Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN ISOLASI SOSIAL

Oleh :

Dita Anggraini Purnamalia (010216A020)

Arif Abdurrahman (010216A0)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN REGULER TRANSFER

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya

terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah mata kuliah keperawatan jiwa II yang berjudul ”Asuhan Keperawatan Jiwa

Pada Klien Dengan Isolasi Sosial” kemudian sholawat beserta salam kita sampaikan

kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yaiutu

Al-qur’an sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan jiwa di program

studi S1 keperawatan selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang sealau memberi motivasi

2. Kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan

sealama penulisan makalah ini

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan

dalam penuliasan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran

secara konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ungaran, September 2017

Penuli
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

manusia, karena tanpa kesehatan manusia sulit untuk menjalankan aktivitas.

Menurut Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, kesehatan

adalah suatu keadaan sehat, baik secara fisik,mental, spiritual maupun sosial

yang memungkinkan setiap orang hidup untuk produktif secara sosial dan

ekonomis.

Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan

jiwa, kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat

berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat

bekerja, secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi pada

komunitasnya.

Sedangkan menurut American Nurses Association (ANA) tentang

keperawatan jiwa, keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek

keperawatan yang menggunakan ilmu dan tingkah laku manusia sebagai dasar

dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan,

mempertahankan, serta memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan

mental masyarakat dimana klien berada. Selain keterampilan teknik dan alat
klinik, perawat juga berfokus pada proses terapeutik menggunakan diri sendiri

(use self therapeutic) (Kusumawati F dan Hartono Y, 2010).

Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1.7 per mil.

Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali

dan Jawa Tengah. Proporsi Rumah Tangga (RT) yang pernah memasung

Anggota Rumah Tangga (ART) gangguan jiwa berat 14,3 % dan terbanyak

pada penduduk yang tinggal di pedesaan (18,2%), serta pada kelompok yang

penduduk dengan kuintal indeks kepemilihan terbawah (19,5%). Prevalensi

gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 %. Provinsi dengan

pravalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah,

Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Di Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur

(Kemenkes RI, 2013).

Salah satu bentuk dari gangguan kesehatan jiwa adalah Skizofrenia.

Skizofrenia. merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius dan

mengakibatkan perilaku psikologi, pemikiran konkrit, dan kesulitan dalam

memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecah masalah,

menurut Gail W. Stuart (2007).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berupa perubahan pada

psikomotor, kemauan, afek emosi dan persepsi. Akibat dari gejala yang

muncul, timbul masalah masalah bagi klien meliputi, kurang perawatan diri,

resiko menciderai diri dan orang lain, menarik diri, dan harga diri rendah

(Townsend, 1998). Perkembangan jaman menurut kehidupan maniusia


semakin modern, begitu juga semakin bertambahnya stressor psikososial

akibat budaya masyarakat modern yang cenderung lebih sekuler, hal ini dapat

menyebabkan manusia semakin sulit menghadapi tekanan-tekanan hidup yang

datang. Kondisi kritis ini juga membawa dampak terhadap peningkatan

kualitas maupun kuantitas penyakit mental-emosional manusia. Sebagai

akibat maka akan timbul gangguan jiwa khususnya pada ganggguan isolasi

sosial.

Menarik diri dalam tingkat ringan ataupun berat yang memerlukan

penanganan dirumah sakit baik dirumah sakit jiwa atau diunit perawatan jiwa

dirumah sakit umum(Nurjannah, 2005). Menurut Dermawan dan Rusdi

(2013), Isolasi sosial: Menarik diri adalah keadaan dimana seseorang

mengalami atau tidak mampu berintraksi dengan orang lain disekitarnya.

Klien mungkin merasa ditolak,tidak diterima, kesepian dan tidak mampu

menbina hubungan yang berarti dengan orang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian isolasi sosial ?

2. Apa faktor predisposisi dan faktor presipasi isolasi sosial ?

3. Bagaimana tanda dan gejala isolasi sosial ?

4. Bagaimana diagnosa keperawatan dan diagnosa medis ?

5. Bagaimana penatalaksanaan isolasi sosial ?


C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengerti tentang asuhan keperawatan pada pasien isolasi sosial

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian isolasi sosial

b. Mengetahui faktor predisposisi dan faktor presipasi isolasi sosial.

c. Mengetahui tanda dan gejala dengan isolasi sosial.

d. Mengetahui diagnosa keperawatan dan medis isolasi sosial.

e. Mengetahui penatalaksanaan isolasi social


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Isolasi Sosial

Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan Hartono Y

(2010) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan seseorang karena

orang lain menyatakan negatif dan mengancam. Sedangkan Menarik diri

adalah usaha menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa

kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk

berbagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalanya (Depkes, 2006 dalam

Dermawan D dan Rusdi, 2013).

Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami

penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan

orang lain di sekitarnya. Pasin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian

dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain

disekitarnya (Keliat, 2011).

Jadi isolasi sosial Menarik diri adalah suatu keadaan kesepian yang

dialami seseorang karena merasa ditolak, tidak diterima, dan bahkan

pasien tidak mampu berinteraksi untuk membina hubungan yang berarti

dengan orang lain disekitarnya.


B. Proses Terjadinya Masalah

Menurut Stuart Sundeen rentang respons klien ditinjau dari

interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang

terbentang antara respons adaptif dengan maladaptip sebagai berikut:

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Menarik diri


M Otonomi Ketergantungan
Merasa Sendiri
Bekerjasama Manipulasi
Dependensasi
Interdependen Curiga
Curiga

1. Respon Adaptif :

Respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan

kebudayaan secara umum serta masih dalam batas normal dalam

menyelesaikan masalah

a. Menyendiri: respons yang dibutuhkan seseorang untuk

merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.

b. Otonomi: kemampuan individu untuk menentukan dan

menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.

c. Bekerjasama: kemampuan individu yang saling membutuhkan satu

sama lain.

d. Interdependen: saling ketergantungan antara individu dengan

orang lain dalam membina hubungan interpersonal.


2. Respon Maladaptif:

Respons yang diberikan individu yang menyimpang dari norma sosial.

Yang termasuk respons maladaptive adalah:

a. Menarik diri: seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina

hubungan secara terbuka dengan orang lain.

b. Ketergantungan: seseorang gagal mengembangkan rasa percaya

diri sehingga tergantung dengan orang lain.

c. Manipulasi: seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek

individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara

mendalam.

d. Curiga: seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap

orang lain.

C. Etiologi

1. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor Perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui

individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak

dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.

Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi

individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya

stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh


pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat

menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan

tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain

maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat

penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai

objek.

Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu

dalam berhubungan terdiri dari:

1) Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi

kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan

antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa

percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan

mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari.

Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa

percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk

berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.

2) Masa Kanak-kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang

mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai

membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi

apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini


dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang

konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat

menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen,

Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah

laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus

diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk

sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi

dan berkompromi dengan orang lain.

3) Masa Praremaja dan Remaja

Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim

dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan

mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari

perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya

hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi

hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan

individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada

hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila

remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan

tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun

tergantung pada remaja.


4) Masa Dewasa Muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan

hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.

Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan

perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta

peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk

membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan

mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada

dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

5) Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan

anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat

digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang

dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat

diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang

interdependen antara orang tua dengan anak.

6) Masa Dewasa Akhir

Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan

keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,

maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut

ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun

kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.


b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk

mengembangkan gangguan tingkah laku.

1) Sikap bermusuhan/hostilitas

2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak

3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan

untuk mengungkapkan pendapatnya.

4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada

pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,

kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam

pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan

musyawarah.

5) Ekspresi emosi yang tinggi

6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat

bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

c. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan

faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga

disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu

keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan

sosial.
d. Factor Biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.

Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota

keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian

pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita

skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya

8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel,

penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik,

diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

2. Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor

internal maupun eksternal, meliputi:

a. Stressor Sosial BudayaStresor sosial budaya dapat memicu kesulitan

dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti

perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan

pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit

atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

b. Stressor Biokimia

1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan

mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya

skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan

meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan

MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka

menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya

skizofrenia.

3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan

pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami

penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,

adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical

seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.

4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-

gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah

stuktur sel-sel otak.

c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat

interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

d. Stressor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu

untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan

memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi

masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada

tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena

ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang

berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas

untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara

hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan

psikologis individu terhambat.

Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai

usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang

mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-

masing tingkah laku adalah sebagai berikut:

a) Tingkah laku curiga: proyeksi

b) Dependency: reaksi formasi

c) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi

d) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial

e) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

f) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi

dan regrasi.

D. Data Yang Perlu Dikaji

Subjektif Objektif

Menceritakan perasaan kesepian Banyak diam dan tidak mau

atau ditolak oleh orang lain. bicara.


Merasa tidak aman berada
Tidak mengikuti kegiatan.
dengan orang lain.

Verbal kurang dan sangat


Banyak berdiam diri di kamar.
singkat.

Tampak sedih, ekspresi datar


Mengatakan hubungan yang
dan dangkal, kontak mata
tidak berate dengan orang lain.
kurang.

Merasa bosan dan lambat


Mengisolasi diri.
menghabiskan waktu.

Merasa tidak berguna. Ekspresi wajah kurang berseri.

E. AKIBAT YANG DITIMBULKAN

Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya

perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi

adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau

persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti melihat

bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak ada.

Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari

panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang

dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau histerik.

Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi tanpa adanya


stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan (pengelihatan,

pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi yang paling

umum adalah halusinasi pendengaran.

F. PETALAKSANAAN

1. Terapi Psikofarmaka

a. Chlorpromazine

Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan

menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan

tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham,

halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak

terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak

mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)

antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,

hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan

irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia

sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic

(Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk pemakaian

jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,

epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).


b. Haloperidol (HLP)

Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental

serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti

gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur

,tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi

terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung

(Andrey, 2010).

c. Trihexyphenidil (THP)

Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan

idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan

fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,

penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi,

takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap

hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis

berat psikoneurosis (Andrey, 2010).

2. Terapi Individu

Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan

strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi

pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab

isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian

apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara

berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang


lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal

kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara

berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan

berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP

tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan

untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien

memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)

3. Terapi kelompok

Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan

bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-

hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun

tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk

tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan

mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan

berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang

dan setelah makan dan minum.

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan

kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan

pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat

menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh

benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat

ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi

tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu

diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul

padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan

gejala insomnia(gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali

tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam

kehidupan bermasyarakat yang meliputi:

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan

hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya,

berbicara dengan kawannya dan sebagainya.


2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk

melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab

pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara

dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai

tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan

bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan

ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama

atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat

mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak

meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan

sebagainya.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Isolasi sosial

2. Harga diri rendah kronis

3. Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

4. Koping keluarga tidak efektif

5. Koping individu tidak efektif


6. Intoleran aktivitas

7. Defisit perawatan diri

8. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

H. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Isolasi sosial (00053)

Definisi : Kesendirian yang dialami oleh individu dan dinggap timbul karena

orang lain dan sebagai suatu pernyataan negative atau mengancam.

NOC : Keparahan Kesepian (1203)

Definisi : Keparahan dari tanda dan gejala (secara) emosional, sosial, atau

eksistensial terhadap isolasi.

Rasa ketakutan yang tak beralasan dari skala 1 ditingkatkan ke skala 3

NIC : Peningkatan Sosialisasi (5100)

Definisi : Fasilitasi kemampuan orang untuk berinteraksi dengan orang lain.

Aktivitas-aktivitas

a. Anjurkan peningkatan keterlibatan dalam hubungan yang sudah mapan.

b. Anjurkan kesabaran dalampengembangan hubungan

c. Tingkatkan hubungan dengan orang-orang yang memiliki minat dan

tujuan yang sama.

d. Anjurkan kejujuran dalam mempresentasikan diri sendiri kepada orang

lain.

e. Anjurkan partisipasi dalam kelompok dan atau kegiatan-kegiatan

reminiscence individu.
2. Harga diri rendah kronik (00119)

Definisi : Evaluasi diri atau perasaan negative tentang diri sendiri atau

kemampuan diri yang berlangsung lama.

NOC : Harga diri (1205)

Definisi : Penilaian harga diri sendiri.

Gambaran diri dari skala 1 ditingkatkan ke skala 3

NIC : Peningkatan harga diri (5400)

Aktivitas-aktivitas

a. Monitor pernyataan pasien mengenai harga diri

b. Tentukan kepercayaan diri pasien dalam hal penilaian diri

c. Bantu pasien untuk menemukan penerimaan diri

d. Dukung (melakukan) kontak mata pada saat berkomunikasi dengan orang

lain.

e. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas-aktivitas yang akan meningkatkan harga

diri.

3. Perubahan persepsi sensori: Halusinasi

4. Koping keluarga tidak efektif

5. Koping individu tidak efektif

6. Intoleran aktivitas

7. Defisit perawatan diri

8. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan.


BAB III

STRATEGI PELAKSANAAN

A. PROSES KEPERAWATAN

1. Kondisi klien

a) Data obyektif:

Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar,

banyak diam, kontak mata kurang (menunduk), menolak berhubungan

dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi menekur.

b) Data subyektif:

Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab

dengan singkat, ya atau tidak.

2. Diagnosa Keperawatan :Isolasi sosial : menarik diri

B. Strategi pelaksanaan tindakan

Tujuan khusus :

1) Klien mampu mengungkapkan hal – hal yang melatarbelakangi terjadinya

isolasi sosial

2) Klien mampu mengungkapkan keuntungan berinteraksi

3) Klien mampu mengungkapkan kerugian jika tidak berinteraksi dengan

orang lain

4) Klien mampu mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang


Tindakan keperawatan.

1. Mendiskusikan faktor – faktor yang melatarbelakangi terjadinya isolasi sosial


2. Mendiskusikan keuntungan berinteraksi
3. Mendiskusikan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
4. Mendiskusikan cara berkenalan dengan satu orang secara bertahap

SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal


penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien
berkenalan
ORIENTASI (PERKENALAN):

“Selamat pagi ”

“Saya nurhakim yudhi wibowo, Saya senang dipanggil yudi, Saya mahasiswa UNDIP
yang akan merawat Ibu.”

“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”

“Apa keluhan ibu hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga
dan teman-teman ibu ? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di
ruang tamu? Mau berapa lama, bu? Bagaimana kalau 15 menit”

KERJA:

(Jika pasien baru)

”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan ibu? Siapa yang
jarang bercakap-cakap dengan ibu? Apa yang membuat ibu jarang bercakap-cakap
dengannya?”

(Jika pasien sudah lama dirawat)

”Apa yang ibu rasakan selama ibu dirawat disini? O.. ibu merasa sendirian? Siapa
saja yang ibu kenal di ruangan ini”

“Apa saja kegiatan yang biasa ibu lakukan dengan teman yang ibu kenal?”

“Apa yang menghambat ibu dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien
yang lain?”
”Menurut ibu apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar,
ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa)
Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya ibu ? Ya, apa lagi ? (sampai
pasien

dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau
begitu inginkah ya ibu ? belajar bergaul dengan orang lain ?

« Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain”

“Begini lho ibu ?, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita
dan nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya T,
senang dipanggil T. Asal saya dari Flores, hobi memancing”

“Selanjutnya ibu menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya


begini: Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya
apa?”

“Ayo ibu dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan ibu. Coba berkenalan dengan
saya!”

“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”

“Setelah ibu berkenalan dengan orang tersebut ibu bisa melanjutkan percakapan
tentang hal-hal yang menyenangkan ibu bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang
hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”

TERMINASI:

”Bagaimana perasaan ibu setelah kita latihan berkenalan?”

” ibu tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”

”Selanjutnya ibu dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya
tidak ada. Sehingga ibu lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau
praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada
jadwal kegiatan hariannya.”

”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak ibu berkenalan dengan
teman saya, perawat N. Bagaimana, ibu mau kan?”

”Baiklah, sampai jumpa.”


SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap

(berkenalan dengan orang pertama -seorang perawat-)

ORIENTASI :

“Selamat pagi bu! ”

“Bagaimana perasaan ibu hari ini?

« Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan »Coba sebutkan lagi
sambil bersalaman dengan perawat ! »

« Bagus sekali, ibu masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak ibu
mencoba berkenalan dengan teman saya perawat T. Tidak lama kok, sekitar 10
menit »

« Ayo kita temui perawat T disana »

KERJA :

( Bersama-sama klien saudara mendekati perawat N)

« Selamat pagi perawat N, ini ingin berkenalan dengan N »

« Baiklah bu, ibu bisa berkenalan dengan perawat T seperti yang kita praktekkan
kemarin «

(pasien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat T : memberi salam,


menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya)

« Ada lagi yang ibu ingin tanyakan kepada perawat T . coba tanyakan tentang
keluarga perawat T »

« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan,ibu bisa sudahi perkenalan ini.
Lalu ibu bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat T, misalnya jam 1 siang
nanti »

« Baiklah perawat T, karena ibu sudah selesai berkenalan, saya dan ibu akan
kembali ke ruangan ibu. Selamat pagi »

(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat T untuk melakukan terminasi


dengan klien di tempat lain)
TERMINASI:

“Bagaimana perasaan ibu setelah berkenalan dengan perawat T”

” ibu tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”

”Pertahankan terus apa yang sudah ibulakukan tadi. Jangan lupa untuk
menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan
keluarga, hobi, dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari
kita masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali.
Baik nanti ibucoba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10?
Sampai besok.”

ORIENTASI:

“Selamat pagi bu! Bagaimana perasaan hari ini?

”Apakah ibubercakap-cakap dengan perawat Tkemarin siang”

(jika jawaban pasien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain

”Bagaimana perasaan ibu setelah bercakap-cakap dengan perawat T kemarin


siang”

”Bagus sekali ibu menjadi senang karena punya teman lagi”

”Kalau begitu ibu ingin punya banyak teman lagi?”

”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien O”

”seperti biasa kira-kira 10 menit”

”Mari kita temui dia di ruang makan”

KERJA:

( Bersama-sama S saudara mendekati pasien )

« Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan. »

« Baiklah bu, ibu sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang


telah ibu lakukan sebelumnya. »
(pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama,
nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama). »

« Ada lagi yang ibu ingin tanyakan kepada O»

« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan,ibu bisa sudahi perkenalan ini.
Lalu ibu bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti »

(ibu membuat janji untuk bertemu kembali dengan O)

« Baiklah O, karena ibu sudah selesai berkenalan, saya dan klien akan kembali ke
ruangan ibu. Selamat pagi »

(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan terminasi


dengan S di tempat lain)

TERMINASI:

“Bagaimanaperasaan ibusetelah berkenalan dengan O”

”Dibandingkan kemarin pagi, T tampak lebih baik saat berkenalan dengan O”


”pertahankan apa yang sudah ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali
dengan O jam 4 sore nanti”

”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan


orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari ibudapat berbincang-
bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8
malam,ibubisa bertemu dengan T, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal.
Selanjutnya ibu bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap.
Bagaimanaibu, setuju kan?”

”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman ibu. Pada jam
yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.”
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis

Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika :

Jakarta

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba

Medika

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Yosep, I & Titin. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai