Anda di halaman 1dari 11

LTM

“PERAN PERAWAT DALAM PSIKOFARMAKA”


Oleh :
Nadya Karlina Megananda
(196070300111005)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
RINGKASAN

Terapi obat sebagai salah satu terapi yang melengkapi terapi lainnya seperrti
perilaku kognitif, psikososial, interpersonal, psikodinamika dan tindakan alternatif serta
komplementer. Psikofarmakologi merupakan sebuah standar yang telah diterapkan
dalam menangani penyakit-penyakit neurologis. Namun, obat tidak dapat berjalan
sendiri dalam menagani masalah personal, sosial atau komponen lingkungan klien atau
respon terhadap penyakit. Kondisi tersebut membutuhkan pendekatan yang terintegrasi
dan komprehensif dalam merawat individu dengan gangguan jiwa.
1. Peran Perawat dalam Psikofarmaka
Menurut Stuart (2016), peran perawat dalam psikofarmaka adalah sebagai berikut:
1) Pengkajian Klien
Penting melakukan pengkajian dasar klien termasuk riwayat, kondisi fisik
dan hasil laboratorium, evaluasi kesehatan jiwa, pengkajian sosial dan
riwayat pengobatan untuk dilengkapi pada setiap klien sebelum diberikan
pengobatan. Informasi ini sangat membantu dalam membedakan aspek
gangguan jiwa dari aspek kepribadian klien sebelum ia menderita gangguan
jiwa. Efek samping obat yang timbul setelah treatmen dimulai harus dapat
diidentifikasi dan ditangani sesuai dengan gejala yang muncul. Gejala dari
disfungsi sistem baik karena penyakit atau efek samping pengobatan garus
dapat diidentifikasi dan ditangani. Diagnosa nonpsikiatri yang ada saat ini
dan penanganannya, harus didokumentasikan sejak awal, begitu juga
dengan penggunaan komplementer dan alternatif tritmen yang lain. Pada
akhirnya, melalui pengkajian dasar yang seksama pada setiap klien akan
dapat membantu megindentifikasi penyakit medis yang tidak terdiagnosa
yang muncul bersamaan dengan keluhan gangguan jiwa atau yang
menyebabkan timbulnya gejala gangguan jiwa.
2) Koordinasi Tritmen Modalitas
Pilihan tritmen yang paling tepat pada setiap klien bersifat individual dan
merupakan gambaran dari rencana tritmen. Koordinasi dalam melakukan
perawatan merupakan tanggung jawab utama perawat yang bersama-sama
dengan klien dalam membina hubungan terapeutik sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan. Perawat mengintegrasikan tritmen obat-obatan dengan
berbagai tritmen nonfarmakologi dengan dilandasi pengetahuan, keamanan,
efektivitas dan penerimaan klien.
3) Pemberian obat
Pada beberapa pelayanan seperti rawat inap, rumah perawatan dan berbagai
layanan rawat jalan lainnya, perawat bertugas menentukan jadwal dosis
berdasarkan kebutuhan obat serta kebutuhan klien, mengatur pemberian
obat dan selalu waspada terhadap efek obat serta penanganan efek obat.
Dalam situasi seperti ini, perawat memegang peranan penting sebagai
profesional dalam memaksimalkan efek terapeutik dari tritmen obat dan
meminimalisir efek samping sehingga dalam kondisi ini klien merupakan
kolaborator utama dalam mengelola regimen pengobatan.
4) Monitor Efek Obat
Peran dalam memantau efek obat seperti membuat standarisasi pengukuran
efek obat terhadap target gejala, mengevaluasi dan meminimalisasi efek
samping, mengatasi reaksi berlawanan dan mencatat efek obat terhadap
konsep diri klien, kepercayaan serta keyakinannya terhadap perawatan. Obat
harus diberikan sesuai dengan dosis yang direkomendasikan dan dalam
jumlah yang tepat sebelum menentukan apakah memiliki dampak terapeutik
yang adekuat pada klien. Pengawasan terapeutik obat sangat penting karena
beberapa obat memiliki efek terapeutik yang pendek (seperti lithium),
beberapa obat bahkan dapat menyebabkan reaksi berlawanan yang serius
secara tiba-tiba (seperti sindrom neuroleptik maligna) dan beberapa obat
yang diberikan secara bersamaan dapat mempengaruhi metabolisme obat
serta rata-rata waktu bersihan.
5) Edukasi pengobatan
Edukasi meliputi pemberian informasi lengkap kepada klien dan keluarga
sehingga mereka dapat memahami, emndiskusikan dan menerimanya.
Setiap klien harus mendapat penjelasan untuk tiap obat yang diresepkan
untuknya termasuk manfaat dan risiko yang dapat timbul, alternatif
pengobatan lain untuk kondisi dirinya danapa yang harus mereka lakukan
serta siapa yang dapat dihubungi jika ada pertanyaan atau masalah yang
muncul. Edukasi tentang obat merupakan kunci penting agar efektif dan
aman dalam mengonsumsi obat-obat psikotoprika, kolaborasi klien dalam
merencanakan tritmen dan kepatuhen klien terhadap regimen terapi obat.
6) Program Pemeliharaan Obat
Pada beberapa klien, program pemeliharaan obat mungkin dilakukan dalam
beberapa bulan dan bahkan ada yang sepanjang hidupnya. Pada kondisi
seperti itu, perawat memiliki peran penting dalam membina hubungan
terapeutik yang berkelanjutan dengan klien dalam rangka mempertahankan
pemeliharaan obat. Perawat sering dihubungi klien berkaitan dengan
pertanyaan tentang regimen obat mereka saat ini, efek obat terhadap gaya
hidup dan penyakitnya serta kemungkinan akan jenis tritmen baru yang
tersedia bagi mereka. Perawat sepsialis jiwa dapat menajdi pemberi
pelayanan kesehatan utama pada klien selama masa akut, perawatan
berkelanjutan dan fase pemeliharaan pengobatan.
2. Metode pendekatan khusus
Menurut Yusuf (2015), metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk
pasien curiga, risiko bunuh diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan khusus pada pasien curiga
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau
pemberian yang diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa
tindakan yang dilakukan pada pasien ini tidak membahayakan, tetapi
bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat harus dapat
mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien
karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan menimbulkan
kecurigaan pasien. Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi
harus tegas dan ringkas, misalnya, “Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika
pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan obat ini dalam mulut dan
telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan yang sama setiap kali
memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika ada
perubahan dosis atau cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan
pasien sebelum meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-
benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien untuk membuka
mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini
terutama pada pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan
menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien
yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah diberikan
pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan melalui
kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan
memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan
dalam keadaan darurat.
2) Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam
pemberian obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud
pasien ingin merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam
pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap ini berada
dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati. Perawat
menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat pasien
mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri
hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian perawat
merupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi
hidup. Dalam hal ini, peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan
pendekatan keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri
pasien.
3) Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap
obat adalah hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya,
perawat perlu memberikan penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat
dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah.
Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti
patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi obat
harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan cara-
cara melewati proses kehilangan.
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi
kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk
melaksanakan peran perawat dalam pemberian obat (Yusuf, 2015)
3. Jenis Obat-obatan Psikotik
Menurut Towsend (2017) obat-obatan pada gangguan jiwa dibagi atas :
1) Antiansietas
Indikasi : Digunakan dalam pengobatan gangguan kecemasan, gejala
kecemasan, penarikan alkohol akut, gangguan kejang, status epileptikus,
dan sedasi sebelum operasi. Obat ini paling tepat digunakan untuk
pengobatan keadaan kecemasan akut jangka panjang, karena penggunaan
dan kemanjurannya lebih lama dari 4 bulan belum dievaluasi. Untuk jangka
panjang manajemen gangguan kecemasan, antidepresan sering digunakan
sebagai pengobatan lini pertama karena mereka tidak membuat ketagihan.
Cara kerja obat : Obat anti kecemasan menekan tingkat subkortikal sistem
saraf pusat (SSP), khususnya sistem limbik dan pembentukan reticular.
Mereka mungkin mempotensiasi efek dari neurotransmitter yang kuat dari
GABA di otak, sehingga menghasilkan efek penenang. Semua tingkat
depresi SSP dapat dipengaruhi, dari sedasi ringan hingga koma. Anti
depresan yang paling sering digunakan adalah benzodiazepin, termasuk
clonazepam (Klonopin), diazepam (Valium), dan alprazolam (Xanax).
Benzodiazepin sangat mirip alkohol dalam pengaruhnya terhadap reseptor
GABA, yang mengakibatkan mengapa benzodiazepin digunakan untuk
pengelolaan penarikan alkohol. Buspirone (BuSpar) adalah agen anti
ansietas tetapi bukan golongan benzodiazepine dan tidak menekan SSP.
Meskipun cara kerjanya tidak diketahui, obat ini diyakini menghasilkan efek
yang diinginkan melalui interaksi dengan serotonin, dopamin, dan reseptor
neurotransmitter lainnya. Klien harus diinstruksikan bahwa buspirone
memilikinya masa jeda 7 hingga 10 hari sebelum efeknya dapat dirasakan.

2) Antidepresan
Indikasi : antidepresan digunakan dalam pengobatan depresi berat dan
gangguan distimik, sebagian besar gangguan kecemasan, bulimia nervosa,
gangguan dysphoric pramenstruasi, obesitas, berhenti merokok, dan
alkoholisme. Penelitian tentang antidepresan (Fournier et al., 2010)
menemukan bahwa manfaat terapi antidepresan untuk pasien dengan gejala
depresi ringan hingga sedang. Karena itu, obat-obatan ini khususnya
ditunjukkan ketika seseorang diidentifikasi memiliki depresi berat.

Cara kerja obat : Obat antidepresan bekerja untuk meningkatkan konsentrasi


norepinefrin, serotonin, dan / atau dopamin dalam tubuh. Ini dicapai dalam
otak dengan menghalangi pengambilan kembali neurotransmiter ini oleh
neuron (trisiklik [TCA], tetrasiklik, SSRI, dan SNRI). Itu juga terjadi ketika
suatu enzim, monoamine oxidase (MAO), untuk menonaktifkan
norepinefrin, serotonin, dan dopamin, dihambat pada berbagai lokasi di
sistem saraf (MAOI).

3) Mood Stabilizer
Indikasi : Digunakan pada pasien bipolar. Gangguan bipolar ditandai oleh
siklus depresi dan episode manik, yang dapat bermanifestasi sebagai
pemikiran dan perilaku muluk-muluk, pikiran cepat, hiperaktif, dan / atau
agitasi impulsif. Pengobatan yang efektif untuk gangguan ini adalah yang
dapat mengurangi rollercoaster atau "pasang surut" perasaan klien; Lithium
pertama kali diidentifikasi sebagai antimanik tetapi juga diakui berhasil
menstabilkann perubahan suasana hati dari gangguan bipolar.

4) Antipsikotik
Indikasi : Antipsikotik digunakan dalam pengobatan skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya. Indikasi lainnya digunakan sebagai antiemetik
(chlorpromazine, perphenazine, prochlorperazine), dalam perawatan
cegukan keras (klorpromazin), dan untuk kontrol gangguan gerak pada
mulut (haloperidol, pimozide). Dipilih atipikal antipsikotik, termasuk
aripiprazole (Abilify), adalah diidentifikasi sebagai tambahan untuk
perawatan utama gangguan depresi.

Cara kerja obat : Antipsikotik bekerja dengan memblokir post sinaptik


reseptor dopamin di ganglia basal, hipotalamus, sistem limbik, batang otak,
dan medula. Mereka juga menunjukkan berbagai afinitas untuk kolinergik,
reseptor alfa1-adrenergik, dan histaminik. efek Antipsikotik terkait dengan
penghambatan transmisi impuls saraf yang dimediasi dopamin di sinapsis.
Antipsikotik atipikal adalah reseptor dopamin yang lebih lemah antagonis
daripada antipsikotik konvensional tetapi antagonis yang lebih kuat dari
jenis serotonin Reseptor 2A (5HT2A). Mereka juga menunjukkan
antagonisme untuk reseptor kolinergik, histamin, dan adrenergik. Seperti
disebutkan sebelumnya, aripiprazole (Abilify) adalah reseptor antagonis
dopamin tetapi tampaknya memiliki cara unik untuk menyelesaikan aksinya
dan karenanya memiliki efek samping yang minimal.

Kontraindikasi : Antipsikotik yang dikontraindikasikan pada klien dengan


hipersensitivitas yang diketahui (cross-sensitivitas mungkin ada di antara
fenotiazin). Seharusnya tidak digunakan dalam keadaan koma atau ketika
depresi SSP; ketika ada diskrasia darah; pada klien dengan Penyakit
Parkinson atau glaukoma sudut sempit; untuk mereka dengan kerusakan
hati, ginjal, atau jantung; di individu dengan gangguan kejang yang tidak
terkontrol; atau pada klien lansia dengan psikosis terkait demensia.
Perhatian harus diambil dalam mengelola ini obat untuk klien yang sudah
lanjut usia, sakit parah, atau lemah dan untuk klien dengan diabetes atau
pernapasan insufisiensi, hipertrofi prostat, atau usus halangan.

Antipsikotik atipikal dikontraindikasikan pada hipersensitivitas, pasien


koma atau depresi berat, pasien lanjut usia dengan psikosis terkait demensia,
dan laktasi. Ziprasidone, risperidone, paliperidone, asenapine, dan
iloperidone merupakan kontraindikasi pada pasien dengan riwayat
perpanjangan QT atau jantung aritmia, infark miokard baru-baru ini (MI),
tidak dikompensasi gagal jantung, dan penggunaan bersamaan dengan obat
lain yang memperpanjang interval QT. Clozapine dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan mieloproliferatif, dengan riwayat agranulositosis
yang diinduksi clozapine atau granulositopenia berat, dan epilepsi tidak
terkontrol. Lurasidone merupakan kontraindikasi pada penggunaan
bersamaan dengan inhibitor kuat sitokrom P450 isozim 3A4 (CYP3A4)
(mis., Ketoconazole, antijamur) dan penginduksi CYP3A4 yang kuat (mis.,
rifampisin, antitubercular).

5) Obat Penenang
Indikasi : Obat penenang-hipnotik digunakan dalam manajemen jangka
pendek dari berbagai keadaan kecemasan dan untuk mengobati insomnia.
Agen yang dipilih digunakan sebagai antikonvulsan (pentobarbital,
fenobarbital) dan obat penenang sebelum operasi (pentobarbital,
secobarbital) dan untuk mengurangi kecemasan yang terkait dengan
penarikan alkohol (kloral hidrat).

Cara kerja obat : Sedatif-hipnotis menyebabkan depresi SSP secara


menyeluruh. Mereka dapat menghasilkan toleransi dengan penggunaan
kronis dan memiliki potensi ketergantungan fisik atau psikologis.

Kontraindikasi : pada individu dengan hipersensitif terhadap obat atau obat


apa pun dalam kelas kimia; dalam kehamilan (pengecualian dapat dibuat
dalam kasus-kasus tertentu berdasarkan manfaat); saat menyusui; pada
gangguan hati yang berat, jantung, penyakit pernapasan, atau ginjal; dan
pada anak yang lebih muda dari usia 15 untuk flurazepam dan mereka yang
lebih muda dari usia 18 untuk estazolam, quazepam, temazepam, triazolam.
Triazolam dikontraindikasikan untuk penggunaan bersamaan dengan
ketoconazole, itraconazole, atau nefazodone, obat yang merusak
metabolisme triazolam oleh sitokrom P4503A (CYP3A). Ramelteon
dikontraindikasikan digunakan bersamaan dengan fluvoxamine. Zolpidem,
zaleplon, eszopiclone, dan ramelteon dikontraindikasikan pada anak-anak.
Hidrasi kloral adalah kontraindikasi pada orang dengan esofagitis, gastritis,
atau penyakit tukak lambung dan pada mereka dengan hati, ginjal, atau
gangguan jantung.

6) Agents for Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD)


Indikasi : Obat-obatan dalam bagian ini digunakan untuk ADHD di anak-
anak dan orang dewasa. Amfetamin juga digunakan dalam pengobatan
narkolepsi dan obesitas eksogen. Bupropion digunakan dalam pengobatan
depresi berat danuntuk berhenti merokok (khusus Zyban). Clonidine dan
guanfacine digunakan untuk mengobati hipertensi.
Cara kerja obat : Stimulan SSP meningkatkan kadar neurotransmiter
(mungkin norepinefrin, dopamin, dan serotonin) di CNS. Mereka
menghasilkan SSP dan stimulasi pernapasan, pupil melebar, peningkatan
aktivitas motorik dan kewaspadaan mental, berkurangnya kelelahan, dan
jiwa yang lebih cerah. Stimulan SSP dalam hal ini termasuk
dextroamphetamine sulfate, methamphetamine, lisdexamfetamine,
campuran amfetamin, methylphenidate, dan dexmethylphenidate. Tindakan
dalam pengobatan ADHD tidak jelas. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa efektivitasnya dalam pengobatan gangguan hiperaktif
didasarkan pada aktivasi reseptor dopamin D4 di ganglia basal dan
thalamus, yang menekan peningkatan aktivitas motorik (Erlij et al., 2012).
Atomoxetine menghambat reuptake norepinefrin, dan bupropion memblokir
penyerapan neuron serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Clonidine dan
guanfacine merangsang reseptor alfa-adrenergik sentral di otak, berakibat
berkurangnya pengeluaran simpatik dari CNS.

Kontraindikasi : pada individu dengan hipersensitivitas terhadap amina


simpatomimetik. Mereka tidak boleh digunakan pada pasien dengan
arteriosklerosis, penyakit kardiovaskular, hipertensi, hipertiroidisme,
glaukoma, atau gelisah atau hipereksitabilitas; pada klien dengan riwayat
penyalahgunaan narkoba; selama atau dalam 14 hari setelah menerima
terapi dengan MAOI; pada anak yang lebih muda dari usia 3; atau dalam
kehamilan dan laktasi. Atomoxetine dan bupropion adalah dikontraindikasi
pada klien dengan hipersensitivitas terhadap obat-obatan atau komponen-
komponennya, dalam laktasi, dan bersamaan gunakan dengan atau dalam 2
minggu menggunakan MAOI. Atomoxetine dikontraindikasikan pada klien
dengan penyempitan glaukoma. Bupropion dikontraindikasikan dalam
individu dengan gangguan kejang, pada fase akut MI, dan pada klien dengan
bulimia atau anoreksia nervosa. Agonis alfa dikontraindikasikan pada klien
dengan hipersensitivitas terhadap narkoba.
DAFTAR PUSTAKA

Erlij, D., Acosta-Garcia, J., Rojas-Marquez, M., Gonzalez- Hernandez, B., Escartin-
Perez, E., Aceves, J., & Floran, B. (2012). Dopamine D4 receptor
stimulation in GABAergic projections of the globus pallidus to the reticular
thalamic nucleus and the substantia nigra reticulata of the rat decreases
locomotor activity. Neuropharmacology, 62(2), 1111-1118.
doi:10.1016/j.neuropharm.2011.11.001

Fournier, J.C., DeRubeis, R.J., Hollon, S.D., Dimidjian, S., Amsterdam, J.D., Shelton,
R.C., & Fawcett, J. (2010). Antidepressant drug effects and depression
severity: A patient-level meta-analysis. Journal of the American Medical
Association, 303(1), 47-53. doi:10.1001/jama.2009.1943

Stuart, Keliat dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Edisi Indonesia: Elzevier
Townsend, M. C. A. M., K. I. (2017). Psychiatric mental health nursing: Concepts of
care in evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis company.

Yusuf Ah. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta Selatan : Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai