Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,
kelemahan upaya batuk buruk
a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
b. KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan
sekret tanpa bantuan
c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan
kelemahan dan penggunaan otot bantu.
Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis,
ronchi, mengi menunjukkan akumulasi sekret/ketidakmampuan
untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan
penggunaan otot akseseri pernafasan dan peningkatan kerja
pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat
karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal sputum berdarah
kental/darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak kuatnya hidrasi).
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan upaya pernafasan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai
keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat
diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 m/hari kecuali kontra
indikasi
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan
sekret, membantu untuk mudah dikeluarkan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan
kekurangan upaya batuk
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali
aktif
b. KH : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman dan
pernafasan normal
c. Intervensi
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris,
catat setiap perubahan
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea terjadi
peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi
tergantung derajat gagal nafas.
2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen
diduga terjadi sebagai masalah sekunder.
3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal
upaya batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek
paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal
a. Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea
b. KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan
perbaikan ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam
rentang normal, bebes dari gejala, distres pernafasan.
c. Intervensi dan rasional
1) Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas,
peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada
dan kelemahan.
Rasional : TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian
kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effure
pleural untuk fibrosis luas.
2) Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna
kulit, termasuk membran mukosa dan kuku
Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh jalan nafas dapat mengganggu
O2 organ vital dan jaringan.
3) Tunjukkan/dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya
untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim\
Rasional : Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah
kolaps atau penyempitan jalan nafas, sehingga membantu
menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan atau
menurunkan nafas pendek.
4) Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas pasien
sesuai keperluan
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan selama periode
penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
5) Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen
Rasional : Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu
pengenceran sekret.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi


6. Jakarta: EGC

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis.Depkes RI : Jakarta.

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey:Upper Saddle River

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai