“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa
dengan dosen Ibu Kristina Silalahi, S. Kep., Ns., M. Kep.”
Disusun oleh :
Meilis Karina Anugrah Bako
223302070027
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. I Dengan Gangguan
Skizofrenia Paranoid : Halusinasi Pendengaran di RS Jiwa Prof. DR. M. Ilderm ” sebagai
syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Profesi Keperawatan Jiwa.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama
kepada Ibu Krristina Silalahi, S. Kep., Ns., M. Kep selaku dosen pembimbing Praktik Profesi
Keperawatan Dasar yang telah mendukung dan membantu proses penyusunan makalah ini
sehingga bisa selesai tepat pada waktunya.
Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan dapat
menjadi sumber pengetahuan bagi mahasiswa khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena berbagai keterbatasan
yang kami miliki. Oleh karena itu, berbagai bentuk kritikan dan saran yang membangun
sangat saya harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Meilis Karina
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-
negara maju, modern dan industri, yaitu penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan
kecelakaan (Hawari, 2014). gangguan jiwa tersebut ketidak mampuan serta invaliditas
tidak baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pertumbuhan pada
individu dan lingkungan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien. Salah satu jenis
gangguan jiwa psikososial fungsional yang terbanyak adalah Skizofrenia dengan tanda
dan gejala halusinasi merupakan suatu gangguan psikotik yang dapat di tandai dengan
gangguan utama pikiran, persepsi, emosi dan perilaku (APA, 2015; Davidson, neale &
kring 2015). Jenis halusinasi yang umum terjadi yaitu halusinasi pendengaran dan
halusinasi penglihatan. Halusinasi pendengaran tanpa di jumpai adanya rangsangan dari
luar, walaupun dampak sesuatu yang khayal halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari
kehidupan mental penderita yang teresepsi (Yosep, 2016).
Berdasarkan data dari (WHO, 2013) ada sekitar 450 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian dari (Pardede, & Hasibuan,
2019). Prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia di Indonesia, estimasi jumlah
penderita skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk Riskesdas 2013, sedangkan Riskesdas 2018 juga menyebutkan sebanyak 84,9%
pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa
( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita
gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri
penderita skizofrenia menduduki peringkat ke 21 dengan nilai privlalensi 6,3.%, setelah
Provinsi Jawa Timur (Kemengkes, 2019).
Halusinasi pendengaran di pengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor predisposisi dan faktor
presipitasi. Pada faktor predisposisi meliputi, faktor perkembangan, faktor biologi, dan
faktor social budaya. Sedangkan pada 3 faktor presipitasi terjadinya halusinasi
pendengaran meliputi faktor internal maupun eksternal seperti stressor sosial budaya dan
stressor biokimia. Penyebab yang terjadi pada pasien halusinasi pendengaran tersebut
dapat menyebabkan koping individu inefektif seperti ketidak berdayaan, menyangkal
tidak mampu menghadapi kenyataan dan menarik diri dari lingkungan, tidak mampu
menerima realita dengan rasa syukur sehingga hal tersebut dapat menyebabkan harga diri
rendah kronik pada pasien. Jika harga diri rendah kronik pada pasien tidak segera
ditangani, maka pasien tersebut akan mengalami isolasi sosial karena mereka lebih suka
untuk menyendiri dari pada bergabung dengan teman-temannya karena menurut mereka
tidak ada yang bisa membantunya dalam menyelesaikan masalah. pasien merasa bosan
dan lambat menghabiskan waktu, pasien merasa tidak berguna. Isolasi sosial yang dialami
oleh pasien dapat menyebabkan masalah yang lebih serius jika tidak segera diatasi seperti
halusinasi. Halusinasi yang dialami oleh pasien dikarenakan pasien lebih suka menyendiri
dan tidak mau bersosialisasi kepada orang lain sehingga menimbulkan kenyamanan
terhadap kesendiriannya. Kesendiriannya dapat mengakibatkan munculnya perasaan
perasaan seperti melihat seseorang ataupun mendengar seseorang berbicara. Ketika pasien
sudah memasuki pada fase halusinasi dan tidak segera diatasi, masalah yang serius lagi
yang akan di alami oleh pasien yaitu PK atau perilaku kekerasan, sehingga proses
penyembuhan pada pasien akan menjadi lama (Menurut Damaiyanti 2017).
Klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dapat di lakukan
dengan memberikan asuhan keperawatan dan tindakan terapi. 4 Asuhan keperawatan yang
di lakukan pada pasien halusinasi pendengaran yaitu membina hubungan saling percaya,
membantu pasien mengenal penyebab halusinasi pendengaran, membantu pasien
mengenali ke untungan dari membina hubungan dengan orang lain, membantu pasien
mengenal kerugian dari tidak membina hubungan, membantu pasien untuk berinteraksi
dengan orang lain secara bertahap.
Sedangkan pada terapi, ada beberapa macam terapi yang dapat di lakukan pada pasien
halusinasi pendengaran salah satunya yaitu terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas
kelompok terdiri dari terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif / persepsi terapi
aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok orientasi realitas, dan
terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Pada penelitian ini penulis melakukan terapi
aktivitas kelompok sosialisasi.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan 7 sesi dengan indikator pada sesi ke-1 pasien
halusinasi pendengaran dapat memperkenalkan dirinya dengan baik, sesi ke-2 pasien
halusinasi pendengaran dapat berkenalan dengan orang lain secara baik, pada sesi-3pasien
halusinasi pendengaran dapat bercakap-cakap dengan orang lain secara baik, sesi ke-4
pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi pasien halusinasi pendengaran dapat
bercakapcakap topik tertentu dengan baik, sesi ke-5 pada terapi aktivitas kelompok
sosialisasi pasien halusinasi pendengaran dapat bercakap-cakap masalah pribadi dengan
baik, sesi ke-6 pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi pasien halusinasi pendengaran
dapat bekerja sama dengan orang lain secra 5 baik, dan pada sesike-7 pasien halusinasi
pendengaran dapat bersosialisasi dengan baik kepada orang lain.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep Dasar Halusinasi
2.1.1. Defenisi
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang
berbicara (Kusumawati, 2010) dalam laporan (Ananda, 2019). Halusinasi adalah salah
satu gangguan jiwa dimana pasien mengalami perubahan persepsi sensori tentang suatu
objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar
meliputi suara dan semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan, atau pengecapan). (Fitria, 2010) Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. Halusinasi adalah persepsi yang timbul tanpa stimulus eksternal serta tanpa
melibatkan sumber dari luar meliputi semua sistem panca indera. (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditemukan pada pasien
dengan gangguan jiwa (Arisandy, 2020).
2.1.4. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang didapat yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi
faktorbiologis, perkembangan, sosiokultural, biokimia, faktor psikologis, faktor
genetik. (Fitria, 2010)
1) Faktor biologis Menurut Stuart 2010, Abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai
dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal
dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan
dan masalahmasalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
bagian depan dan atropi otak kecil(cerebellum). Temuan kelainan anatomi
otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Faktor perkembangan Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan
hubungan interpersonal terganggu maka individu akan strees dan mengalami
kecemasan. (Fitria, 2010) Rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga
menyebabkan individu tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
3) Faktor Sosiokultural Individu yang merasa tidak diterima lingkungan akan
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.
4) Faktor biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stress yang berlebihan maka didalam tubuhnya akan
dihasilkan suatu hormon yang dapat bersifat halusigenik neurokimia seperti
buffenon dan dimethytransferase (DMP). (Fitria, 2010). Akibat stress yang
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neuro transmitter otak. Misalnya
terjadi ketidakseimbangan acetycholin dan dopamin.
5) Faktor psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan
atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. (Stuart, 2010)
6) Faktor genetic Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil study menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini. (Fitria, 2010)
b. Faktor presipitasi Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam
kelompok, suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik. (Fitria, 2010). Pemicu gejala yang sering
menimbulkan episode baru suatu penyakit yang biasanya terdapat pada respon
neurobiologis yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap
dan perilaku individu:
1) Kesehatan seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat sistem saraf
pusat, gangguan proses informasi, kurang olahraga, alam perasaan abnormal dan
cemas.
2) Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam hubungan
interpersonal, masalah perumahan, stress, kemiskinan, tekanan terhadap
penampilan, perubahan dalam kehidupan dan pola aktifitas sehari-hari, kesepian
( kurang dukungan) dan tekanan pekerjaan.
2.1.5. Akibat yang di timbulkan
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan. Tanda dan Gejala :
1) Memperlihatkan permusuhan
2) Mendekati orang lain dengan ancaman
3) Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4) Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5) Mempunyai rencana untuk melukai
2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi yaitu dengan cara sebagai berikut:
1) Menghardik Halusinasi Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk
mengatasinya, klien harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara
internal juga. Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau
lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu
pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien
mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi
2) Berinteraksi dengan orang lain Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan
hubungan sosialnya. Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan
dapat memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan
stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan
mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber
halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu
bercakap-cakap dengan orang lain.
3) Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan,
kepanikan dan ketakutan klien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata,
kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik
atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah
dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu.
Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya
disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk
berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding,
majalah dan permainan.
4) Melaksanakan program terapi dokter Sering kali klien menolak obat yang diberikan
sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya
secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan
betul ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan. Menggali permasalahan klien dan
membantu mengatasi masalah yang ada Setelah pasien lebih kooperatif dan
komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien yang merupakan penyebab
timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan
data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat
dengan klien.
5) Memberi aktivitas pada klien Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan
gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini
dapat membantu mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan
dengan orang lain. Klien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan
yang sesuai.
6) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga klien dan
petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada kesatuan pendapat dan
kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan klien
diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar lakilaki yang mengejek. Tapi
bila ada orang lain di dekatnya suarasuara itu tidak terdengar jelas. Perawat
menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan
atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada keluarga
klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang
diberikan tidak bertentangan. Farmakologi:
1) Anti psikotik:
o Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
o Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
o Stelazine
o Clozapine (Clozaril)
o Risperidone (Risperdal)
2) Anti parkinson:
o Trihexyphenidile
o Arthan
2.1.7. Rentang Respon Neurologis
Menurut Kusuma (2010) dijelaskan Rentang Respon Neurobiologi gangguan persepsi
sensori : halusinasi, yaitu :
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh normanorma sosial budaya
yang berlaku, dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif ini antara lain : Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada
kenyataan. Persepsi akurat adalah pandangan yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas a) Pikiran Logis
b. Persepsi Akurat
c. Emosi Konsisten
d. Perilaku Sesuai
e. Hubungan Sosial
a) Distorsi pikiran
b) Ilusi
c) Menarik Diri
d) Reaksi Emosi
e) Perilaku tidak biasa
f) Waham
g) Halusinasi
h) Sulit Berespons
i) Perilaku Disorganisasi
j) Isolasi Sosial
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interkasi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptive ini meliputi : Kelainan pikiran yaitu keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walau tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial. Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah satu persepsi eksternal yang tidak
realita atau tidak ada. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati. Perilaku tidak teroganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur. Isolasi
sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai
ketentuan oleh orang lain dan sebagi sesuatu kecelakaan yang negative mengancam.
BAB III
TINJAUAN KASUS
1.1. Pengkajian
I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Tn. I
Umur : 70 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
RM : 047412
Tanggal pengkajian : 01-03-2023
Ruang Rawat : GMO
Tanggal Rawat : 15-08-2022
Informan : Status klien dan wawancara dengan klien
IV. FISIK
1. Tanda vital:
TD : 130/90 mmHg
N : 96 x/menit
S : 36,9 ºC
P : 24 x/menit.
2. Ukur :
TB : 170 cm
BB : 70 Kg
keluhan fisiknya tidak ada masalah yang dialami klien Masalah Keperawatan :
Tidak ada
V. PSIKOSOSIAL
: Laki-laki
: Perempuan
: Klien
: Meninggal
Jelaskan : Tn. I merupakan pasien yang saat ini tinggal bersama keluarganya.
Status Tn. I duda (diceraikan istri) dengan memiliki empat anak dengan kondisi
yang sekarang yang lagi terganggu dengan sering mendengar hal-hal yang tidak
jelas dan suara aneh-aneh sehingga harus
mengkonsumsi obat anti penenang (Obat anti gangguan jiwa)
MK : gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
X. PENGETAHUAN KURANG
Jelaskan : Klien mengatakan mengetahui tentang penyakit jiwa yang diderita tetapi
kurang mengetahui tentang faktor pemicu terjadinya penyakit tersebut.
XI. ASPEK MEDIS
Diagnosa medik:Pasien dengan jenis obat yang pernah dikonsumsi
1. HLP 1,5 Mg (1-0-0 )
2. Clozapine 25 mg ( 0-0-1/2 )
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, BJ.,Ladwig,G.B.,& Makic,M.B.F.(2017). Nursing Diagnosis Handbook, An
Evidence-Based Guide To Planning care. (11th Ed).St. Louis: Elsevier.
Bagus, Pan. 2014. Konsep Halusinasi Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.
www.academia.edu.http://repository.wima.ac.id.Wima. Retrieved Maret 29, 2021,
from http://repository.wima.ac.id/7701/2/BAB%201.pdf
Berman, A., Snyder, S. & Fradsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing (10th
Ed). USA: Perason Education.
Burns, S. M. (2014). AACN Essentials of Critical Care Nursing.(3th ed). New York:
McGraw-HIE education.
Dougherty, L & Lister, S. (2015). Manual of Clinical Nursing Prosedures (9th ed), UK: The
Royal Marsden NHS Foundation Trust.
Grainjer, A. (2013). Principies of Temperature Monitoring. Nursing standard, 27(50),48-55.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2014). Nursing Diagnosis Definitions and classification
2015-2017. (10th Ed). Exford: Wiley Blakwell.
Iyus, Y. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi I. Jakarta: Refika Aditama.
Keliat, B A. dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course).
Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Kemenkes. 2018. Angka kejadian gangguan kesehatan jiwa di Indonesia. Diakses
dari:http://www.surkesnas.unad.ac.id.
Kusumawati dan Hartono .(2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa .Jakarta : SalembaMedika
Monita, A. (2018, Oktober 17). Makalah Keperawatan Jiwa Tentang Halusinasi. Retrieved
Maret 29, 2021, from id.Scribd.com/Document/3
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. H. (2015). Jogjakarta: Mediaction.
Perry, A.G. & Potter, P. A. (2014). Nursing Skills & Procedures (8th ed). St Louis: mosby
Elsevier
Rahman. (2019, September 26). Retrieved Maret, 29 2021, from id.Scribd.com/document.
Wilkinson,J.M., Treas, L. S., Barnett, K. & Smith, M. H. (2016). Fundamentals of Nursing
(3th ed). Philadelphia: F. A. Davis Company.