Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Nn.

M DENGAN GANGGUAN
PRESEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DALAM
TINJAUAN PENDEKATAN TEORI HILDEGARD PEPLAU’S
DIRUANGAN MANGGIS RSUD MADANI PALU

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Oleh :
NUR RAHMIYANI
NIM : PO7120422012

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PALU
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan perasaan yang sehat dan bahagia serta


mampu mengatasi dan dapat menerima orang lain dengan sebagaimana
mestinya. Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari dengan kondisi
yang memungkinkan perkembangan, fisik, mental dan social individu
secara optimal dan selaras dengan perkembangan orang lain (Syahdi &
Pardede, 2017).
Menurut WHO (2021). Prevelensi askizofrenia telah meningkat
dari 40% jiwa. Sedangkan di Indonesia prevelensi skizofrenia meningkat
menjadi 29% penduduk. Prevelensi Sumatera utara meningkat menjadi 9%
penduduk (Kemkes, 2019) Berdasarkan peningkatan Pasien skizofrenia,
perubahan respon persepsi merupakan gejala pertama yang muncul pada
Skizofrenia. Sekitar 70% Pasien Skizofrenia mengalami halusinasi (Keliat
& Akemat 2016).
Berdasarkan catatan Kemenkes RI pada tahun 2019, prevalensi
gangguan kejiwaan tertinggi terdapat di Provinsi Bali dan DI Yogyakarta
dengan masing-masing prevalensi menunjukan angka 11,1% dan 10.4%
per 1000 rumah tangga yang memiliki ART dengan pengidap
skizofrenia/psikosis. Selanjutnya diikuti oleh provinsi-provinsi lain
diantaranya : Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Sumatera Utara urutan ke 21 dengan prvaensi 6,3%
(Kemenkes RI, 2019).
Kesehatan jiwa menurut UU No 23 tahun 1996 sebagai suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari sesorang dan perkembangan itu berjalan
secara selaras dengan keadaan orang lain. Mengemukakan bahwa
kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang sejahtera (mental
wellbeing) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif. Penderita
gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%, tetapi para penderita
gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan di perilakukan secara
manusiawi. (Kemenkes, 2014).
Gangguan jiwa suatu ketidak beresan kesehatan dengan manifestasi
psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja
yang buruk dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis,
genetik, fisis atau kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak
beres yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif.
Setiap jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tandatanda dan gejala-
gejala yang khas. Gangguan jiwa merupakan suatu ketidak beresan
kesehatan dengan manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan
penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk dan disebabkan oleh
gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi
(Kurniawan, 2016).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang
klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan diri dan orang lain. (Azizah, Zainuri, & Akbar 2016).
Dukungan keluarga terhadap pengendalian halusinasi diartikan
sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga sehingga akan
memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang berada di
situasi stress. Keluarga mempunyai peran dan tugas dibidang kesehatan
yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi mengenal masalah
kesehatan, memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga, memberikan
perawatan terhadap keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan
keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, menggunakan pelayanan
Kesehatan. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam
membantu anggota keluarga yang mengalami halusinasi dengan ikut
berperan serta membantu klien untuk bisa mengontrol halusinasi
(Sarafino,2014).
Karya Ilmiah Akhir Ners ini menggabungkan tindakan
keperawatan Dengan salah satu teori model keperarawatan yang sesuai
dengan kondisi klien halunasi pendegaran yaitu terori keperawatan
Hildegrad Peplau’s teori model ini menjelaskan tentang kemampuan dalam
memahami diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan dasar
hubungan antara manusia untuk mencapai tujuan Bersama (Peplau 1952
dalam Leddy & Pepper ,1993). Tujuan dari pemilihan teori ini adalah
untuk meningkatakan hubungan antara pasien dan perawat yang
bekerjasama sebagai sebuah tim untuk meningkatkan kesadaran diri,
tingkat kematangan dan pengatahuan selama proses perawatan, dasar teori
hubungan interpersonal adalah hubungan antara perawat dengan klien
untuk dapat menjalani hubungan antara orang lain luar dari perawat, hal
ini adalah mendasari penulis dalam mengabunggkan antara tindakan
keperawatan dengan teori keperawatan Hildegrad Peplau’s.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah adalah
“Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Nn. M dengan gangguan presepsi
sensori halusinasi pendengaran dengan pendekatan teori Hildegard
Peplau’s di ruangan manggis RSUD Madani Palu ?”
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum :
Tujuan umum Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah mendeskripsikan
penerapan asuhan keperawatan pada Nn.M dengan gangguan presepsi
sensori halusinasi pendegaran dalam tinjauan teori Hildegard Peplau’s
diruagan manggis RSUD Madani Palu ?
1.3.2 Tujuan Khusus :
a. Melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada Nn.M dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan
pendekatan teori Hildegard Peplau’s diruangan manggis RSUD
Madani Palu ?
b. Menentukan rumusan diagnosa asuhan keperawatan pada Nn.M
dengan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan
pendekatan teori Hildegard Peplau’s diruangan manggis RSUD
Madani Palu ?
c. Menentukan intervensi asuhan Keperawatan pada Nn.M dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan
pendekatan teori Hildegard Peplau’s diruangan manggis RSUD
Madani Palu ?
d. Melakukan implementasi asuhan keperawatan pada Nn.M dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan
pendekatan teori Hildegard Peplau’s diruangan manggis RSUD
Madani Palu ?
e. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada Nn.M dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan
pendekatan teori Hildegard Peplau’s diruangan manggis RSUD
Madani Palu ?
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi tempat penelitian
Untuk memberikan informasi tentang Asuhan Keperawatan pada
klien gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran diruangan
manggis RSUD Madani Palu.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil studi kasus ini diharap dapat memberikan informasi
tambahan bagi perkembangan keperawatan jiwa dan sebagai acuan
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Asuhan
Keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
dengan strategi pelaksanaan.
1.4.3 Bagi peneliti
Untuk menambah pengetahuan peneliti tentang pemberian Asuhan
Keperawatan Klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran Diruang manggis RSUD Madani Palu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Keperawatan Hildegar Peplau's


a. Sumber Teori Hildegard E Peplau
Peplau memasukkan pengetahuan ke dalam kerangka
konseptualnya yang pada akhirnya berkembang menjadi model
keperawatan berbasis teori. Peplau menggunakan pengetahuan yang
dikutip dari ilmu perilaku dan model psikologikal untuk
mengembangkan teori hubungan interpersonal. Kutipan dari model
psikologikal menyatakan bahwa memungkinkan bagi perawat untuk
saatnya berpindah dari orientasi terhadap penyakit ke salah satu bagian
dari psikologi, perasaan, serta perilaku yang dapat di keluarkan dan
dimasukkan ke dalam intervensi keperawatan. Hal ini memberikan
kesempatan kepada perawat untuk mengajari pasien bagaimana cara
mengungkapkan perasaan serta bagaimana cara menunjukkan perasaan
tersebut. Hary Stack Sullivan, Percival Symonds, Abraham Maslow,
Bella Mittleman dan Neal Elgar Miller adalah merupakan tokoh –
tokoh sumber utama Peplau didalam mengembangkan kerangka
konseptualnya. Bahkan beberapa konsep terapeutik ia dapatkan secara
langsung dari tokohnya sendiri yakni Freud dan Fromm (Tomey &
Alligood, 1998).
b. Pengertian Teori Keperawatan Hildegard E. Peplau
 Teori yang dikembangkan Hildegard E Peplau adalah keperawatan
spikodinamik (Psychodynamyc Nursing). Teori ini dipengaruhi oleh
model hubungan interpesonal yang bersifat terapeutik (significant
therapeutic interpersonal process). Hildegard E. Peplau
mendefenisikan teori keperawatan  psikodinamikanya sebagai berikut:
 “Perawatan psikodinamik adalah kemampuan untuk memahami
perilaku seseorang untuk membantu mengidentifikasikan kesulitan-
kesulitan yang dirasakan dan untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip
kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
muncul dari semua hal atau kejadian yang telah dialami.
Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan
perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik.
Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan
untuk membantu klien mencapai kematangan perkembangan
kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995). Oleh sebab itu perawat
berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien, dimana
perawat bertugas sebagai narasumber, konselor, dan wali.
Dengan berkembangnya hubungan antara perawat dan klien,
perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan masalah dan
kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien
mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien
dalam hal menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan masalah
kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana
hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu “kekuatan
mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif dalam
membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills,
1990). Ketika kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru
mungkin muncul. Hubungan interpersonal perawat-klien digambarkan
sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini :
orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs,
1995).
Peplau menerbitkan Buku Interpersonal Relation in Nursing pada
tahun 1952 Artikel-artikel di majalah-majalah profesional dan topik
konsep-konsep interpersonal sampai pada isu-isu keperawatan yang
terbaru. Dan selanjutnya Peplau mengembangkan teori keperawatan
yang dikenal dengan Psychodynamic Nursing.
  Model  konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau
menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan
orang lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang
mencakup 4 komponen sentral yaitu :
1. Pasien
Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik
biokimia, fisiologis, interpersonal dan kebutuhan serta selalu
berupaya memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan
belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung
dipengaruhi. .Oleh adanya proses interpersonal.
2. Perawat
Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi
interpersonal dengan pasien yang bersifat partisipatif,
sedangkan pasien mengendalikan isi yang menjadi tujuan. Hal
ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat
berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh
pengganti, pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses
interpersonal.
3. Masalah Kecemasan yang terjadi akibat sakit / Sumber
Kesulitan
Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan
mengintegrasikan pengalaman interpersonal yang lalu dengan
yang sekarang ansietas terjadi apabila komunikasi dengan
orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi
individu. Dalam model peplau ansietas merupakan konsep yang
berperan penting karena berkaitan langsung dengan kondisi
sakit.
4. Proses Interpersonal
Proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan
pasien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau
ansietas pasien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase, yaitu :
1) Fase Orientasi
Pada fase ini perawat dan klien masih sebagai orang
yang asing. Pertemuan diawali oleh pasien yang
mengekspresikan perasaan butuh, perawat dan klien
malakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan
dan terjadi proses pengumpulan data. Pada fase ini yang
paling penting adalah perawat bekerja sama secara
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya dalam
menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama
mengenali, memperjelas dan menentukan masalah untuk
ada setelah masalah diketahui, diambil keputusan
bersama untuk menentukan  tipe bantuan apa yang
diperlukan. Perawat sebagai fasilitator dapat merujuk
klien ke ahli yang lain sesuai dengan kebutuhan
2) Fase Identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang
tepat, pada fase ini pasien merespons secara selektif ke
orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhannya. Setiap
pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase ini.
Respons pasien terhadap perawat:
a) Berpartisipasi dan interpendent dengan perawat
b) Anatomy dan independent
c)  Pasif dan dependent
3) Fase Eksploitasi
 Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan
profesional untuk alternatif pemecahan masalah.
Pelayanan yang diberikan berdasarkan minat dan
kebutuhan dari pasien. Pasien mulai merasa sebagai
bagian integral dari lingkungan pelayanan. Pada fase ini
pasien mulai menerima informasi-informasi yang
diberikan padanya tentang penyembuhannya, mungkin
berdiskusi atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada
perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan dari
perawat dan sebagainya.

4) Fase Resolusi
 Terjadi setelah fase-fase sebelumnya telah berjalan
dengan sukses. Fokus pada fase ini mengakhiri
hubungan profesional pasien dan perawat dalam fase ini
perlu untuk mengakhiri hubungan teraupetik meraka.
Dimana pasien berusaha untuk melepaskan rasa
ketergantungan kepada tim medis dan menggunakan
kemampuan yang dimilikinya agar mampu menjalankan
secara sendiri.
2.2 Konsep Penyakit Halusinasi Pendengaran
a. Defenisi Halusinasi
Gangguan persepsi sensori merupakan perubahan persepsi terhadap
ransangan yang bersumber dari internal (pikiran, perasaan) maupun
stimulus eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang,
berlebihan, atau terdistorsi (SDKI, 2017).
Halusinasi adalah mendengar suara atau kebisingan, paling sering
suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai
katakata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi.
Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien
disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan
(Azizah, 2016).
b. Etiologi halusinasi
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan halusinasi :
a) Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang
menyebabkan halusinasi adalah:
1). Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak
mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya
diri dan lebih rentan terhadap stress.
2). Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya
sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
3). Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di
dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan
keterlibatanotak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah pada
system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada
otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak
kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak
tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab
mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.
Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh
oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami
skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor
keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini
b) Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.

c. Pathway

Kerusakan komunikasi
Resiko mencederai
diri,orang lain dan
Bicara,tersenyum,tertawa sendiri,konsentrasi lingkungan
mudah berubah,kekacauan arus listrik

mendengar bisikan
yang menyuruh untuk
Perubahan proses pikir arus,bentuk,isi
membunuh/dibunuh

mempengaruhi neurotransmitter otak


Perubahan persepsi
sensori,halusinasi
Stimulus SSO,internal
meningkat,eksternal menurun

tidak peduli dengan lingkungan serkitar merangsang keluarnya


zat
halusinogen
fokus pada diri sendiri
HDR

Koping maladaptif

Stress psikologis

d. Manifestasi Klinik/Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi menurut Sutejo (2017), dapat dinila
dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda
dan gejala pada pasien halusinasi adalah:
a) Data Subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien atau
keluarga dengan gangguan sensori halusinasi mengatakan
bahwa dirinya:
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk
kartun, melihat hantu atau monster.
5) Mencium bau-bauan busuk ataupun wangi seperti
bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti merasakan makanan atau
rasa tertentu yang tidak nyata
7) Merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya
seperti yang mengerayap seperti serangga,
makhluk halus
8) Merasa takut atau senang dengan halusinasiny
b) Data Objektif adalah data yang didapatkan pada pasien yang
tampak secara langsung. Pasien dengan gangguan sensori
persepsi halusinasi melakukan hal-hal berikut:
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga menjadi arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
c) Fase Terjadinya Halusinasi Halusinasi yang di alami oleh
seseorang dapat berbeda-beda tergantung tingkat keparahan
dari pasien. Berikut tingkat halusinasi menurut (Sutejo,
2017)
1) Fase I Comforting (Halusinasi menyenangkan) Pasien
mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, takut sehingga mencoba untuk
berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Pasien menganali bahwa pikiran-pikiran dan
pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran
jika ansietas dapat ditangani. Gejala yang dapat terlihat
seperti tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat,
respon verbal lambat jika sedang asyik dan diam serta
asyik sendiri (non psikotik).
2) Fase II Condeming (Halusinasi menjadi menjijikkan)
Pengalaman sensori yang menjijikan, menyalahkan
yang pasien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba
mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan, menarik diri dari orang lain, merasa
kehilangan kontrol, tingkat kecemasan berat. Gejala
yang dapat terlihat seperti meningkatnya tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas, rentang perhatian
menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan membedakan halusiansi dan
realita, menyalahkan, menarik diri dengan orang lain
dan konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja (non
psikotik).
3) Fase III Controling (Pengalaman sensori jadi berkuasa)
Pasien berhenti melakukan perlawanan dan menyerah
pada halusinasi tersebut, isi halusinasi menjadi menarik,
pasien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika
sensori halusiansi berhenti. Gejala yang dapat terlihat
seperti kemauan yang dikendalikan halusinasi akan
diikuti, kesukaran berhubungan dengan orang lain,
rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit,
adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat,
tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah, dan isi
halusinasi menjadi atraktif (psikotik).
4) Fase IV Conquering (Umumnya menjadi melebur
dalam halusinasinya) Pengalaman sensori menjadi
mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasinya, halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik. Gejala
yang dapat terlihat seperti perilaku eror akibat panik,
potensi kuat suicide atau homicide aktivitas fisik
merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku.
e. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostic
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahapan awal dalam proses asuhan
keperawatan, dengan tujuan mengumpulkan informasi dan data-
data pasien agar dapat mengidentifikasi masalah-masalah,
kebutuhan kesehatan dan perawatan pasien, baik fisik, mental,
sosial dan lingkungan. Menurut O’brien (2014) pengkajian dapat
dilakukan dengan cara observasi dan wawancara pada klien dan
keluarga pasien. Pengkajian awal mencakup:
a. Keluhan atau masalah utama
b. Status kesehatan fisik, mental, dan emosional
c. Riwayat pribadi dan keluarga
d. Sistem dukungan dalam keluarga, kelompok sosial, atau
komunitas
e. Kegiatan sehari-hari
f. Kebiasaan dan keyakinan Kesehatan
g. Pemakaian obat yang diresepkan
h. Pola koping
i. Keyakinan dan nilai spiritual
Selanjutnya dalam pengkajian untuk mendapatkan data yang
berkaitan dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran, Menurut Yosep (2014) dapat ditemukan dengan
melakukan wawancara yaitu:
a. Jenis Halusinasi Data ini didapatkan melalui wawancara
dengan tujuan untuk mengetahui jenis dari halusinasi yang
dialami oleh klien.
b. Isi Halusinasi Data ini didapatkan melalui wawacara dengan
tujuan untuk mengetahui isi atau bentuk halusinasi yang
dialami oleh klien.
c. Waktu Halusinasi Data ini didapatkan melalui wawacara
dengan tujuan untuk mengetahui kapan saja halusinasi
tersebut muncul.
d. Frekuensi Halusinasi Data ini didapatkan melalui wawacara
dengan tujuan untuk mengetahui seberapa sering halusinasi
tersebut muncul pada klien.
e. Respon terhadap Halusinasi Data ini didapatkan melalui
wawacara dengan tujuan untuk mengetahui respon dari klien
saat mengalami halusinasi.
2. Diagnosis Keperawatan
Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan asuhan keperawatan adalah
menetapkan diagnosis keperawatan. Menurut standar diagnosis
keperawatan indonesia (SDKI, 2017) diagnosa keperawatan gangguan
persepsi sensori halusinasi dapat ditetapkan jika terdapat gejala dan
tanda seperti:
a. Gejala dan tanda mayor
1) Secara subjektif adalah mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan, merasakan sesuatu melalui panca
indera perabaan, penciuman, atau pengecapan sedangkan
2) Secara objektif adalah respon tidak sesuai, bersikap
seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau
mencium sesuatu.
b. Tanda dan gejala minor
1) Secara subjektif adalah menyatakan kesal
2) Secara objektif adalah menyendiri, melamun, konsentrasi
buruk, disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi,
curiga, melihat ke satu arah, mondar mandir, bicara
sendiri.
f. Penatalaksanaan

Diagnosa : perubahan sensori persepsi halusinasi

Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan

Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk kelancaran


hubungan interaksi seanjutnya
Tindakan : Bina hubungan saling percasya dengan menggunakan
prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :

a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal


b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang
disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan
dasar klien
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
Tindakan :

a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap


b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya:
bicara dan tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/
kedepan seolah-olah ada teman bicara
c. Bantu klien mengenal halusinasinya
a) Tanyakan apakah ada suara yang didengar
b) Apa yang dikatakan halusinasinya
c) Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu , namun
perawat sendiri tidak mendengarnya.
d) Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
e) Katakan bahwa perawat akan membantu kliend.
d. Diskusikan dengan klien :
a) Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
b) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang,
sore, malam)
e. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi (marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan klien
mengungkapkan perasaannya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
Tindakan :

a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika


terjadi halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat
ber pujian
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya
halusinasi:
a) Katakan “ saya tidak mau dengar”
b) Menemui orang lain
c) Membuat jadwal kegiatan sehari-hari
d) Meminta keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika klien
tampak bicara sendiri
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasinya
secara bertahap
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih
f. Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil
g. Anjurkan klien mengikuti TAK, orientasi, realita, stimulasi
persepsi
4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
halusinasinya
Tindakan :

a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami


halusinasi
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
kunjungan rumah):
a) Gejala halusinasi yang dialami klien
b) Cara yang dapat dilakukan klien dan keuarga untuk
memutus halusinasi
c) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah,
diberi kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama,
bepergian Bersama
d) Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu
mendapat bantuan : halusinasi tidak terkontrol, dan resiko
mencederai diri atau orang lain
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik
Tindakan :

a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi


dan manfaat minum obat
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan
merasakan manfaatnya
c. njurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping minum obat yang dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 6 benar
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Halusinasi Pendengaran
a. Pengkajian
Pada tahap ini ada beberapa faktor yang perlu di eksplorasi baik pada klien
sendiri maupun keluarga berkenaan dengan kasus halusinasi yang meliputi:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor Genetis
Telah diketahui bahwa secara genetis schizofienia diturunkan
melalui kromosomkromosom tertentu. Namun demikian,
kromosom yang ke beberapa yang menjadi faktor penentu
gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Diduga kromosom schizofrenia ada kromosom gangguan dengan
kontribusi genetis tambahan nomor 4, 8, 15 dan 22.
2) Faktor biologis
Adanya gangguan pada otak menyebabkan timbulkan respon
neurobiologikal maladaptif.peran pre frontal dan limbik cortices
dalam regulasi stres berhubungan dengan aktivitas dopamin. Saraf
pada pre frontal penting untuk memori,penurunan neuro pada area
ini dapat menyebabkan kehilangan asosiasi.
3) Faktor presipitasi
Psikologis Keluarga, pengasuh, lingkungan. Pola asuh anak tidak
adequat. Pertengkaran orang tua, penganiayaan, tidak kekerasan
4) Sosial Budaya
Kemiskinan, konflik sosial budaya, peperangan, dan kerusuhan
b. Faktor presipitasi
1) Biologi
Berlebihnya proses informasi pada sistem syaraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak. Mekanisme
penghantaran listrik di syaraf terganggu (mekanisme gathing
abnormal).
2) Stress lingkungan
3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap,
dan perilaku
a) Kesehatan meliputi nutrisi yang kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkardian, kelelahan, infeksi, obat-
obat sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b) Lingkungan meliputi lingkungan yang memusuhi, kritis rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktifitas sehari-hari, kesukaran dalam berhubungan
dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial,
tekanan kerja (kurang ketrampilan dalam bekerja), stigmasisasi,
kemiskinan, kurangnya alat transportasi, dan ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
c) Sikap atau perilaku seperti harga diri rendah, putus asa, merasa
gagal, kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya
kekuatan , tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual atau
merasa malang, bertindak seperti orang lain dari segi usia atau
budaya, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif,
perilaku kekerasaan, ketidakadekuatan pengobatan dan
ketidakadekuatan penanganan gejala
c. Pemeriksaan Fisik Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat
badan, dan tanyakan apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien.
d. Psikososial
1) Genogram
Perbuatan genogram minimal 3 generasi yang menggambarkan
hubungan klien dengan keluarga,masalah yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh, pertumbuhan
individu dan keluarga.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang
disukai, reaksi klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai
dan bagian yang disukai.
b) Identitas diri
Klien dengan halusinasi tidak puas akan dirinya sendiri merasa
bahwa klien tidak berguna.
c) Fungsi peran
Tugas atau peran klien dalam keluarga/pekerjaan/kelompok
masyarakat, kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau
perannya, dan bagaimana perasaan klien akibat perubahan
tersebut. Pada klien halusinasi bisa berubah atau berhenti
fungsi peran yang disebabkan penyakit, trauma akan masa lalu,
menarik diri dari orang lain,perilaku agresif.
d) Ideal diri
Harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas,
peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien
terhadap lingkungan, harapan klien terhadap penyakitnya,
bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya.
Pada klien yang mengalami halusinasi cenderung tidak peduli
dengan diri sendiri maupun sekitarnya.
b. Harga diri
Klien yang mengalami halusinasi cenderung menerima diri
tanpa syarat meskipun telah melakukan kesalahn, kekalahan
dan kegagalan ia tetap merasa dirinya sangat berharga.
a. Hubungan social
Tanyakan siapa orang terdekat di kehidupan klien tempat
mengadu,berbicara, minta bantuan, atau dukungan. Serta tanyakan
organisasi yang di ikuti dalam kelompok/ masyarakat. Klien dengan
halusinasi cenderung tidak mempunya orang terdekat, dan jarang
mengikuti kegiatan yang ada dimasyarakat. Lebih senang menyendiri
dan asyik dengan isi halusinasinya
b. Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah/menjalankan keyakinan,
kepuasan dalam menjalankan keyakinan. Apakah isi halusinanya
mempengaruhi keyakinan klien dengan Tuhannya
c. Aspek medis
Memberikan penjelasan tentang diagnostik medik dan terapi medis.
Pada klien halusinasi terapi medis seperti Haloperidol(HLP),
Clapromazine (CPZ), Trihexyphenidyl (THP).
b. Diagnosa Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian, munculah diagnosa keperawatan :
1. Perubahan sensori persepsi : halusinasi
2. Isolasi sosial : menarik diri
c. Intervensi Keperawatan
Dalam rencana keperawatan yang akan dilakukan pada pasien
dengan gangguan persepsi sensori halusinasi memiliki tujuan yaitu pasien
mampu mengelola dan meningkatkan respon, perilaku pada perubahan
terhadap stimulus (SLKI, 2019) dengan kriteria hasil:
a) Perilaku halusinasi pasien menurun
b) Verbalisasi panca indera pasien merasakan sesuatu menurun
c) Distorsi sensori :menurun
Dalam rencana tindakan keperawatan, dengan mengacu pada
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI, 2019) dan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI, 2018).
d. Implementasi Keperawatan
Menururt Mufidaturrohmah (2017) Implementasi merupakan
tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan
keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan
kolaborasi. Tindakan mandiri merupakan aktivitas perawat yang
didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan
petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain.
Bentuk-bentuk implementasi keperawatan antara lain:
a) Pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mempertahankan masalah yang ada.
b) Pengajaran atau pendidikan kesehatan pada pasien untuk
membantu menambah pengetahuan tentang kesehatan.
c) Konseling klien untuk memutuskan kesehatan klien
d) Bentuk penatalaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk
memecahkan masalah kesehatan.
e) Membantu klien dalam melakukan aktivitas sendiri.
f) Konsultasi atau diskusi dengan tenaga kesehatan lainnya.
Implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan yang
disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah disusun berdasarkan
SIKI (2018). Menurut Stuart (dalam Suhermi, 2021) intervensi yang
diberikan pada pasien halusinasi bertujuan menolong mereka
meningkatkan kesadaran tentang gejala yang mereka alami dan mereka
bisa membedakan halusinasi dengan dunia nyata dan mampu
mengendalikan atau mengontrol halusinasi yang dialami.
Menurut Keliat (2016) Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang sudah direncanakan perawat perlu memvalidasi rencana tindakan
keperawatan yang masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi pasien saa
ini.
e. Evaluasi Keperawatan
Menurut Mufidaturrohmah (2017) evaluasi perkembangan
kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya. Tujuannya adalah untuk
mengetahui perawatan yang diberikan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan
balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah dilakukan
untuk keluarga dan pasien gangguan sensori persepsi halusinasi
pendengaran (Azizah, 2015) adalah sebagai berikut:
a) Pasien Mampu:
1) Mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya.
2) Menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yang dialami.
3) Menjelaskan situasi yang mencetuskan halusinasi.
4) Menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasi.
5) Menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi: menghardik, bercakap-
cakap dengan orang lain, menyusun jadwal kegiatan harian,
mematuhi program pengobatan.
6) Menilai manfaat cara mengontrol halusinasi dalam mengendalikan
halusinasi.
b) Keluarga mampu:
1) Menjelaskan halusinasi yang dialami oleh pasien.
2) Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi melalui empat cara
mengontrol halusinasi yaitu menghardik, minum obat, cakap-
cakap dan melakukan aktifitas dirumah.
3) Mendemonstrasikan cara merawat pasien halusinasi.
4) Menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah pasien.
5) Menilai dan melaporkan keberhasilannnya merawat pasien.
c) Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi terdiri
dari evaluasi formatif adalah hasil dari umpan balik selama proses
keperawatan berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi
yang dilakukan setelah proses keperawatan selesai dilaksanakan dan
memperoleh informasi efektifitas pengambilan keputusan.
Evaluasi keperawatan adalah suatu proses dalam keperawatan
untuk menilai hasil dari implementasi keperawatan. Menurut Keliat
(2016) evaluasi keperawatan diperoleh dengan cara wawancara ataupun
melihat respon subjektif atau objektif klien. Evaluasi terbagi atas dua
jenis, yaitu:
a.Evaluasi formatif Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan
segera setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan
guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data
berupa keluhan klien), objektif (data hasilpemeriksaan), analisa data
(perbandingan data dengan teori), dan Planning (perencanaan).
b. Evaluasi sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan
setelah semua aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan.
Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digunakan pada
evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir layanan,
menanyakan respon pasien dan keluarga terkait layanan keperawatan,
mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan

Anda mungkin juga menyukai