Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI


SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN

Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda

Disusun oleh :

Kelompok I Dwi Setyo Anggraeni, S.Kep


Edi Mansyuri, S.Kep
Makhsunatul Farikhakh, S.Kep
Rosa Sumiati, S.Kep
Sri Wileujeng, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA SAMARINDA


KALIMANTAN TIMUR

2018
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI

SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN

Disusun oleh :

Dwi Setyo Anggraeni, S.Kep NIM P


Edi Mansyuri, S.Kep NIM P

Makhsunatul Farikhakh, S.Kep NIM P 170684


Rosa Sumiati, S.Kep NIM P 170693

Sri Wileujeng, S.Kep NIM P170694

Telah disetujui oleh dosen koordinator dan dosen pembimbing


Pada tanggal Oktober 2018

Dosen Pembimbing Perceptor Klinik

Keperawatan Jiwa Ruang UPIP

(Ns. Amin Huda, S.Kep) (Ns.Asmaw ati, S. Kep)

Mengetahui,

Dosen Koordinator
Keperawatan Jiwa

Ns. Rusdi, M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan hidayahnya,
kami dapat menyelesaikan makalah manajemen asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran. Makalah ini kami susun guna
memenuhi tugas mata ajaran keperawatan jiwa.

Makalah ini membahas tentang “Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami
Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran”. Penyusunan makalah ini bersumber dari
berbagai macam buku-buku referensi serta media elektronik, serta dari bahan pemikiran
penyusun.

Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku dosen-dosen pembimbing serta
teman-teman karena selama menyusun makalah ini, kami mendapat banyak masukan dan
bimbingan dari berbagai pihak, karena kritik dan saran dapat membangun kami penulis dari yang
salah menjadi benar.

Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, akhir kata penulis ucapkan terima
kasih.

Samarinda, Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.
A. Latar Belakang
Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di dunia ini sudah
menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia ini
mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia ini
ditemukan mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien gangguan

jiwa memang sangat mengkhawatirkan (Yosep, 2007).


Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan

yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari


seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang lain. Sedangkan menurut American

Nurses Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu bidang khusus dalam praktek
keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia sebagai ilmu dan penggunaan diri
sendiri secara terapeutik sebagai caranya untuk meningkatkan, mempertahankan,
memulihkan kesehatan jiwa.

Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah

halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi.
Berdasarkan hasil 2 pengkajian di Rumah Sakit Jiwa Medan ditemukan 85% pasien dengan

kasus halusinasi. Menurut perawat di Rumah Sakit Grasia Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta khususnya di ruang kelas III rata- rata angka halusinasi mencapai 46,7% setiap

bulannya (Mamnu’ah, 2010).


Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan individu untuk menilai dan berespon

pada realita. Klien tidak dapat membedakan rangsangan internal dan eksternal, tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan. Klien juga tidak mampu untuk memberikan respon
yang akurat, sehingga tampak perilaku yang sulit dimengerti. Halusinasi adalah penyerapan
(persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua

panca indera dan terjadi disaat individu sadar penuh (Depkes dalam Dermawan dan Rusdi,
2013)

Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan


dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Dermawan dan Rusdi, 2013).

Sedangkan menurut Kusumawati (2010) halusinasi pendengaran adalah klien mendengar


suara-suara yang jelas maupun tidak jelas, dimana suara tersebut bisa mengajak klien

berbicara atau melakukan sesuatu.


Berdasarkan hasil laporan data RSJD Samarinda khususnya Ruang UPIP pada bulan

september 2018 didapatkan data tercatat jumlah pasien Halusinasi laki-laki 30 pasien dan
perempuan 15 pasien jadi total pasien halusinasi dibulan September 2018 adalah 45 pasien.

B. TUJUAN
1. Tujuan umum :
Mahasiswa mendapatkan pengalaman dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada

klien dengan masalah gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran di Rumah


Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Samarinda khususnya Ruang Punai yang meliputi

pengkajian, penegakkan diagnosa, merencanakan dan melaksanakan tindakan


keperawatan, dan mengevaluasi.

2. Tujuan Khusus:
a. Melaksanakan pengkajian data pada klien dengan masalah gangguan persepsi

sensori : halusinasi pendengaran.


b. Menganalisa data pada klien dengan masalah gangguan persepsi sensori :

halusinasi pendengaran.
c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan masalah gangguan persepsi

sensori: halusinasi pendengaran


d. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan masalah gangguan

persepsi sensori: halusinasi pendengaran.


e. Mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan pada klien dengan masalah

gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.


f. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada klien dengan masalah gangguan persepsi
sensori: halusinasi pendengaran

C. MANFAAT PENULISAN
Laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Penulis dapat memperdalam pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang telah

dilakukannya.
2.Klien dapat memaksimalkan kemampuannya untuk dapat mengendalikan jiwanya

sehingga dapat sembuh dari gangguan jiwanya.


3.RSJD Atma Husada hasil tugas akhir/ asuhan keperawatan ini dapat dijadikan sebagai

salah satu bahan acuan dalam menentukan kebijakan operasional Rumah Sakit Jiwa agar
mutu pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan.

4.Pembaca hasil asuhan keperawatan ini, semoga dapat menambah pengetahuan dan
masukan dalam mengembangkan ilmu keperawatan di masa yang akan datang
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. LATAR BELAKANG
Halusinasi adalah salah persepsi yang diterima pancaindera dan berasal dari stimulus

eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan kedalam pengalaman. Pada dasarnya


halusinasi tidak selalu berarti penyakit kejiwaan. Halusinasi penglihatan dapat singkat

maupun terbagi-bagi (misalnya sorotan cahaya atau cahaya), membentuk objek atau bahkan
gambaran berkilau atau kompleks. (Brooker,2009). Menurut World Health

Organization (WHO), sampai tahun 2011 tercatat penderita gangguan jiwa sebesar
542.700.000 jiwa atau 8,1% dari jumlah keseluruhan penduduk dunia yang berjumlah sekitar

6.700.000.000 jiwa. Sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25%
penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya.
Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun (Hardiman, 2013).
Menurut data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,

prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat
terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, danJawa Tengah. Proporsi RT yang

pernah memasung ART gangguan jiwaberat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang
tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indekske

pemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk


Indonesia 6,0 persen. (Kemenkes, 2013).

Dari hasil data Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Provinsi Kalimantan
Timur di Ruang Elang didapatkan data pasien dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi

dari bulan May 32,6% , Juni 28,9% dan Juli 25,2%. Melihat angka seringnya kejadian dari data
di atas gangguan halusinasi merupakan masalah tersendiri bagi profesi keperawatan untuk

mengambil langkah penanganan yang tepat bagi penderita, pemikiran didasarkan bahwa jika
halusinasi tidak ditangani bisa berisiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan,

dan tidak jarang ditemukan harus penderita melakukan tindakan kekerasan karena halusinasi,
maka penulis berinisiatif untuk melakukan Bead side Teaching dengan pasien Halusinasi.

B. Konsep Teori Halusinasi


1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh

pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,


pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011)
dalam Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman

persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak,( 2001) dalam Darmaja
(2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan

rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari
pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001).

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu


yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah
gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca
indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi

terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan
sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.

2. Etiologi

Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :

a. Faktor Predisposisi
1) Faktor genetis

Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom


tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu

gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah

satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%.


Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang

15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.

2) Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,

serotonin, dan glutamat.


a) Studi neurotransmitter

Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan


neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar

serotonin.
b) Teori virus

Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi skizofrenia.

c) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia antara

lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin,
dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.

b. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan

memproses informasi di thalamus dan frontal otak.


2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.

3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur, ketidakseimbangan


irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem syaraf pusat, kurangnya

latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.


4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah

tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas


sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social,

kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam bekerja,


stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat pekerjaan.

5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus asa, tidak
percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya kekuatan

berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia
maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,

ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.


3. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang berbeda

rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2005) dalam Yusalia 2015. Ini
merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu

mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang


diterima melalui panca indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan

dan perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera


walaupun stimulus tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon

individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien

mengalami jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak
sesuai stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut:

Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis  Kadang-kadang proses pikir  Waham


 Persepsi akurat  Halusinasi
terganggu (distorsi pikiran
 Emosi konsisten  Sulit berespons
 Ilusi
 Perilaku disorganisasi
dengan pengalaman  Menarik diri
 Isolasi sosial
 Perilaku sesuai  Reaksi emosi >/<
 Hubungan sosial  Perilaku tidak biasa
harmonis

4. Jenis Halusinasi

Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %

Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,


biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang

sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.


2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran


cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan

kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.


3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan

seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

4. Halusinasi peraba (tactile)


Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus

yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.

5. Halusinasi pengecap (gustatory)


Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan

menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik

Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir


melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

5. Tanda Gejala

Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atautertawa


yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicarasendiri,pergerakan mata

cepat, diam, asyik dengan pengalamansensori,kehilangan kemampuan membedakan


halusinasi dan realitas rentangperhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau

menit, kesukaran berhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat diri.
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden, (1998) dalam

Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan, paling sering suara kata
yang jelas, berbicara dengan klien bahkan sampai percakapan

lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang


terdengar jelas dimana klien mendengar perkataan bahwa pasien

disuruh untuk melakukan sesuatu kadang-kadang dapat


membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar giometris,

gambar karton dan atau panorama yang luas dan komplek.


Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan /sesuatu

yang menakutkan seperti monster.

Membau bau-bau seperti bau darah, urine, fases umumnya


Penciuman baubau yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman biasanya

sering akibat stroke, tumor, kejang / dernentia.


Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine, fases.

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas


Perabaan rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau

orang lain.
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah divera (arteri),

Sinestetik pencernaan makanan.

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak


Kinestetik

6. Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya Stuart
& Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien
1 2 3
Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan emosi Menyeringai atau tertawa yang

ansietas tingkat seperti ansietas, kesepian, rasa tidak sesuai, menggerakkan


sedang, secara bersalah, dan takut serta mencoba bibir tanpa menimbulkan suara,

umum, halusinasi untuk berfokus pada penenangan pergerakan mata yang cepat,
bersifat pikiran untuk mengurangi ansietas. respon verbal yang lambat,

menyenangkan Individu mengetahui bahwa pikiran diam dan dipenuhi oleh sesuatu
dan pengalaman sensori yang yang mengasyikkan.

dialaminya tersebut dapat


dikendalikan jika ansietasnya bias

diatasi
(Non psikotik)
Fase II : Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem syaraf
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, klien otonom yang menunjukkan

ansietas tingkat mulai lepas kendali dan mungkin ansietas, seperti peningkatan
berat, secara umum, mencoba untuk menjauhkan nadi, pernafasan, dan tekanan

halusinasi menjadi dirinya dengan sumber yang darah; penyempitan


menjijikkan dipersepsikan. Klien mungkin kemampuan konsentrasi,

merasa malu karena pengalaman dipenuhi dengan pengalaman


sensorinya dan menarik diri dari sensori dan kehilangan

orang lain. kemampuan membedakan


(Psikotik ringan) antara halusinasi dengan realita.
Fase III: Controlling- Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti petunjuk
ansietas tingkat perlawanan terhadap halusinasi yang diberikan halusinasinya

berat, pengalaman dan menyerah pada halusinasi daripada menolaknya,


sensori menjadi tersebut. Isi halusinasi menjadi kesukaran berhubungan dengan

berkuasa menarik, dapat berupa orang lain, rentang perhatian


permohonan. Klien mungkin hanya beberapa detik atau

mengalarni kesepian jika menit, adanya tanda-tanda fisik


pengalaman sensori tersebut ansietas berat : berkeringat,

berakhir. (Psikotik) tremor, tidak mampu mengikuti


petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-teror
Panik, umumnya mengancam dan menakutkan jika seperti panik, berpotensi kuat
halusinasi menjadi klien tidak mengikuti perintah. melakukan bunuh diri atau

lebih rumit, melebur Halusinasi bisa berlangsung dalam membunuh orang lain, Aktivitas
dalam halusinasinya beberapa jam atau hari jika tidak fisik yang merefleksikan isi

ada intervensi terapeutik. halusinasi seperti amuk, agitasi,


(Psikotik Berat) menarik diri, atau katatonia,

tidak mampu berespon


terhadap perintah yang

kompleks, tidak mampu


berespon terhadap lebih dari

satu orang.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk membantu

klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya dengan
klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih

lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman
aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat

diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat
kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul untuk

membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif
mendengar ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien

atau menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan
menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.

Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya adalah


membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya

halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat
halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah

masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji

pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk
mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara tersebut. Apabila cara
tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat
dapat membantu dengan cara-cara baru.

Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa dilatihkan
kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :

a. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus berusaha

melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih untuk mengatakan,
”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi

muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol
halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik

halusinasi
b. Menggunakan obat.

Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan


neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi penjelasan

bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat
secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan

dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh
untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.

Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang
mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan

dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh
sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah

mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai

salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke
rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara

penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali
ke rumah. Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap

fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi
gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis ;

hentikan obat berikan terapi simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol
hindari menggunakan ephineprine ISO, (2008)dalam Pambayun (2015).
c. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan

meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi persepsinya


pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan

dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus
internal yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan

cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:


d. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.

Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak


dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk

itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi sampai
malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu

memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu
lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga,

yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.

8. Pedoman Asuhan Keperawatan Klien dengan halusinasi


a. Strategi pelaksanaan 1

1) Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien


2) Mengidentifikasi isi halusinasi
3) Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien
4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Menidentifiksi situasi yang menimbulkan halusinasi
6) Mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi
7) Mengajarkan pasien menghardik halusinasi
8) Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal

kegiatan
b. Strategi pelaksanaan 2

1) Mengevaluasi jadwal egiatan harian pasien


2) Mengevaluasi kemampuan menghardik halusinasi
3) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang
lain
4) Meberikan kesempatan pada pasien untuk bercakap-cakap dengan orang lain
5) Memberikan pujian atas kemampuan pasien
6) Menganjurkan pasien memasukan dalam jdwal kegiatan harian
c. Strategi pelaksanaan 3
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Mengevaluasi kemampuan pasien dalam mengendalikan halusinasi dengan

menghardik dan bercakap-cakap dengan orang lain


3) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan ( kegiatan

yang biasa dilakukan pasien di rumah )


4) Menganjurkan pasien memasukan kegiatan dalam jadwal kegiatan harian

d. Strategi pelaksanaan 4
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Mengevaluasi kemampuan pasien dalam mengendalikan halusinasi
3) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan minum obat secara teratur sesuai

prinsip 5 benar
4) Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

D. Evaluasi

1. Kognitif
Preseptor klinik mampu menjelaskan bedside teaching

2. Afektif
Preseptor klinik aktif menerima materi pelatihan

3. Psikomotori
Preseptor klinik mampu menerapkan pembelajaran klinik model bedside teaching

Anda mungkin juga menyukai