Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KELOMPOK

“Asuhan keperawatan pada Tn.A dengan isolasi sosial

Di ruang bangau Rs Ernandi Bahar”

KELOMPOK: R.bangau

Risky Amrin S 21117102


Shelly Nugraha 21117107
Weny Kusuma 21117131
Widya 21117132
Winda Claudya N 21117133
Windy Puspita U 21117135
Wisma Wardani 21117136

Pembimbing : Efroliza,S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan penulis


kelancaran dalam menyusun makalah ini, sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang
telah membantu dalam pembuatan karya tulis ini dan berbagai sumber yang telah
kami pakai sebagai data dan fakta pada karya tulis ini.

Kami mengakui bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam berbagai


hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna. Begitu pula dengan karya tulis ini yang telah selesaikan. Tidak semua
hal dapat penulis deskripsikan dengan sempurna dalam karya tulis ini. Penulis
melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang penulis miliki. Di
mana penulis juga memiliki keterbatasan kemampuan.

Maka dari itu penulis bersedia menerima kritik dan saran. Penulis akan
menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat
memperbaiki karya tulis penulis di masa mendatang. Sehingga semoga karya tulis
berikutnya dan karya tulis lain dapat diselesaikan dengan hasil yang lebih baik.

Palembang, 22 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi,
dan sosial, yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,
perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan
emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan perseorangan,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, dan
lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008). Gangguan jiwa adalah bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang
disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-
fungsi kejiwaan terhadap stimulus eksternal dan keteganganketegangan.
Sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari satu
bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Salah satu bentuk dari
gangguan kesehatan jiwa adalah skizofrenia.
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa yang banyak dijumpai
dimana-mana namun faktor penyebabnya belum dapat diidentifikasi secara
jelas. Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi
persepsi klien, cara berfikir, bahasa, dan perilaku sosialnya (Hermann
2008 dikutip Direja 2011). Skizofrenia adalah suatu penyakit persisten dan
serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta
memecahkan masalah (Stuart, 2007).
Isolasi sosial termasuk dalam skizofrenia karena isolasi sosial adalah
keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya.Manusia adalah mahluk sosial, dalam mencapai kepuasan
dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal yang
positif. Hubungan interpersonal yang sehat terjadi jika individu yang
terlibat saling merasakan kedekatan sementara identitas pribadi tetap
dipertahankan. Individu juga harus membina hubungan saling tergantung,
yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian
dalam suatu hubungan. Ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Satu
diantaranya adalah isolasi sosial (Stuart, 2007).Secara alamiah manusia
tidak dapat hidup sendiri dan sangat bergantung pada orang lain untuk
memenuhi segala kebutuhanya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia baik
sebagai individu, maupun sebagai bagian dari kelompok dan masyarakat
selalu berinteraksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi, manusia selalu
menggunakan media sebagai penyampaian maksud dan tujuanya. Media
tersebut seringkali dikenal dengan istilah komunikasi. Komunikasi
merupakan interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem linguistik,
seperti sistem simbol verbal (kata-kata), verbal dan non-verbal. Sistem ini
dapat disosialisasikan secara langsung/tatap muka atau melalui media lain
(tulisan, oral dan visual) (Knapp, 2003 dalam Liliweri 2007).
Seringkali orang yang mengalami isolasi sosial juga akan mengalami
gangguan/hambatan komunikasi verbal yaitu penurunan, perlambatan, atau
ketiadaan kemampuan untuk menerima, memproses pesan (stimulus) yang
diterima, dan tidak mampu memberi respons yang sesuai karena kerusakan
sistem di otak. Pasien memperlihatkan cara berkomunikasi yang tidak
sesuai dengan stimulus dari luar, jawaban tidak sesuai dengan realitas
(Keliat, 2011).Banyak pasien gangguan jiwa mengalami kesulitan
komunikasi verbal, padahal komunikasi verbal merupakan salah satu
komponen penting dalam proses penyembuhan pasien. Kerusakan
komunikasi verbal didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika seorang
individu mengalami, atau dapat mengalami, penurunan kemampuan atau
ketidakmampuan untuk berbicara tetapi dapat mengerti orang lain
(Carpenito, 2006).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan isolasi sosial menarik
diri pada Tn. S di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera
Selatan
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dan perumusan yang hendak dicapai adalah
kemampuan untuk :
a) Mampu melakukan pengkajian pada Tn. S dengan Gangguan
konsep diri “ isolasi sosisal menarik diri”
b) Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan konsep diri “isolasi sosial menarik diri”
c) Mampu menyusun rencana keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan konsep diri “isolasi sosial menarik diri”
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan konsep diri “isolasi sosial menarik diri” sesuai dengan
rencana keperawatan yang sudah disusun
e) Mampu melakukan evaluasi sesuai implementasi yang dilakukan
pada Tn. S dengan gangguan konsep diri “isolasi sosial menarik
diri”
C. Manfaat
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat
praktis dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam
pengelolaan keperawatan dengan isolasi sosial. Juga diharapkan menjadi
informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam pengelolaan
keperawatan dengan isolasi sosial. Serta dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teori yang dimiliki penulis dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan masalah utama: isolasi sosial menarik diri.
BAB II

TINJAUAN TEORI DARI JURNAL

Hubungan Interpersonal Peplau dimulai dari fase identifikasi dan


fase orientasi, pada tahap ini didapatkan karakteristik klien yang dirawat
sebagian besar berusia dewasa yaitu usia antara 25- 59 tahun yaitu sebesar
87%.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitaian yang dilakukan (Sukri,
Keliat & Mustikasari, 2014) dimana klien dengan halusinasi dan isolasi
sosial 94.1% berusia antara 25 – 44 tahun. Jenis kelamin klien yang
dirawat 100% berjenis kelamin laki-laki.hal ini disebabkan karena ruang
yang digunakan merupakan ruang rawat intermediate laki-laki. Kaplan,
Sadock, & Grebb (2010) menyatakan laki-laki lebih mungkin
memunculkan gejala negatif dibandingkan dengan wanita, dan wanita
tampak memiliki fungsi sosial yang lebih baik di bandingkan dengan laki-
laki.

Faktor predisposisi yang terbesar adalah riwayat gangguan jiwa


sebelumnya, klien yang telah lama mengalami gangguan jiwa cenderung
mempunyai perilaku menarik diri dan komunikasi terbatas hal ini
merupakan respon maladaptif dari klien. Semakin lama klien yang
mengalami kekambuhan klien banyak mendapatkan stressor dari berbagai
aspek kehidupan. Stuart (2013) menyatakan jumlah stressor yang dialami
seseorang pada kurun waktu tertentu akan semakin memperburuk akibat
yang diterima individu tersebut. Riwayat pengguna napza juga memiliki
kontribusi yang besar yaitu 39.1 %. Riwayat penggunaan napza berakibat
pada kerusakan otak yang akan mempengaruhi proses berfikir, menilai dan
mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga kerusakan pada otak bisa
mengalami perilaku menarik diri dan risiko perilaku kekerasan. Faktor
Predisposisi secara psikologis pada klien dengan isolasi sosial yang
terbanyak adalah keinginan tidak terpenuhi yaitu berjumlah 23.1%,
pengalaman yang tidak menyenangkan adalah 1.4% dan tipe kepribadian
tertutup adalah 4.3%. Faktor Predisposisi secara psikologis pada klien
dengan isolasi sosial yang terbanyak adalah keinginan tidak terpenuhi
yaitu berjumlah 23.1%, pengalaman yang tidak menyenangkan adalah
1.4% dan tipe kepribadian tertutup adalah 4.3%.Faktor sosial budaya yang
mempengaruhi klien dengan gangguan jiwa adalah usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan penghasilan pekerjaan latar belakang budaya, nilai
sosial dan pengalaman indiidu (Stuart, 2013).

Faktor predisposisi secara sosial budaya pada klien dengan isolasi


sosial adalah masalah pekerjaan dimana klien sulit untuk mendapatkan
pekerjaan sehingga berdampak pada masalah ekonomi yang dialami oleh
klien.

Respons afektif pada klien dengan isolasi sosial adalah merasa


sedih, afek tumpul, merasa tidak diperdulikan orang lain, malu kesepian,
merasa ditolak orang lain dan merasa tertekan atau depresi. Hal ini sesuai
dengan Nanda (2012) respons afektif pada klien isolasi sosial adalah
merasa bosan, dan lambat dalam menghabiskan waktu, sedih afek tumpul
dan kurang motivasi Klien yang dirawat dengan diagnosa isolasi sosial
mengalami penurunan tanda dan gejala secara afektif rat-rata 29.9%.
Penurunan tanda gejala secara afektif yang terbesar dalam karya ilmiah ini
adalah merasa tertekan/depresi yaitu sebesar 50.7%, hal ini disebabkan
pada klien isolasi sosial sebelum dilakukan intervensi merasa tertekan dan
depresi namun dengan menggunakan pendekan hubungan interpersonal
Peplau dimana sesuai tahapannya di mulai dari fase orentasi, fase
identifikasi, fase eksploitasi dan fase resolusi. pendekatan ini berdampak
terhadap perasaan klien tertekan atau depresi karena klien dan perawat
sudah terjalin hubungan saling percaya sehingga klien menjadi tidak takut
dengan hubungan klien dan perawat, sehingga klien mampu
mengeksplorasi perasaan klien dengan baik.

Fase identifikasi merupakan fase dimana perawat melakukan


pengkajian terhadap klien dengan melakukan eksplorasi perasaan klien.
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat menggunakan format pengkajian
berdasarkan dari Stuart yaitu terdiri dari faktor Predisposisi/ faktor
pendukung, faktor presipitasi /faktor pencetus yaitu suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesempatan, ancaman, tuntutan
terhadap penilaian stressor. Fase identifikasi ini perawat menggali semua
yang di rasakan oleh klien dan yang diharapkan oleh klien, hal ini sesuai
dengan (Parker & Smith, 2010) yang menyatakan bahwa pada fase
orientasi ini klien mengekspresikan semua perasaan yang ingin diatasi dan
perawat membantu klien untuk memperbaiki sesuai dengan apa yang
dirasakan oleh klien. pada fase identifikasi ini perawat menentukan
diagnosa keperawatan, menentukan tujuan dan kriteian hasil serta
menetukan rencana tindakan yanga akan dilakukan dan evaluasi (Peplau,
1992 dalam Parker & Smith, 2010) Penulis dalam hal ini menetapkan
diagnoasa pada klien dengan masalah isolasi sosial dan masalah risiko
perilaku kekerasan, menetapkan tujuan dan rencana tindakan yang akan
dilakukan dan merencanakan evaluasi yang dilakukan, setelah semua di
tetapkan penulis masuk ke tahap kerja/fase eksploitasi.

Fase kerja atau fase eksploitasi merupakan fase dimana perwat


melakukan manajemen asuhan pada klien dengan isolasi sosial dan risiko
perilaku kekerasan yang dialami oleh klien, penulis mencoba mengatasi
dengan pemberian terapi generalis isolasi sosial. . Pemberian terapi ini
penulis lakukan dengan bantuan perawat ruangan dan mahasiswa
keperawatan yang sedang praktek dengan membagi kasus kelolaan pada
saat sedang dilakukan preconference. Sebelum pemberian terapi generalis
perawat melakukan pengkajian dan melakukan pre test kepada pasien
dengan menanyakan beberapa tanda gejala isolasi sosial, serta kemampuan
klien dalam bersosialisasi Pemberian terapi generalis diberikan bersamaan
dengan pemberian terapi aktivitas kelompok dan terapi spesialis. Terapy
spesialis yang diberikan adalahsocial skill training, Tujuan pemberian
terapi ini adalah supaya klien menpunyai kemampuan berkomunikasi yang
baik, dan klien mampu merubah peilaku klien yang masih kurang baik
dimana hasil akhirnya adalah klien mampu asertif dalam mengatasi semua
stessor yang dihadapi oleh klien. Fase eksploitasi merupakan fase dimana
klien ketergantungan, kemandirian dan saling ketergantungan yang
bertujuan untuk agar klien mampu mengurangi kecemasan dan pada
akhirnya klien mampu memecahkan masalahnya sendiri (Fitzpatrik,2005
dalam Parker & Smith, 2010).

Respons perilaku pada klien dengan isolasi sosial adalah banyak


melamun, melakukan pekerjaan tidak tuntas, banyak berdiam diri dikamar,
dipenuhi oleh pikiran sendiri dan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-
hari. Pada penelitian ini didapatkan penurunan rata-rata untuk respon
perilaku sebesar 24.4%. Respons perilaku pada klien dengan isolasi sosial
sesuai dengan (Keliat, 2010) yang menyatakan bahwa klien respons
perilaku yang muncul pada klien dengan isolasi sosial adalah menarik diri,
menjauh dari orang lain, tidak atau malas melakukan komuikasi, tidak ada
kontak mata, malas bergerak dan melakukan aktivitas, berdiam diri
dikamar, menolak berhubngan dengan orang lain dan sikap bermusuhan.

Psycoedukasi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada


keluarga, peningkatan kemampuan keluarga meningkat sebesar 73 %.Hal
ini sejalan dengan pernyataan dari Rufono, Kuhn dan Evans (2005) yang
menyatakan family psikoeukasi dapat meningkatkan kemampuan keluarga
dalam problem solving, kemampuan koping keluarga, kemampuan dlam
mengasuh klien dengan gangguan jiwa.Psycoedukasi bermanfaatt untuk
klien dengan Skizofrenia, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Kulhara at all (2008) Psikoedukasi yang rutin dilakukan kepada keluarga
dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien.Meningkatnya kemampuan keluarga dalam merawat klien
berdampak terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien sehingga
diharapkan kemampuan klien meningkat.
BAB III

RESUME

ISOLASI SOSIAL

A. PENGKAJIAN
Ruang Rawat : Bangau
Tanggal Dirawat :-
1. Identitas klien
Inisial : Tn. S (Laki-laki)
Tanggal pengkajian : 22 – 10 – 2019
Umur :-
RM No :-
Informan : pasien

2. Alasan masuk rs : Isolasi sosial


3. Keluhan utama : Tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain (menarik
diri)
4. Status mental
a. Penampilan : Tidak rapi
Jelaskan : pasien tidak bercukur
Masalah keperawatan : Defisit perawatan diri
b. Pembicaraan : lambat
Jelaskan : suara pasien tidak jelas dan
menggunakan bahasa
Daerah
Masalah keperawatan : Isolasi sosial
c. Aktivitas motorik : Tremor
Jelaskan : pasien gemetar saat berjabat tangan
Masalah keperawatan : Isolasi sosial
5. Tingkat kesadaran : Bingung
Jelaskan : saat bericara pasien terlihat binggun
Masalah keperawatan : Isolasi sosial
6. Memori : Gangguan daya ingat jangka
pendek
Jelaskan : pasien sulit mengingat saat
berkenalan
Masalah keperawatan : Isolasi sosial
7. Analisa data
DS : -
DO :
a. Pasien tidak mampu berkenalan dengan orang lain
b. Pasien menarik diri
c. Kontak mata kurang
d. Kurang perawatan diri
e. Pasien mampu berjabat tangan dan menyebutkan namanya
8. Daftar masalah keperawatan
a. Isolasi sosial
b. Defisit perawatan diri
9. Daftar diagnosa keperawatan
a. Isolasi sosial
b.d sumber
personal yang
tidak adekuat
10. Intervensi
Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi

Isolasi sosial b.d 1. Klien dapat 1. Klien dapat 1. klien mampu


sumber personal yang mengatakan menyebutkan menyebutkan penyebab
tidak adekuat penyebab penyebab isolasi isolasi sosial
Isolasi sosial sosial yang 2. klen mengetahui
Ds: -
Do: 2. Klien mampu berasal dari: keuntungan dan kerugian
- Pasien tidak menyebutkan - Individu berinteraksi dengan orang
mampu keuntungan - Orang lain lain
berkenalan dan kerugian - Lingkungan 3. pasien mampu melakukan
dengan orang berinteraksi 2. Kelien depat interaksi bertahap dengan
lain dengan orang menyebutka orang lain dan depat
- Pasien lain keuntungan berkenalan dengan orang
menarik diri 3. Klien mampu berinteraksi lain
- Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain,
berjabatan
dan misalnya:
tangan dan
menyebutkan berkenalan - Banyak
nama dengan orang teman
- Kontak mata lain - tidak
kurang sendiri
- Kurang - bisa diskusi
perawatan diri dengan orang
lain
3. klien dapat
menyebutkan
kerugian tidak
berinteraksi
dengan orang
lain, misalnya:
- sendiri
- tidak punya
teman
- sepi
4. klien dapat
meperktekan cara
berkenalan
dengan orang lain

11. Evaluasi / SOAP


Implementasi Evaluasi

1. membantu klien menyebutkan S : -


penyebab isolsi sosial O : Pasien tidak mampu berkenalan
2. membantu klien untuk dengan orang lain
mengidentivikasi aktivitas yang
Pasien menarik diri
bermakna
3. membantu pasien mengetahui Kontak mata kurang
keuntungan dan kerugian Kurang perawatan diri
berinteraksi dengan orang lain
A :pasien belum mampu mengatakan
4. mengajarkan klien cara
penyebab isolasi sosial
berkenalan
,keuntungan dan kerugian dari
berinteraksi

P: Masalah belum selesi,intervensi


dilanjutkan Ajarkan pasien untuk
melakukan kegiatan aktivitas
terjadwal

12. Strategi pelaksanaan pada pasien “Isolasi sosial”

A. Preses pengkajian
1. Kondisi klien
Ds :
Do:
a. Pasien tidak mampu berkenalan dengan orang lain
b. Pasien menarik diri
c. Pasien mampu berjabatan tangan dan menyebutkan nama
d. Kontak mata kurang
e. Kurang perawatan diri
2. Diagnose keperawatan
Isolasi social
3.Tujuan umum :klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan khusus:
 Klien dapat membina hubungan saling percaya
 Klien dapat menyebutkan penyebab isolasi social
 Klien mampu menyebutkan keuntungan dan kerugianhubungan
dengan orang lain
 Klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
 Klien mampu menjelaskan perasaa setelah berhubungan dengan
orang lain
 Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan
social
 Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
2. Tindakan keperawatan
 Membina hubungan saling percaya
 Mengidentifikasi penyebab isolasi social pasien
 Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
 Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan
orang lain
 Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan 1 orang
 Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bicang dengan orang lain dalam kegiatan harian

3. Starategi pelaksanaan
Strategi Pelaksanaan Pasien
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien
mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal
keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan.
ORIENTASI
Salam Terapeutik
“Selamat pagi ” assalamualaikum wr wb
“Saya perawat A , Saya Mahasiswa stikes muhammadiyah
Palembang .”.“Kalau boleh tahu Siapa nama Bapak? Bapak Senang
dipanggil siapa?”
Validasi
“Apa keluhan Bapak hari ini?” Bagaimana kalau kita ngobrol tentang
keluarga dan teman-teman bapak ? Mau dimana kita ngobrol? Bagaimana
kalau di ruang tamu? Mau berapa lama pak? Bagaimana kalau 15 menit??”
KERJA:
(Jika pasien baru)
”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan Bapak?
Siapa yang jarang ngobrol dengan bapak? Apa yang membuat bapak
jarang ngobrol dengannya?” (Jika pasien sudah lama dirawat) ”Apa yang
bapak rasakan selama bapak dirawat disini? O.. bapak merasa sendirian?
Siapa saja yang bapak kenal di ruangan ini”. “Apa saja kegiatan yang biasa
bapak lakukan dengan teman yang bapak kenal?”. “Apa yang menghambat
bapak dalam berteman atau ngobrol dengan pasien yang lain?”. ”Menurut
bapak apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar,
ada teman ngobrol. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan
beberapa). Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya bapak?
Ya, apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa). Jadi banyak
juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah bapak belajar
bergaul dengan orang lain ?. ”Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita
belajar berkenalan dengan orang lain”.“Begini loh bapak, untuk
berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan nama
panggilan yang kita suka asal kita d
an hobi. Contoh: Nama Saya Selawati, senang dipanggil Sela. Asal saya
dari Banjarnegara, hobi traveling”. “Selanjutnya Bapak menanyakan nama
orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini: Nama Bapak siapa?
Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?” “Ayo Bapak
dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan Bapak. Coba berkenalan
dengan saya!” “Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”.“Setelah
bapak berkenalan dengan orang tersebut Bapak bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan bapak bicarakan.
Misalnya tentang cuaca, hobi, keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”
TERMINASI:
Evaluasi ”Bagaimana perasaan bapak setelah kita latihan berkenalan?”.
“Bapak tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”.
Rencana Tindak Lanjut ”Selanjutnya bapak dapat mengingat-ingat apa
yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada. Sehingga bapak lebih siap
untuk berkenalan dengan orang lain. Mau jam berapa mencobanya? Mari
kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya.” ”Besok pagi jam 10 saya
akan datang kesini untuk mengajak bapak berkenalan dengan teman saya,
perawat M. bagaimana, bapak mau kan?”.”Baiklah, sampai jumpa.”
SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap
berkenalan (klienperawat lain)
ORIENTASI
Salam Terapeutik
“Selamat pagi bapak!”Masih ingat dengan saya? Iya betul pak saya
perawat Surianni. Validasi
“Bagaimana perasaan bapak hari ini?. “Sudah dingat-ingat lagi pelajaran
kita tentang berkenalan Coba sebutkan lagi sambil bersalaman dengan
perawat !”. “Bagus sekali, Bapak masih ingat.” Kontrak (waktu, tempat,
topik) “Nah seperti janji saya, saya akan mengajak bapak mencoba
berkenalan dengan teman saya perawat M. Tidak lama kok, sekitar 10
menit”.“Ayo kita temui perawat M disana”
KERJA :
( Bersama-sama klien saudara mendekati perawat M)
“Selamat pagi perawat M, ini ingin berkenalan dengan T” “Baiklah
Bapak, Bapak bisa berkenalan dengan perawat M seperti yang kita
praktekkan kemarin” (Pasien mendemonstrasikan cara berkenalan dengan
perawat M : memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama
perawat, dan seterusnya) “Ada lagi yang bapak ingin tanyakan kepada
perawat M. Coba tanyakan tentang keluarga perawat M”. “Kalau tidak ada
lagi yang ingin dibicarakan, bapak bisa sudahi perkenalan ini. Lalu bapak
bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat M, misalnya jam 1 siang
nanti” “Baiklah perawat M, karena bapak sudah selesai berkenalan, saya
dan bapak akan kembali ke ruangan bapak. Selamat pagi” (Bersama-sama
pasien, saudara meninggalkan perawat M untuk melakukan terminasi
dengan klien di tempat lain)
TERMINASI:
Evaluasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah berkenalan dengan perawat M”.
“Bapak tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”.”Pertahankan terus apa
yang sudah ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan topik lain
supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi,
dan sebagainya. “Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita
masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2
kali. Baik nanti bapak coba sendiri.” Rencana Tindak Lanjut ”Besok kita
latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.”
SP 3 Pasien : Melatih pasien berinteraksi secara bertahap berkenalan
(klienperawat-klien lain)
fORIENTASI:
Salam Terapeutik
“Selamat pagi pak! Masih ingat dengan saya? Iya betul saya perawat
Surianni” Validasi “Bagaimana perasaan hari ini?”.”Bagaimana perasaan
bapak setelah bercakap-cakap dengan perawat M kemarin siang”.”Bagus
sekali bapak menjadi senang karena punya teman lagi” Kontrak (waktu,
tempat, topik) ”Kalau begitu bapak ingin punya banyak teman
lagi?”.”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain,
yaitu Tn.G.”seperti biasa kira-kira 10 menit.”Mari kita temui dia di ruang
makan”.
KERJA
( Bersama-sama klien mendekati Tn.G)
“Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan”.“Baiklah Pak,
Bapak sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah bapak
lakukan sebelumnya”. (pasien mendemontrasikan cara berkenalan:
memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan hobi dan
menanyakan hal yang sama). “Ada lagi yang bapak ingin tanyakan kepada
Tn.” “Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, bapak bisa sudahi
perkenalan ini. Lalu bapak bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu
lagi jam 4 sore nanti”.“Baiklah, karena bapak sudah selesai berkenalan,
saya dan klien akan kembali ke ruangan. Selamat pagi “ (Bersama-sama
pasien saudara meninggalkan Tn.G untuk melakukan terminasi)
TERMINASI
Evaluasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah berkenalan dengan Tn.G?”.
”Pertahankan apa yang sudah bapak lakukan tadi. Jangan lupa untuk
bertemu kembali dengan Tn.G jam 4 sore nanti”. ”Selanjutnya, bagaimana
jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita
tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari bapak dapat berbincang-
bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang
dan jam 8 malam, selanjutnya bapak bisa berkenalan dengan orang lain
lagi secara bertahap. Bagaimana bapak, setuju kan?” Rencana Tindak
Lanjut ”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk bercakap-cakap saat
melakukan kegiatan seharihari. Pada jam yang sama dan tempat yang sama
ya. Sampai jumpa besok.”
SP 4 pasien : Menjelaskan dan melatih klien bercakap-cakap saat
melakukan kegiatan sehari-hari.
ORIENTASI:
Salam Terapeutik
“Selamat pagi pak! Masih ingat dengan saya? Iya betul saya perawat
Surianni Validasi “Bagaimana perasaan hari ini?”.”Bagaimana perasaan
bapak setelah bercakap-cakap dengan Tn.G kemarin siang”.”Bagus sekali
bapak menjadi senang karena punya teman lagi”. Kontrak (waktu, tempat,
topik) ”Kalau begitu bapak ingin punya banyak teman lagi?”. ”Bagaimana
kalau sekarang kita bercakap-cakap lagi dengan orang lain, yaitu Tn.H
seperti biasa kira-kira 10 menit.”Mari kita temui dia di ruang makan”.
KERJA
( Bersama-sama klien mendekati Tn.H)
“Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin bebincang-
bincang”.“Baiklah Pak, Bapak sekarang bisa berkenalan dengannya seperti
yang telah bapak lakukan sebelumnya”. (pasien mendemonstrasikan cara
berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan
hobi dan menanyakan hal yang sama). “Selanjutnya bapak bisa
berbincang-bincang dengan Tn.H, seperti menanyakan tentang keluarga
atau pengalamnya”.“Ada lagi yang Bapak ingin tanyakan kepada
Tn.H”.“Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Bapak bisa sudahi
perbincangan ini. Lalu bapak bisa buat janji bertemu lagi, misalnya
bertemu lagi jam 4 sore nanti”.“Baiklah, karena bapak sudah selesai
berbincang, saya dan klien akan kembali ke ruangan. Selamat pagi”
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan Tn.H untuk melakukan
terminasi)
TERMINASI
Evaluasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang dengan
Tn.H?”.”Pertahankan apa yang
sudah bapak lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan
Tn.H jam 4 sore nanti” ”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan bercakap-
cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu
hari bapak dapat berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali,
jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam. Selanjutnya Bapak bisa
berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana bapak,
setuju kan?” Rencana Tindak Lanjut ”Baiklah, besok kita ketemu lagi
untuk bercakap-cakap saat melakukan kegiatan seharihari pada jam yang
sama dan tempat yang sama ya. Sampai jumpa besok.”
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Definisi Isolasi sosial


Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya. Pasin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
disekitarnya (Keliat, 2011).
Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan
Hartono Y (2010) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan
seseorang karena orang lain menyatakan negatif dan mengancam.
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan (Dalami, dkk. 2009). 
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu
yang diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang
negatif atau mengancam (Wilkinson, 2007).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu keadaan dimana seseorang
individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Budi Anna Kelliat, 2006 ).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin,
1993 dikutip Budi Kelliat, 2001). Faktor perkembangan dan sosial budaya
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial. (Budi
Anna Kelliat, 2006).
B. Etiologi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
faktor presipitasi.
1. Faktor predisposisi
Menurut Fitria (2009) faktor predisposisi yang mempengaruhi
masalah isolasi sosial yaitu:
1) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas
perkembangan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi
gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas tersebut tidak
terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial
yang nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan
dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk hubungan
dengan lingkungan diluar keluarga.
3) Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan
dapat menyebabkan hubungan sosial, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakit
kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan
sosialnya.
4) Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh
yang dapat mempengaruhi gangguan hubungan sosial adalah
otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak
seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel
dalam limbic dan daerah kortikal.
2. Faktor presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial
juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor
stressor presipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
2) Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang
terjadi akibat kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan
dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat
tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhi kebutuhan individu..
C. Tanda dan Gejala
1. Subyektif
a. Tidak berminat
b. Perasaan berbeda dengan orang lain
c. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
d. Merasa sendirian
e. Menolak interaksi dengan orang lain
f. Mengungkapkan tujuan hidup yang tidak adekuat
g. Merasa tidak diterima
2. Obyektif
a. Tidak ada dukungan orang yang dianggap penting
b. Afek tumpul
c. Adanya kecacatan ( missal fisik, mental)
d. indakan tidak berarti
e. Tidak ada kontak mata
f. Menyendiri / menarik diri
g. Tindakan berulang
h. Afek sedih , Tidak komunikatif
D. Rentang Respon
1. Respon adaptif
adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan
Purwanto T. (2013) respon ini meliputi:
a. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk
merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu
cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial,
individu mamapu menetapkan untuk interdependen dan
pengaturan diri.
c. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian,
saling member, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
d. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling
tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
2. Respon maladaptif
Adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan
cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon
maladaptive tersebut adalah:
a. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat
untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar dari pengalaman
dan miskin penilaian.
c. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris,harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat
dukungan dari orang lain.
d. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Kecemasan koping yang sering digunakan adalah regresi, represi
dan isolasi. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat digunakan
misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan
teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas
untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau
tulisan, (Stuart and sundeen,1998:349).
F. Akibat
Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori
halusinasi adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus
eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan
seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya
tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari
panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun
yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau
histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi
tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan
(pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan
tetapi yang paling umum adalah halusinasi pendengaran.
G. Masalah keperawatan yang muncul
1. Isolasi sosial
2. Harga diri rendah
3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
4. Koping individu tidak efektif
5. Intoleran aktivitas
6. Deficit perawatan diri
7. Resiko mencederai diri
H. Penatalaksanaan
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-
fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan  dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan
otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra
okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra
pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik,
agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki
efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan
irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis
dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina
dan fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan
tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan
memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain
ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien
mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu
pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan
dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke
dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku
pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan
gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini
yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan
sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien,
misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya
dan sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti
tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya
jika ada kesulitan dan sebagainya.
3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan
saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok
(lebih dari dua orang).
5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan
rumah sakit.
6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun
orang lain.
7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya,
seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok
sembarangan dan sebagainya.
G. Pohon masalah

Resiko gangguan sensori persepsi halusinasi

Isolasi sosial Deficit perawatan diri

Mekanisme koping tidak efektif

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah mengobservasi tindakann pemberian asuhan keperawatan
jiwa pada Tn. S dengan gangguan isolasi sosial menarik diri diruang
bangau RS. Ernaldi Bahar, dapat disimpukan bahwa :
1. Untuk mencapai hasil maksimal dalam asuhan keperawatan perlu
mebina hubungan saling percaya antara perawat dan klien dan
merupakan kunci utama dalam proses selanjutnya
2. Dukungan dan kepedulian keluarga perlu guna membantu proses
penyembuhan klien
B. Saran
Beberapa saran dari kami sebagai penulis untuk semua pihak agar lebih
baik dimasa yang akan datang :
1. Untuk perawat dan tenaga kesehatan lainnya, binalah hubungan saling
percaya dengan klien agar tejadi komunikasi terapeutik sehingga klien
dapat mengungkapkan semua permasalahannya agar tercapai
keberhasilan proses asuhan keperawatan.
2. Untuk keluarga klien, sisihkanlah waktu untuk mengunjungi klien
selama dirawat dirumah sakitdan terimalah klien apa adanya serta
berikan dukungan dan perhatian yang dapat mepercepat proses
penyembuhan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHM


(Basik Course). Jakarta: EGC

Stuart, G.w & Sundeen, S.J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa
(terjemahan). Ed. 3. Jakarta: EGC

Herman, Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan laporan
pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk
7 diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi program S-1 Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika

Townsend M.C, 1998. Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri,


pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai