Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN ASKEP TEORITIS DENGAN ISOLASI SOSIAL

KEPERAWATAN JIWA

Dosen Pengampu : Ns.Guslinda M.Kep Sp.Kep.J


Kelompok 4:
1. Laura Lorenza
2. Fitria Ramadhani
3. Imam Husaini
4. Nessa Huriyah Adirlan

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan
produktif sebagai bagian utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi
kehidupan manusia. Kesehatan jiwa mempunyai rentang sehat – sakit jiwa yaitu sehat jiwa, masalah
psikososial dan gangguan jiwa ( Keliat et al., 2016). Gangguan jiwa menurut American Phychiatric
Association (APA) merupakan sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara
klinis yang terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya
gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian dan beberapa
fungsi yang penting) atau disertai dengan peningkatan resiko yang sera bermakna untuk mati, sakit,
ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (APA dalam Prabowo, 2014). Gangguan jiwa
merupakan suatu perubahan dan gangguan pada fungsi jiwa yang menyebabkan timbulnya
penderitaan pada individu atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Keliat et al., 2016).
Menurut WHO (World Health Organisasi) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena Bipolar, 21 juta terkena Skizofrenia, serta 47,5 juta terkena Demensia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia didapatkan prevalensi gangguan
jiwa berat atau skizofrenia pada penduduk Indonesia sebanyak 4,6% (Riskesdas, 2007). Tahun 2013,
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang. Berdasarkan laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar tahun
2007 Sumatera Barat merupakan urutan ketiga dengan gangguan jiwa berat atau skizofrenia.
yaitu mencapai 16,7 permil. Pada tahun 2013 Sumatera Barat berada pada urutan kesembilan yaitu
sebesar 1,9% (Riskesdas, 2013). Namun hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya
penurunan pada rentang tahun 2007 sampai 2013 prevalensi gangguan jiwa skizofrenia sekitar yaitu
6.4%. Data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKK) tahun 2014 didapatkan pasien yang mengalami
skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya itu sekitar 6489 orang, sedangkan pada tahun 2015
yang mengalami gangguan psikotik secara keseluruhan mengalami peningkatan menjadi 7059 orang.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan dari tahun 2014 ke tahun 2015 sekitar 4,2%
(DKK). Secara umum klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat atau kelompok psikotik dan (2) gangguan
jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, gangguan alam
perasaan dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk gangguan jiwa berat salah satunya yaitu
skizofrenia (Yusuf, dkk, 2015). Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai adanya
penyimpangan dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi emosi yang
tidak wajar (Sulistyono, dkk, 2013). Gejala skozofrenia dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
positif meliputi adanya waham, halusinasi, disorentasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur.
Sedangkan gejala negatif meliputi afek datar, tidak memiliki kemauan, menarik diri dari masyarakat
atau mengisolasi diri. Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
dengan isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, dan menghindar dari orang lain.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tak lepas dari sebuah keadaan yang bernama interaksi dan
senantiasa melakukan hubungan dan pengaruh timbal balik Poltekkes Kemenkes Padang dengan
manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya
(Yosep,Sutini, 2014).
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat diambil suatu
rumusan masalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan teoritis di dalam keperawatan jiwa.

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan asuhan keperawatan jiwa ini secara teoritis adalah Mampu mendeskripsikan
pengkajian asuhan keperawatan jiwa secara teoritis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Isolai Sosial
Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin
merasa tidak diterima dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Purba, dkk. 2008). Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain dan sekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak,dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
( Keliat,dkk.2009) Isolasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain
maupun lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri
secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari
interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari
komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013).

B. Rentang Respon Sosial

Keterangan rentang respon


A. Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kuturaldimana
individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respon adaptif
tersebut :
a. Solitude (menyendiri) Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang
telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi
diri dan menentukan langkah berikutnya.
b. Otonomi Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-
ide pikiran.
c. Kebersamaan Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu
tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam hubungan interpersonal.

B. Respon maladiptif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat. Karakteristik
dari perilaku maladiptif tersebut adalah
a. Menarik diri Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara
b. Manipulasi Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau
pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina
hubungan sosial secara mendalam.
c. Ketergantungan Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan
kemampuan yang dimiliki.
d. Impulsif Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
e. Narkisisme Harga diri yang rapuh,secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika
orang lain tidak mendukung.

C. Perkembangan Hubungan Sosial


Pada dasarnya kemampuan hubungan sosial berkembang sesuai dengan proses tumbuh
kembang individu mulai dari bayi sampai dengan dewasa lanjut, untuk mngembangkan
hubungan sosial yang positif,setiap tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan
diharapkan dilalui dengan sukses. Poltekkes Kemenkes Padang Kemampuan berperan
serta dalam proses hubungan diawali dengan kemampuan tergantung pada masa bayi dan
berkembang pada masa dewasa dengan kemampuan saling tergantung (tergantung dan
mandiri), mengenai tahap perkembangan tersebut akan diuraikan secara rinci setiap
tahap perkembangan.
a) Masa Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan biologis
dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan yang sangat sederhana
dalam menyampaikan akan kebutuhannya, misalnya menangis untuk semua
kebutuhannya. Respon lingkungan (ibu atau pengasuh) terhadap kebutuhan
bayi harus sesuai agar berkembang rasa percaya diri bayi akan respon atau
perilakunya dan rasa percaya bayi terhadap orang lain. Kegalalan pemenuhan
kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada orang lain akan mengakibatkan
rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain, serta menarik diri.
b) Masa prasekolah
Anak prasekolah mulai memperluas hubungan sosialnya diluar lingkungan
khususnya ibu atau pengasuh. Anak menggunakan kemampuan berhubungan
yang telah dimiliki untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
Dalam hal ini anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga
khususnya pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang
adaptif. Hal ini merupakan dasar rasa otonomi yang berguna untuk
mngembangkan kemampuan interdependen. Kegagalan anak dalam
berhubungan dengan lingkungan diseratai respon keluarga yang negatif akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri
(tergantung), ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri,
pesimis,takut perilakunya salah.
c) Masa Sekolah
Anak mulai mengenal hubungan yang lebih luas khususnya lingkungan
sekolah pada usia ini anak mulai mngenal bekerja sama, kompetisi,
kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena pembatasan dan
dukungan yang tidak konsisten, teman dengan orang dewasa diluar Poltekkes
Kemenkes Padang keluarga (guru,orang tua,teman) merupakan sumber
pendukung yang penting bagi anak. Kegagalan dalam membaca hubungan
dengan teman di sekolah, kurangnya dukungan guru dari pembatasan serta
dukungan yang tidak konsisten dari orang tua mengakibatkan anak frustasi
terhadap kemampuannya,putus asa,merasa tidak mampu dan menarik diri
dari lingkungan.
d) Masa Remaja
Pada usia ini anak mengembangkan hubungan intim dengan teman sebaya
dan sejenis dan umumnya mempunyai sahabat karib. Hubungan dengan
teman sangat tergantung, sedangkan hubungan dengan orang tua mulai
independent. Kegagalan membina hubungan dengan teman dan kurangnya
dukungan orang tua, akan mengakibatkan keraguan akan identitas,
ketidakmampuan mengidentifikasi karir dan rasa percaya diri kurang. e)
Masa Dewasa Muda Pada usia ini individu mempertaahankan hubungan
interdependen dengan orang tua dan teman sebaya, individu belajar
mengambil keputrusan dengan memperhatkan saran dan pendapat orang lain
seperti memilih pekerjaan, memilih karir,melangsungkan perkawinan.
Kegagalan individu dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan,perkawinan akan
mengakibatkan individu menghindari hubungan intim, menjauhi orang lain,
putus asa akan karir.
e) Masa Dewasa
Tengah Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat
tinggal dengan orang tua , khusunya individu yang telah menikah. Jika ia
telah menikah maka peran menjadi orang tua dan mempunya hubungan antar
orang dewasa merupakan situasi tempat menguji kemampuan hubungan
interdependen. Individu yang perkembangannya baik akan dapat
mengembangkan hubungan dan dukungan yangbaru. Kegagalan pisah tempat
dengan orang tua, membina hubungan yang baru, dan mendapatkan
dukungan dari orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian hanya
tertuju pada diri sendiri, produktifitas dan kreatifitas berkurang,perhatian
pada oran lain berkurang. Poltekkes Kemenkes Padang
f) Masa Dewasa
Lanjut Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan baik itu
kehilangan fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan
pasangan),anggota keluarga (kematian orang tua). Indiviidu tetap
memerlukan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Individu yang
mengalami perkembangan yang baik dapat menerima kehilangan yang terjadi
dalam kehidupannya dan megakui bahwa dukungan orang lain dapat
membantu dalam menghadapi kehilangannya. Kegagalan individu untuk
mnerima kehilangan yan terjadi pada kehidupan serta menolak bantuan yang
disediakan untuk membantu akan mengakibatkan perilaku menarik diri.

D.Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


Menurut Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang daur kehidupan
dapat mengakibatkan perilaku menarik diri:
 Faktor Predisposisi
o Faktor Biologis Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya
resiko, riwayat penyakit trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
o Faktor Psikologis Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri,
tidak jelasnya atau berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai
harapan atau cita-cita, krisis identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri
sendiri maupun lingkungan,yang dapat menyebabkan gangguan dalam
berinteraksi dengan orang lain,dan akhirnya menjadi masalah isolasi sosial.
o Faktor Sosial Budaya Pada klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan
ekonomi rendah,riwayat penolakan lingkungan pada usia perkembangan
anak,tingkat penididikan rendah dan kegegalan dalam berhubungan sosial.
Poltekkes Kemenkes Padang
 Faktor Presipitasi Biasanya ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau
kelaianan struktur otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan,
atau adanya tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
klien,konflik antar masyarakat. Faktor pencetus pada umumnya mencakup kejadian
kehidupan yang penuh stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor
pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori :
o Faktor sosiokultural. Stres dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit
keluarga, dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya
karena dirawat dirumah sakit.
o Faktor psikologik Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan untuk
ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi (Stuart, 2006).

E.Tanda dan gejala Menurut Pusdiklatnakes (2012) tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai
dari ungkapan klien yang menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung
dengan data observasi :

 Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang :
o Perasaan sepi
o Perasaan tidak aman
o Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
o Ketidakmampuan berkonsentrasi
o Perasan ditolak Poltekkes Kemenkes Padang
 Data objektif
o Banyak diam
o Tidak mau bicara
o Menyendiri
o Tidak mau berinteraksi
o Tampak sedih
o Kontak mata kurang
o Muka datar

F.Mekanisme koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai mekanisme
dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah
hubungan yang spesifik (gall,W Stuart 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan
kepribadian antisosial antara lain proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang
berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi,
idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyektif. Menurut Gall W. Stuart
(2006), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial maladaptif meliputi keterlibatan
dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan
penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau
tulisan.
G.Sumber Koping
Contoh sumber koping yang berhungan dengan respon maladaptif menurut Stuart, (2006)
meliputi :

 Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.


 Hubungan dengan hewan peliharaan. Poltekkes Kemenkes Padang
 Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalkan: kesenian,
musik atau tulisan).

H. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensori
persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktifitas
sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Dalami,2009)

I.Penataklaksanaan.

 Terapi Medis
Berupa Therapy farmakologi (
o Clorpromazine (CPZ)
 Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma
sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi - fungsi
mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh
atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari -hari,
tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
 Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin,
metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.
o Haloperidol (HLD)
 Indikasi : Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari –hari. Poltekkes Kemenkes
Padang
 Efek samping : Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi
dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
o Trihexy phenidyl (THP)
 Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan
fenotiazine.
 Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik
(hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, hidung
tersumbat, mata kabur,gangguan irama jantung).

 Electro convulsif therapi


Electro convulsif therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah
suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha
pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak
berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan
oleh 2 orang neurologist Italia Ugo Cerlitti dan Lucio Bini pada tahun 1930.
Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan
intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang
klonik yang dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya selama
15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai
saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-Derived Neurotrophic
Faktor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologi.

 Therapy kelompok
Therapy kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh
seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus
bagi klien dengan gangguan interpersonal. Terapi aktivitas kelompok yang dapat
dilakukan untuk pasien dengan isolasi sosial adalah :
o Sesi 1 : kemampuan memperkenalkan diri
o Sesi 2 : kemampuan berkenalan
o Sesi 3 : kemampuan bercakap-cakap
o Sesi 4 : kemampuan bercakap-cakap topik tertentu
o Sesi 5 : kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
o Sesi 6 : kemampuan bekerjasama
o Sesi 7 : evaluasi kemampuan sosialisasi

 Therapy Individu
Menurut Pusdiklatnakes (2012)tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi
pelaksanaan (SP) pada pasien dapat dilakukan sebagai berikut :
o Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan
keluarga.
 Membina hubungan saling percaya
 Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
 Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota
keluarga
o Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.
 Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
 Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
 Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan)
o Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan 2-3 orang Strategi
pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
 Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
 Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat
melakukan dua kegiatan harian
 Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
 Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan baru)
 Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
o Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien : Mengevaluasi kemampuan
berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan kegiatan sosial
 Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
 Validasi kemampuan berkenalan (beberapa orang) dan bicara saat
melakukan empat kegiatan harian
 Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
 beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan sosial

 Therapy Lingkungan
Menurut Rusdi (2013), manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan
memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi
seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan,karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.

 Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial


 Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend,
1998).Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang
lain.
 Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian
stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien
dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
 Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal
MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
 Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang
lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen
 Faktor predisposisi
Kehilangan,perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak
realistis ,kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur
sosial.Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami ,
putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan ,
tituduh kkn, dipenjara tiba – Poltekkes Kemenkes Padang tiba) perlakuan orang lain yang
tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.

 Aspek fisik / biologis


Hasil pengukuran tada vital (TD,Nadi, suhu,Pernapasan,TB,BB) dan keluhan fisik yang
dialami oleh klien.
 Aspek Psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi Konsep diri
o Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak
penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh . Preokupasi dengan
bagian tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan
ketakutan.
o Identitas diri Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan .
o Peran Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua ,
putus sekolah, PHK.
o Ideal diri Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
o Harga diri Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri ,
gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang
percaya diri. Klien mempunyai gangguan/hambatan dalam melakukan hubunga social
dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam
masyarakat. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
o Status Mental Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata ,
kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga
dalam hidup.
o Kebutuhan persiapan pulang.
 Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
 Klien mampuBAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,
membersikan dan merapikan pakaian.
 Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
 Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
diluar rumah
 Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
o Mekanisme Koping Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik
diri).
o Aspek Medik Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
o Mekanisme Koping Biasanya data yang didapat melalui wawancara pada
pasien/keluarga, bagaimana cara pasien mengendalikan diri ketika menghadapi
masalah koping adaptif dan maladaptif. Poltekkes Kemenkes Padang
o Masalah Psikososial dan Lingkungan Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial
memiliki masalah dengan psikososial dan lingkungannya, seperti pasien yang tidak
dapat berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat karena merasa takut, tidak
berguna dll.
o Daftar Diagnosa Keperawatan
 Isolasi Sosial
 Harga diri rendah
 Halusinasi
Pohon Masalah
Sumber:Badar,2106

 Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan


Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan isolasi sosial pada klien dan keluarga
yaitu :
 Isolasi sosial
Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien
 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan
keluarga.
o Membina hubungan saling percaya
o Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
o Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota
keluarga
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
o Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang
lain), latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.
o Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
o Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
o Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan)
o Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihanberkenalan 2-3
orang
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang),
latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
o Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
o Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat
melakukan dua kegiatan harian
o Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
o Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan baru)
o Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan
kegiatan sosial
o Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
o Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat
melakukan empat kegiatan harian
o Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
o Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatansocial 2)

Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada keluarga


 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :
Mengenal masalah dalam merawat pasien isolasi sosial, berkenalan dan
berkomunikasi saat melakukan kegiatan harian.
o Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
o Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial, yangdialami
klien beserta proses terjadinya.
o Memberi kesempatan keluarga untuk memutuskan perawatan pasien
o Menjelaskan cara merawat isolasi sosial dan melatih dua cara merawat :
berkenalan dan melakukan kegiatan harian
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :
Latihan merawat : melibatkan pasien dalam kegiatan rumah tangga sekaligus
melatih bicara pada kegiatan tersebut
o Evaluasi kemampuan keluarga mengenal gejala isolasi sosial
o Validasi kemampuan keluarga melatih pasien berkenalan dan berbicara
saat melakukan kegiatan harian
o Beri pujian pada keluarga
o Menjelaskan kegiatan rumah tangga yang dapat melibatkan pasien
berbicara (makan, sholat bersama)
o Latih cara berbimbing pasien berbicara dan memberi pujian
o Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan bercakap-
cakap sesuai jadwal
 Strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga :
Melatih cara merawat dengan melatih berkomunikasi saat melakukan kegiatan
sosial
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial
o Validasi kemampuan keluarga dalam merawat atau melatih berkenalan
o Berbicara saat melakukan kegiatan harian dan rumah tanggal
o Menjelaskan cara melatih pasien bercakap-cakap dalam melakukan
kegiatan sosial berbelanja, dan melatih keluarga mendampingi pasien
berbelanja
o Menganjurkan keluarga membantu melakukan kegiatan sosial sesuai
jadwal dan berikan pujian
 Strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga :
Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up pasien
isolasi sosial
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial
o Validasi kemampuan keluarga dalam merawat/melatih pasien
o Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
o Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda kambuh,
dan rujuk pasien segera Poltekkes Kemenkes Padang
o Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan sesuai jadwal
dan berikan pujian

 Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah


Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien
 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian dan latihan kegiatan pertama
o Identifikasi pandangan/penilaian pasien tentang diri sendiri dan
pengaruhnya terhadap hubungan dengan orang lain, harapan yang telah
dan belum tercapai, upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan yang
belum terpenuhi
o Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif paasien
( buat daftar kegiatan)
o Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saatini (pilih dari
daftar kegiatan mana kegiatan yang dapat dilaksanakan)
o Buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
o Bantu pasien memilih salah satu kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
untuk dilatih
o Latih kegiatan yang dipilih (alat dan cara melakukan nya)
o Masukkan kegiatan yang telahh dilatih pada jadwal kegiatan untuk
latihan
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Latihan kegiatan kedua
o Evaluasi tanda dan gejala harga diri rendah
o Validasi kemampuan pasien melakukan kegiatan pertama yang telah
dilatih dan berikan pujian
o Evaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama
o Bantu pasien memilih kegiatan kedua yang akan dilatih
o Latih kegiatan kedua (alat dan cara)
o Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kegiatan
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Latihan kegiatan ketiga
o Evaluasi tanda dan gejala harga diri rendah
o Validasi kemampuan melakukan kegiatan pertama, dan kedua yang
telah dilatih dan berikan pujian
o Evaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama dan kedua
o Bantu pasien melih kegitan ketiga yang akan dilatih
o Latih kegiatan ketiga (alat dan cara)
o Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan tiga kegiatan
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Latih kegiatan keempat
o Evaluasi tanda dan gejala harga diri rendah
o Validasi kemampuan melakukan kegiatan pertama, kedua dan ketiga
yang telah dilatih dan berikan pujian
o Evaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama, kedua dan ketiga
o Bantu pasien memilih kegiatan keempat yang akan dilatih
o Latih kegiatan keempat (alat dan cara)
o Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan empat kegiatan

Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada keluarga


 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :
Mengenal masalah harga diri rendah dan latihan cara merawat melatih
kegiatan pertama Poltekkes Kemenkes Padang
o Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien harga diri
rendah, jelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya, dan
akibat harga diri rendah
o Berikan pujian terhadap semua hal positif yang dimilik pasien
o Latih keluarga memberi tanggung jawab kegiatan yang dipilih
pasien , bimbing memberikan bantuan pada pasien
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :
Latihan cara merawat dan membimbing melakukan kegiatan kedua
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri
rendah
o Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
o Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri
pujian, bersama keluarga melatih pasien dalam melakukan kegiatan
kedua yang dipilih pasien
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada keluarga :
Latihan cara merawat dan membimbing melakukan kegiatan ketiga
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri
rendah
o Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
o Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri
pujian, bersama keluarga melatih pasien dalam melakukan kegiatan
ketiga yang dipilih pasien Poltekkes Kemenkes Padang
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada keluarga :
o Latihan cara merawat dan membimbing melakukan kegiatan
keempat Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala
harga diri rendah
o Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
o Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri
pujian, bersama keluarga melatih pasien dalam melakukan kegiatan
keempat yang dipilih pasien
o Jelaskan follow up ke puskesmas, tanda kambuh dan rujukan
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian c.

 Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi


Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien
 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian dan mengenal halusinasi
o Mengkaji kesadaran pasien akan halusinasi nya dan pengenalan akan
halusinasi
o Isi, frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan, respon pasien,
upaya yang telah dilakukan pasien untuk mengontrol halusinasi
o Menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik
o Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Evaluasi tanda dan gejala halusinasi
o Validasi kemampuan pasien mengenal halusinasi yang dialami dan
kemampuan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik dan
berikan pujian
o Evaluasi manfaat mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
o Latih cara mengontrol halusinasi dengan patuh obat (jelaskan 6 benar
: jenis, waktu, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat)
o Masukkan pada jadwal kagiatan untuk minum obat sesuai jadwal
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Evaluasi gejala halusinasi
o Validasi kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi dengan
menghardik, minum obat dan berikan pujian
o Evaluasi manfaat mengontrol halusinasi dengan menghardik, minum
obat sesuai jadwal
o Latih cara mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap saat
terjadi halusinasi
o Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Melakukan aktivitas sehari-hari Pada tindakan ke empat ini dapat diulang
kegiatan harian. Contohnya membersihkan kamar :
o Validasi kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi dengan
menghardik, minum obat dan bercakap-cakap, berikan pujian
o Latih cara mengontrol halusinasi dengan cara melakukan kegiatan
harian
o Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan

Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada keluarga


 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :
Mengenal masalah dalam merawat pasien halusinasi dan melatih mengontrol
halusinasi pasien dengan menghardik
o Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien , jelaskan
pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya
o Jelaskan cara mengontrol halusinasi dengan melatih cara menghardik
halusinasi
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :
Melatih keluarga merawat pasien halusinasi dengan enam benar minum obat
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
pasien
o Merawat pasien dalam mengontrol halusinasi dengan menghardik,
berikan pujian
o Jelaskan 6 benar cara memberikan obat
o Latih cara memberikan/membimbing minum obat
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada keluarga :
Melatih keluarga merawat pasien halusinasi dengan bercakap-cakap dan
melakukan kegiatan
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
pasien dan merawat/melatih pasien menghardik dan memberikan
obat
o Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
o Jelaskan cara bercak-cakap dan melakukan kegiatan untuk
mengontrol halusinasi
o Latih dan sediakan waktu bercakap-cakap dengan pasien terutama
saat halusinasi
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
Poltekkes Kemenkes Padang
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada keluarga :
Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up pasien
halusinasi
o Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
pasien dan merawat/melatih pasien menghardik, memberikan obat
dan bercakap-cakap
o Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
o Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda
kambuh dan rujukan
o Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam bentuk
intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi
dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini
(Keliat dkk, 2005).

E. Evaluasi Keperawatan
Menurut Rusdi (2013), dokumentasi asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap
proses keperawatan yang meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi tindakan keperawatan dan evaluasi

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yusuf Zainal. (2015). Manajemen Komunikasi: Filosofi, Konsep, dan Aplikasi.
Bandung: Pustaka Setia Badar.(2016).Asuhan Keperawatan Profesional Jiwa Pada
Pasien Isolasi Sosial : Samarinda Dalami, Ermawati dkk. (2009). Asuhan Keperawatan
Dengan Gangguan Jiwa.Jakarta Dermawan, Deden dan Rusdi. (2013). Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing Direja, Ade
Herman Surya.2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika. Dinas
Kesehatan Kota Padang. (2013). Profil Kesehatan. Padang: Dinas Hidayat, Aziz Alimul.
2012. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi kedua. Jakarta: Salemba
Medika. Keliat, et al. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic
Course). Jakarta: EGC. Keliat, Budi Anna, dkk. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Edisi 2. Jakarta:EGC Kuntjojo. 2009. Metode Penelitian. Jakarta Muhith A. 2015.
Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika Purba,dkk (2008). Asuhan Keperawatan Dengan Masalah
Psikosial Dan Gangguan Jiwa. Medan Pusdiklatnakes. 2015. Modul Pelatihan
Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan. Riset
Kesehatan Dasar (2007). Laporan Nasional. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen RI Riset Kesehatan Dasar (2013). Laporan
Nasional. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen RI
Riyadi, Sujono, 2009, Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1,Yogyakarta : Graha Ilmu.
Stuart, Gail W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC Poltekkes
Kemenkes Padang Sulistyono, dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ketidakpatuhan Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia Di Rsjd Surakarta.
http://repository.unri.ac.id. Diakses tanggal 10 Januari 2017, Pukul 20.05 Videbeck,
Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC Yosep, Iyus., Sutini, Titin.
(2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (dan Advance mental healyh nursing). Bandung:
Refika Aditama. Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai