Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Oleh:
Selly Krimawati
117STYJ22

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NTB


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, karena
dengan Rahmat dan RidhoNya lah kami dapat menyelesaikan tugas laporan

Dalam penyusunan tugas ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan tugas ini.

Kami semua menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini, dan mungkin
banyak kata-kata yang kurang tepat. Untuk itu, saran, dan kritik, dari para pembaca sekalian
senantiasa kami nantikan demi kesuksesan tugas kami di masa yang akan datang. Semoga tugas
yang kami buat ini bermanfaat khususnya bagi para pembaca sekalian.Atas perhatiannya kami
ucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum wr.wb

Mataram, 10 Februari 2023


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan
hidup harmonis dan produktif sebagai bagian utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Kesehatan jiwa mempunyai rentang
sehat – sakit jiwa yaitu sehat jiwa, masalah psikososial dan gangguan jiwa ( Keliat et al.,
2016).
Gangguan jiwa menurut American Phychiatric Association (APA) merupakan
sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis yang terjadi
pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya gejala
nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian dan
beberapa fungsi yang penting) atau disertai dengan peningkatan resiko yang sera
bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (APA dalam
Prabowo, 2014). Gangguan jiwa merupakan suatu perubahan dan gangguan pada fungsi
jiwa yang menyebabkan timbulnya penderitaan pada individu atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial (Keliat et al., 2016).
Menurut WHO (World Health Organisasi) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta
orang terkena depresi, 60 juta orang terkena Bipolar, 21 juta terkena Skizofrenia, serta
47,5 juta terkena Demensia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia didapatkan
prevalensi gangguan jiwa berat atau skizofrenia pada penduduk Indonesia sebanyak 4,6%
(Riskesdas, 2007). Tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat,
seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Isolai Sosial
1. Pengertian Isolasi
sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa tidak diterima dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain dan sekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak,dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain. ( Keliat,dkk.2009)
Isolasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain
maupun lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara
menarik diri secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang
mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan orang
lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013)
2. Rentang Respon Sosial
Respon adaptif Respon
maladaptive

Solitud Kesepian
Manipulasi Autonom Menarik diri
Impulsif Kebersamaan Ketergantungan
Narkisime
Saling ketergantungan
Keterangan rentang respon:
a)Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan
kuturaldimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
Adapun respon adaptif tersebut :
1) Solitude (menyendiri) Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang
telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri
dan menentukan langkah berikutnya.
2) Otonomi Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide-ide pikiran.
3) Kebersamaan Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu
tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
4) Saling ketergantungan Saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam hubungan interpersonal.
b) Respon maladiptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
kebudayaan suatu tempat. Karakteristik dari perilaku maladiptif tersebut adalah:
1) Menarik diri Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk
tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara
2) Manipulasi Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau pada
tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina
hubungan sosial secara mendalam.
3) Ketergantungan Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan
kemampuan yang dimiliki.
4) Impulsif Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
5) Narkisisme Harga diri yang rapuh,secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika
orang lain tidak mendukung.
3. Perkembangan Hubungan Sosial
Pada dasarnya kemampuan hubungan sosial berkembang sesuai dengan
proses tumbuh kembang individu mulai dari bayi sampai dengan dewasa lanjut,
untuk mngembangkan hubungan sosial yang positif,setiap tugas perkembangan
sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses.
Kemampuan berperan serta dalam proses hubungan diawali dengan
kemampuan tergantung pada masa bayi dan berkembang pada masa dewasa
dengan kemampuan saling tergantung (tergantung dan mandiri), mengenai tahap
perkembangan tersebut akan diuraikan secara rinci setiap tahap perkembangan.
a) Masa Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam pemenuhan
kebutuhan biologis dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan
yang sangat sederhana dalam menyampaikan akan kebutuhannya,
misalnya menangis untuk semua kebutuhannya. Respon lingkungan
(ibu atau pengasuh) terhadap kebutuhan bayi harus sesuai agar
berkembang rasa percaya diri bayi akan respon atau perilakunya dan
rasa percaya bayi terhadap orang lain. Kegalalan pemenuhan
kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada orang lain akan
mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain, serta
menarik diri.
b) Masa prasekolah
Anak prasekolah mulai memperluas hubungan sosialnya diluar
lingkungan khususnya ibu atau pengasuh. Anak menggunakan
kemampuan berhubungan yang telah dimiliki untuk berhubungan
dengan lingkungan diluar keluarga. Dalam hal ini anak membutuhkan
dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian pengakuan
yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif. Hal ini merupakan
dasar rasa otonomi yang berguna untuk mngembangkan kemampuan
interdependen. Kegagalan anak dalam berhubungan dengan
lingkungan diseratai respon keluarga yang negatif akan mengakibatkan
anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri
(tergantung), ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri,
pesimis,takut perilakunya salah.
c) Masa Sekolah
Anak mulai mengenal hubungan yang lebih luas khususnya
lingkungan sekolah pada usia ini anak mulai mngenal bekerja sama,
kompetisi, kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena
pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten, teman dengan orang
dewasa diluar keluarga (guru,orang tua,teman) merupakan sumber
pendukung yang penting bagi anak. Kegagalan dalam membaca
hubungan dengan teman di sekolah, kurangnya dukungan guru dari
pembatasan serta dukungan yang tidak konsisten dari orang tua
mengakibatkan anak frustasi terhadap kemampuannya,putus
asa,merasa tidak mampu dan menarik diri dari lingkungan.
d) Masa Remaja
Pada usia ini anak mengembangkan hubungan intim dengan teman
sebaya dan sejenis dan umumnya mempunyai sahabat karib.
Hubungan dengan teman sangat tergantung, sedangkan hubungan
dengan orang tua mulai independent. Kegagalan membina hubungan
dengan teman dan kurangnya dukungan orang tua, akan
mengakibatkan keraguan akan identitas, ketidakmampuan
mengidentifikasi karir dan rasa percaya diri kurang.
e) Masa Dewasa
Muda Pada usia ini individu mempertaahankan hubungan
interdependen dengan orang tua dan teman sebaya, individu belajar
mengambil keputrusan dengan memperhatkan saran dan pendapat
orang lain seperti memilih pekerjaan, memilih karir,melangsungkan
perkawinan. Kegagalan individu dalam melanjutkan sekolah,
pekerjaan,perkawinan akan mengakibatkan individu menghindari
hubungan intim, menjauhi orang lain, putus asa akan karir.
f) Masa Dewasa
Tengah Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah
tempat tinggal dengan orang tua , khusunya individu yang telah
menikah. Jika ia telah menikah maka peran menjadi orang tua dan
mempunya hubungan antar orang dewasa merupakan situasi tempat
menguji kemampuan hubungan interdependen. Individu yang
perkembangannya baik akan dapat mengembangkan hubungan dan
dukungan yangbaru. Kegagalan pisah tempat dengan orang tua,
membina hubungan yang baru, dan mendapatkan dukungan dari orang
dewasa lain akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri
sendiri, produktifitas dan kreatifitas berkurang,perhatian pada oran lain
berkurang.
g) Masa Dewasa Lanjut
Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan baik itu
kehilangan fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman
sebaya dan pasangan),anggota keluarga (kematian orang tua).
Indiviidu tetap memerlukan hubungan yang memuaskan dengan orang
lain. Individu yang mengalami perkembangan yang baik dapat
menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya dan megakui
bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangannya. Kegagalan individu untuk mnerima kehilangan yan
terjadi pada kehidupan serta menolak bantuan yang disediakan untuk
membantu akan mengakibatkan perilaku menarik diri.
4. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
Menurut Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang daur
kehidupan dapat mengakibatkan perilaku menarik diri:
a) Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya resiko, riwayat
penyakit trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
2) Faktor Psikologis
Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri, tidak jelasnya atau
berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai harapan atau cita-
cita, krisis identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun
lingkungan,yang dapat menyebabkan gangguan dalam berinteraksi dengan orang
lain,dan akhirnya menjadi masalah isolasi sosial.
3) Faktor Sosial Budaya
Pada klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan ekonomi
rendah,riwayat penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak,tingkat
penididikan rendah dan kegegalan dalam berhubungan social
b) Faktor Presipitasi
Biasanya ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau kelaianan
struktur otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan, atau
adanya tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
klien,konflik antar masyarakat. Faktor pencetus pada umumnya mencakup
kejadian kehidupan yang penuh stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan
ansietas.
Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori :
1) Faktor sosiokultural.
Stres dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga, dan
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena
dirawat dirumah sakit.
2) Faktor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi (Stuart, 2006)
5. Tanda dan gejala
Menurut Pusdiklatnakes (2012) tanda dan gejala isolasi sosial dapat
dinilai dari ungkapan klien yang menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan
sosial dan didukung dengan data observasi :
a) Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang :
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Perasan ditolak
b) Data objektif
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Kontak mata kurang
7) Muka data
6. Mekanisme koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai
mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan
dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (gall,W Stuart 2006). Koping
yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi,
spliting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan
kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang
lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyektif.
Menurut Gall W. Stuart (2006), sumber koping yaang berhubungan
dengan respon sosial maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga
yang luasan teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan
kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik
atau tulisan.
7. Sumber Koping
Contoh sumber koping yang berhungan dengan respon maladaptif menurut
Stuart, (2006) meliputi :
a) Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.
b) Hubungan dengan hewan peliharaan.
c) Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal
(misalkan: kesenian, musik atau tulisan).
8. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut
menjadi resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri,
orang lain serta lingkungan dan penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan
defisit perawatan diri (Dalami,2009)
9. Penataklaksanaan.
a. Terapi Medis
Berupa Therapy farmakologi:
(1) Clorpromazine (CPZ)
a) Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -
fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
b) Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/ parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan
defikasi, hidung tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut,
akatshia, sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan
endokrin, metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk
pemakaian jangka panjang.
(2) Haloperidol (HLD)
a) Indikasi : Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari –hari.
b) Efek samping : Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi
dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
(3) Trihexy phenidyl (THP)
a) Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis
dan idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan
fenotiazine. b) Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor
Gangguan otonomik (hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut
kering, hidung tersumbat, mata kabur,gangguan irama jantung).
b. Electro convulsif therapi
Electro convulsif therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi
shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan
untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat
psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2
orang neurologist Italia Ugo Cerlitti dan Lucio Bini pada tahun 1930.
Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap
tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat
memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya selama
15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang
kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme
pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan
dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau
ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-Derived Neurotrophic
Faktor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap
terapi farmakologi
c. Therapy kelompok
Therapy kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien
dengan gangguan interpersonal.
Terapi aktivitas kelompok yang dapat dilakukan untuk pasien
dengan isolasi sosial adalah :
1) Sesi 1 : kemampuan memperkenalkan diri
2) Sesi 2 : kemampuan berkenalan
3) Sesi 3 : kemampuan bercakap-cakap
4) Sesi 4 : kemampuan bercakap-cakap topik tertentu
5) Sesi 5 : kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
6) Sesi 6 : kemampuan bekerjasama
7) Sesi 7 : evaluasi kemampuan sosialisasi

d. Therapy Individu
Menurut Pusdiklatnakes (2012)tindakan keperawatan dengan
pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien dapat dilakukan
sebagai berikut :
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara
pasien dan keluarga.
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan
anggota keluarga
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2
orang lain), latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan
harian.
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan
kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan
berkenalan 2-3 orang
c) Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5
orang), latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan
harian baru.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi social
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara
saat melakukan dua kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan
kegiatan harian (latih 2 kegiatan baru)
(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
d) Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara
saat melakukan kegiatan sosial
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi social
(2) Validasi kemampuan berkenalan (beberapa orang) dan
bicara saat melakukan empat kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan
kegiatan social
e. Therapy Lingkungan
Menurut Rusdi (2013), manusia tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapatkan perhatian
khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan
manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi
seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan,karena lingkungan
tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun
kondisi psikologis seseorang.
2.2 Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial
1. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian
yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam (towsend, 1998).Seseorang dengan perilaku menarik diri akan
menghindari interaksi dengan orang lain.
2. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi,
penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan
pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
a) Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama,
tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat
klien.
b) Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang
lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen
3. Faktor predisposisi
Kehilangan,perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak
realistis ,kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan
struktur sosial.Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan
dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi
( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang
tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung
lama.
4. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD,Nadi, suhu,Pernapasan,TB,BB) dan keluhan fisik
yang dialami oleh klien.
5. Aspek Psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi
Konsep diri
a) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak
penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh . Preokupasi
dengan bagian tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu m-engambil keputusan .
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua ,
putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri ,
gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan
kurang percaya diri. Klien mempunyai gangguan/hambatan dalam melakukan
hubunga social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang
diikuti dalam masyarakat. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan
untuk ibadah ( spritual)
6. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata ,
kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup.
7. Kebutuhan persiapan pulang.
a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b) Klien mampuBAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,
membersikan dan merapikan pakaian.
c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
diluar rumah e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
8. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada
orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri).
9. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,
therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
10. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial memiliki masalah dengan psikososial dan
lingkungannya, seperti pasien yang tidak dapat berinteraksi dengan keluarga atau
masyarakat karena merasa takut, tidak berguna dll.
11. Daftar Diagnosa Keperawatan
a) Isolasi Sosial
b) Harga diri rendah
c) Halusinasi
2.3 Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan
Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan isolasi sosial pada klien dan
keluarga yaitu :
a. Isolasi sosial
1) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan keluarga.
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota keluarga
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2
kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihanberkenalan 2-3 orang
c) Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi social
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan dua
kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2
kegiatan baru)
(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
d) Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan
kegiatan sosial
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan
empat kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatansocial
2) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada
keluarga
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :
Mengenal masalah dalam merawat pasien isolasi sosial, berkenalan dan
berkomunikasi saat melakukan kegiatan harian.
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial, yangdialami klien
beserta proses terjadinya.
(3) Memberi kesempatan keluarga untuk memutuskan perawatan pasien
(4) Menjelaskan cara merawat isolasi sosial dan melatih dua cara merawat :
berkenalan dan melakukan kegiatan harian
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :
Latihan merawat : melibatkan pasien dalam kegiatan rumah tangga sekaligus
melatih bicara pada kegiatan tersebut
(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengenal gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan keluarga melatih pasien berkenalan dan berbicara
saat melakukan kegiatan harian
(3) Beri pujian pada keluarga
(4) Menjelaskan kegiatan rumah tangga yang dapat melibatkan pasien
berbicara (makan, sholat bersama)
(5) Latih cara berbimbing pasien berbicara dan memberi pujian
(6) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan bercakap-cakap
sesuai jadwal
c) Strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga :
Melatih cara merawat dengan melatih berkomunikasi saat melakukan kegiatan
sosial
(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat atau melatih berkenalan
(3) Berbicara saat melakukan kegiatan harian dan rumah tangga
(4) Menjelaskan cara melatih pasien bercakap-cakap dalam melakukan
kegiatan sosial berbelanja, dan melatih keluarga mendampingi pasien
berbelanja
(5) Menganjurkan keluarga membantu melakukan kegiatan sosial sesuai
jadwal dan berikan pujian
d) Strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga :
Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up pasien
isolasi social
(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat/melatih pasien
(3) Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
(4) Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda kambuh, dan
rujuk pasien segera
2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam bentuk
intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan oleh klien saat ini (Keliat dkk, 2005).
2.5 Evaluasi
Menurut Rusdi (2013), dokumentasi asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap
proses keperawatan yang meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi tindakan keperawatan dan evaluasi.

BABIII
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami
oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam
(towsend, 1998).Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi
dengan orang lain.
3.2 Saran
Penulisan ini dapat mengaplikasikan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan serta
kemampuan penulis dalam mendiskripsikan asuhan keperawatan pada klien dengan
Isolasi Sosial di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota
Padang.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yusuf Zainal. (2015). Manajemen Komunikasi: Filosofi, Konsep, dan
Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia
Badar.(2016).Asuhan Keperawatan Profesional Jiwa Pada Pasien Isolasi Sosial :
Samarinda
Dalami, Ermawati dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Jiwa.Jakarta
Dermawan, Deden dan Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Direja, Ade Herman Surya.2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika. Dinas Kesehatan Kota Padang. (2013). Profil Kesehatan. Padang: Dinas
Hidayat, Aziz Alimul. 2012. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi
kedua. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, et al. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna, dkk. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2.
Jakarta:EGC Kuntjojo. 2009. Metode Penelitian. Jakarta
Muhith A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta:
Penerbit ANDI.

Anda mungkin juga menyukai