Anda di halaman 1dari 9

R.A. NADIA HAQ 716.6.2.

0795
NURUL AMAL 716.6.2.0794

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ISOLASOSI


SOSIAL: MENARIK DIRI
A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend,
1998 dalam Kusumawati & Hartono, 2011). Isolasi sosial adalah keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa di tolak, tidak
di terima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Yosep, 2011). Isolasi social adalah keadaan dimana individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk.
2008).
Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami ketidakmampuan
untuk mengadakan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan di
sekitarnya secara wajar dan hidup dalam khayalan sendiri yang tidak realistis
(Erlinafsiah, 2010). Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan
hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak
fleksibel yang menimbulkan perilaku maladptif dan mengganggu fungsi
seseorang dalam hubungan social (Riyadi, 2009, Hlm. 151).

B. ETIOLOGI
Terjadinya isolasi sosial dipengaruhi oleh faktor predisposisi, diantaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya pada diri sendiri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan
merasa tertekan. Keadaan ini merupakan tanda-tanda seseorang mengalami Harga
Diri Rendah (HDR).
Keadaan pada seseorang yang mengalami harga diri rendah, dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih
menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain dan kegiatan sehari-hari
terabaikan (Kusumawati & Hartono, 2011), sehingga individu mengalami isolasi
sosial. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan
perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain
bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa
menyebabkan intoleransi aktifitas yang ahirnya bisa berpengaruh terhadap
ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri (Direja, 2011).

C. FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor predisposisi terjadinya isolasi sosial (Direja, 2011):
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan social.
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini termasuk
masalah dalam dalam berkomunikasi, sehingga menimbulkan
ketidakjelasan.
3. Faktor sosial budaya
Mengisolasikan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan
oleh norma-norma yang di anut dalam keluarga, seperti penyandang cacat di
asingkan di lingkungan sosialnya.
4. Faktor biologis
Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan
sosial adalah otak.
D. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011), terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat
ditumbuhkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Faktor eksternal
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas atau
kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya.

E. TANDA DAN GEJALA (Direja, 2011)


1. Kurang spontan.
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
3. Ekspresi wajah kurang berseri.
4. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
6. Mengisolasi diri.
7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
8. Asupan makanan dan minuman terganggu.
9. Retensi urin dan feses.
10. Aktifitas menurun.
11. Kurang energi (tenaga).
12. Rendah diri.
13. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada
posisi tidur).

F. PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL


1. Bayi (0–18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling
sederhana yaitu menangis. Respons lingkungan terhadap tangisan bayi
mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk kehidupan bayi di masa datang.
Menurut Ericson, respons lingkungan yang sesuai akan mengembangkan rasa
percaya diri bayi akan perilakunya dan rasa percaya bayi pada orang lain.
Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada masa ini akan mengakibatkan rasa tidak
percaya pada diri sendiri dan orang lain serta perilaku menarik diri.

2. Prasekolah (18 Bulan–5 Tahun)


Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan lingkungan di luar
keluarganya. Anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga dalam hal
pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif sehingga
anak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan yang dimilikinya. Hal
tersebut merupakan dasar rasa otonomi anak yang nantinya akan berkembang
menjadi kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam
berhubungan dengan lingkungan dan disertai respons keluarga yang negatif akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak mandiri, ragu,
menarik diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut perilakunya salah.

3. Anak Sekolah (6–12 Tahun)


Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada lingkungan sekolah.
Di usia ini anak akan mengenal kerja sama, kompetisi, dan kompromi. Pergaulan
dengan orang dewasa di luar keluarga mempunyai arti penting karena dapat
menjadi sumber pendukung bagi anak. Hal itu dibutuhkan karena konflik sering
kali terjadi akibat adanya pembatasan dan dukungan yang kurang konsisten dari
keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan teman sekolah, dukungan luar
yang tidak adekuat, serta inkonsistensi dari orang tua akan menimbulkan rasa
frustasi terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa, dan menarik
diri dari lingkungannya.

4. Remaja (12–20 Tahun)


Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim dengan teman
sejenis atau lawan jenis dan teman seusia, sehingga anak remaja biasanya
mempunyai teman karib. Hubungan dengan teman akan sangat dependen
sedangkan hubungan dengan orang tua mulai independen. Kegagalan membina
hubungan dengan teman sebaya dan kurangnya dukungan orang tua akan
mengakibatkan keraguan identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karier di
masa mendatang, serta tumbuhnya rasa kurang percaya diri.

5. Dewasa Muda (18–25 Tahun)


Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan interdependen
dengan orang tua dan teman sebaya. Individu akan belajar mengambil keputusan
dengan tetap memperhatikan saran dan pendapat orang lain (pekerjaan, karier,
pasangan hidup). Selain itu, individu mampu mengekspresikan perasaannnya,
menerima perasaan orang lain, dan meningkatnya kepekaan terhadap kebutuhan
orang lain. Oleh karenanya, akan berkembang suatu hubungan mutualisme.
Kegagalan individu pada fase ini akan mengakibatkan suatu sikap menghindari
hubungan intim dan menjauhi orang lain.

6. Dewasa Tengah (25–65 Tahun)


Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat tinggal dengan
orang tua. Individu akan mengembangkan kemampuan hubungan interdependen
yang dimilikinya. Bila berhasil akan diperoleh hubungan dan dukungan yang
baru. Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan individu hanya
memperhatikan diri sendiri, produktivitas dan kretivitas berkurang, serta
perhatian pada orang lain berkurang.

7. Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)


Di masa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan, misalnya fungsi
fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, dan anggota keluarga, sehingga akan
timbul perasaan tidak berguna. Selain itu, kemandirian akan menurun dan
individu menjadi sangat bergantung kepada orang lain. Individu yang
berkembang baik akan dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam
kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam
menghadapi kehilangan yang dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini
akan mengakibatkan individu berperilaku menolak dukungan yang ada dan akan
berkembang menjadi perilaku menarik diri.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan ditemukan
data obyektif yaitu kurang spontan terhadap masalah yang ada, apatis (acuh
terhadap lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi bersedih), efek
tumpul, menghindar dari orang lain, tidak ada kontak mata atau kontak mata
kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri dalam kamar, bahkan tidak
mampu merawat dan memperhatikan kebersihan diri (Dalami, Suliswati,
Rochimah et.al, 2009).
Sedangkan untuk data subjektifnya, biasanya pasien menjawab dengan
singkat seperti “ya”, “tidak”, dan “tidak tahu”, atau bahkan tidak menjawab
sama sekali.
2. Diagnosis
a. Risiko perubahan sensori persepsi: halusinasi berhubungan dengan
menarik diri.
b. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien (Lilik, 2011)
Tujuan:
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu melakukan hal berikut.
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Menyadari penyebab isolasi sosial.
c. Berinteraksi dengan orang lain.

Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
c. Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
d. Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
e. Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
f. Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
g. Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
h. Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.
i. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi social.
j. Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
k. Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain.
l. Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka.
m. Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain.
n. Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
o. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
p. Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
q. Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
r. Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan di hadapan Anda.
s. Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota
keluarga.
t. Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.
u. Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien.
v. Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan
orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya.
w. Beri dorongan terus-menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


Tujuan:
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial
di rumah.:
Tindakan
a. Melatih keluarga merawat pasien isolasi social.
b. Menjelaskan tentang hal berikut.
c. Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
d. Penyebab isolasi social.
e. Sikap keluarga untuk membantu pasien mengatasi isolasi sosialnya.
f. Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus obat.
g. Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien.
h. Memperagakan cara berkomunikasi dengan pasien.
i. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara
berkomunikasi dengan pasien

4. Evaluasi
Evaluasi kemampuan pasien.
a. Pasien menunjukkan rasa percayanya kepada saudara sebagai perawat
dengan ditandai dengan pasien mau bekerja sama secara aktif dalam
melaksanakan program yang saudara usulkan kepada pasien.
b. Pasien mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan tidak mau bergaul
dengan orang lain, kerugian tidak mau bergaul, dan keuntungan bergaul
dengan orang lain.
c. Pasien menunjukkan kemajuan dalam berinteraksi dengan orang lain
secara bertahap.
Evaluasi kemampuan keluarga
a. Keluarga ikut bekerja sama merawat pasien sesuai anjuran yang Anda
berikan.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Suliswati., dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Jiwa. Ed.1. Jakarta: Trans Info Media.
Direja dan Herman. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Nuha
Medika.
Erlinafsiah. 2010. Modal Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info.
Kusumawati dan Hartono. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Lilik M.A. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktek Klinik. Edisi pertama,
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Riyadi Sujono, Purmanto Teguh. 2009. Asuhan Kepewaran Jiwa. Yogyakarta:
Graha ilmu.
Yosep I. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Asuhan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai