Anda di halaman 1dari 52

“SEMINAR STUDY KASUS IMPLIKASI FILOSOFI KEPERAWATAN,

GRAND TEORI KEPERAWATAN DAN MIDDLE RANGE TEORI PADA


AREA PEMINATAN JIWA ”
Disusun Oleh :

1. Mira Wahyu Kusumawati 196070300111001


2. Nadya Karlina Megananda 196070300111005
3. Sigit Yulianto 196070300111007
4. Amin Aji Budiman 196070300111020
5. Wahyi Sholehah Erdah S 196070300111039

PEMINATAN KEPERAWATAN JIWA


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu. Laporan
ini berisi tentang implikasi teori keperawatan meta theory/philosophy theory,
grand theory and conseptual model, middle range theory dalam penerapan asuhan
keperawatan pada kasus pasien dengan risiko bunuh diri. Laporan ini disusun
untuk memenuhi tugas kelompok mahasiswa pada mata kuliah Sains
Keperawatan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun diperlukan demi
perbaikan penulisan selanjutnya. Selanjutnya, semoga laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.

Malang, 3 November 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Keperawatan merupakan profesi yang mempelajari sains dan art.
Keperawatan sebagai profesi dibangun oleh sebuah body of knowlegdeyang
tersusun oleh berbagai teori sebagai ciri khas yang membedakan
keperawatan dengan profesi lainnya (Alligood, 2014). Perawat memerlukan
dasar teoritis untuk menunjukkan pengetahuan dan seni dari profesinya.
Teori keperawatan digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan praktik
keperawatan. Teori keperawatan dapat diartikan sebagai konseptualisasi
beberapa aspek realitas keperawatan yang bertujuan untuk menggambarkan
fenomena, menjelaskan hubungan-hubungan antar fenomena, memprediksi
risiko-risiko yang mungkin terjadi, dan menetapkan asuhan keperawatan
(McKenna, Pajnkihar, & Murphy, 2014).

Alligood (2014) membagi dan menggolongkan teori keperawatan menjadi 4


golongan, yakni: meta theory/philosophy theory, grand theory and
conseptual model, middle range theory, dan practice theory. Metatheory
adalah teori dengan level tertinggi dan merujuk pada body of knowledge
keperawatan. Metatheory memberikan panduan bagaimana cara
menggeneralisasi, menggunakan dan menguji teori, tapi tidak bisa
diberlakukan terhadap dirinya sendiri (McKenna, Pajnkihar, & Murphy,
2014). Sifat meta theory yaitu dapat dikritik, terbatas, abstrak dan tidak
mudah untuk diuji coba secara empiris (Alligood, 2014). Grand theory
merupakan satu atau beberapa konsep spesifik yang didapatkan dari model
konseptual. Grand theory kurang abstrak dan lebih spesifik dibanding meta
theory tetapi tidak sekonkrit dan sespesifik middle range theory (Fawcett,
2005).Middle range theory adalah level teori dengan cakupan yang lebih
spesifik, sedikit abstrak, memiliki konsep yang lebih sedikit dibandingkan
dengan grand theory, memberikan cara penyelesaian masalah dan dapat
diuji secara empiris. Middle range theory membantu praktik dengan
memfasilitasi pemahaman tenatng perilaku klien, saran intervensi dan
memberikan penjelasan untuk keefektifan intervensi (Peterson & Bredow,
2008).Practice theory lebih spesifik dan jelas cakupannya dibanding middle
range theory. Practice theory menentukan tindakan atau intervensi
keperawatan yang cocok untuk mencapai tujuan tertentu, berfokus pada
fenomena keperawatan yang spesifik dengan memberikan arahan langsung
pada praktek keperawatan dan mempunyai pernyataan teoritis yang jelas,
hipotesis dengan menguraikan kejelasan fenomena (Peterson & Bredow,
2008).

Laporan ini disusun untuk menganalisis implikasi meta theory/philosophy


theory, grand theory and conseptual model, middle range theory pada
asuhan keperawatan pasien dengan risiko bunuh diri. Kasus bunuh diri
menjadi fokus kajian dalam laporan ini karena menjadi penyebab utama
kedua kematian pada usia produktif 15-29 tahun dengan rata-rata kematian
karena bunuh diri di Indonesia mencapai satu orang setiap satu jam
(Kompas, 8 September 2016). Analisis implikasi teori keperawatan pada
kasus bunuh diri menggunakan teori Chronic Sorrow yang dikembangkan
oleh Eakes, Burke dan Hainsworth, teori Adaptasi yang dikembangkan oleh
Roy dan teori caring yang dikembangkan oleh Jean Watson.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk menganalisis implikasi teori teori
Chronic Sorrow yang dikembangkan oleh Eakes, Burke dan Hainsworth,
teori Adaptasi yang dikembangkan oleh Roy dan teori caring yang
dikembangkan oleh Jean Watson dalam penerapan asuhan keperawatan pada
kasus bunuh diri.

1.3 Manfaat
Manfaat penulisan laporan ini adalah mahasiswa magister keperawatan
dapat memahami aplikasi teori Chronic Sorrow yang dikembangkan oleh
Eakes, Burke dan Hainsworth, teori Adaptasi yang dikembangkan oleh Roy
dan teori caring yang dikembangkan oleh Jean Watson dalam penerapan
asuhan keperawatan pada kasus bunuh diri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Bunuh Diri
2.1.1 Definisi Bunuh Diri
Bunuh diri didefinisikan oleh NANDA (2011) sebagai tindakan yang secara
sadar dilakukan oleh klien untuk mengakhiri kehidupannya. Serupa dengan
Nanda (2011), Videbeck (2011) menyatakan bunuh diri adalah tindakan
yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri, bunuh diri
melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk hidup dan keinginan untuk
mati. Dari berbagai definisi bunuh diri dapat disimpulkan bahwa bunuh diri
merupakan kumpulan gejala/sindrom yang merupakan manfestasi dari
trauma psikologis dan berakhir pada tindakan yang dilakukan secara sadar
dan sengaja untuk membunuh diri sendiri.
Pikiran bunuh diri terjadi pada orang yang rentan terhadap stressor dan akan
terus menjadi gagasan untuk jangka waktu lama. Pada saat pikiran bunuh
diri menjadi sangat kuat maka yang timbul adalah upaya bunuh diri. Upaya
bunuh diri menurut Videbeck (2011) adalah suatu tindakan bunuh diri yang
gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai. Perilaku
bunuh diri menurut Stuart (2016) adalah tindakan yang dilakukan secara
sengaja untuk membunuh diri sendiri. Tingkah laku bunuh diri adalah tanda
yang salah diartikan bahwa seseorang merasa putus asa atau putus harapan
(Stuart, 2016). Tingkah laku bunuh diri termasuk upaya untuk bunuh diri,
isyarat bunuh diri, dan benar- benar bunuh diri. Seseorang yang berisiko
melakukan tindakan bunuh diri adalah ketika mereka tidak mampu
mendapatkan solusi dari masalah dan penderitaan yang dialami dan tidak
mampu menolong dirinya sendiri atau suatu bentuk “jeritan minta tolong”
terhadap penderitaan yang dialami (Videbeck, 2011).
2.1.2 Tanda dan Gejala Bunuh Diri
Semua perilaku bunuh diri menurut Stuart (2016) adalah serius, apapun
tujuannya. Orang yang siap melakukan bunuh diri adalah orang yang
merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana
spesifik dan mempunyai alat untuk melakukannya. Stuart (2016) membagi
perilaku bunuh diri menjadi 3 tingkatan, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman
bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
a. Isyarat Bunuh Diri
Peringatan verbal dan non verbal bahwa seseorang
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang akan melakukan
bunuh diri mungkin akan mengungkapkan secara verbal bahwa dalam
waktu dekat dia tidak akan berada di sekitar orang-orang terdekatnya.
Atau secara non verbal memberikan isyarat dengan menitipkan barang
berharga yang dimilikinya kepada orang terdekat (Stuart, 2011).
Seseorang dengan gagasan bunuh diri mengirimkan isyarat atau sinyal
kepada orang lain tentang maksud mereka untuk mencelakakan diri
sendiri (Videbeck, 2011).
b. Ide Bunuh Diri
Fortinash dan Worret (2004) menyatakan bahwa ide bunuh diri atau
berpikir tentang bunuh diri yang disampaikan secara intens
mempunyai risiko yang tinggi untuk melakukan aksi bunuh diri.
Sementara Stuart (2016) menyatakan bahwa ide bunuh diri yang
disampaikan sangat bervariasi dan serius, hal ini dapat bersifat pasif
ketika hanya berpikir tentang bunuh diri tetapi tidak diikuti oleh aksi
bunuh diri. Sedangkan bersifat aktif ketika berpikir tentang rencana
bunuh diri dan membuat perencanaan sesuatu yang bisa membuatnya
mati.
c. Ancaman bunuh Diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untuk mati disertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif klien
telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai percobaan
bunuh diri (Stuart, 2016). Pada tahap ini perawat harus waspada dan
dilakukan pengawasan ketat. Kesempatan sekecil apapun dapat
digunakan klien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya (Stuart,
2016; Videbeck,2011).
d. Percobaan Bunuh Diri
Upaya percobaan bunuh diri menurut Stuart (2016) adalah semua
tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat
menyebabkan kematian jika tidak dicegah. Percobaan bunuh diri
adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal dilakukan atau tidak
berhasil dilakukan sampai selesai, seseorang yang tidak
menyelesaikan tindakan bunuh diri, karena berhasil ditolong oleh
orang lain (Roy, 2000 dalam Videbeck, 2011).
Bunuh diri terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan.
Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar-benar
ingin mati mungkin akan mati, jika mereka tidak ditemukan tepat pada
waktunya. Stuart (2016) menyatakan bahwa bunuh diri terjadi setelah
tanda atau isyarat bunuh diri tidak diperhatikan atau terabaikan.
Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri sebelumnya
menyampaikan pesan atau isyarat akan melakukan bunuh diri. Satu
hal yang perlu diperhatikan adalah ketika seseorang menyampaikan
ide atau upaya bunuh diri secara serius, orang tersebut membutuhkan
bantuan untuk membangun komunikasi yang sehat, sehingga dia tidak
benar-benar mewujudkan keinginannya untuk mati (Stuart, 2016;
Videbeck, 2011).
2.1.3 Proses Terjadinya Bunuh Diri
Proses terjadinya bunuh diri untuk masalah keperawatan risiko bunuh diri,
bisa menggunakan pendekatan model Stuart (2016) melalui Psikodinamika
masalah keperawatan. Menurut Stuart (2016) psikodinamika masalah
keperawatan dimulai dengan menganalisa faktor predisposisi, presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping yang
digunakan oleh seorang individu sehingga menghasilkan respon baik yang
bersifat konstruktif maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Fortaine (2009) menyatakan proses terjadinya perilaku bunuh
diri diuraikan melalui proses terjadinya gangguan jiwa yang dihubungkan
dengan perilaku bunuh diri. Menurut Stuart (2016) lebih dari 90% seseorang
yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri memiliki masalah
kejiwaan. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa berisiko untuk
melakukan bunuh diri sehingga perlu mendapatkan penanganan terhadap
gangguan jiwanya. Pada klien skizofrenia insiden terjadinya bunuh diri
sangat tinggi yaitu 40% mempunyai ide bunuh diri, 20 – 40% pernah
melakukan percobaan bunuh diri dan 10 – 15% mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri (Hunt et,al, 2006 dalam Stuart, 2011). Pada awal
gangguan, risiko bunuh diri lebih tinggi karena memiliki energi dan
kapasitas untuk melakukan tindakan terhadap rencana bunuh dirinya
(Fortaine, 2009).
2.1.4 Rentang Respon Bunuh Diri
Perilaku destruktif diri menurut Stuart (2016) adalah setiap aktivitas yang
jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Menurut Stuart (2013)
harga diri yang rendah menyebabkan depresi yang selalu ditampilkan dalam
bentuk perilaku mencederai diri sendiri. Berikut rentang respon protektif
diri dari adaptif sampai maladaptif :

Gambar 2.1 Rentang Respon Bunuh Diri


a. Peningkatan diri (self-enhancement) yaitu seorang individu
mempunyai pengharapan, keyakinan dan kesadaran diri meningkat.
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.

b. Pengambilan risiko yang meningkatkan pertumbuhan (growth-


promoting risk taking) merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami oleh seorang individu yang sedang dalam
perkembangan perilaku.
c. Destruktif diri tak langsung merupakan (indirect self-destructive
behavior) pengambilan sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap
situasi pemertahanan diri. Perilaku ini melibatkan setiap aktivitas yang
merusak kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah pada
kematian, seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan
kriminal dan perilaku yang menimbulkan stres lainnya.

d. Pencenderaan diri (self-injury), yaitu suatu tindakan yang


membahayakan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Dilakukan
oleh diri sendiri, tanpa bantuan orang lain dan cedera tersebut parah
untuk mencederai tubuh.

e. Bunuh diri (suicide), yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap


diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan.

2.2 Teori Keperawatan Menurut Eakes, Burke dan Hainsworth (Chronic


Sorrow)
2.2.1 Riwayat Tokoh
a. Georgene Gaskill Eakes
Georgene Gaskill Eakes lahir di New Bern, North Carolina. Dia
menerima Diploma keperawatan dari sekolah keperawatan rumah sakit
Watts di Durham, North Carolina 1966 dan pada tahun 1977 dia lulus
Bacalaureate dengan Summa Cumlaude dari North Carolina Agricultural
dan Technical State University. Eakes melanjutkan M.S.N pada
University or North Carolina di Greensboro pada tahun 1980 dan Ed D
dari North Carolina State University pada tahun 1988. Eakes menerima
penghargaan utnuk studi masternya dan dari North Carolina League
untuk studi doktoralnya. Dia dilantiik dalam Sigma Theta Tau
International Honor Society or Nurses pada 1979 dan Phi Kappa Phi
Honor Society 1988.
Setelah konferensi, Eakes mengkontak Burke untuk mengeksplorasi
kemungkinan penelitian secara kolaboratif. Berdasarkan diskusi mereka,
mereka menjadwalkan pertemuan dengan Burke dan koleganya yaitu
Margaret A. Hainsworth dan Carolyn Lindgren lulusan Hainsworth.
b. Marry Lermann Burke
Dilahirkan di Sandusky Ohio dimana dia menyelesaikan sekolah
elementary dan secondary. Dia menerima penghargaan untuk pertama
kalinya saat diplima dari Good Samaritan Hospital school of Nursing di
Cincinnati tahun 1962 kemudian diikuti sertifikat post graduate dari
Children’s Medical Center di District Columbia. Setelah beberapa tahun
bekerja di keperawatan pediatric, Burke lulus dengan Summa Cumlaude
dari Rhode island college Providence dengan bachelor degree. Pada
tahun 1982 dia menerima master degree pada parent-child nursing dari
Boston University. Dan selama program ini dia juga menerima
penghargaan sertifikat dalam Parent-cild nursing dan Interdisciplinary
Training in Development Center of Rhode Island Hospital and the
Section on Reproductive and Developmental Medicine, Brown
university. Burke tertarik dengan konsep chronic sorrow selama
program masternya. Thesisnya berjudul ‘The Concern of Mothers of
preschool Children with Myelomeningocele’, yang mengidentifikasi
emosi tentang kesedihan yang mendalam. Kemudian waktu disertasi
doctoral dia mengembangkan Burke Chronic sorrow Questionaire,
‘Chronic sorrow in mothers of school-age with myelomeningocele’.
c. Margaret A Hainsworth
Lahir di Brockville, Ontario Canada. Dia menamatkan pendidikan dasar
dan sekundernya di tempat kelahirannya. Dia masuk diploma sekolah
keperawatan di Brockville General Hospital dan lulus tahun 1953.
Tahun 1959 dia pindah ke united State dan menerima diploma
keperawatan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1974 dia melanjutkan
pendidikan di Salve Regina College dan menerima bacalaurate dalam
bidang keperawatan tahun 1973 dan master dibidang keperawatan
kesehatan mental psikiatrik dari Boston College tahun 1974. Dia
menerima program doctor dari University Connecticut tahun 1986.
Tahun1988, menerima sertifikat sebagai spesialis klinik dalam
keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik. Hainsworth berminat pada
penyakit kronik dan yang berhubungan dengan dukacita dimulai saat dia
sebagai fasilitator untuk memberikan dukungan pada wanita dengan
multiple sklerosis.
2.2.2 Latar Belakang Teori
Hainsworth berminat pada penyakit kronik dan yang berhubungan dengan
duka cita dimulai saat dia sebagai fasilitator untuk memberikan dukungan
pada wanita dengan multiple sclerosis. Praktik tersebut , menginspirasinya
untuk mengambil disertasi dengan judul “ An ethnographic study of women
with multiple sclerosis using symbolic interaction approach.” Penelitian ini
dipresentasikan pada Kongres Sigma Theta Tau di Taipei, Taiwan pada
tahun 1989.pada konferensi ini dia menjadi familiar dengan penelitian
tentang chronic sorrow setelah menghadiri presentasi yang diadakan Burke.
Burke tertarik dengan konsep chronic sorrow selama program masternya.
Thesisnya berjudul ‘The Concern of Mothers of preschool Children with
Myelomeningocele’, yang mengidentifikasi emosi tentang kesedihan yang
mendalam. Kemudian waktu disertasi doctoral dia mengembangkan Burke
Chronic sorrow Questionaire, ‘Chronic sorrow in mothers of school-age
with myelomeningocele’.
Setelah konferensi, Eakes mengkontak Burke untuk mengeksplorasi
kemungkinan penelitian secara kolaboratif. Berdasarkan diskusi mereka,
mereka menjadwalkan pertemuan dengan Burke dan koleganya yaitu
Margaret A. Hainsworth dan Carolyn Lindgren lulusan Hainsworth.
Nursing Concorium Research Chronic Sorrow (NCRCS) dibuat berdasarkan
meddle range teori keperawatan mengenai kesedihan /berduka kronis
(chronic sorrow). Kemudian untuk membentuk dasar konseptualisasi
mengenai koping individu terhadap kesedihan kronis digunakan model
stress milik Lazarus dan Folkman (1984).
NCRCS menggunakan hasil studi Lazarus dan Folkman sebagai dasar
metode manajemen yang efektif menjadi model yang mereka gunakan
adanya perbedaan atau inkosistensi dan respon terhadap duka yang berulang
merangsang mekanisme koping individu.
2.2.3 Konsep Utama Teori
Teori chronic sorrow merupakan middle range teori karena dalam teori ini
membahas tentang fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah-masalah
yang timbul akibat dari penyakit kronis mencakup proses berduka,
kehilangan, factor pencetus dan metode manajemennya. Karena
kespesifikan teori tersebut , maka teori ini mudah diaplikasikan dalam
praktik keperawatan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait
dengan penyakit kronik seperti pada pasien multiple sclerosis , diabetes
melitus pada anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsy, sindrom down,
spina bifida dan lain-lain.
a. Berduka kronis (chronic sorrow)
Berduka kronis (chronic sorrow) adalah suatu kesenjangan yang
sedang berlangsung sebagai akibat dari suatu kehilangan dengan
karakteristik perspasif dan permanen. Gejala berduka dapat tetrjadi
berulang secara periodic dan gejala ini berpotensi progesif (Alligood,
2014).
b. Kehilangan (Loss)
Kehilangan muncul Karena adanya ketidakseimbangan / perbedaan
antara ideal dan situasi atau pengalaman yang nyata . sebagai contoh
anak yang sempurna dengan anak kondisi kronik yang berbeda dengan
ideal.
c. Peristiwa Pencetus (Triger Events)
Kejadian pencetus adalah situasi, keadaan, dan kondisi yang
menyebabkaan perbedaan atau kehilangan berulang dan memulai atau
memperburuk perasaan berduka (Alligood, 2014).
d. Metode Manajemen (Management Method)
Metode Manajemen adalah suatu cara bagaimana individu menerima
penderitaan kronis. Bisa secara internal (strategi koping individu) atau
eksternal (bantuan tenaga kesehatan atau intervensi orang lain).
Penderitaan kronis tidak akan membuat individu melemah bial efektif
dalam mengatur perasaab bisa internal maupun eksternal.
Mekanisme tindakan koping digunakan untuk semua subjek individu
dengan kondisi kronis dan pemberi perawatannya. Kognitif koping
contohnya berfikir positif , membuat sesuatu dengan sebaik-baiknya,
tidak memaksakan diri bila tidak mampu (hainworth, 1994 dalam
Alligood, 2014). Contoh koping interpersonal adalah pergi
memeriksakan diri ke psikiater, masuk dalam suatu kelompok atau
group dan bicara atau brkomunikasi dengan orang lain (Eakes, 1993 ;
hainworth, 1994 dalam Alligood, 2014). Strategi emosional contohnya
menangis atau ekspresi emosi lainnya. Manajemen eksternal adlah
intervensi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Eakes et all 1998
dalam Alligood 2014). Pelayanan kesehatan yang diberikan secara
professional dapat membantu memberikan rasa nyaman bagi mereka,
caring dan tenaga professional yang kompeten lainnya (Alligood,
2014).
e. Inefektif Manajemen
Manajemen Inefektif merupakan hasil dari strategi yang
meningkatkan ketidaknyamanan atau mempertinggi perasaan chronic
sorrow.
f.Effective Management
Manajemen efektif merupakan hasil dari strategi yang meningkatkan
kenyamanan perasaan individual.
g. Strategi Manajemen
h. NCRCS meyakinkan bahwa kesedihan kronis bukan masalah jika para
individu dapat melakukan manajemen perasaan secara efektif . Strategi
koping internal :
a) Action (tidakan), mekanisme koping action individu baik yang
bersangkutan maupun pelaku perawat nya. Contoh metode
distaksi yang umum digunakan untuk menghadapi nyeri.
b) Kognitif, mekanisme koping ini juga sering digunakan ,
misalnya berpikir positif, ikhlas menerima semua ini.
c) Interpersonal, mekanisme koping interpersonal misalnya dengan
konsultasi dengan ahli jiwa, bergabung dengan kelompok
pendukung, melakukan curhat.
d) Emosional, mekanisme koping emosional misalnya adalah
menangis dan mengekspresikan emosi.
e) Strategi menejemen ini semua dianggap efektif bila para pelaku
atau individu mengaku terbantu untuk menurunkan perasaab
kembali berduka (re-grief). Staregi koping eksternal ,
dideskripsikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh
professional kesehatan dengan cara meningkatkan rasa nyaman
para subyek dengan bersfat empati , memberi edukasi serta
merawat dan melakukan tindakan professional kompeten
lainnya.
2.2.4 Konsep Utama Keperawatan Menurut Hansworth
a. Keperwatan
Praktik keperawatan memiliki lingkup praktik untuk mendiagnosa
adanya chronic sorrow untuk kemudian melakukan intervensi untuk
mengatasinya. Peran utama perawat adalah bersikap empati , memberi
edukasi, serta merawat dan melakukan tindakan professional lainnya.
b. Manusia
Memiliki persepsi ideal mengenai proses kehidupan dan kesehatan .
Manusia akan membandingkan pengalamannya dengan idealismenya
pribadi dan dengan orang-orang disekitarnya. Meskipun pengalaman
individu terhadap kehilangan bersifat unik, namun namun erdapat
komponen-komponen yang umumnya dapat diprediksi ada terikat
pengalaman kehilangan.
c. Kesehatan
Kesehatan seorang tergantung adaptasi terhadap kesenjangan yang
tercipta setelah kehilangan . Koping yang efektif menghasilkan respon
normal terhadap kehilangan.
d. Lingkungan
Lingkungan pelayanan kesehatan merupakan tempat terjadinya
interaksi individu dalam konteks social dengan keluarga , social dan
pekerjaan.

Gambar 2.2 Bagan Teori Chronnic Sorrow


2.2.5 Asumsi Teori
a. Clarity (kejelasan)
Teori ini secara jelas menggambarkan fenomena yang terjadi pada
area klinik ketika terjadi kehilangan. Konsep Mayor dan hubungan
antar konsep juga diartikan secara jelas hingga menghasilkan
pemahaman yang tepat. Sebagai contoh pemahaman bahwa Chronnic
sorrow memberikan kerangka berpikir dalam menghadapi dan
memahami individu yang sedang mengalami suatu kehilangan atau
berduka yang memanjang. Dalam konsep chronic sorrow terdapat
antecenden atau hal-hal yang mendahului ,triger event atau kejadian
pemicu, dan metode-metode manajemen baik internal, maupun
eksternal. Metode-metode yang dipakai bisa direspon secara efektif
atau tidak efektif yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kenyamanan. Apabila manajemen efektif , maka individu akan
mengalami kenyamanan dalam kondisi kroniknya dan sebaiknya
apabila manajemen tidak efektif, maka individu akan mengalami
ketidaknyamanan. Jelas bahwa manajemen yang efektif baik internal
maupun eksternal akan menghasilkan kenyamanan dan sebaliknya
manajemen yang tidak efektif akan meningkatkan ketidaknyamanan
dan intensitas dari duka cita yang kronis.
Sebagai teori middle range, wilayah teori dibatasi pada penjelasan
atau fenomena yakni respon kehilangan dan hal ini sesuai dengan
pengalaman praktik klinik. Seperti yang dinyatakan oleh Eakes,
keunggulan middle range teori ini memberi penjelasan secara benar
bagi praktisi perawat ,pelajar/mahasiswa perawat dan pendidik
sebagai bukti komunikasi yang berkelanjutan secara nasional dan
internasional (Alligood, 2014).
Satu aspek yang belum jelas dari teori ini adalah penjelasan tentang
mengapa tidak semua individu yang mengalami kehilangan juga akan
mengalami berduka kronis. Tidak ada data yang menjelaskan tentang
individu -individu yang tidak mengalami berduka kronis ini apakah
mereka memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda, misalnya
memiliki ketabahan atau mereka menerima intervensi yang berdbeda
saat mengalami kehilangan ? Apa data yang diinginkan dari individu
terkait koping dengan kehilangan yang terus menerus. Konsep lain
yang perlu dilakukan klarifikasi adalah progresifitas dari berduka.
Meskipun dikatakan bahwa berduka kronis berpotensi untuk
berkembang, bagaimana perkembangannya dan patologi yang
berhubungan tidak jelas dipaparkan.
Perlu klarifikasi strategi menejemen internal. Dalam hal ini belum
jelas perbedaan problem oriented dengan cognitive strategies .
demikian juga emotive cognitive. Emosional dan strategi interpersonal
belum digambarkan secara jelas. Beberapa overlap yang nyata antara
manajemen internal dan eksternal terjadi ketika kata “interpersonal”
digunakan untuk menggambarkan bantuan professional.
Teori ini memiliki kesamaan dengan teori lainnya, yakni memandang
bahwa focus dari perawatan adalah individu, keluarga (caregiver),
kelompok (peer group), hanya kurang memandang masyarakat yang
dalam kondisi berduka kronis ini bisa dijadikan sebagai support
system (manajemen eksternal), teori ini hanya memandang profesi
kesehatan sebangai sumber manajemen eksternal untuk meningkatkan
kenyamanan melalui peran empatik, pengajaran, caring dan
memberikan asuhan yang professional.
Dalam rentang kehidupan manusia, individu dihadapkan pada situasi
kehilangan yang dapat terjadi secara terus menerus ataupun satu
kejadian. Pengalaman kehilangan tersebut akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara yang diharapkan dengan dengan kenyataan.
Kejadian tersebut dapat memicu timbulnya kesedihan atau dukacita
berkepanjangan / mendalam yang potensial progersif, meresap dalam
diri individu, berulang dan permanen. Individu dengan pengalaman
kesedihan tersebut biasanya akan menggunakan metode manajemen
dalam mengatasinya. Metode manajemen dapat berasal dari internal
(koping personal) ataupun dari eksternal (dukungan orang yang
berharga maupun tim kesehatan). Jika metode manajemen yang
digunakan efektif, maka individu akan meningkat perasaan
kenyamanannya. Tetapi jika tidak efektif akan terjadi hal sebaliknya.
b. Simplicity (kesederahaan)
Kesederhanaan teori ini terlihat dari ruang lingkupnya yang
berorientasi pada fase berduka kronis. Teori berduka kronis (chronic
sorrow) memperjelas pemahaman hubungan antara variable dari
konsep mayor yang dipaparkan. Melalui model ini, jelas bahwa
berduka kronis aalah siklus alami, menyebar dan berpotensi
berkembang.
Teori ini juga secara sederhana menjelaskan subkonsep metode
manajemen internal versus metode manajemen eksternal. Selain itu
teori ini secaa sederhana juga menjelaskan bahwa respon metode
manajemen yang dilakukan oleh pasien dan keluarga (primary
caregiver) menghasilkan respon manajemen inefektif versus
manajemen efektif.
Teori secara sederhana menjelaskan bahwa perawat harus mampu
mengidentifikasi dan memfasilitasi metode manajemen internal dan
eksternal pasien. Perawat dan kelompok pendukung lainnya lebih
banyak berperan pada metode menejemen yang efektif untuk
mencegah chronic sorrow menjadi progrsif.
Dengan jumlah variable yang terbatas, teori ini lebih mudah
dimengerti . sebagai kelompok middle rang teori ini berguna untuk
panduan praktik dan penelitian selanjutnya.
c. Generality ( Keumuman / generalisasi)
Konsep chronic sorrow dimulai dengan studi pada orang tua dengan
anak yang mengalami gangguan fisik atau kognitif. Melalui
pembuktian secara empiris, teori diperluas untuk memasukan berbagai
paengaruh aman dari kehilangan. Teori ini menerapkan secara jelas
bagaimana rentang kehilangan dan dapat diaplikasikan untuk
mempengaruhi individu seperti halnya pemberian perawatan. Sebagai
tambahan, teori ini berguna untuk berbagai praktisi pelayanan
kesehatan. Dengan konsep ini, keunikan yang alami dari pengalaman
digambarkan kurang luas seperti halnya pemicu- pemicu dan
manajemenn unik pada setiap situasi individu dan bisa diaplikasikan
pada situasi yang lebih beragam.
Teori ini secara general dapat diaplikasikan pada berbagai kasus
asuhan keperawatan pasien yang berisiko mengalami chronic sorrow.
Karena secara umum kesedihan atau berduka merupakan fase
fisiologis yang bisa dihadapi oleh manusia. Teori dapat diaplikasikan
pada semua tahapan usia kehidupan.
d. Empirical Precision (Presisi Empiris)
Karakteristik dari middle range teori, wilayahnya yang terbatas akan
lebih mudah bagi peneliti untuk mempelajari fenomena. Dengan
jumlah variable yang terbatas, peneliti dapat melakukan generalisasi
hipotesa berhubungan dengan studi pada intervensi keperawatan yang
meingkatkan efektivitas strategi menejemen pada berduka kronis.
Hasil dari studi ini dapat menambah kekuatan dasar pada praktik
berdasarkan hasil pembuktian (evidence based practice).
Karena teori ini berasal dari pembuktian secara empiris, maka
kegunaannya jelas untuk penelitian lebih lanjut . Definisi yang jelas
bukan dari berduka kronis membuat hal ini dapat dipelajari pada
individu dengan kehilangan yang beragam dan situasi yang umumnya
menghasilkan berduka kronis. Melalui penelitian yang lebih lanjut,
peneliti dapat memikirkan alat pengkajian untuk perawat klinik.
e. Derivable Consequence (Konsekuensi yang Didapat)
Berduka atau kesedihan merupakan proses normal yang bisa dialami
seseorang Karena adanya factor pencetus. Teori ini sangat penting
dalam aplikasi terutama pada kasus-kasus penyakit kronis dan
terminal. Aplikasi teori ini sangat membantu seseorang untuk
mengatasi kesedihan atau berduka yang dialami sehingga mencegah
chronic sorrow yang berkelanjutan.
Teori ini bermanfaat dalam menganalisis respon individu dengan
pengalaman yang berbeda berkaitan dengan penyakit kronis ,
tanggung jawab pemberi pelayanan, hilangnya kesempurnaan dari
anak atau kesedihan (Alligood, 2014).
2.3 Konsep Keperawatan dengan Model Adaptasi Sister Calista Roy
2.3.1 Konsep Utama Roy

Pada awanya konsep adaptasi Roy termasuk dalam kerangka konsep Harry
Helson (seorang ahli fisiologis- psikologis). Teori adaptasi Roy
menggunakan pendekatan yang dinamis, dimana peran perawat memberikan
asuhan keperawatan dengan memfasilitasi kemampuan klien untuk
melakukan adaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan dasarnya.
Proses adaptasi Roy memandang manusia secara holistik yang merupakan
suatu kesatuan. Untuk sejahtera harus tercipta keseimbangan antara bagian –
bagian dimensi menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut dapat
diperoleh melalui proses adaptasi. Roy menjelaskan bahwa adaptasi
merupakan suatu proses dan hasil dimana pemikiran dan perasaan seseoran
sebagai individu atau kelompok yang sadar bahwa manusia dan lingkungan
adalah suatu kesatuan atau dengan kata lain adaptasi merupakan respons
positif terhadap perubahan lingkungan (Roy, 2009).
Menurut Roy sebagai sasaran asuhan keperawatan adalah individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat yang dipandang sebagai suatu sistem
yang menyeluruh (holistic adaptif sistem) dalam segala aspek yang
merupakan suatu kesatuan. Sistem terdiri dari proses input, control
processes, effectors, output dengan penjelasan sebagai berikut :

Gambar 2.3 Bagan Teori Keperawatan Adaptasi Roy

a. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input merupakan stimulus, kesatuan
informasi, bahan- bahan atau energi dari lingkungan yang dapat
menimbulkan respons atau tindakan, input dibagi menjadi tiga
tingkatan yaitu : stimulus fokal, kontekstual dan stumulus residual.
a) Stimulus fokal merupakan suatu respons stimulus yang
diberikan langsung terhadap input yang masuk.
b) Stimulus kontekstual merupakan semua stimulus lain yang
dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang
mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara
bersama dimana dapat menimbulkan respons negatif pada
stimulus fokal.
c) Stimulus residual merupakan ciri – ciri tambahan yang ada dan
relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi.
Meliputi : kepercayaan seseorang terhadap sesuatu, sikap, sifat
individu yang berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini
akan memberikan proses belajar untuk bertoleransi.
b. Control Processes
Proses kontrol menurut Roy merupakan bentuk dari mekanisme
koping yang digunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator
dan kognator yang merupakan subsistem.
a) Subsistem Regulator

Subsistem Regulator terdiri dari komponen – komponen, yaitu :


input, proses dan output. Input stimulasi dapat berasal dari
internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem terdiri dari
bahan kimia, neural, atau berasal dari sistem endokrin. Refleks
otonom merupakan respons neural, sistem otak dan spinal cord
yang diteruskan sebagai prilaku output dari sistem regulator.
Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai prilaku
regulator subsistem.
b) Subsistem Kognator

Stimulus untuk subsistem kognator dapat berasal dari eksternal


maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat
menjadi stimulus umpan balik untuk hubungan dengan fungsi
otak dalam memproses informasi berhubungan dengan proses
internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar
berkolerasi dapat melalui proses imitasi, insight (pengertian
yang mendalam), reinforcement (penguatan) dan insight
(pengertian yang mendalam). Pengambilan keputusan dan
penyelesaian masalah dapat diartikan sebagai suatu proses
internal yang berhubungan dengan pihak penilaian atau analisa.
Emosi dapat diartikan sebagai suatu proses pertahanan untuk
mencari keringanan, menggunakan penilaian dan kasih sayang
serta cinta.
c. Effectors
Sistem adaptasi (effectors) memiliki empat metode adaptasi
diantaranya :
a) Mode Adaptasi Fisiologis
Mode ini berhubungan dengan proses fisik dan kimiawi yang
berhubungan dengan fungsi dan aktivitas kehidupan (Tomey &
Aligood, 2014). Ada lima kebutuhan yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar mode fisiologi, yaitu :
a.a Oksigenasi merupakan kebutuhan tubuh untuk
memperoleh oksigen dan proses dasar kehidupan yang
meliputi : ventilasi, pertukaran gas, dan transport gas.
a.b Nutrisi merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan
sistem pencernaan seperti indigesti dan asimilasi dari
metabolisme dan makananan, penyimpanan energi,
membentuk jaringan dan regulasi dari proses
metabolisme.
a.c Eliminasi merupakan proses fisiologis untuk membuang
atau mengekresikan zat – zat yang tidak diperlukan lagi
oleh tubuh dari hasil metabolisme melalui ginjal dan
intestinal.
a.d Aktivitas dan istirahat merupakan keseimbanagan dalam
proses dasar kehidupan manusia yang mencakup
mobilisasi (pergerakan atau perpindahan) dan tidur yang
dapat memberikan fungsi fisiologis secara optimal dari
semua komponen dan periode perbaikan (repair periode)
dan pemulihan (recovery).
a.e Proteksi merupakan perlindungan pada dua proses
kehidupan dasar yaitu proses pertahanan spesifikasi dan
non spesifikasi atau imunitas.
b) Mode Adaptasi Konsep Diri
Fokus spesifiknya adalah psikologi dan spritual pada manusia
sebagai sistem. Konsep diri merupakan bentuk reaksi persepsi
internal dan persepsi lainnya. Konsep diri terdiri dari : physical self
(body sensasion, body image) dan personal self (self consistency,
self ideal dan moral-ethic-spiritual). Body sensasion yaitu
bagaimana seseorang memandang fisiknya atau dirinya sendiri.
Body image yaitu bagaimana seseorang untuk memelihara dirinya
sendiri dan menghindari dari ketidakseimbangan. Self ideal
hubungannya dengan apa yang harus dilakukan dan moral-ethic-
spritual yaitu keyakinan seseorang dan evaluasi diri (Roy, 2009;
Tomey & Aligood, 2014).
c) Mode Fungsi Peran
Adalah satu dari dua mode sosial dan fokus terhadap peran
seseorang dalam masyarakat. Fungsi peran merupakan proses
penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana peran seseorang
dalam mengenal pola – pola interaksi sosial dalam hubungan
dengan orang lan. Peran dibagi menajdi tiga yaitu : peran prmer,
sekunder, dan tersier. Peran primer yaitu peran yang ditentukan
oleh jenis kelamin, usia, dan tahapan tumbuh kembang. Peran
sekuder merupakan peran yang harus diselesaikan oleh tugas peran
primer. Peran tersier merupakan cara individu menemukan harapan
dari peran dari peran mereka, fokusnya pada bagaimana dirinya
dimasyarakat sesuai kedudukannya (Roy, 2009; Tomey & Aligood,
2014).
d) Mode Adaptasi Interdependensi
Adalah bagian akhir dari metode yang dijabarkan oleh Roy,
berfokus pada hubungan seseorang dengan orang lain. Hubungan
interdependensi didalamnya mempunyai keinginan dan
kemampuan memberi dan menerima semua aspek seperti cinta,
hormat nilai, rasa memiliki, waktu dan bakat (Roy, 2009; Tomey &
Aligood, 2014).
d. Output
Output dari suatu sistem adalah prilaku yang dapat diamati, diukur
atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam
maupun dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem.
Roy mengkategorikan output sistem sebagai suatu respons yang
adaptif, respons adaptif adalah ketika seseorang mampu menyesuaikan
diri dalam berbagai keadaan dan situasi. Respons yang adaptif dapat
meningkatkan kemampuan seseorang yang secara kaffah atau
menyeluruh dan dapat terlihat jika seseorang mampu melaksanakan
tujuan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan,
reproduksi dan keunggulan.
Sedangkan respons yang maladaptif perilaku yang tidak mendukung
tujuan ini. Roy menggunakan mekanisme koping untuk memaparkan
atau menjelaskan proses kontrol individu sebagai adaptif sistem. Roy
memaparkan konsep ilmu keperawatan yang unique, yang terdiri dari
regulator dan kognator, mekanisme tersebut merupakan bagian dari
subsistem adaptasi.
2.3.2 Asumsi Teori
a. Clarity (Kejelasan)
Teori keperawatan Roy mampu mengidentifikasi dan menjabarkan
konsep khusus yang berhubungan dengan hal – hal nyata dalam
keperawatan (Aligood 2014).

b. Simplicity (Kesederhanaan)
Dalam menunjang aplikasi, teori Roy yang sederhana sehingga dapat
digunakan perawat untuk mengkaji respons, prilaku pasien terhadap
stimulus. Meliputi : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi, selain itu juga dapat mengkaji stressor yang dihadapi
oleh pasien yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan residual, sehingga
diagnosis yang dilakukan oleh perawat dapat lebih lengkap dan
akurat(Aligood 2014).

c. Generally (Generalisasi)
Teori dan model adaptasi yang dikemukakan oleh Roy dapat dengan
medah diaplikasikan oleh perawat di berbagai tatanan. Dengan
penerapan dari teori adaptasi Roy, perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan dapat mengetahui dan memahami seseorang (pasien),
tentang faktor - faktor yang menimbulkan stres pada seseorang, proses
mekanisme koping dan effektor sebagai upaya individu untuk
mengatasi stress (Aligood 2014).

d. Emprical precision (Presisi Empiris)


Teori dan keperawatan Roy memudahkan kita sebagai perawat untuk
mengaplkasikan dan menggunakannya, karena adanya definisi,
definisi dan asumsi – asumsi yang dapat digunakan mulai mode
adaptasi fisiologis, mode peran, konsep diri dan adaptasi
interdependensi (Aligood 2014).

e. Derivable consequence (Konsekuensi yang didapat)


Teori keperawatan Roy mengenai adaptasi memberikan kerangka
berpikir yang mengarah pada tindakan keperawatan yang
berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, mode peran, konsep
diri dan adaptasi interdependensi (Aligood 2014).

2.4 Konsep Keperawatan Menurut Model Caring Jean Watson


2.4.1 Definisi
Caring didefinisikan sebagai suatu orientasi human science dan
kemanusiaan terhadap proses, fenomena, dan pengalaman perawatan
manusia. Caring merupakan proses interpersonal yang terdiri dari intervensi
yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan manusia (Potter dan Perry,
2005). Transpersonal caring mengakui kesatuan dalam hidup dan
hubungan-hubungan yang terdapat dalam lingkaran perawatan yang
konsentrik dari individu, pada orang lain, pada masyarakat, pada dunia,
pada planet Bumi, pada alam semesta (Watson, 2004).
Caring dipandang lebih dari sebuah exisestensial philosophy atau dasar
spiritual. Caring adalah ideal moral dari keperawatan. Manusia akan eksis
bila dimensi spiritualnya meningkat, yang ditunjukkan dengan penerimaan
diri, tingkat kesadaran diri yang tinggi, kekuatan dari dalam diri, dan
intuitif. Caring sebagai esensi dari keperawatan berarti juga
pertanggungjawaban hubungan antara perawat-klien, di mana perawat
membantu partisipasi klien, membantu klien memperoleh pengetahuan, dan
meningkatkan kesehatan (Cara, 2003).
Konsep mayor dalam teori Watson adalah : (a) Faktor Carative, (b) The
Transpersonal Caring Relationship, dan (c) Momen/Waktu Caring. Berikut
penjelasan masing-masing konsep mayor dari teori Watson :
a. Faktor Carative
Dikembangkan pada tahun 1979, dan direvisi pada tahun 1985 dan
1988, Watson memandang Faktor Carative sebagai panduan inti dari
keperawatan. Beliau menggunakan istilah Carative untuk
membedakan dengan kedokteran yaitu faktor kuratif. Dalam faktor
Carative beliau berusaha untuk menghargai dimensi manusia dalam
keperawatan dan kehidupan serta pengalaman pribadi seseorang yang
kita beri perawatan (Watson, 2005). Faktor Carative terdiri dari 10
elemen :
a) Sistem nilai humanistik dan altruistik (mengutamakan
kepentingan orang lain).
b) Kejujuran dan harapan.
c) Sensitifitas pada pribadi seseorang dan orang lain.
d) Rasa tolong menolong-Saling percaya, hubungan antar sesama
manusia.
e) Mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
f) Proses pemecahan masalah keperawatan yang kreatif.
g) Proses belajar mengajar transpersonal.
h) Lingkungan fisik, social, spiritual dan mental yang supportif,
protektif, dan korektif.
i) Pertolongan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
j) Kekuatan spiritual fenomenologikal eksistensial (Watson,
1979/1985).
Konsep proses caritas klinis diperkenalkan Watson bersamaan dengan
beliau mengembangkan teori ini, yang kini menggantikan faktor
carative-nya. Watson (2005) menjelaskan kata caritas berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti untuk memberikan kebahagiaan dan
untuk memberikan perhatian/kasih sayang yang spesial (De Laune dan
Ladner, 2002). Berikut merupakan translasi faktor carative dalam
proses caritas klinis.
a) Praktik Perawatan yang secara sadar diberikan dengan
keramahan dan ketenangan hati.
b) Mampu menampilkan, memungkinkan dan mempertahankan
sistem kepercayaan mendalam dan kehidupan subyektif
seseorang atau orang yang diberi perawatan.
c) Mengupayakan praktik spiritual dan transpersonal seseorang,
mengesampingkan ego pribadi, membuka cara pandang orang
lain dengan sensitifitas dan perasaan kasihan.
d) Mengembangkan dan mempertahankan hubungan perawatan
dengan rasa tolong menolong dan saling percaya.
e) Mampu menampilkan, mendukung, perasaan negatif dan positif
yang berhubungan dengan jiwa terdalam diri dan orang yang
diberikan perawatan.
f) Menggunakan proses pemecahan masalah yang kreatif dan
sistematis, digabungkan dengan pengetahuan perawatan yang
dimiliki, serta melibatkan seni praktik perawatan-penyembuhan.
g) Mendukung proses belajar-mengajar transpersonal yang
menggunakan pengalaman untuk mempersatukan pemahaman,
dan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
h) Menyediakan lingkungan fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang
supportif, protektif, dan korektif yang kondusif untuk proses
perawatan pada setiap level (lingkungan fisik sebaik lingkungan
non fisik, lingkungan yang penuh energi positif di mana
kebersamaan, kenyamanan, harga diri, dan kedamaian tumbuh
dengan maksimal).
i) Membantu pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan
memuaskan, dengan penuh kesadaran, memberikan perawatan
dengan body language yang baik, dengan memperhatikan
seluruh aspek perawatan, merawat baik kesadaran jiwa maupun
spiritual.
j) Mengijinkan kekuatan spiritual-fenomenal-eksistensial menjadi
pembuka dimensi misteri-spiritual dan eksistensial kehidupan
dan kematian seseorang, perawatan jiwa bagi diri sendiri dan
orang yang diberikan perawatan.
b. Transpersonal Caring Relationship
Hubungan perawatan transpersonal mencirikan jenis hubungan
perawatan spesial, yang tergantung pada:
a) Komitmen moral perawat dalam melindungi dan meningkatkan
harga diri manusia yang setinggi-tingginya.
b) Kesadaran perawat dalam berkomunikasi untuk memelihara dan
menghargai jiwa seseorang, sehingga tidak menyamakan status
seseorang tersebut dengan obyek (benda).
c) Kesadaran perawat dalam memberikan perawatan berpotensi
menyembuhkan, sehubungan dengan pengalaman, persepsi, dan
hubungan yang intensif berperan dalam penyembuhan (Cara,
2003).
Hubungan perawatan transpersonal menggambarkan bagaimana
perawat berperan, dalam melakukan pengkajian yang objektif juga
tetap memperhatikan subyektif orang yang diberi perawatan dan
pemahamannya tentang kesehatan serta pelayanan kesehatan yang
diinginkan. Kesadaran perawat dalam memberikan perawatan sangat
penting, sehingga bisa memahami perspektif orang yang diberikan
perawatan. Pendekatan ini menekankan pada keunikan pribadi
perawat dan yang diberi perawatan, dan hubungan yang saling
menguntungkan antara 2 individu, yang merupakan dasar dari sebuah
hubungan. Perawat dan yang diberi perawatan, keduanya sama-sama
mencari arti dan kebersamaan, dan mungkin juga pemahaman spiritual
tentang sakit (Watson, 2004). Kata transpersonal berarti meninggalkan
ego pribadi, sehingga membuat seseorang mampu mencapai
pemahaman spiritual mendalam yang membuatnya mampu
meningkatkan kenyamanan dan kesembuhan pasien. Tujuan utama
dari hubungan perawatan transpersonal berhubungan dengan
melindungi, meningkatkan, dan memunculkan harga diri,
kemanusiaan, kebersamaan dan inner harmony seseorang.
c. Momen/Waktu Caring
Waktu perawatan adalah saat di mana (terbatas pada waktu dan
tempat) perawat dan orang yang diberi perawatan bersama-sama
dalam suatu kondisi pemberian perawatan. Keduanya, dengan
pandangan uniknya, dimungkinkan untuk saling tukar menukar
perasaan dan pemahaman. Menurut Watson, pandangan unik
seseorang didasarkan pada pengalamannya yang melibatkan emosi,
sensasi tubuh, pemikiran, kepercayaan, tujuan, pengharapan, kondisi
lingkungan dan persepsi seseorang terhadap sesuatu, semuanya
berdasarkan pengalaman masa lalu, saat ini dan pandangan terhadap
masa depan (Cara, 2003).
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu untuk menyadari
pemahaman dan pengertiannya tentang bagaimana harus bersikap
selama memberikan perawatan. Dalam kata lain, baik perawat dan
yang diberi perawatan bisa dipengaruhi oleh waktu perawatan melalui
pilihan-pilihan dan perilaku yang diputuskan ketika hubungan
berlangsung, sehingga mempengaruhi dan menjadi bagian dari cerita
kehidupan mereka. Waktu perawatan menjadi transpersonal jika
melibatkan kedua belah pihak, ditambah keterbukaan dan kemampuan
untuk mengembangkan kekuatan suatu individu (Fawcett, 2002).
2.4.2 Paradigma Keperawatan Menurut Jean Watson
a. Manusia
Manusia didefinisikan sebagai makhluk hidup yang terdiri dari tiga
hal yaitu pikiran-tubuh-jiwa, yang dipengaruhi oleh konsep diri, yang
unik dan bebas menentukan pilihan. Definisi ini menekankan pada
interelasi antara manusia dan lingkungannya. Lingkungan yang
mendukung kesembuhan bisa meningkatkan kesadaran dan kemauan
manusia, serta keterpaduan pikiran-tubuh-jiwa. Manusia yang
memerlukan perawatan adalah individu atau kelompok yang
mengalami ketidakharmonisan pikiran, jiwa dan raga, yang
membutuhkan bantuan terhadap pengambilan keputusan tentang
kondisi sehat-sakitnya untuk meningkatkan harmonisasi, self-control,
pilihan, dan self determination. Dalam pandangan teori caring
manusia harus dihargai untuk dirawat, dihormati, dipelihara, dipahami
dan dibantu sebagai diri yang terintegrasi dan berfungsi penuh (Cara ,
2003).
b. Kesehatan
Teori caring mendefinisikan kesehatan sebagai suatu pengalaman
subjektif, bukan kondisi tidak adanya penyakit. Kesehatan juga berarti
keseimbangan, harmoni, antara pikiran-tubuh-jiwa, berhubungan
dengan derajat keserasian antara persepsi diri dan pengalaman. Teori
ini meyakini bahwa jika seseorang telah berhasil mengharmonisasikan
pikiran-tubuh-jiwa akan memiliki derajat kesehatan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, tiga unsur yang perlu ditambahkan dalam definisi
kesehatan WHO menurut teori ini adalah fungsi fisik yang optimal,
kemampuan beradaptasi yang baik, dan tidak adanya suatu penyakit
(Cara, 2003).
c. Keperawatan
Keperawatan dalam teori caring dimaksudkan sebagai penerapan art
dan human science melalui transaksi transpersonal caring untuk
membantu manusia mencapai keharmonisan pikiran, jiwa dan raga
yang menimbulkan self knowledge, self-control, self-care, dan self
healing (Watson, 2004; Muhsin dan Ichsan, 2008). Keperawatan
berkaitan dengan mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit,
merawat dan memulihkan kesehatan dari kondisi sakit.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah tempat/kondisi di mana interaksi transpersonal
caring terjadi antara klien dan perawat. Lingkungan yang mendukung
kesembuhan bisa meningkatkan kesadaran dan kemauan manusia,
serta keterpaduan pikiran-tubuh-jiwa. Oleh karena itu, teori caring
menyarankan pentingnya ruang perawatan yang menenangkan,
menyembuhkan dan mendukung peningkatan kondisi spiritual klien
(Cara, 2003).
2.4.3 Asumsi Dasar Science of Caring
Watson mengidentifikasi banyak asumsi dan beberapa prinsip dasar dari
transpersonal caring. Watson meyakini bahwa jiwa seseorang tidak dapat
dibatasi oleh ruang dan waktu. Watson menyatakan tujuh asumsi tentang
science of caring. Asumsi dasar tersebut yaitu:
a. Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif
hanya secara interpersonal
b. Caring terdiri dari carative factors yang menghasilkan kepuasan
terhadap kebutuhan manusia tertentu
c. Efektif caring meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan
keluarga
d. Respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dia saat ini,
tetapi juga menerima akan jadi apa dia kemudian
e. Lingkungan caring adalah sesuatu yang menawarkan perkembangan
dari potensi yang ada, dan di saat yang sama membiarkan sesorang
untuk memilih tindakan yang terbaik bagi dirinya saat itu
f. Caring lebih “healthogenic” daripada curing.
g. Praktek caring merupakan sentral bagi keperawatan.
Dalam penilaian Watson, penyakit mungkin saja teratasi dengan upaya
pengobatan. Akan tetapi, tanpa perawatan, penyakit itu akan tetap ada dan
kondisi sehat tidak akan tercapai. Caring merupakan intisari keperawatan
dan mengandung arti responsive antara perawat dan klien. Caring dapat
membantu seseorang lebih terkontrol, lebih berpengetahuan, dan dapat
meningkatkan kesehatan
2.4.4 Konsep Utama Teori Dan Model Keperawatan

Jean Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal dengan teori


pengetahuan manusia dan merawat manusia. Tolak ukur pandangan Watson
ini didasari pada unsur teori kemanusiaan. Pandangan teori Jean Watson ini
memahami bahwa manusia memiliki empat cabang kebutuhan manusia
yang saling berhubungan di antaranya :
a. Kebutuhan dasar biofisikal (kebutuhan untuk hidup) yang meliputi
kebutuhan makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi dan kebutuhan
ventilasi.
b. Kebutuhan psikofisikal (kebutuhan fungsional) yang meliputi
kebutuhan aktivitas dan istirahat, kebutuhan seksual.
c. Kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk integrasi) yang meliputi
kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan organisasi.
d. Kebutuhan intra dan interpersonal (kebutuhan untuk pengembangan)
yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Gambar 2.4 Bagan Teori Keperawatan Jean Watson

Berdasarkan empat kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa


manusia adalah mahluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam
ragam perbedaan, sehingga dalam upaya mencapai kesehatan, manusia
seharusnya dalam keadaan sejahtera baik fisik, mental dan spiritual karena
sejahtera merupakan keharmonisan antara pikiran, badan dan jiwa sehingga
untuk mencapai keadaan tersebut keperawatan harus berperan dalam
meninggalkan status kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengobati
berbagai penyakit dan penyembuhan kesehatan dan fokusnya pada
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.

Tolak ukur pandangan Watson ini didasari pada unsur teori kemanusiaan.
Pandangan teori Jean Watson ini memahami bahwa manusia memiliki 4
bagian  kebutuhan dasar manusia yang saling berhubungan antara kebutuhan
yang satu dengan kebutuhan yang  lain. Berdasarkan dari empat kebutuhan
tersebut, Jean Watson  memahami  bahwa manusia  adalah makhluk  yang
sempurna dan memiliki berbagai ragam perbedaan, sehingga dalam upaya
mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan sejahtera baik
fisik, mental, sosial, serta spiritual.

2.4.5 Perilaku Caring


Daftar dimensi caring (Caring Dimensions Inventory = CDI) yang didesain
oleh Watson dan Lea (1997) merupakan instrumen yang dikembangka untuk
meneliti perilaku perawat (perilaku caring). Daftar dimensi caring tersebut
antara lain:

CDI 1. Membantu klien dalam ADL.

CDI2. Membuat catatan keperawatan mengenai klien.

CDI 3. Merasa bersalah /menyesal kepada klien

CDI 4. Memberikan pengetahuan kepada klien sebagai individu

CDI 5. Menjelaskan prosedur klinik

CDI 6. Berpakaian rapi ketika bekerja dengan klien

CDI 7. Duduk dengan klien

CDI 8. Mengidentifikasi gaya hidup klien

CDI 9. Melaporkan kondisi klien kepada perawat senior


CDI 10. Bersama klien selama prosedur klinik

CDI 11. Bersikap manis dengan klien

CDI 12. Mengorganisasi pekerjaan dengan perawat lain untuk klien

CDI 13. Mendengarkan klien

CDI 14. Konsultasi dengan dokter mengenai klien

CDI 15. Menganjurkan klien mengenai aspek self care

CDI 16. Melakukan sharing mengenai masalah pribadi dengan klien

CDI 17. Memberikan informasi mengenai klien

CDI 18. Mengukur tanda vital klien

CDI 19. Menempatkan kebutuhan klien sebelum kebutuhan pribadi

CDI 20. Bersikap kompeten dalam prosedur klinik

CDI 21. Melibatkan klien dalam perawatan

CDI 22. Memberikan jaminan mengenai prosedur klinik

CDI 23. Memberikan privacy kepada klien

CDI 24. Bersikap gembira dengan klien

CDI 25. Mengobservasi efek medikasi kepada klien


BAB 3
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Kasus
Tn. Green (57th) dengan diagnose kanker prostat agresif yang dirawat di
departemen onkologi di rumah sakit umum di Brisbane Australia. Tn. Green
didiagnosa kanker prostat sudah tujuh tahun yang lalu namun menolak
perawatan medis dan tindakan pembedahan. Tn. Green lebih memilih untuk
menjalani pengobatan alternative dan tidak melanjutkan pengobatannya ke
spesialis urologi selama 7 tahun tersebut. Saat ini Tn. Green sudah tidak
mempunyai pekerjaan, mengalami anemia dan hipoproteinemia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik saat ini ditemukan bahwa kanker
telah bermetastase ke tulang dan kelenjar getah bening, tumor di kandung
kemih dan ginjal. Kemudian dilakukan cystoscopy dan selanjutnya
direncanakan tndakan pembedahan namun medis menyatakan bahwa
tindakan pembedahan tidak akan menyembuhkan penyakit Tn. Green.
Menurut medis Tn. Green hanya dapat bertahan 4-6 minggu saja setelah
dugaan awal 6-12 bulan. Sehingga perawatan paliatif adalah perawatan yang
tepat untuk Tn. Green. Pada tahap ini Tn Green mengatakan kepada perawat
dia merasa sedih, putus asa, sudah menyerah karena dia akan mati. Tn.
Green berencana akan bunuh diri saja. Tn. Green mengeluh sakit di bagian
ginjalnya dan tidak bisa ditahan lagi, dan anak perempuannya tidak mau
berinteraksi dan kontak dengannya dalam waktu yang lama, keluarga juga
jarang yang mendampingi Tn. Green selama perawatan di rumah sakit.
3.2 Pembahasan

Konsep dan Proses Keperawatan Pada


Teori Pasien Resiko Buhuh Diri
Keperawatan
Konsep Berduka
kronis (chronic
Diagnosa
sorrow) Pengkajian
Keperawatan
Konsep Adaptasi
(Roy)
Evaluasi
Konsep Caring
Perencanaan
(Jean Watson)

Implementasi

Pencegahan Perilaku Bunuh Diri


Pada Pasien dengan Penyakit
Kronis

3.3 Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori Proses


Keperawatan
a. Pengkajian
Berdasarkan kasus diatas pasien dengan kanker prostat agresif yang
telah metastase dan harapan hidupnya sudah tidak lama lagi
mengalami kesedihan yang mendalam sehingga memiliki keinginan
untuk buhuh diri saja. Berdasarkan teori keperawatan Chronic Sorrow
membahas tentang fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah-
masalah yang timbul akibat dari penyakit kronis mencakup proses
berduka, kehilangan, factor pencetus dan metode manajemennya
(Alligood, 2014). Pasien dengan diagnosa medis kanker prostas
agresif yang telah metastase dan dengan diagnose keperawatan resiko
bunuh diri mengalami kesedihan kronis. Sehingga berdasarkan teori
chrownic sorrow dapat dilakukan pengkajian terhadap kasus yang
meliputi: perasaan pasien yang berhubungan dengan kesedihan,
penyakit dan faktor pendukung pasien, penggunaan strategi koping
eksternal dan internal; dukungan eksternal berasal dari komunitas,
keluarga dan fasilitas kesehatan serta strategi koping internal adalah
perilaku dan kognitif (Olwit, C et al, 2018).
Pengkajian kepada pasien yang mengalami kesedihan kronis karena
penyakit kronis yang dideritanya dapat menggunakan panduan dari
Burke / Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow
(NCRCS) yang dirancang untuk mengevaluasi terjadinya kesediahan
kronis yang terdiri atas: intensitas kesedihan, puncak di mana
kesedihan kronis terjadi, faktor-faktor yang menyebabkan kesedihan
dan kemampuan individu untuk menangani kesedihannya, dukungan
dari orang lain dan keperawatan atau care giver (Olwit, C et al, 2018).
Berikut adalah pengkajian dari kasus pada Tn. Green:
a) Intensitas kesedihan yang dialami Tn. Green berlangsung dalam
waktu yang lama, terutama ketika kankernya sudah semakin
parah dan metastase sampai ke ginjal. Ginjalnya sering terasa
sakit dan anak perempuannya tidak mau kontak dengannya
sehingga Tn. Green semakin merasa sedih.
b) Puncak kesedihan kronis pada Tn. Green terjadi ketika medis
menyatakan kanker prostat agresif yang di deritanya sudah
metastase. Kemudian setelah dilakukan cystoscopy diputuskan
jika tindakan pembedahan tidak dapat memperbaiki kondisi Tn.
Green. Medis menyatakan bahwa harapan hidup Tn. Green tidak
lama lagi yaitu yang awalnya 6-12 bulan menjadi 4-6 minggu.
Sehingga medis menyarankan perawatan paliativ adalah pilihan
yang paling tepat. Ketika mendengar hal itu Tn. Green
mengatakan kepada perawat bahwa sia sudah menyerah karena
sebentar lagi akan mati sehingga dia mengatakan bahwa ingin
bunuh diri saja. Namun Tn. Green tidak mau hal ini
disampaikan kepada keluarga atau kepada perawat lain selain
perawat yang bertugas pada waktu itu.
c) Faktor-faktor yang menyebabkan kesedihan pada Tn. Gren
karena saat ini Tn. Green mengalami anemia dan
hipoproteinemia. Berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik saat
ini ditemukan bahwa kanker telah bermetastase ke tulang dan
kelenjar getah bening, tumor di kandung kemih dan ginjal.
Kemudian medis hanya dapat menyarankan perawatan paliatif
saja karena tindakan pembedahan juga tidak akan memperbaiki
kondisinya. Medis mengatakan harapan hidupnya sudah tidak
lama lagi dan ketidak pedulian anaknya kepada Tn. Green.
d) Kemampuan individu untuk menangani kesedihannya, Tn.
Green menangani kesedihannya dengan bercerita kepada
perawat tentang apa yang dirasakan, keluhannya terkait penyakit
dan kondisi keluarganya serta keinginannya saat ini adalah
bunuh diri karena merasa sudah tidak akan hidup lama lagi.
e) Dukungan dari orang lain dan keperawatan atau care giver
kepada Tn. Green. Berdasarkan uraian kasus diatas Tn. Green
mengatakan jika mengeluh sakit di bagian ginjalnya dan tidak
bisa ditahan lagi, anak perempuannya tidak mau berinteraksi dan
kontak dengannya dalam waktu yang lama, keluarga juga jarang
yang mendampingi Tn. Green selama perawatan di ruah sakit.
Tn. Green hanya mendapatkan perawatan dari perawat dirumah
sakit dan bercerita tentang keluhannya kepada perawat.

Proses pengkajian selanjutnya dilakukan berdasarkan model


konspetual roy dimana dalam teori ini mengkaji adaptasi dari pasien yang
berasal dari faktor internal maupun eksternal yang dapat menimbulkan
sebuah respon / tindakan yang berasal dari input stimulus kontekstual.
Berdasarkan pada kasus Tn. Green didiagnosa kanker prostat agresif dan
medis menyatakan Tn. Green tidak akan sembuh jika melalui proses
pembedahan. Menurut medis Tn. Green hanya dapat bertahan 4-6 minggu
saja setelah dugaan awal 6-12 bulan dengan keadaan ini sehingga
menyebabkan Tn. Green untuk melakukan perilaku bunuh diri. Pengkajian
control prosess subsistem kognator yang merupakan bentuk dari
mekanisme koping yang digunakan yang berasal dari faktor internal
maupun eksternal oleh Tn. Green adalah koping maladaptive dimana Tn.
Green setelah divonis hanya dapat bertahan 4-6 minggu menyatakan sudah
menyerah karena akan mati dan ingin bunuh diri saja. Pada mode adaptasi
konsep diri peran. Tn Green sebagai seorang ayah yang sudah tidak
bekerja dan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.

b. Analisa Data

Analisa Data Masalah


Keperawatan
DS: Resiko Bunuh
 Tn. Green (57 tahun) Diri
 Klien mengatakan sudah 7 tahun menderita
kanker prostat dan menolak pengobatan medis,
tindakan pembedahan maupun kontrol ke
urologi tidak dilakukannya
 Klien mengatakan lebih memilih untuk berobat
alternative saja
 Klien mengatakan sebentar lagi akan mati
 Klien mengatakan sudah menyerah dan
berencana untuk bunuh diri saja
 Klien mengatakan anak perempuannya tidak
mau kontak dna berinteraksi dengannya dalam
waktu yang lama meskipun klien sedang
mengeluh kesakitan pada ginjalnya

DO:

 Diagnosa medis Kanker Prostat Agresif


 Saat ini klien mengalami anemia dan
hipoproteinemia.
 Berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik saat
ini ditemukan bahwa kanker telah bermetastase
ke tulang dan kelenjar getah bening, tumor di
kandung kemih dan ginjal.
 Hasil cystoscopy menunjukkan tindakan
pembedahan tidak akan menyelesaikan masalah
dan dipilih perawatn paliativ untuk klien
 Harapan hidup klien tidak 4-6 minggu
 Tidak tampak keluarga yang mendampingi klien
selama di rawat di rumah sakit
c. Masalah Keperawatan
Berdasarkan NANDA 2018-2020, dalam kasus ini dapat diambil
diagnosa Resiko Bunuh Diri dengan faktor resiko:
a) Demografi: Jenis kelamin pria
b) Fisik: penyakit fisik, penyakit terminal
c) Sosial: Kesepian, kurang dukungan sosial, putus asa
d) Verbal: menyatakan keinginan untuk mati
d. Intervensi Keperawatan

Konsep Carring Jean Watson diterapkan pada perawat psikiatrik.


Perawat psikiatrik perlu memahami apa kesulitan yang dihadapi
individu dan pencapaian seperti apa yang diinginkan sehingga tercapai
hubungan teraupetik dan mempercepat pemulihan. Perawat juga dapat
memberikan edukasi kepada pasien dan keluaraga untuk mengikuti
saran dari tim medis sehingga tercapai tujuan yang maksimal dari
perawatan pasien (Savasan & Cam, 2017). Dukungan sosial dapat
meningkatkan kualitas dan self efikasi pada pasien dengan resiko
bunuh diri yang merupakan salah satu gejala dari gangguan mental
(Cam & Yalciner, 2017). Intervensi yang diberikan kepada Tn. Green
berdasarkan konsep Caring Jean Watson dari 10 elemen Carative
caring:

a) Sistem nilai humanistik dan altruistik (mengutamakan


kepentingan orang lain). Dalam hal ini perawat mengutamakan
kepentingan klien. Perawat mendengarkan keluhan klien terkait
penyakit fisik yang dialami, keluahan terkait hubungannya
dengan anaknya dan beban psikologis yang di hadapi klien
seperti klien merasakan sedih dan purtus asa karena harapan
hidupnya sudah tidak lama lagi.
b) Kejujuran dan harapan.
Terkait dengan kejujuran berdasarkan kasus pasien meminta
perawat untuk tidak menceritakan keinginannya bunuh diri
kepada perawat lain dan juga keluarganya. Dalam hal ini sikap
perawat tetap harus merahasiakan dari orang lain selain keluarga
pasien namun tetap menyampaikan kepada perawat sift
selanjutnya agar setiap perawat mengetahui dan dapat
melakukan pencegahan sehingga pasien tidak melakukan
keinginanya untuk bunuh diri. Perawat juga berusahan untuk
menghadirkan keluarga pasien terutama anak pasien untuk
memberikan dukungan kepada pasien. Terkait dengan harapan,
perawat sebaiknya tidak memberikan harapan yang berlebih
kepada klien terkait kesembuhannya. Namun, disini perawat
lebih berperan untuk memberikan dukungan, mengarahkan klien
untyk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga dapat
mempersiapkan kematian yang damai.
c) Sensitifitas pada pribadi seseorang dan orang lain.
Terkait dengan sensitifitas pada pribadi seseorang dan oranglain,
perawat dalam hal ini mampu dalam mengerti keinginan dan
kebutuhan pasien yang tersirat atau tidak langsung dikatakan
oleh pasien
d) Rasa tolong menolong-Saling percaya, hubungan antar sesama
manusia.
Perawat sebagai orang yang memberikan intervensi keperawatan
kepada pasien dalam pemberian intervensi mengedepankan rasa
tolong menolong dengan membina hubungan saling percaya
dengan pasien agar dalam proses pelaksanaan pemberian asuhan
keperawatan dapat berjalan sesuai dengan apa yang ditetapkan.
Pentingnya rasa tolong menolong dan membina hubungan saling
percaya antara perawat dan pasien secara tidak langsung akan
mempengaruhi proses asuhan keperawatan. Sebagai contoh
dalam proses pengkajian, ketika sudah terjalin hubungan saling
percaya yang baik antara perawat dan pasien maka pasien dapat
memberikan data yang sejujur-jujurnya yang dirasakan oleh
pasien.
e) Mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
Perawat dalam proses pemberian asuhan keperawatan mampu
untuk mengajak pasien menceritakan perasaanya, tentang apa
yang dirasakannya terkait penyakit yang dideritanya. Perasaan
positif berupa ungkapan bahagia, rasa syukur, dan perasaaan
negative pasien berupa perasaan sedih, putus asa, lemah dan
tidak bersemangat.
f) Proses pemecahan masalah keperawatan yang kreatif.
perawat dituntut dapat menyusun dan memberikan intervensi
keperawatan yang tepat bagi pasien untuk mengurangi masalah
yang diderita oleh pasien, sehingga pasien mempunyai harapan
untuk hidup lagi. Selain itu perawat mampu memberikan solusi
yang kreatif dan tepat yang disesuaikan dengan keadaan kondisi
pasien.
g) Proses belajar mengajar transpersonal.
Dalam proses belajar transpersonal perawat memberikan
edukasi kepada pasien tentang kondisinya saat ini dan tindakan
yang akan diberikan kepada pasien. Selain itu perawat juga
memberikan edukasi kepada keluaraga terkait kondisi penyakit
pasien dan bagaimana peran keluarga dalam memberikan
dukungan kepada pasien. Sehingga dapat terjadi proses belajar
antara pasien dan keluarga dengan tenaga kesehatan. Kemudian
dalam memberikan edukasi perawat tetap memperhatikan
subjektif dan objektif dan menghargai keberagaman setiap
individu.
h) Lingkungan fisik, social, spiritual dan mental yang supportif,
protektif, dan korektif.
Perawat berperan untuk melakukan perawatan secara fisik
kepada klien membantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya,
memfasilitasi klien untuk bertemu dengan anaknya,
memfasilitasi dan memberikukan dukungan psikospiritual
kepada klien agar klien dapat semakin mendekatkan diri kepada
Tuhan. Ketika perawatan diberikan baik secara fisiologis,
psikososial dan spiritual maka pasien dapat mendapatkan
dukungan supportif yang baik.
i) Pertolongan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Perawat membantun klien dalam memenuhi kebuhtuhan dasar
manusia, kebutuhan fisiologis, psikologis, sosio cultural
sehingga dapat tercapai keperawatan yang holistik.
j) Kekuatan spiritual fenomenologikal eksistensial
Selain pemenuhan kebutuhan pasien secara fisiologis, perawat
juga harus mampu mendorong pasien agar mampu
meningkatkan kekuatan spiritual sebagai kekuatan pendukung
dalam proses penyembuhan. dalam prosesnya perawat
memotivasi, mengingatkan dan memberikan informasi tentang
manfaat kekuatan spiritual kepada pasien. terutama bagi pasien
pasien yang sudah dalam keadaan terminal, agar lebih
mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Tindakan keperawatan diberikan dalam bentuk psikoterapi berupa
terapi kognitif dan terapi perilaku kognitif (CBT) dengan pendekatan
teori human caring. Konsep utama dalam teori human caring adalah
10 carative factor, transpersonal relationship, caring moment or caring
occasion dan caring-healing modalities. Pasien yang menunjukkan
perilaku maladaptif berupa sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan
diri sendiri, perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri,
menjauhi orang lain, menolak kenyataan, merusak diri atau menyakiti
diri sendiri, muncul gejala fisik psikosomatik, kekerasan, penggunaan
zat terlarang, minum alkohol, makan berlebihan dan tidak mampu
mengambil keputusan terapi adalah indikasi pasien yang diberikan
terapi CBT. Perilaku caring lainnya yaitu menjadi pendengar aktif dan
tidak membedakan status ekonomi pasien saat melakukan tindakan
keperawatan.

Intervensi yang selanjutnya diberikan berdasarkan teori Adaptasi


Callista Roy, Teori adaptasi Roy menggunakan pendekatan yang
dinamis, dimana peran perawat memberikan asuhan keperawatan
dengan memfasilitasi kemampuan klien untuk melakukan adaptasi
dalam menghadapi perubahan kebutuhan dasarnya. Mode Adaptasi
Konsep Diri yang diberikan kepada pasien dimana sebagai fokus
utama dalam intervensi adalah psikologi dan spiritual. Perawat
membantu pasien dalam meningkatkan kekuatan psikologi dan
spiritualnya, pada pasien dengan diagnose penyakit terminal penting
ditekankan untuk meningkatkan kekuatan spiritualnya. dimana
pendekatan diri kepada Tuhan akan membuat pasien merasa ikhlas
dengan keadaannya saat ini. Kemudian perawat mencegah keinginan
pasien untuk bunuh diri dengan memberikan dukungan yang positif
baik dari tenaga kesehatan maupun dari keluarga.

Intervensi kedua sesuai model adaptasi roy yaitu model adaptasi


terutama interdependen. Hubungan interdependensi didalamnya
mempunyai keinginan dan kemampuan memberi dan menerima semua
aspek seperti cinta, hormat nilai, rasa memiliki, waktu dan bakat (Roy,
2009; Tomey & Aligood, 2014). Berdasarkan kasus perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan menggunakan rasa cinta, hormat dan
memiliki kepada pasien sesuai dengan tujuan terapeutik. Perubahan
perilaku seperti munculnya keinginan pasien untuk bunuh diri
berkaitan dnegan perilaku inefektif pada model fungsi peran.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah membantu
mengidentifikasi ketidakmampuan peran, membantu pasien
mengidentifikasi kemampuan klien untuk melaksanakan peran baru,
membantu pasien mengidentifikasi strategi positif untuk menjalani
peran baru (Hidayati, 2019).

e. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien
dengan Resiko Bunuh Diri berdasarkan model teori Watson yaitu
caring dari perawat dan beberapa terapi untuk pasien seperti: kognitif,
terapi kognitif perilaku, terapi perilaku, logoterapi dan psikoedukasi.
Perilaku caring yang tampak adalah sikap mendengar aktif perawat
ketika pasien mengutarakan keluhannya. Perawat mendengarkan
dengan penuh empati sebagai sikap peduli terhadap masalah yang
dialami pasien. Hubungan terapeutik perawat pasien tidak akan
terjalin jika perawat tidak mampu menanamkan rasa percaya dan
memberikan perawatan dengan penuh kenyamanan (Stuart, 2013).
Perilaku caring perawat juga ditunjukkan pada setiap pasien tanpa
memandang status sosial ekonomi. Perawat yang berperilaku caring
dapat menghilangkan hambatan ini dengan cara meningkatkan
sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain serta bersikap kredibel
(Alligood, 2014).
Perilaku caring perawat dilakukan dengan cara memberikan keamanan
dan kenyamanan untuk mengikuti perawatan. Perawat perlu
menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, dan atau
memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual karena hal ini
berkaitan dengan lama sakit yang dialami pasien. Semakin lama
seorang mengalami sakit maka kemungkinan meraka akan bosan
dalam proses perawatan. Perawat perlu memberikan pemahaman
kepada pasien bahwa pengobatan yang dijalankan bertujuan
membawa pasien ke arah yang lebih baik, dengan cara-cara yang
dapat diterima pasien dengan menghadirkan lingkungan yang
kondusif. Hal ini merupakan bentuk caring perawat dari 10 carrative
factor yaitu provision for a supportive, protective, and/or corrective
mental, physical, societal, and spiritual environment. Alligood (2014)
menjelaskan lebih lanjut bahwa sangat perlu menyediakan lingkungan
eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi kesehatan pasien,
seperti menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman serta
keleluasaan pribadi pasien.
Selanjutnya, perawat bersama pasien menetapkan masalah
keperawatan yang dihadapi pasien, menentukan tujuan yang akan
dicapai, mengidentifikasi cara atau rencana kegiatan, serta
melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Hal
ini merupakan wujud caring perawat dari 10 carrative factor yaitu
systematic use of a creative problem solving. Penyelesaian masalah
pasien dilakukan melalui pemberian tindakan keperawatan generalis
dan spesialis berupa terapi CBT.
Terapi CBT bertujuan mengidentifikasi dan mengubah distorsi pikiran
negatif atau uneralistic yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
emosi dan tingah laku pasien. CBT adalah terapi kombinasi, aspek
perilaku membantu pasien mengidentifikasi reaksi kebiasaan terhadap
situasi yang merepotkan dan aspek kognitif berfokus pada pola
pemikiran menyimpang yang menyebaban perasaan tidak enak atau
gejala gangguan jiwa. CBT berorienntasi pada pemecahan masalah,
dengan pandangan pasien sebagai pembuat keputusan utama terkait
tujuan dan masalah yang akan ditangani selama pelaksanaan terapi.
CBT adalah terapi yang dapat membantu pasien membuat keputusan
dengan mengubah pikiran dan perilakunya dari negatif menjadi positif
dan berfokus pada keadaan atau masalah yang dihadapi pasien saat
ini. Perawat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki pasien
dan membiarkan pasien memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya
pada waktu yang telah ditentukan.

Implementasi selanjutnya yaitu memberikan supportif terapi bagi


pasien sehingga pasien mampu mengubah koping maladaptifnya
menjadi adaptif. Kemudian melalukan psikoedukasi kepada keluarga
sehingga keluarga dapat memberikan dukungan kepada pasien dan
mau mendampingi pasien selama proses perawatan.
f. Evaluasi

Evaluasi disusun berdasarkan hasil implementasi yang dilakukan,


aspek aspek yang di evaluasi yaitu: penurunan tanda dan gejala pada
respon kognitif afektif, fisiologis, psikomotor dan sosial. Pasien
mampu mengubah koping maladaptifnya menjadi adaptif. Pasien
mampu berfikir rasional, tidak putus asa, merasa berguna dan merasa
memiliki keluarga. Keluarga dapat memberikan dukungan kepada
pasien dan pasien merasakan kehadiran keluarganya. Dukungan
keluarga diperlukan oleh pasien dengan penyakit terminal dan resiko
bunuh diri (Nurjanah, S dkk, 2013).
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Terdapat 4 tingkatan teori keperawatan yaitu Philosophical Theories,


Grand Theory, Middle Range Nursing Theories dan Nursing Practice
Theories. Masing-masing tingkatan teori memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Sehingga masing-masing teori saling
melengkapi satu sama lain. Philosophical Theories merupakan akar dari
teori teori dibawahnya, Grand Theory hampir sama dengan tingkatan teori
diatasnya namun cakupannya tidak terlalu luas, sedangkan Middle range
theories merupakan teori yang dapat diaplikasikan secara teori maupun
praktik sehingga teori ini berada pada tengah-tengah.

Tidak hanya tingkatan teori saja, namun teori dari masing-masing tokoh
tingkatan teori keperawatan juga akan lebih baik jika dikombinasikan dalam
penerapannya. Seperti kasus diatas tentang terjadinya resiko bunuh diri,
dapat digunakan teori chronic sorroow, dalam teori ini membahas tentang
fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah-masalah yang timbul akibat
dari penyakit kronis mencakup proses berduka, kehilangan, factor pencetus
dan metode manajemennya. Lalu dilengkapi dengan teori adaptasi yang
dikembangkan oleh Roy, dimana peran perawat memberikan asuhan
keperawatan dengan memfasilitasi kemampuan klien untuk melakukan
adaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan dasarnya. Dan ditunjang
dengan teori watson tentang caring menggunakan 10 faktor carativ.

5.1 Saran

5.1.1 Bagi Ilmu Keperawatan

Diharapkan institusi pendidikan dapat mengembangkan teori teori


keperawaran ini terutama dalam materi pemberian asuhan keperawatan pada
pasien. Karena terkadang masih ada beberapa penelitian atau pemberian
asuhan keperawatan yang diberikan tanpa dasar teori tertentu.
5.1.2 Bagi Ilmu Keperawatan Jiwa

Diharapkan mahasiswa jurusan ilmu keperawatan jiwa maupun praktisi jiwa


dapat menerapkan teori teori keperawatan mengingat bahwa banyaknya
variasi intervensi yang ada dalam ilmu keperawatan jiwa. Sehingga
penerapan intervensi tersebut dapat dikombinasikan dengan teori
keperawatan tertentu akan mempermudah implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work. (8th ed). St. Louis:
Elsevier Mosby.
Cam, O., & Yalciner, N. (2017). Mental illness and recovery. Journal Of
Psychiatric Nursing , 9 (1), 55-60.
Cara. (2003). A Pragmatic View of Jean Watson’s Caring Theory. Closing key
note conference. XVI Jornades Catalanes d’infermeria Intensiva,
Barcelone, Espagne.

Eakes, G.G., Burke, M.L., & Hainsworth, M.A.(1998). Middle-range theory of


Chronic Sorrow. The Journal of Nursing Scholarship diakses pada
tanggal 1 November 2019
Eklund, Rakel; Salzmann-Erikson, Martin. (2016). An integrative review of the
literature on how eating disorders among adolescents affect the family as
a system - complex structures and relational processe. Mental Health
Review Journal. Emerald Group Publishing Limited, ISSN 1361-9322.
DOI 10.1108/MHRJ-09-2015-0027

Fawcett. (2002). The Nurse Theorist: 21 st Century Update-Jean Watson. Nursing


Science Quarterly, 15 (3), Juli 2002: 214-219.
Fawcett, J. (2005). Contemporary Nursing Knowledge: Analysis and Evaluation
of Nursing Models and Theories, 2nd Edition. Philadelphia: FA Davis
Company.

Fortaine, K.L.(2009). Mental health nursing. (6th ed.).New Jersey: Pearson


Education,Inc
Gonzalo., A. 2016. Jean Watson : Theory of human Caring. Nurses Lab.
https://nurseslabs.com/jean-watsons-philosophy-theory-transpersonal-
caring/
Hidayati, R. (2014). Aplikasi Teori Adaptas Roy Pada Pasien Dengan Penyakit
Ginjal Tahap Akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karya
Ilmiah Akhir Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Kekususan
Keperawatan Medikal Bedah FIK UI.
Isbir, G, & Mete, S .(2013). Experiences with Nausea and Vomiting During
Pregnancy in Turkish Women Based on Roy Adaptation Model: A
Content Analysis. Korean Society of Nursing Science. Published by
Elsevier. All rights reserved.

Kompas. (2016). Setiap jam, satu orang bunuh diri. 8 September 2016.

McKenna, H. P., Pajnkihar, M., & Murphy, F. A. (2014). Fundamental of nursing


models, theories and practice. United Kingdom: Wiley Blackwell.

Muhlisin dan Ichsan. (2008). Aplikasi Model Konseptual Caring dari Jean
Watson dalam Asuhan Keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan, 1 (3),
September 2008 :147-150.

NANDA Internasional (2012). Diagnosis keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC
Nurjanah, S, Hamid, AY, Wardani, IY. (2013). Manajemen Kasus Spesialis
Keperawatan Jiwa Klien Resiko Bunuh Diri dengan Pendekatan Teori
Chronic Sorrow di Ruang Utari Rumah sakit Mahdi Bogor Tahun 2013).
Program Spesialis Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa,
FIK UI.

Olwit, C, Mugaba, M, Osingada, CP, Nabirye, RC. (2018). Existence, triggers,


and coping with chronic sorrow: a qualitative study of caretakers of
children with sickle cell disease in a National Referral Hospital in
Kampala, Uganda. BMC Psychology. (6)50. hal 1-11.
https://doi.org/10.1186/s40359-018-0263-y.

Peterson, S. J. & Bredow, T. S. (2008). Middle Range Theories : Application to


Nursing Research. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,


Dan Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC.2005
Rahma Hidayati. (2019). Aplikasi Teori Adapatasi Roy Pada Pasien dengan End
Stage Renal Disease (ESRD). Journal Scientific Solutem, Vol.2 No. 1
(2019) Vol. 2 No.1 – Januari – Juni 2019
Roy, Sr, C., 2009. The Roy adaptation model (3rd ed.). upper saddle River, NJ :
Person. Tomey and Alligood M.R. 2006. Nursing theoriest, utilization
and application, Mosby: Elsevier.
Savasan A, Cam O. The Effect of the Psychiatric Nursing Approach Based on the
Tidal Model on Coping and Self-esteem in People with Alcohol
Dependency: A Randomized Trial. Arch Psychiatr Nurs 2017;31:274–
81.
Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of psychiatric nursing. St Louis
Missouri: Elsevier Mosby.

Stuart, Gail W. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Edisi Indonesia: Elzevier
Sun, FK, Long, A, Ciang, CY, Chou, MH. (2019). A theory to guide nursing
students caring for patients with suicidal tendencies on psychiatric
clinical practicum. Nurse Education in Practice 38 (2019) 157–163.
https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.07.001.

Townsend, M. (2017). Psychiatric mental health nursing: concept of care in


evidence-base practice (9ed). Philadelphia: F.A. Davix Company.
Videbeck, S. (2017). Psychiatric mental health nursing (7th ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer.
Watson, J. (2004). Theory of Human Caring. (online),
(http://www.uchsc.edu/son/caring),

Anda mungkin juga menyukai