Anda di halaman 1dari 25

LTM

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA ISOLASI SOSIAL (ISOS)”

Oleh :
Nadya Karlina Megananda
(196070300111005)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020

RINGKASAN
1. Konsep Dasar Isolasi Sosial
Isolasi social adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Herdman & Kamitsuru, 2014;
Stuart, 2016). Isolasi social merupakan keadaan ketika individu atau kelompok
memilki kebutuhan atau hasrat untuk memiliki keterlibatan kontak dengan
orang,tetapi tidak mampu membuat kontak tersebut (Carpenito-Moyet, 2009).
Dalam hubungan antara manusia biasanya mengembangkan keseimbangan
perilaku dependen dan independen yang digambarkan saling ketergantungan.
Seseorang yang interdependen dapat memutuskan kapan untuk bergantung pada
orang lain dan kapan harus mandiri. Seseorang yang interdependen dapat
membiarkan orang lain bergantung atau mandiri tanpa perlu mengontrol perilaku
orang tersebut. Berikut gambaran gangguan respon sosial dan kepirbadian
menurut Stuart (2016) :

Respon sosial adaptif mencakup kemampuan menstoleransi kesendirian,


outonomi, kebersamaan dan saling ketergantungan. Pada titik tengah kontinum
seseorang mengalami kesepian, penarikan dan ketergantungan sedangkan pada
akhir kontinum maladaptif meliputi perilaku manipulasi, impulsif dan narsisme.
Hal itu menurut Sutejo (2019) dijelaskan sebagai berikut :
1) Respon adaptif
Adalah respon individu menyelesaikan sesuatu dengan cara yang dapat
diterima norma masyarakat meliputi :

a. Menyendiri (solitude)
Respon yang dilakukan individu dalam merenungkan hal yang telah terjadi
atau dilakukan dengan tujuan mengevaluasi diri untuk kemudian
menentukan rencana.
b. Otonomi (autonomy)
Kemampuan individu dalam menyamapikan ide, pikiran, perasaan dalam
hubungan sosial. Individu mampu menetapkan diri untuk interdpenden dan
pengaturan diri.
c. Kebersamaan (mutuality)
Kemapuan atau kondisi individu dalam hubungan interpersonal dimana
individu mampu untuk saling memberi dan menerima dalam hubungan
sosial.
d. Saling ketergantungan (Interdependence)
Suatu hubungan saling bergantung antara satu individu denga individu
yang lain dalam hubungan sosial.
2) Respon maladaptif
Adalah respon individu menyelesaikan sesuatu dengan cara yang bertentangan
dengan norma agama dan masyarakat meliputi :
a. Manipulasi (manipulation)
Gangguan sosial yang menyebabkan individu memperlakukan sebagai
objek, dimana hubungan terpusat pada pengendalian masalah orang lain
dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Sikap mengontroll
digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi yang dapat
digunakan sebagai alat berkuasa orang lain.
b. Impulsif (impulsivity)
Respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak
dapat terduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak
mampu belajar dari pengalaman dan tidak mampu melakukan penilaian
secara objektif.

c. Narsisme (narcissism)
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris,
harga diri rapuh, berusaha mendapatkan pengahrgaan, dan mudah marah
jika tidak mendapatkan dukungan orang lain.
2. Predisposisi Isolasi Sosial
Menurut Sutejo (2019) factor predisposisi penyebab isolasi social meliputi factor
perkembangan, factor biologis dan factor social cultural.
a. Faktor Perkembangan
Tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain dan keluarga. Kurangnya stimulasi atau kasih
saying dari ibu atau pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman
yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Ketidakpercayaan
tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun
lingkungan dikemudian hari. Jika terdapat hambatan dalam mengembangkan
percaya diri, maka anak akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain pada masa berikutnya.
Pada masa kanak-kanak pembatasan aktivitas ataupun control yang berlebihan
dapat membuat anak frustasi. Pada masa praremaja dan remaja, hubungan
antara individu dan kelompok atau teman lebih berarti daripada hubungan
dengan orang tua. Remaja akan merasa tertekan atau menimbulkan sikap
bergantung ketika remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan
hubungan tersebut. Pada masa dewasa muda, individu meningkatkan
kemandiriannya serta mempertahankan hubungan interdependen anatra teman
sebaya maupun orang tua. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan
baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Pada masa dewasa tengah, individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya mulai turun. Ketika individu mulai
hubungan yang interdependen anatara orang tua dengan anak, kebahagiaan
akan diperoleh dengan tetap. Pada masa dewasa akhir, individu akan
mengalami berbagai kehilangan, baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan
orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran.
b. Faktor biologis
Faktor genetic dapat menunjang terhadap respons social maladaptive. Genetic
merupakan salah satu factor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia, misalnya ditemukan pada keluarga dengan riwayat anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Selain itu kelaian pada struktur otak,
seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbuk, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor social budaya
Isolasi social atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan factor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan atau isolasi social. Gangguan ini
juga bias disebabkan oleh adanya norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga, seperti anggota yang tidak produktif diasingkan dari lingkungan
social. Selain itu norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti
lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik juga turut menjadi factor
predisposisi isolasi social.
3. Prespitasi Isolasi Sosial
Menurut Azizah (2016) Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian
kehidupan yang penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan
indifidu untuk brhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
a. Faktor Nature (alamiah)
Secara alamiah, manusia merupakan makhluk holistic yang terdiri dari
dimensi bio-psiko-sosial dan spiritual. Oleh karena itu meskipun stressor
presipitasi yang sama tetapi apakah berdampak pada gangguan jiwa atau
kondisi psikososial tertentu yang maladaptive dari individu, sangat
bergantung pada ketahanan holistic individutersebut.
b. Faktor Origin (sumber presipitasi)
Demikian juga dengan factor sumber presipitasi, baik internal maupun
eksternal yang berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini karena
manusia bersifat unik.

c. Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampak pada trauma psikologis seseorang yang
berimplikasi pada gangguan jiwa sangat ditentukan oleh kapan terjadinya
stressor, berapa lama dan frekuensi stressor.
d. Faktor Number (Banyaknya stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi gangguan
jiwa sangat ditentukan oleh banyaknya stressor pada kurun waktu tertentu.
Misalnya, baru saja suami meninggal, seminggu kemudian anak mengalami
cacad permanen karena kecelakaan lalu lintas, lalu sebulan kemudian ibu
kena PHK dari tempat kerjanya
4. Penilaian Terhadap Stressor
1) Kognitif
Respons kognitif klien isolasi sosial meliputi perasaan kesepian,merasa
ditolak orang lain atau lingkungan, merasa tidak dimengerti oleh orang lain,
merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup,
merasa tidak aman berada diantara orang lain, menghindar dari orang lain
dan lingkungan, tidak mampu konsentrasi serta tidak mampu membuat
keputusan (Townsend, 2017; NANDA, 2012).
2) Afektif
Klien isolasi sosial menunjukkan respons afektif berupa perasaan sedih,
tertekan, depresi atau marah, merasa kesepian atau ditolak lingkungan, tidak
memperdulikan orang lain, malu dengan orang lain. Kegagalan individu
dalam tugas perkembangan di masa lalu juga memiliki keterkaitan dengan
pengalaman berinteraksi serta berhubungan dengan orang lain sehingga
mempengaruhi Respons afektif
3) Fisiologis
Respons fisiologis yang dialami klien isolasi sosial yaitu muka murung, sulit
tidur, merasa lelah letih dan kurang bergairah.
4) Perilaku
Klien isolasi sosial menunjukkan perilaku seperti manarik diri, menjauh dari
orang lain, tidak atau jarang melakukan komunikasi, tidak ada kontak mata,
kehilangan gerak dan mulut, malas melakukan kegiatan sehari hari, berdiam
diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain, dan menunjukkan sikap
bermusuhan (Townsend, 2017).
5) Sosial
Respons fisiologis yang dialami klien isolasi sosial yaitu menarik diri, sulit
berinteraksi, tidak mau berkomunikasi, tidak mau berpartisipasi dengan
kegiatan sosial, curiga dengan lingkungan, acuh dengan lingkungan.
5. Sumber Koping
1) Personal Ability
Kemampuan yang diharapkan terjadi pada klien isolasi sosial adalah
mengetahui penyebab isolasi sosial, menyebutkan keuntungan punya teman
dan bercakap-cakap, menyebutkan kerugian tidak memiliki teman, mampu
berkenalan dengan klien dan perawat atau tamu, berbicara, saat melakukan
kegiatan harian, melakukan kegiatan sosial. Kemampuan klien isolasi sosial
telah diteliti oleh Keliat, dkk, menggunakan Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi (TAKS) mampu meningkatkan kemmpuan komunikasi verbal
maupun non verbal.
2) Sosial Support
Dukungan sosial (social support) adalah dukungan klien yang diperoleh dari
lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, kelompok, kader kesehatan.
Videback (2017) menjelaskan bahwa keluarga merupakan salah satu sumber
pendukung utama dalam proses penyembuhan klien skizofrenia.
3) Positive Belief
Keyakinan terhadap kesembuhan diri sendiri dan terhadap petugas
kesehatan, Distres spiritual, Tidak memilki motivasi untuk sembuh,
Penilaian negatif tentang pelayanan kesehatan, Tidak menganggap apa yang
dialami merupakan sebuah masalah
4) Material Asset
Biaya kehidupan, jaminan kesehatan yang digunakan, pelayanan kesehatan
yang biasa digunakan, Adanya perubahan status kesejahteraan,
Ketidakmampuan mengelola kekayaan, Tidak punya uang untuk berobat,
tidak ada tabungan, Tidak memiliki kekayaan dalam bentuk barang berharga

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang digunakan pada klien isolasi sosial yaitu denial, regresi,
proyeksi, identifikasi, dan religiosity yang berakhir dengan koping maladaptif
(destruktif) berupa terjadi episode awal psikosis atau serangan ulang skizofrenia
dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia termasuk isolasi soial (Townsend,
2017).
7. Diagnosis Isolasi Sosial

Perubahan sensori persepsi : halusinasi

Isolasi social : menarik diri

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

8. Intervensi Keperawatan Kronik


1) Psikoterapi
a. Individu
a) Terapi Perilaku (Modelling Partisipan)
Modeling adalah suatu strategi yang digunakan untuk membentuk
perilaku baru, meningkatkan ketrampilan atau meminimalkan perilaku
yang dihindari (Laraia, 2009). Sedangkan menurut Nelson (2011)
menguraikan modeling partisipan menekankan kinerja in vivo pada
tugas-tugas yang ditakutkan, dengan konsekuensi yang dimunculkan
oleh kinerja sukses yang dianggap sebagai wahana utama bagi
perubahan psikologis.
Merubah perilaku lama pasien dengan memberikan role model dari
seorang modeling (partisipan) sehingga menghasilkan perilaku baru
yaitu kepatuhan terhadap program pengobatan.
b) Cognitive Behaviour Therapy
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour, dan
memiliki pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas
(Chambless & Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-Christoph, 1998
dalam Cully & Teten, 2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi
komunikasi (Kassel & Rais, 2010), Sehingga dapat dikatakan bahwa
CBT merupakan terapi yang menggunakan pendekatan penyelesaian
masalah dengan mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui
perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.
Stallard (2002), menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik
yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan
maladaptif dengan mengembangkan proses kognitif. CBT didasarkan
pada asumsi bahwa afek dan tingkah laku adalah
produk dari kognitif oleh karena itu intervensi kognitif dan tingkah
laku dapat membawa perubahan dalam pikiran, perasaan, dan tingkah
laku. CBT pada dasarnya bertujuan untuk mengubah keadaan atau
status emosi individu, akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara
langsung. Emosi dihasilkan dari adanya stimulasi internal dan
eksternal dan dipengaruhi oleh adanya perubahan pola pikir dan
perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai menggunakan CBT
dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi menyebabkan
distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan ketrampilan yang
memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran akan pikiran
dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan
perilaku mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk
merubah pikiran dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
c) ACT
d) REBT
b. Keluarga
a) Triangle therapy,
Suatu terapi yang terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yang dapat
memperbaiki kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan untuk
menyelesaikan masalah antara klien dan keluarganya dimana
perawat/terapis menjadi fasilitator penyelesaian masalah tersebut.
Tujuannya adalah mencegah konflik segitiga antar anggota keluarga,
membantu menghentikan pengulangan-pengulangan perilaku yang
dapat menimbulkan konflik antar generasi dalam hubungan keluarga.
b) Family Psychoeducation;
Family psycoeducation terapy (FPE) bertujuan untuk mengurangi
tingkat kekambuhan dengan mengurangi stres yang timbul dari respons
kritis dan perilaku yang terlalu terlibat melalui penyediaan pendidikan
dan pelatihan keterampilan (Harvey, C., 2017)
c. Kelompok
a) Terapi Suportif
merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon
secara langsung terhadap issue-issue dan tekanan yang khusus maupun
keadaan yang merugikan. Terapi ini bertujuan untuk memberikan support
terhadap keluarga sehingga mampu menyelesaikan krisis yang
dihadapinya dengan cara membangun hubungan yang bersifat suportif antara
klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga, meningkatkan keterampilan
koping keluarga, meningkatkan kemampuan keluarga menggunakan sumber
kopingnya, meningkatkan otonomi keluarga dalam keputusan tentang
pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga mencapai kemandirian
seoptimal mungkin, serta meningkatkan kemampuan mengurangi
distres subyektif dan respons koping yang maladaptif
2) Komplenter
Terapi menari merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat
digunakan untuk terapi pelengkap pada pasien dengan isolasi social. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Mruok dan Garol (2015) didapatkan hasil
bahwa setelah melakukan terapi menari pasien pasien dapat merasakan bahwa
menari bisa dilakukan untuk diri sendiri dan kesehatan, penerimaan lainnya,
koneksi dengan kelompok lain serta manfaat tak terduga dari menari.
3) Interpersonal
Interpersonal Psikoterapi adalah sebuat psikoterapu yang memiliki batasan
waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan memiliki tujuan
untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal individu
(Robertson et al, 2008). Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien
meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal dalam
hubungan dan untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan yang realistis
terhadap peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta klien mampu
menghadapi berbagai stressor interpersonal yang muncul (Cuijpers et al,
2016).
4) Psychodynamic therapy
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis
psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu
mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam
berbagai hal memiliki perbedaan dengan Freudian.
Terapi psikodinamik efektif diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa,
terjadi peningkatan psikologis yang signifikan dan bertahan lama, bahkan
sampai pengobatan selesai, psikodinamik psikoterapi juga lebih hemat dalam
segi biaya (Kennedy, 2018).
9. Implementasi Keperawatan Kronik
1. Psikoterapi
a. Individu
a) Terapi Kognitif
Pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari lima sesi dan masing-masing
sesi dilaksanakan selama 30 - 45 menit. Uraian pelaksanaan
masing-masing sesi akan dijelaskan sebagai berikut:
Sesi 1: Mengidentifikasi pikiran negatif otomatis yang negatif
dan penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negatif pertama.
Terapis mengidentifikasi masalah yang dihadapi klien. Diskusikan
sumber masalah, perasaan klien serta hal yang menjadi
penyebab timbulnya masalah.. Diskusikan pikiran-pikiran otomatis
yang negatif tentang dirinya. Minta klien untuk mencatat semua
pikiran otomatis yang negatif pada lembar pikiran otomatis negatif
yang terdapat dalam buku catatan harian klien. Perawat
mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif dari pikiran otomatis
negatif klien dalam buku catatan perawat. Bantu klien untuk
memilih satu pikiran otomatis negatif yang paling
mengganggu klien dan ingin diselesaikan saat ini.
Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif dengan memberi
tanggapan positif (rasional) berupa aspek-aspek positif yang
dimiliki klien dan minta klien mencatatnya dalam lembar
tanggapan rasional. Latih klien untuk menggunakan aspek-aspek
positif klien untuk melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif.

Sesi 2 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran


negatif kedua.
Evaluasi kemampuan dan hambatan klien dalam membuat catatan
harian di rumah. Diskusikan dengan klien untuk memilih satu
pikiran otomatis negatif kedua yang ingin diselesaikan dalam
pertemuan kedua ini. Diskusikan cara melawan pikiran otomatis
negatif kedua dengan cara yang sama seperti dalam melawan
pikiran otomatis negatif yang pertama yaitu dengan memberi
tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki klien) dan
minta klien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. Latih
kembali klien menggunakan aspek-aspek positif dalam melawan
pikiran otomatis negatif kedua dengan cara yang sama seperti sesi
pertama. Tanyakan tindakan klien yang direncanakan untuk
mengatasi pikiran otomatis negatif keduanya tersebut. Motivasi
klien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain. Memberikan pujian
terhadap keberhasilan klien.
Sesi 3 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran
negatif ketiga
Semakin sering dan rutin klien melatih mencounter pikiran
negatifnya maka akan semakin meningkat pula kemampuan klien
untuk melakukan terapi kognitif secara mandiri. Pada sesi ini klien
dianjurkan untuk melatih kembali melawan pikiran negatif
dengan harapan klien semakin mampu dan mudah merubah pikiran
negatif yang dialaminya.
Sesi 4 : Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif).
Pada sesi empat ini kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan
dengan klien manfaat yang dirasakan klien setelah menggunkan
tanggapan rasional yang diajarkan terhadap pikiran otomatis
negatif. Latihan yang dilakukan secara disiplin dan rutin oleh klien
dapat mendatangkan hasil yang sangat memuaskan bagi klien
terhadap perubahan pikiran negatif yang dialami klien
Sesi 5 : Support system
Pada sesi 5 ini, terapis mendiskusikan dengan keluarga tentang
pikiran negatif yang dialami oleh klien dan cara mengubah pikiran
negatif yag dialami klien. Sehingga pada sesi ini keluarga memiliki
pengetahuan tentang kondisi klien dan dapat membantu klien
dalam mengatasi pikiran negatif yang muncul.
b) Terapi Perilaku
Terapi modeling partisipan yang dikembangkan mengacu pada
tahapan terapi modeling partisipan yang dikemukakan oleh Nelson
(2011), Stuart laraia (2009) & Bandura (1974) serta dimodifikasi
dengan prinsip komunikasi terapeutik dalam keperawatan, yaitu:
Sesi 1 : Mengidentifikasi perilaku tidak patuh minum obat dan
memberikan role model cara patuh minum obat.
Sesi 2 : Mendampingi pasien minum obat dan membantu
mengatasi efek samping obat
Sesi 3 : Membudayakan perilaku patuh minum obat tanpa
pendampingan dari terapis
Sesi 4 : Mendiskusikan manfaat terapi dan mencegah
kekambuhan
c) Cognitive Behaviour Therapy
Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5
sesi, setiap sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap
klien.
Sesi 1 CBT: Pengkajian
Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri seseorang dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan memproses informasi secara
efektif, oleh Aaron T. Beck dikenal dengan distorsi kognitif. Proses
tersebut yang membuat seseorang sering mempunyai pikiran
negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang
ditunjukannya.

Sesi 2 CBT: Terapi Kognitif


Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu
pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk)
terhadap orang lain yang lebih positif. Selain itu, terapi juga
memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat
memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa
kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif
yang masih ada dan melanjutkan dengan melatih mengatasi pikiran
negatif yang kedua menggunakan pikiran positif.
Sesi 3CBT: Terapi Perilaku
Perilaku merupakan respon yang timbul secara eksternal,
dipengaruhi oleh stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara
primer oleh konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku dapat diamati,
diukur, & dicatat oleh diri sendiri maupun orang lain. Perilaku
dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui reinforcement.
Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson disebut
operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan
sosial digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan
kontrol terhadap perilaku yang berlebihan atau berkurang.
Sesi 4.CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku
Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pengalaman klien dengan masalah dengan menggunakan analisis
perilaku. Analisis ini terdiri dari tiga bagian (ABC dari perilaku):
Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi sebelum perilaku dan
mengarah ke manifestasinya.
Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan
atau lakukan.
Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau
netral) orang berpikir hasil dari perilaku.

Sesi 5 CBT: Kemampuan Merubah Pikiran Negatif Dan


Perilaku Maladaptif Untuk Mencegah Kekambuhan
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran
yang positif akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif
dan dapat diterima oleh orang lain sehingga dapat menimbulkan
kenyamanan. Ketrampilan berpikir dan berperilaku positif harus
dilatih secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan
dalam hidup.
d) Social Skills Training
Keterampilan sosial ini terdiri dari 5 (lima) sesi yaitu :
Sesi 1 : Orientasi kelompok, pengkajian dan melatih
kemampuan berkomunikasi.
Komunikasi verbal meliputi mengucapkan salam, memperkenalkan
diri, menjawab pertanyaan dan bertanya untuk klarifikasi.
Komunikasi non verbal (bahasa tubuh) meliputi kontak mata,
tersenyum, berjabat tangan, duduk tegak/posisi tubuh saat
berkomunikasi
Sesi 2 : Melatih kemampuan untuk menjalin persahabatan
Evaluasi sesi 1 melatih kemampuan komunikasi dalam menjalin
persahabatan, meliputi : komunikasi untuk meminta dan
memberikan pertolongan kepada orang lain, komunikasi saat
menerima dan memberikan pujian kepada orang lain.
Sesi 3: Melatih kemampuan terlibat dalam aktifitas bersama
Evaluasi sesi 1-2, melatih kemampuan terlibat dalam aktivitas
bersama, meliputi: komunikasi saat melakukan kegiatan bersama.
Sesi 4: Melatih komunikasi untuk mengatasi situasi sulit
Evaluasi sesi 1-3, melatih kemampuan komunikasi dalam situasi
sulit, meliputi: komunikasi saat menerima dan memberikan kritik
kepada orang lain, komunikasi untuk menyampaikan penolakan
dan menerima penolakan dari orang lain, serta komunikasi saat
menerima dan memberikan maaf kepada orang lain.

Sesi 5: Mengevaluasi.
Evaluasi sesi 1-4, melatih kemampuan klien mengemukakan
pendapat tentang manfaat kegiatan yang telah dilakukan yaitu
latihan kognitif dan perilaku/ psikomotor : komunikasi.
b. Keluarga
a) Triangle therapy,
Sesi I – II merupakan rangkaian kegiatan dimana terapis bertemu
dengan klien dan keluarga secara terpisah. Terapis akan membantu
masing-masing klien dan keluarga untuk mengungkapkan masalah
serta kompetensi/kemampuan yang dimiliki.
Sesi II terapis memastikan kesiapan anggota keluarga yang terlibat
konflik agar mampu bertemu dan menyampaikan permasalahannya
satu sama lain.
Sesi III-VI merupakan rangkaian kegiatan dimana terapis bertemu
dengan klien dan keluarga secara bersama-sama sehingga mampu
menggunakan kemampuan yang ada untuk menyelesaikan masalah
antara klien dan keluarganya
b) Family Psychoeducation;
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap
sesi dilakukan selama 45-60 menit. Adapun urutan dari terapi ini
adalah sebagai berikut (Hasil workshop keperawatan jiwa ke x,
2016):
Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga
Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama
mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki
klien gangguan jiwa. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna
gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak,
saudara kandung, dan pasangan.
Sesi 2 : Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami
oleh klien. Edukasi yang diberikan kepada keluarga terkait dengan
diagnosa medis dan diagnose keperawatan yang dialami klien.
Sesi 3 : Manajemen Stress Keluarga
Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh
seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain
terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi, latihan
fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil
pada individu tersebut. Sesi untuk membantu mengatasi masalah
masing-masing individu keluarga yang muncul karena merawat
klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang setiap saat
berinteraksi dengan klien.
Sesi 4: Manajemen Beban Keluarga
Pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota
keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena
klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-sama. Beban
objektif terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas
pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang
dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan
terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan
tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif

Sesi 5: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga


Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan
pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan
kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin
dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di
komunitas dan dalam merekomendasikan perubahan untuk
memperbaiki akses dan kualitas dari layanan kesehatan mental.

c. Kelompok
a) Terapi Suportif
Sesi 1 : Identifikasi Masalah Dan Sumber
Pendukung Yang Ada
Mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa yang dialami klien / keluarga
Mengidentifikasi sumber pendukung internal (caregiver, anak, orang tua,
dsb) dan kemampuannya
Mengidentifikasi sumber pendukung eksternal (peer, kader, PSM,
puskesmas, RS, dsb) dan kemampuannya
Sesi 2 : Cara menggunakan sistem pendukung
internal
Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung internal dan
memvalidasinya
Mendiskusikan hasil setelah menggunakan sumber pendukung internal
Sesi 3 : Cara menggunakan sistem pendukung
eksternal
Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung eksternal dan
memvalidasinya
Mendiskusikan hasil setelah menggunakan sumber pendukung eksternal
Sesi 4 : Evaluasi Mengevaluasi hasil dan hambatan menggunakan
sumber pendukung
b) Cognitive Behavioral Social Skills Training (CBSST)
CBSST diberikan secara berkelompok dengan jumlah klien 5-6
orang tiap kelompok. Pelaksanaan CBSST untuk setiap sesi
membutuhkan waktu 60 menit dan masingmasing sesi dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali.
Sesi 1 : Orientasi kelompok, pengkajian dan formulasi
masalah.
Identifikasi pikiran otomatis negatif dan perilaku negatif akibat
pikiran otomatis negatif khususnya perilaku isolasi sosial,
berdiskusi untuk 1 (satu) pikiran otomatis negatif yang paling
mengganggu, melawan 1 (satu) pikiran negatif yang paling
mengganggu dengan menggunakan pikiran rasional dan membuat
catatan pada buku kerja klien.
Sesi 2 : Melatih memberi tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif.
Evaluasi sesi 1, memilih pikiran otomatis negatif kedua,
mengidentifikasi pikiran rasional untuk melawan pikiran negatif
kedua dan latihan melawan pikiran negatif kedua dengan
menggunakan pikiran rasional.
Sesi 3 : Melatih ketrampilan merubah perilaku negatif
Evaluasi sesi 1 dan 2, memilih perilaku baru untuk dilatih yaitu
komunikasi dasar (verbal dan non verbal). Komunikasi verbal
meliputi mengucapkan salam, memperkenalkan diri, menjawab
pertanyaan dan bertanya untuk klarifikasi. Komunikasi non verbal
(bahasa tubuh) meliputi kontak mata, tersenyum, berjabat tangan,
duduk tegak/posisi tubuh saat berkomunikasi.
Sesi 4 : Melatih komunikasi untuk menjalin persahabatan
Evaluasi sesi 1-3, melatih kemampuan komunikasi dalam menjalin
persahabatan, meliputi : komunikasi untuk meminta dan
memberikan pertolongan kepada orang lain, komunikasi saat
menerima dan memberikan pujian kepada orang lain.
Sesi 5: Melatih komunikasi untuk mengatasi situasi sulit
Evaluasi sesi 1-4, melatih kemampuan komunikasi dalam situasi
sulit, meliputi: komunikasi saat menerima dan memberikan kritik
kepada orang lain, komunikasi untuk menyampaikan penolakan
dan menerima penolakan dari orang lain, serta komunikasi saat
menerima dan memberikan maaf kepada orang lain.
Sesi 6: Melakukan evaluasi manfaat latihan kognitif dan
perilaku/ psikomotor : komunikasi
Evaluasi sesi 1-5, melatih kemampuan klien mengemukakan
pendapat tentang manfaat kegiatan yang telah dilakukan yaitu
latihan kognitif dan perilaku/ psikomotor : komunikasi
2. Komplenter
Tarian sebagai sebuah kelompok mendorong interaksi sosial karena para
peserta harus menjaga sejalan dengan musik dan satu sama lain selama setiap
tarian rutin. Ketika para peserta terus menari, mereka mengembangkan rasa
memiliki dan identitas kelompok, yang mungkin telah mempertahankan
keterlibatan kelompok dan berkontribusi pada peningkatan hasil kesehatan
fisik dan mental, serta penurunan depresi dan isolasi social (Murrock, C. &
Graor, C., 2016).

3. Interpersonal
Sesi 1 : Initial assessment (tahap orientasi)
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan
dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara
efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat
melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi
pengumpulan data.
Pada tahap awal ini, dilakukan semacam pengukuran untuk melihat
kesesuaian karakteristik klien dengan pendekatan IPT.
Tahap ini kemudian ditutup dengan disepakatinya kontrak mengenai proses
terapi dengan menggunakan teknik IPT yang akan dilaksanakan. Termasuk
penjelasan mengenai IPT, tujuan IPT, jumlah sesi yang akan dilangsungkan,
dan hasil yang diharapkan.
Sesi 2 : Initial session (Identifikasi)
Sesi-sesi pertama mencakup beberapa jenis tugas, antara lain adalah
mengembangkan hipotesis detail mengenai penyebab klien mengalami
kesulitan dalam hubungan interpersonalnya. Dalam tahap ini, klien juga
diberikan ‘sick role’ terkait kondisinya dan diberikan penekanan bahwa
gejala-gejala yang ia rasakan tidak berbeda halnya dengan penyakit fisik yang
dapat ‘disembuhkan’ bila klien mau bekerja sama dengan terapis. Dalam
tahap ini terapis dan klien kemudian juga mengembangkan interpersonal
inventory (IPI) yang merupakan catatan terstruktur mengenai konteks
interpersonal klien terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi,
Sesi 3 : Middle session
Pada tahap ini, berdasarkan perumusan IPT dalam tahap sebelumnya, terapis
kemudian dapat mengambil kesepakatan dengan klien mengenai area
permasalahan yang akan disasar untuk ditangani. Terapis kemudian juga
mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai area permasalahan yang
telah ditentukan tersebut dan mengklarifikasi temuan yang didapatkan dalam
sesi. Terapis semakin menekankan keterkaitan antara konteks interpersonal
dengan permasalahan yang dialami klien untuk kemudian bersama-sama
merumuskan pilihan-pilihan solusi yang dapat dilakukan. Beberapa teknik
IPT seperti analisis pola komunikasi, pengembangan kemampuan problem
solving, memodifikasi ekspektasi klien mengenai hubungan sosial yang
dimilikinya, dan pemberian edukasi serta melatih keterampilan sosial baru
dengan role-play. Dalam sesi-sesi selanjutnya, solusi yang telah dipilih
kemudian terus menerus dilatih dan dikaji bagaimana pengaruhnya terhadap
hubungan sosial klien.
Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini
perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh
aspek yang terlibat didalamnya
Sesi 4 : Conclusion/termination sessions
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan kemandirian klien
setelah mengikuti proses terapi. Pada tahap ini diharapkan klien merasa telah
mengembangkan kompetensinya untuk berinteraksi dalam hubungan sosial.
Idealnya, klien telah memperoleh kemampuan komunikasi yang baru, telah
berhasil mengembangkan insight mengenai pola komunikasi mereka dan
kaitannya dengan permasalahan yang timbul, dan telah mulai membangun
jaringan dukungan sosialuntuk membantu mereka jika nantinya menemui
permasalahan baru.
Pada tahap ini, terapis akan melakukan review terhadap perkembangan yang
telah dicapai oleh klien dan memberikan umpan balik positif terhadap
perkembangan tersebut. Perkembangan yang dimaksud adalah penyelesaian
masalah yang telah berhasil dilakukan, juga perkembangan kemampuan klien
dalam membina hubungan sosial secara umum. Perlu ditekankan bahwa
segala bentuk keberhasilan adalah hasil dari usaha klien, bukan karena
terapis, meskipun terapis memang bertindak sebagai coach yang membantu.
Terapis juga mendiskusikan dengan klien kemungkinan kemunculan
permasalahan serupa dan perencanaan soal bagaimana klien akan
mengatasinya, termasuk juga mengantisipasi kemungkinan munculnya
permasalahan-permasalahan interpersonal baru. Terapis juga mendiskusikan
dengan klien mengenai permasalahan yang belum terselesaikan melalui terapi
dan mempertimbangkan proses maintenance terapi dengan melakukan
pembaharuan kontrak kesepakatan terapi.
4. Psychodynamic therapy
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri dari 3
fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. 2019):
Fase 1 (sesi 1-4)
Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase awal.
Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya dan
memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya
cara bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan
validasi empati dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi
dengan mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis
dan pasien memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.
mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang yang
berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien.
Fase 2 (sesi 5-12)
terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi awal dan
memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan proses bersama
dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan interpersonal tipikal
dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada kapasitas pasien untuk
merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang diwujudkan, orang lain,
dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc interpersonal terapi, terapis
secara aktif mendorong dan mendukung perubahan. Di fase tengah terapis
menggunakan rangkuman penuh intervensi psikodinamik: (1) mendukung
intervensi (jaminan, dukungan, dan empati); (2) intervensi yang
menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi ekspresif seperti pandangan teoritis,
yang termasuk terbatas fokus pada hubungan transferensi saat yang tepat, (4)
teknik pengarahan (mis., mendorong pasien untuk mengubah cara dia
berinteraksi dengan orang lain)

Fase 3 (sesi 13-16)


Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan
terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat yang
ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan gambaran umum tentang (1)
masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3) apa yang telah dicapai dalam hal
berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini sering memancing reaksi
emosional yang sangat kuat pada pasien.
d. Evaluasi Keperawatan
Proses evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan
dan strategi rencana tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi tindakan pada
pasien untuk menilai adanya penurunan atau peningkatan tanda dan gejala harga
diri rendah pasien serta kemampuan pasien dalam meningkatkan harga diri
rendah dengan menyadari kemampuan positif yang pasien miliki (Wuryaningsih,
Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).

e. Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat penting
dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan keperawatan
yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga merupakan media
komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga kesehatan lainnya sebagai
pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya (Wuryaningsih, Windarwati,
Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., Akbar, A. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Indomedika Pustaka

Carpenito-Moyet, L.J. (2009). Nursing Diagnosis application clinical practoctice 13


edition. USA : Lippincot Williams and Walkins

Carson, V. B. (2000). Mental Health Nursing. The nurse-patient journey.


Philadephia: W. B. Saunders Company.
Chen, K and Walk. (2006). Social skills training intervension for students
with emotional/behavioral disorders: A literature review from
the American perspective, www.ccbd.net/documents/bb/BB.15 (
3)%.social % 20 skills pdf., diperoleh tanggal 15 Desember 2007

Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard; Markowitz,
John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal Psychotherapy for
Depression: A Meta-Analysis. American Journal of Psychiatry. 168 (6): 581–
92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.
Cully, J. A., Teten, A.L .(2008). A therapist’s guide to brief Cognitive Behavioural
Therapy. Department of Veterans Affairs. Honston

Eikens, C. (2000). Social Skills Training. 2011.http://patneal.org/TBI.pdf.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (11 Eds.). (2018). NANDA International nursing
diagnoses : definition & classification, 2018-2020. Oxfort: Wiley Blackwell

Kneisl, C. R, Wilson, H. S. & Trigoboff, E. (2004). Contemporary Psychiatric


Mental Health Nursing New Jersey: Pearson Prentice Hall

Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. (2019). Psychodynamic therapy in


patients with somatic symptom disorder. Contemporary Psychodynamic
Psychotherapy, 191–206. doi:10.1016/b978-0-12-813373-6.00013-1
Murrock, C. & Graor, C., (2016). Depression, Social Isolation, and the Lived
Experience of Dancing in Disadvantaged Adults. journal homepage Archives
of Psychiatric Nursing, 30: 27–34.
http://dx.doi.org/10.1016/j.apnu.2015.10.010 0883-9417/

NANDA, (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Cetakan


2011. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nevid. J., S. Ratus. S., A. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.

Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour


Therapy
Workbook for Children.England: John Wiley & Sons Ltd.

Stuart G. W, Keliat, dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. St
Louis Missouri: Elsevier Mosby

Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2008). Principles and practice of psychiatric


nursing. (8th ed). St. Louis Mosby.

Sutejo. 2019. Keperawatan jiwa, Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Townsend, M. C. (2017). Psychiatric Mental Health Nursing : Concepts of Care in


Evidence-Based practice Philadelphia: F. A. Davis Company.

Videbeck, S.L. (2017). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th ed. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins

Wade, Carole., Tavris, Carol & Garry, Maryanne. 2014. “Psikologi: Edisi
Kesebelas Jilid 1”. Jakarta: Erlangga.

Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi. (2018). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas
Jember.

Anda mungkin juga menyukai