Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA

MASALAH PSIKOSOSIAL KETIDAKBERDAYAAN

Disusun Oleh :

Amin Aji Budiman 196070300111020

PEMINATAN KEPERAWATAN JIWA


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
1. Konsep Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah ketidakmampuan dalam memobilisasi energi dan ketiadaan
upaya campur tangan terhadap penyakit (Sutejo, 2019). Ketidakberdayaan
(Powerlessness/helpnessness) adalah keadaan ketika seseorang atau kelompok
merasakan kurangnya kontrol pribadi atas peristiwa atau peristiwa tertentu.
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna; suatu keadaan individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (Nanda, 2015).
Seseorang yang berada dalam kondisi tidak berdaya bisa melihat alternatif atau
jawaban, namun tidak dapat melakukan apapun karena kurangnya kontrol atau
sumber daya (Carpenito-Moyet, 2009).
2. Predisposisi Ketidakberdayaan
Menurut Workshop Keperawatan Jiwa ke-X (FIK UI, 2016)
Biologis meliputi Latar belakang genetik : Tidak ada riwayat keturunan (kedua orang
tua, saudara kandung. Faktor Genetik, pencarian gen yang menyebabkan gangguan
jiwa telah menantang dan menstimulasi debat ilmiah, polotik, dan klinis (Kendler,
2005). Penelitian menunjukan bahwa faktor keluarga dan genetik menjadi dasar
utama gangguna jiwa dengan melibatkan berbagai gen dan mekanisme yang
berdampak pada eksres gen (Stuart, 2016). Pengaruh genetik dan lingkungan terhadap
kesehatan mental telah lama dipelajari dalam kohort kembar. Perbandingan dari
kesamaan antara pasangan yang identik secara genetik (monozigot, MZ) dan
pasangan fraternal (dizygotic, DZ) telah dibuat selama beberapa dekade untuk
membangun kontribusi genetik untuk variasi manusia normal dan risiko.(Renzi et all,
2018).
Perubahan bertahap pada fungsi otak mungkin merupakan fungsi dari epigenetik, satu
mekanisme yang dapat memodifikasi ekspresi gen jangka panjang tanpa mengubah
kode genetik (Tsankova et al (2007), Stuart (2016). Protein disekitar DNA
mempengaruhi porsi untai DNA dan dapat diakses untuk transkripsi. Dimana
manipulasi DNA ini dapat mempengaruhi aktivitas gen yang tidak mengubah kode
genetik (Stuart, 2016).
Kelainan metilasi DNA juga telah melibatkan penyelidikan kelainan dalam modifikasi
histones dan kelainan Regulasi ekspresi gen yang dimediasi RNA. Studi tersebut telah
menyelidiki otak postmortem sebagai jaringan perifer (Peedicayil, 2014). Faktor
keturunan memiliki peranan terhadap kejadian gangguan jiwa melalui variasi genetik
yang diturunkan oleh carrier. Variasi DNA yang menyebabkan kejadian gangguan
jiwa tersebut adalah protein Neuregulin (NRG1) yang menyebabkan disregulasi pada
isoform otak. Aktivitas NRG1 biasanya akan meningkat pada usia remaja akhir atau
usia 20an dan baru akan terdiagnosis pada usia 40an (Wahyuningsih, 2015).
Tsuang (2005) yang menemukan bahwa pasangan orang tua yang salah satunya
memiliki gangguan jiwa memiliki peluang 10% untuk menurunkan gangguan jiwa
tersebut pada keturunan selanjutnya dan resikonya meningkat menjadi 40% jika kedua
orang tua memiliki gangguan jiwa. Adapun peluang menurunnya gangguan jiwa pada
keturunan generasi kedua (second offspring) akan semakin menurun. Peluang cucu
untuk memiliki gangguan jiwa dari kakeknya hanyalah 5% atau separuh dari peluang
yang diturunkan salah satu orang tua yang mengidap gangguan jiwa.
Ditinjau dari peluang penurunan gangguan jiwa menurut generasi keturunannya,
Gershon (2013) menjelaskan bahwa peluang pewarisan gangguan jiwa secara tidak
langsung pada generasi kedua secara genetis dapat terjadi meskipun probabilitasnya
lebih kecil dibandingkan pada pewarisan dari keturunan langsung atau first offspring.
Selain itu tidak semua individu dengan genotype gangguan jiwa akan menderita
gangguan jiwa selama tidak terdisposisi oleh faktor lingkungan. Fenomena ini disebut
sebagai reduced penetrance. Gen normal yang lebih dominan akan membuat gen
gangguan jiwa pada posisi resesif sehingga melewati beberapa generasi meskipun
pada generasi yang sama individu tersebut memiliki orang tua atau sepupu yang
mengalami gangguan jiwa. Kondisi ini akan menampakkan skipped generation.
Fenomena ini juga nampak pada penelitian Wahyuningsih (2015) ditemukan 26,92%
responden dengan gangguan jiwa yang merupakan generasi kedua (second offspring)
dari kakek yang phenotype gangguan jiwa.
Keluarga lapis kedua); Tidak ada riwayat kembar dengan orang tua gangguan jiwa;
Tidak ada riwayat terjadi kelainan kromosom 6,4,8,5,22. Status nutrisi : Riwayat
status nutrisi baik (KEP, malnutrisi, obesitas); Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.
Kondisi kesehatan secara umum : Riwayat melakukan general check up secara
periodik (6 bulan sekali); Riwayat pemeriksaan kekhususan ke pelayanan kesehatan;
Tanggal terakhir pemeriksaan; Riwayat kondisi dan perilaku ibu selama klien di
kandungan dan kelahiran; Tidak ada komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
(perdarahan, persalinan yang lama, trauma, infeksi toksoplasma, dan polio); Gaya
hidup sehat (tidak merokok, alkohol, obat dan zat adiktif); Tidak ada riwayat alergi :
immunoglobulin utk alergi, reaksi hipersensitivitas; Riwayat imunisasi lengkap (BCG,
DPT, Hepatitis, Polio, Campak); Hasil papsmear dan mammogram (-), TBC (-),
rontgen dan EKG dalam batas normal; Tidak ada riwayat hospitalisasi, pembedahan
dan tindakan medik (kapan, indikasi, pengobatan dan hasil); Trauma kepala (-), Tidak
ada lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic; Tidak terjadi pembesaran ventrikel
dan penurunan massa kortikal, tidak terjadi atropi pada otak kecil dan korteks, tidak
terjadi pelebaran lateral ventrikel; Tidak pernah mengalami penurunan kesadaran
karena beberapa alasan (benturan kepala, shock elektrik, demam tinggi, kejang,
pingsan, pusing , sakit kepala, jatuh); Tidak ada riwayat kanker (riwayat lengkap,
metastase ke paru, payudara, saluran gastro intestine, ginjal). Hasil pengobatan
(kemoterapi dan pembedahan); Tidak ada riwayat gangguan pada paru (PPOK, edema
paru, sumbatan jalan nafas, riwayat resusitasi); Tidak ada riwayat gangguan jantung
(PJB, demam rematik, riwayat serangan jantung, stroke, dan hipertensi, kondisi
arteriosklerosis); Tidak ada riwayat penyakit diabetes : gula darah normal (gula darah
puasa 70-100 mg/dl, gula random < 250 mg/dl); Tidak ada riwayat gangguan sistem
endokrin, normalnya adalah : TSH (0,4-4,8 µiu), T4 (4,5-12 µg), T3 (70-190 ng/dl),
ACTH (10-80 pg/ml), LH Pria (1-9 mU/ml); Riwayat menstruasi : usia menarche (10-
16 tahun), periode menstruasi yang regular (28 hari) pengaruhnya terhadap gaya
hidup, riwayat sindrom menstruasi tidak ada; Riwayat seksual relatif normal, meliputi
aktivitas dan fungsi seksual normal, pemeriksaan disfungsi seksual, penyakit seksual
menular, perilaku sex yang aman; Riwayat produksi tidak ada masalah (jumlah
kehamilan <5, kelahiran, jumlah anak dan usia anak); Riwayat life style sehat : pola
makan (maksimal 3x sehari, perubahan BB stabil sesuai usia, penggunaan cafein
minimal, tidak ada diet yan diluar kebiasaan, nafsu makan baik, makanan yan disukai
tidak bertentangan dengan prinsip sehat); Tidak ada riwayat pengobatan gangguan
jiwa (masa lalu dan sekarang); Riwayat penobatan non psikiatrik terkontrol; Riwayat
menggunakan obat-obatan non medis, herbal dan alternatif yan dapat
dipertanggungjawabkan; Riwayat penggunaan zat : alkohol, obat-obatan, kafein dan
tembakau minimal; Tidak ada riwayat trauma lain-lain (trauma akibat olahraga,
penganiayaan dan kekerasan, perkosaan dan penyimpangan perilaku seksual);
Riwayat pekerjaan yang sekarang dan lalu bebas risiko gangguan jiwa; Tidak ada
riwayat pertentangan dampak budaya, ras, etnik dan gender; Pemeriksaan fisik dalam
batas normal; Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
Sensitivitas biologi : kadar Dopamin seimbang dengan Serotonin, ABA, asetilkolin di
SSP (substansia nigrae, midbrain, hippotalamus-pituitari). Paparan terhadap racun :
tidak terpapar insektisida, tidak terjadi keracunan dan penyalahgunaan zat.
Psikologis meliputi Intelegensi : IQ normal (90-100). Keterampilan verbal : Mampu
berkomunikasi verbal dan non verbal secara efektif; Individu tidak hanya melihat
konteks isi pesan, tetapi mempersiapkan lebih kompleks lagi disesuaikan dgn situasi
dan keadaan yg menyertai; Dapat diobservasi pd kecepatan bicara, volume, intonasi,
karakteristik gagap, kata-kata menghina, gaya yg tdk biasa; Bicara lambat, ekspresi
muka murung; Bicara dan gerakan lambat. Moral : Membimbing dan menyiapkan
generasi dibawahnya secara arif dan bijaksana; Menyesuaikan diri dengan orang tua
yang sudah lansia; Mampu membedakan dan memilih mana yang baik dan yang
buruk. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara hati nurani dengan
prinsip-prinsip etis yang dianut. Kepribadian : struktur mental seimbang, ego
memiliki kekuatan untuk mengontrol insting dari id dan untuk menahan hukuman dari
superego. Pengalaman masa lalu : Tidak ada riwayat gangguan dalam proses tumbuh
kembang; Pengalaman masa lalu dpt dijadikan pelajaran utk kematangan diri.
Konsep diri : Menerima perubahan fisik dan psikologis yang terjadi; Merasa puas
dengan hidupnya (tujuan hidup tercapai); Rasa bersalah, marah, ketidaksukaan;
Frustasi; Keragu-raguan, tidak puas.
Motivasi : Motivasi tinggi dalam mengembangkan minat dan hobi; Kreatif, memiliki
inisiatif dan ide-ide untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, Pertahanan psikologi :
Kebiasaan koping adaptif; Merasa nyaman dengan pasangan hidup. Self kontrol :
Mampu menahan diri terhadap dorongan yang kurang positif, melakukan hal-hal
positif. Mengungkapkan: Bahwa tidak mempunyai kemampuan mengendalikan atau
mempengaruhi situasi; Tidak dapat menghasilkan sesuatu; Ketidakpuasan; Frustasi;
Ketidakmampuan melakukan tugas; Keragu-raguan terhadap penampilan peran;
Ketidakmampuan melakukan perawatan diri.
Sosial seperti Usia : 30-60 tahun, Gender : laki-laki/perempuan, Pendidikan :
mempunyai latar belakang pendidikan formal maupun non formal yang adekuat untuk
dirinya. Pendapatan : mempunyai pendapatan/status ekonomi yang stabil. Pekerjaan :
puas dengan pekerjaan yang dimiliki. Status sosial : Terlibat dalam kehidupan
masyarakat; Perhatian dan peduli dengan orang lain; Menghindar orang lain, enggan
beraul. Latar belakang budaya : tidak memiliki nilai budaya yang bertentangan
dengan nilai kesehatan. Agama dan keyakinan : Memiliki religi dan nilai yang baik
dalam hidupnya; Menjalankan ibadah sesuai agamanya. Keikutsertaan dalam politik :
berpartisipasi dalam kegiatan politik secara sehat dan sportif. Pengalaman sosial :
berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Peran sosial : memperhatikan
keluarga, mempersiapkan sgenerasi penerusnya dengan arif dan bijaksana
3. Presipitasi Ketidakberdayaan
Menurut Workshop Keperawatan Jiwa ke-X (FIK UI, 2016)
Biologis seperti tidak ada riwayat keturunan (kedua orang tua, saudara kandung,
keluarga lapis kedua), tidak ada riwayat kembar dengan orang tua gangguan jiwa.
tidak ada riwayat terjadi kelainan kromosom 6,4,8,5,22, hasil papsmear dan
mammogram (-), tbc (-), rontgen dan ekg dalam batas normal. tidak ada riwayat
hospitalisasi, pembedahan dan tindakan medik (kapan, indikasi, pengobatan dan
hasil), trauma kepala (-), tidak ada lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic, tidak
terjadi pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal, tidak terjadi atropi pada
otak kecil dan korteks, tidak terjadi pelebaran lateral ventrikel, tidak pernah
mengalami penurunan kesadaran karena beberapa alasan (benturan kepala, shock
elektrik, demam tinggi, kejang, pingsan, pusing , sakit kepala, jatuh), ekspansi paru
normal, rr normal, tidak ada gangguan sistem endokrin, penggunaan zat : alkohol,
obat-obatan, kafein dan tembakau, tidak mengalami paparan terhadap gas dan racun,
keselamatan dan kesehatan kerja baik, tidak mengalami trauma fisik maupun psikis,
tidak mengalami gangguan tidur dan istirahat, mampu menyesuaikan diri dengan
budaya, ras, etnik dan gender, status gizi normal, tidak mengalami alergi dan
gangguan imunologi, gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan baik, tidak ada
kelainan darah, kimia darah, dan elektrolit, urine dan serologi, fungsi ginjal normal.,
pemeriksaan urine untuk pengecekan obat-obatan, paparan terhadap racun : tidak
terpapar mercury, insektisida, tidak terjadi keracunan dan penyalahgunaan zat.
Psikologi, pertahanan psikologi : kebiasaan koping adaptif, merasa nyaman dengan
pasangan hidup, self control : mampu menahan diri terhadap dorongan yang kurang
positif, melakukan hal-hal positif. 2.2.2.3.
Sosial budaya, pendidikan : mempunyai latar belakang pendidikan formal maupun
non formal yang adekuat untuk dirinya, pendapatan : mempunyai pendapatan / status
ekonomi yang stabil, pekerjaan : puas dengan pekerjaan yang dimiliki, status sosial :
terlibat dalam kehidupan masyarakat, perhatian dan peduli dengan orang lain,
budaya : tidak memiliki nilai budaya yang bertentangan dengan nilai kesehatan,
agama dan keyakinan : memiliki realigi dan nilai yang baik dalam hidupnya,
menjalankan ibadah sesuai agamanya, keikutsertaan dalam politik : berpartisipasi
dalam kegiatan politik secara sehat dan sportif, pengalaman sosial : berpartisipasi
dalam kegiatan kemasyarakatan, peran sosial : memperhatikan keluarga,
mempersiapkan generasi penerusnya dengan arif dan bijaksana.
4. Penilaian terhadap stressor
Menurut Workshop Keperawatan Jiwa ke-X (FIK UI, 2016)
Kognitif, seperti mengungkapkan ketidakpastian tentang fluktuasi tigkat energy,
mengungkapkan ketidakpuasan dengan tugas atau aktivitas yang dilakukan
sebelumnya, mengungkapkan ketidakpuasan dan tergantung pada orang lain,
ambivalen, sulit konsentrasi, mudah lupa, cenderung menyalahkan orang lain,
berfokus pada diri sendiri, bingung, preokupasi, blocking pikiran.
afektif seperti merasa tertekan, merasa bersalah, takut terhadap pengasingan, cemas,
merasa tidak adekuat, sangat waspada, merasa tidak pasti. merasa tidak berdaya,
merasa menyesal.
fisiologis seperti sulit tidur, tekanan darah meningkat, frekuensi nafas meningkat,
dada berdebar-debar, muka tegang, keringat dingin, tidak nafsu makan, iritabilitas
meningkat, badan lemes dan cepat lelah.
perilaku, seperti banyak diam, pasif, aktivitas harian dibantu orang lain, tidak
memantau kemajuan pengobatan, tidak berpartisipasi dalam mengambil keputusan,
menghindari kontak mata, perilaku menyerang/agresif, menarik diri, perilaku mencari
perhatian, gelisah dan tidak bisa tenang.
sosial, speerti enggan mengungkapkan perasaannya, tidak mampu mencari informasi,
tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain, bicara pelan.
5. Sumber koping
Menurut Workshop Keperawatan Jiwa ke-X (FIK UI, 2016)
Personal ability seperti Problem solving : mampu mencar informasi, mampu
mengidentifikasi masalah, mampu mempertimbangkan alternatif, mampu
melaksanakan rencana tindakan, Kesehatan dan energi : kondisi fisik normal
semangat dan antusias, Social skill : mampu berkomunikasi secara efektif, mampu
berhubungan dengan orang lain baik dalam keluarga, lingkungan tempat kerja
maupun masyarakat, Pengetahuan dan intelegensi individu : mempunyai pengetahuan
dan intelegensi yang cukup untuk menghadapi stressor, Identitas ego : mempunyai
pedoman hidup yang realistis, mengerti arah dan tujuan hidup yang diinginkan secara
matang
sosial support, seperti hubungan antar individu, keluarga, kelompok masyarakat :
mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat, diterima menjadi bagian dari
keluarga dan masyarakat, komitmen dengan jaringan sosial : ikut dalam kegiatan atau
perkumpulan di masyarakat, budaya yang stabil : tidak ada pertentangan nilai budaya.
material asset berupa penghasilan individu : mempunyai penghasilan yang layak dan
stabil
positive belief , berupa keyakinan dan nilai : keyakinan dan nilai hidup yang positif
beranggapan bahwa stress merupakan bagian dari hidup yang harus dihadapi untuk
mencapai kematangan diri), motivasi : motivasi tinggi dan bersemangat menjalani
hidup, orientasi kesehatan pada pencegahan : mempunyai keyakinan bahwa lebih baik
mencegah daripada mengobati.
6. Mekanisme koping

7. Diagnosis
Ketidakberdayaan
8. Intervensi
CT, CBT, Logo, ACT, FPE, terapi Suportif, Interpersonal terapi, psikodinamik terapi.
9. Psikoterapi Individu
CT, CBT, Logo, ACT
a. Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Cognitive Behaviour Therapy (CBT) adalah Terapi perilaku kognitif adalah
salah satu bentuk terapi psikososial yang merubah pola pikir negatif menjadi positif
sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan
berubah menjadi perilaku yang adaptif. Pada akhirnya diharapkan individu memiliki
kemampuan untuk bereaksi secara adaptif dalam menghadapi masalah atau situasi
sulit dalam setiap fase hidupnya.
Sesi I CBT : Pengkajian Terapis mendiskusikan tentang Pikiran otomatis
yang negatif tentang diri sendiri setelah mengalami kejadian traumatis, perasaan dan
perilaku negatif yang muncul akibat pikiran negatif setelah mengalami kejadian
traumatis dan mencatat pikiran, perasaan dan perilaku negatif dalam buku kerja klien.
Melatih satu pikiran otomatis negatif Pada tahap ini terapis dan pasien memilih satu
pikiran negatif yang akan dilatih untuk mengatasinya, mencatat pikiran positif untuk
mengatasi pikiran negatif dalam buku kerja klien dan melatihkan cara untuk
mengatasi satu pikiran negatif. Terapis memberikan pujian atas komitmen dan
semangat klien.
Sesei II CBT: Terapi Kognitif Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk
menempatkan suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk)
terhadap orang lain yang lebih positif. Selain itu, terapi juga memfokuskan pada
upaya membelajarkan klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam
berbagai peristiwa kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif
yang masih ada dan melanjutkan dengan melatih mengatasi pikiran negatif yang
kedua menggunakan pikiran positif.
Sesi III CBT: Terapi Perilaku, Perilaku merupakan respon yang timbul
secara eksternal, dipengaruhi oleh stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara
primer oleh konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku dapat diamati, diukur, & dicatat
oleh diri sendiri maupun orang lain. Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya
melalui reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson
disebut operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan sosial
digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan kontrol terhadap perilaku yang
berlebihan atau berkurang.
Sesi IV CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku Langkah
berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengalaman klien dengan
masalah dengan menggunakan analisis perilaku. Analisis ini terdiri dari tiga bagian
(ABC dari perilaku): Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi sebelum perilaku
dan mengarah ke manifestasinya. Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau
tidak katakan atau lakukan. Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif,
atau netral) orang berpikir hasil dari perilaku.
Penggunaan CBT dengan nilai-nilai religius atau yang sering disebut dengan
CBRT (Cognitive Behavioral Religious Therapy) bertujuan agar subjek tidak
mengulang kesalahan yang telah diperbuat yang tidak sesuai dengan ajaran agama
yang dianut. Secara umum CBRT didefinisikan sebagai terapi yang menggabungkan
terapi perilaku dan terapi kognitif yang mengakomodasi nilainilai agama. Terapi ini
mengacu pada prinsip terapi kognitif-perilakuan bagi penderita depresi yang
diadaptasi dengan menggunakan dasar-dasar agama Islam. Tujuannya adalah untuk
mengubah pikiran yang maladaptif, tidak produktif, dan melemahkan, serta
mengadopsi dan memperkuat proses kognitif yang lebih adaptif serta didasarkan pada
keyakinan dan nilai-nilai agama Islam (Trimulyaningsih & Subandi, 2010). Dari
penelitan yang sudah dilakukan oleh fitriani (2017) menunjukan hasil bahwa
menunjukkan bahwa Cognitive Behavior Religious Therapy dapat menurunkan tingkat
depresi. Terdapat penurunan skor depresi dari angka 39 yang tergolong dalam depresi
berat menjadi 14 yang tergolong dalam depresi ringan. Selain itu juga berkurangnya
tanda gejala depresi pada subjek yang meliputi perubahan pada kondisi pikiran,
perilaku, dan fisik.
b. Logoterapi
Definisi Logoterapi, Logoterapi pertama kali dikembangkan oleh Viktor Frankl
pada tahun 1938. Logoterapi adalah berkeinginan, kebebasan, keingianan akan makna
dan rohani. Kebermaknaan hidup diartikan sebagai kualitas menghayati individu
terhadap dirinya sehingga dapat mengembangkan dan mengaktualisasi potensi serta
kapasitas yang dimiliki dan terhadap dirinya yang telah mencapai tujuan hidupnya
dalam memberikan makna hidup (Frankl, 1995).
Logoterapi berasal dari bahasa yunani yaitu logos dan therapy. Logos yang
mempunyai arti spirit atau makna dan therapy adalah penyembuhan atau pengobatan
(Yosep dan Sutini, 2016). Definisi lain dari logoterapi adalah suatu pengobatan atau
terapi yang diberikan dengan mencari makna dari suatu kejadian.
Jadi dapat disimpulkan pengertian logoterapi adalah suatu proses penyembuhan atau
terapi yang diberikan kepada individu untuk mengurangi atau meringankan masalah
denga mencari makna dari kehdupannya.
Tujuan Logoterapi
Logoterapi membantu individu dalam menemukan nilai-nilai baru serta
mengembangkan dan mengajarkan individu dalam melihat nilai positif dari
penderitaan dan memberikan kesempatan untuk memberikan rasa bangga terhadap
penderitannya. Individu yang berada dalam kesulitan yang mengganggu aktivitasnya
dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaiman individu dalam
menghadapi masalah dan mengatasinya (Rochmawati dkk, 2013).
Tujuan dilakukannya logoterapi menurut Bastaman (2007) adalah
1. Memahami adanya potensi dan sumber daya rohani yag secara umum ada pada diri
individu.
2. Menyadari adanya potensi potensi yang dimiliki individu tepai seringkali tidak
digunakan, tersembunyi, terhambat atau bahkan terlupakan.
3. Memanfaatkan potensi-potensi dan sumber daya tersebut untuk memunculkan
semangat hidup dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih bermakna.
Konsep Logoterapi
Konsep dari logoterapi yang dikembangkan oleh Viktor Frankl berdasarkan
kebermaknaan hidup yang mengasumsikan tujuan utama individu dalam terapi adalah
mencari makna hidup, dimana kebermaknaan ini menurut Frank diartikan bermakna
dalam segala keadaan, bahkan dalam keadaan yang tersulit dan tak tertahankan (Okan
and Eksi, 2017). Pengobatan melalui terapi dalam logoterapi didasarkan pada
“Melalui Makna” (Bahadir, 2011).
a. Kebebasan
Frankl menyatakan bahwa individu mempunyai kebebasan dan kewajiban dalam
mengambil keputusan sendiri sebagai kekuatan dan kemampuannya (Frankl,
1988). Dalam hal ini individu mencari jawaban arti makna hidup secara psikologis
dan rohani (Okan and Eksi, 2017).
b. Kehendak untuk bermakna
Individu harus mengetahui pentingnya arti makna hidup, serta bebas dan
bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihan jawabannya
c. Makna hidup
Individu yang mempunyai kemauan untuk mencari makna hidup akan mempuyai
cara tersendiri dalam mengatasi sebuah masalah atau trauma.
d. Hambatan yang ada
Frankl (2003) mengatakan sebagian individu akan mempunyai hambatan
eksistensial dalam kehidupan untuk memahami, menghindari atau menderita.
Akibat hambatn yang muncul maka individu akan mengalami kesulitan dalam
mencari makna hidup.
e. Neurosis noogenik
Setelah munculnya hambatan eksistensial, makan akan muncul neurosis noogenik
(kekurangan arti dalam hidup) yang akan menyebabkan konflik internal.
f. Neurosis secara umum
Pada situasi individu yang putus asa maka akan menimbulkan bentuk neurosis
secara umum yng muncul karena berbagai alasan, salah satunya karena persepsi
individu yang beranggapan tidak dapat merubah banyak ha
Indikasi Logoterapi
Indikasi penatalaksanaan logoterapi dapat diberikan kepada pasien dengan
penyakit kronis, proses berduka, kecemasan, depresi, post traumatic syndrome
disorder (PTSD), manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat
ketergantungan alkohol, gangguan personal, gangguan kompulsi, phobia, gangguan
neurosis somatogenik, gangguan neurosis psikogenik, gangguan neurosis noogenik,
depresi (Lewis, 2011).
Teknik Logoterapi
Teknik logoterapi yang dapat diberikan menurut Bastaman (2007) meliputi
parodoxical intention, dereflection, dan medical ministry
a. Parodoxical intention
Teknik parodoxical intention diindikasikan pada pasien dengan phobia, obsessive
compulsive, dan insomnia. Sedangkan untuk kontra indikasi teknik adalah pada
klie dengan depresi an resiko bunuh diri. Teknik ini memanfaatkan kemampuan
mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan dalam mengambil sikap
terhadap keadaan diri sendirin dan lingkungan dengan menyisipkan manfaat rasa
humor (sense of humor). Pelaksaan teknik ini pada pasien phobia dengan merubah
perasaan yang semulanya takut menjadi akrab dengan objek yang ditakuti,
sedangkan untuk kasus obsessive compulsive adalah dengan mengendalikan dan
memunculkan secara ketat agar tidak tercetus dengan menyisipkan humor.
b. Dereflection
Dereflection adalah kemampuan manusia untuk bangkit dari semua kondisi dan
mengatasi dirinya, kemudian mencurahkan pada hal-hal positif dan kegiatan yang
bermanfaat. Suatu keinginan yang berlebihan dan merenung yang berlebihan harus
dilawan denga meniadakan perenungan atau dereflection. Individu diharapkan
memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak lagi memperlihatkan
kondisi yang tidak nyaman, tetapi mampu mengalihkan dan mencurahkan
perhatianya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat.
c. Medical ministry
Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap terhadap
keadaan lingkungan dan kondisi diri yang tidak dapat dirubah, dilakukan dengan
mengarahkan pasien untuk mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan
positifdanmenerapkan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu
sumber dari makna hidup. Tujuan dari teknik ini adalah agar pasien dapat
menemukan makna hdupnya dari penderitaanya (Meaning suffering).
Dalam teknik ini yang diubah adalah sikap dalam menghadapi keadaan, bukan
keadaan itu sendiri. Sebagai contoh adalah ketika pasien menghadapi masalah yang
tidak dapat dirubah atau dihindari maka sikap yang dapat diambil adalah dengan
mengikhlaskan dan tabah pada hal hal yang tidak bisa dihindari tersebut, sehingga
pasien dapat melihat makna yang terjadi dari penderitaan yang dialaminya.
Mendalami nilai-nilai dalam bersikap pada dasarnya memberi kesempatan kepada
seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisinya yang tidak dapat
dielakan lagi. Menurut Bastaman (2007) teknik pendalaman nilai-nilai bersikap
dengan:
1. Merenungkan penderitaan
a. Mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada waktu lalu
b. Bagaimana perasaan waktu lalu
c. Bagaimanakah cara mengatasinya
d. Bagaimana perasaan kita sekarang setelah mengalami hal tersebut
e. Pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik
penderitaan.
2. Membandingkan penderitaan
a. Menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang sama dn
telah berhasil mengatasinya
b. Menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperoleh dari peristiwa
tersebut
c. Membandingkan dengan keadaan sekarang.
Penatalaksanaan Logoterapi
Penatalaksanaan logoterapi dapat dilakukan oleh psikolog, psikiater,
keperawatan dan pekerja sosial. Terapi ini dapatdiberikan secara individu,
berpasangan maupun kelompok. Tahapan yang dilalui dalam pelaksanaannya melalui
4 fase antara lain fase orientasi, fase mengidentifikasi masalah, fase kerja dan fase
terminasi (Marshal, 2011). Tugas utama terapis harus mendengarkan, menarik dalam
komunikasi terapeutik, menjalin hubungan dan kekuatan yang baik anatara terapis
dan pasien. Langkah-langkah dalam proses logoterapi menurut Semiun (2006) terdiri
dari :
a. Manghadapi situasi tersebut
b. Kesadaran akan tanda dan gejala
c. Mencari penyebab
d. Menemukan hubungan antara penyebab dan tanda gejala
Teknik pelaksanaan logoterapi dalam penelitian menggunakan metode medical
ministry dsesi 3. Adapun sesi logoterapi dengan metode medical ministry menurut
Bastaman (2007) antara lain :
Sesi 1
1. Sesi 1 : mengidentifikasi masalah yang muncul pada pasien
Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik dan nyaman antara
terapis dan pasien rehablitasi. Selain itu pada sesi ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi masalah yang muncul akibat dari pemakaian narkoba. Pada
tahap ini terapis memperkenalkan diri , menanyakan perasaan pasien dan
menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi
2. Sesi 2 : mengidentifiksi reaksi dan respon pasien terhadap masalah yang muncul,
terkait keadan dan kondisi harga dirinya saat ini . adapun respon tersebut seperti
respon emosional, respon perlaku, partisipasi pasien dalam kegiatan sehari-hari.
Terapis menanyakan cara yang dilakukan pasien untuk mengatasi masalah yang
dialami, serta mengidentifikasi masalah yang belum teratasi.
3. Sesi 3 : teknik medical ministry
Pada sesi ketiga terapis membantu masalah pasien dan mendiskusikan melalui
teknik medical ministry. Terapis membantu merealisasikan nilai-nilai bersikap
sebagai salah satu sumber dalam mencari makna hidupnya. Jiwa manusia akan
tetap sehat selama tetap sadar dengan tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang
dimaksud adalah tanggung jawab dalam mereaisasikan nilai-nilai, termasuk nilai-
nilai yang ditemukan pada individu. Melalui teknik bimbingan rohani pasien
didorong kearah sikap yang positif terhadap penderitaanya sehingga menemukan
makna hidupnya dari masalah tersebut.
4. Sesi 4 : Evaluasi
Evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui
teknik medical ministry. Pada tahap ini terapis juga mendiskusikan tindak lanjut
dari masalah yang belum teratasi.
Peran dan kegiatan dalam logoterapi
Konsep dasar logoterapi adalah mengajarkan kepada klien agar tetap bersikap
positif dalam segala kondisi yang paling sulit sekalipun (Yosep dan Sutini, 2017).
Pearwat tetap memanfaatkan kondisi lingkungan sebagai bahan terapi, meskipun
keadaan ingkungan penuh dengan stressor. Menurut Saimun (2007) peran terapis
adalah menjaga hubungan baik, mengendalikan filsafat pribadi, terapis bukanlah
guru/pengkhotbah dan membantu individu dalam menemukan makna dalam
kehidupanya.
Peran terapis dalam kegiatan kelompok adalah sebagai berikut
1. Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan ilmiah
.terapis membuat hubungan saling percaya dengan klien dengan yang lain untuk
mencari keseimbangan antara dua ekstrem yaitu hubungan seperti simpati dan
pemisahan ilmiah dengan klien dengan melibatkan diri dalam terapi yang
diberikan.
2. Mengendalikan filsafat pribadi
Terapis tidak memaksakan konsep nilai-nilainya sendiri atau merubah filsafat
pribadi karena logoterapi untuk menangani masalah yang berkaitan nilai-nilai
spiritual.
3. Terapis bukanlah guru atau pengkhotbah
Terapis memberi pasien tugas hidupnya sebagai seseorang yang bertanggung jawab
terhadap masyarakat.
4. Membantu individu menemukan makna hidupnya
c. Penemuan makna hidup merupakan sesuatu hal dan membutuhkan proses
perenungan secara mendalam. Yang perlu diperhatikan dalam proses terapi adalah
menghindari memaksakan suatu makna kepada pasien, sebaliknya mengarahkan
dan memepertajam makna hidup. Upaya terbaik terapis dalam membantu pasien
untuk mengenali apa yang dilakukan dalam hidupnya adalah mempedulikan dan
menciptakan kondisi bersahabat sehingga pasien dapat memahami keunikan
dirinya tanpa merasa takut atau khawatir tidak dtreima.
d. Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) merupakan salah satu terapi
dimana klien diajarkan untuk menerima pikiran yang mengganggu dan tidak
menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia
akan menerima dengan kondisi yang ada.
Diharapkan dengan itu semua klien dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya
dan berkomitment untuk melakukan apa yang sudah dipilih olehnya. ACT dapat
diberikan pada lingkup non klinis dan klinis. Pada penelitian-penelitian yang ada,
terapi ACT baru diberikan secara individu yang mengalami gangguan
psikososial dan gangguan jiwa. ACT merupakan terapi yang membantu menolong
klien dengan menggunakan penerimaan psikologi sebagai strategi koping dalam
situasi stres baik internal maupun eksternal yang tidak mudah untuk dapat diatasi.
Klien dibantu untuk menerima kejadian yang tidak diinginkan, mengidentifikasi dan
fokus pada aksi secara langsung sesuai dengan tujuan yang diinginkan. ACT
dikembangkan oleh Steven Hayes yang merupakan seorang psikolog klinik dimana ia
melihat bahwa faktor menerima (acceptance) dan berkomitmen memiliki dampak
yang sangat besar dalam perkembangan kondisi klien menjadi lebih baik. Acceptance
mengindikasikan bahwa seseorang mengerti dan setuju. Sehingga disini ditekankan
bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya. Setelah itu
barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2010). Supaya klien
berkomitmen dengan apa yang sudah dipilih sesuai dengannilai yang dimiliki maka
perawat harus bisa membantu klien agar mengerti dan jelas dengan apa yang harus
dilakukan melalui proses komunikasi yang terapeutik dan klien harus bisa bertahan
dengan apa yang dipilih karena sudah melakukan komitmen (Stuart, 2009). Perawat
berdiskusi dengan klien bagaimana cara untuk mencapai hal tersebut. Salah satunya
adalah melakukan perubahan pada perilaku klien untuk merubah pola perilaku yang
maladaptif.
Tujuannya untuk mengajarkan penerimaan terhadap pikiran dan perasaan yang tidak
diinginkan yang tidak bisa dikontrol oleh klien membantu klien dalam mencapai dan
menjalani kehidupan yang lebih bermakna tanpa harus menghilangkan pikiranpikiran
kurang menyenangkan yang terjadi dan melatih klien untuk komitmen dan berperilaku
dalam hidupnya berdasarkan nilai yang dipilih oleh klien sendiri.
Tahapan
Mempunyai 4 sesi dan masing-masing sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk
setiap klien. Adapun uraian kegiatan tiap sesi adalah sebagai berikut:
Sesi 1 Mengidentifikasi kejadian, pikiran dan perasaan yang muncul serta dampak
perilaku yang muncul akibat pikiran dan perasaan.
Sesi 2 Mengidentifikasi nilai berdasarkan pengalaman klien
Sesi 3 Berlatih Menerima Kejadian dengan menggunakan nilai yang dipilih
Sesi 4 Komitmen dan Mencegah kekambuhan.
10. Psikoterapi Keluarga
Psikoterapi keluarga terapi psikoedukasi keluarga (family psychoeducation) yaitu
memberikan informasi atau menambah pengetahuan keluarga mengenai penyakit
yang dialami keluarga (Townsend, 2014). Family psycoeducation terapy (FPE)
bertujuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan dengan mengurangi stres yang
timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu terlibat melalui penyediaan
pendidikan dan pelatihan keterampilan (Harvey, C., 2017).Intervensi yang dapat
diterapkan kepada pasien dengan harga diri rendah kronis salah satunya adalah terapi
psikoedukasi keluarga (family psychoeducation) dimana pelaksanaan terapi ini terdiri
dari 5 sesi yang setiapsesinya dilakukab sebanyak 45-60 menit.
Sesi 1 dilakukan pengkajian pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama
mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan
jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan
terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi
adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak,
saudara kandung, dan pasangan. Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang
dirasakan oleh caregiver dan anggota keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada
masalah dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada diri karena
merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada saat mengkaji masalah
ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2016).
Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga anda?, Bagaimana perasaan
anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau respon terhadap tindakan pada
anggota keluarga yang sakit?, Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari
profesional kesehatan mental, komunitas atau keluarga besar anda?
Sesi 2, Perawatan Klien Gangguan Jiwa, sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai
masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang diberikan kepada keluarga terkait
dengan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan yang dialami klien. Edukasi pada
sesi II ini disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah dikembangkan pada untuk
intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini didasarkan dengan
diagnosa keperawatan yang muncul pada klien. Bellack dan Mueser (1993 dalam
Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi dengan memberikan edukasi
pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi stressor karena klien sakit, yang
berefek positif pada kondisi klien. Townsend (2014) menyatakan dampak positif
program psikoedukasional secara tidak langsung pada klien yaitu bahwa dengan
memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran
mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh
dan menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota
keluarga yang lain.
Sesi 3, Manajemen Stress Keluarga. Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang
terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu dalam lingkungan internal atau
eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi keinginan-keinginan tersebut
(Townsend, 2014). Stressor adalah keinginan dari lingkungan internal atau eksternal
individu yang meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi
klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap
stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik. Untuk
meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang
tepat.Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk
mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk
latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang
berhasil pada individu tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu
mengatasi masalah masing-masing individu keluarga yang muncul karena merawat
klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang setiap saat berinteraksi
dengan klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan cara-cara memanajemen stress
pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver.
Sesi 4, Manajemen Beban Keluarga, pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan
seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena
klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat
diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang
dirasakan keluarga. Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala
umum penyakit dan mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga.
Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering disebut
dengan beban keluarga (Stuart, 2016). Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga
menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan adalah mengkhawatirkan
masa depan, berkurangnya konsentrasi, terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa
bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di
rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006
dalam Stuart, 2016). Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif
terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan
akan dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah
perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu
berhubungan dengan bagian dari beban objektif. Dengan mengkaji beban keluarga
perawat dapat bekerja.
Terapi FPE dapat memberikan pemahaman yang mendalam kepada keluarga
mengenai kondisi gangguan jiwa yang dialami, sehingga pasien dan keluarga merasa
lebih terkontrol dan kecemasan menurun (Yadev dan Kr, 2014). Terapi FPE juga
dapat mengambangkan keterampilan keluarga dalam merawat keluarga dan mengatasi
masalah kesehatan jiwa dalam keluarga, mempercepat penyembuhan dan kemugkinan
kambuh dapat dicegah (Pahlavanzadeh et all, 2010).
11. Psikoterapi Kelompok
Tujuan : memberikan support terhadap keluarga sehingga mampu menyelesaikan
krisis yang dihadapinya dengan cara membangun hubungan yang bersifat suportif
antara klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga, meningkatkan kemampuan
keluarga menggunakan sumber kopingnya, meningkatkan otonomi keluarga dalam
keputusan tentang pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga mencapai
kemandirian seoptimal mungkin, serta meningkatkan kemampuan mengurangi
distress subyektif dan respon koping yang maladaptif.
Prinsip tindakan :
Sesi 1 : identifikasi kemampuan keluarga dan sumber pendukung yang ada
Sesi 2 : menggunakan sistempendukung dalam keluarga, monitor, dan hambatannya.
Sesi 3 : menggunakan system pendukung diluar keluarga, monitordan hambatannya.
Sesi 4 : evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber.
12. Interpersonal terapi
Interpersonal therapy adalah terapi fokus singkat kepada hubungan personal pasien
dan interaksinya dengan yang lain. Pasien dan terapis bersama-sama menemukan
masalah interpersonal yang akan menjadi focus utama pengobatan. IPT terdisi dari 3
fase yaitu fase inisiasi yaitu menyediakan fokus untuk mengatasi masalah
interpersonal yang terjadi. Fase menengah yaitu tugas utama untuk memperbaiki
masalah interpersonal. Fase akhir yaitu diskusi langsung dan mengakhiri. IPT
membantu pasien menyelesaikan masalah interpersonal yang terjadi pada dirinya
sendiri (Arini, 2016).
Deficit interpersonal ini menyebabkan pengurungan secara umum dan berkurangnya
hubungan interpersonal dan dukungan (Lipsitza, D.J., Markowitzb, C.J. 2013). Terdiri
dari 4 mekanisme yaitu:
Mekanisme Interpersonal 1: meningkatkan dukungan social
Istilah dukungan sosial (sosial support) memicu reaksi negatif dalam psikoterapi yang
akan berfokus atau menyentuh aspek hubungan dengan manusia. Dukungan sangat
penting dalam menjalin hubungan yang dekat dengan pasien yang dikemukakan oleh
teori Sullivan dan teori attachment dari John Bolby.
Mekanisme Interpersonal 2: mengurangi Stres Interpersonal
Target pada pengurangan stres interpersonal ini adalah pasien dapat lebih baik
mengatur dan memiliki koping yang bagus terhadap situasi yang dialaminya. Sesuai
yang dijelaskan diatas IPT berfokus pada perasaan stres yang dialami saat ini.
Mekanisme Interpersonal 3: Proses Emosi
Emosi adalah bahasa yang utama dari hubungan interpersonal, dan tudah pokok dalam
menghadapi masalah interpersonal dalam IPT yang terdiri dari identifikasi, proses dan
ekspresi emosi.
Mekanisme Interpersonal 4: mengembangkan keahlian Interpersonal
Dengan meningkatkan fungsi interpersonal pasien pada IPT (yang mencakup belajar
untuk mengkomunikasikan perasaan pasien secara langsung, menggunakan pola yang
jelas, atau belajar pada suasanya ketegangan).
13. Psikodinamik terapi
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis psikoterapi
dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu mempelajari dinamika
ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam berbagai hal.
Terapi psikodinamik terdiri dari lima komponen yaitu aliansi terapeutik, masalah
psikodinamik inti, formulasi psikodinamik, strategi untuk memfasilitasi perubahan
dan terminasi (Summers, & Barber, 2015).
Aliansi teraupetik yang terdiri dari 3 yaitu tujuan, tugas dan hubungan. Tujuan yaitu
penyamaan tujuan anatara terapis dan pasien. Tugas yaitu pasien dtang pada sesi
terapi mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara jujur kepada terapis dan
bersedia mendengarkan masukan dari terapis, sedangkan terapis yaitu mendengarkan,
memahami dan fokus pada yang disampaikan pasien hingga membuat daftar masalah
yang disampaikan pasien. Terapis membantu membangun persepsi yang baru
terhadap gambaran diri dan konsep diri pasien kemudian juga berperan sebagai
edukator bagi pasien. Hubungan yaitu berkaitan dengan membangun BHSP antara
pasien dan perawat, pada pasien HDR terkadang sangat sensitif terhadap terhadap
kritikan dan masukan sehingga terapis harus membangun empati dan memberikan
perhatian kepada klien selama terapi.
1. Mendiagnosis masalah psikodinamik, terdapat enam masalah psikodinamik yaitu
depresi, obsesifitas, rasa takut ditinggalkan, harga diri rendah, kecemasan panik,
dan trauma. Pada pasien harga diri rendah yang ditunjukkan adalah perasaan
tidak aman, kesepian dan merasa rendah diri.
2. Formulasi psikodinamik adalah ringkasan singkat dari kondisi pasien berdasarkan
riwayat hidup yang dialami pasien. Dalam formulasi ini akan terlihat identitas
klien, peristiwa predisposisi dan presipitasi atau penyebab dan pencetus kondisi
klien saat ini, kemampuan hubungan interpersonal klien, dan perilaku klien
dalam hubungan sosial. Kemudian akan di rumuskan diagnosis klien, riwayat
keluarga, psikopatologi masa kecil, riwayat pengobatan, riwayat penyakit medis
terdahulu, gangguan mental dan riwayat trauma. Selnjutnya yaitu menjelaskan
masalah inti yang sedang dihadapi klien kemudian upaya yang sudah dilakukan
klien, strategi koping yang telah digunakan klien. Dan yang terakir melihat
respon klien terhadap tindakan yang telah di lakukan terapis, apakah klien fokus
pada terapis, atau klien bertahan dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan
masalah.
3. Memfasilitasi perubahan, ini merupakan langkah selanjutnya setelah formulasi
yaitu terapis membimbing klien mengungkapkan perasaannya dan pikirannya
(eksplorasi emosional), klien didorong untuk membandingkan pengalaman yang
membuatnya tidaknyaman di masa lalu dengan pandangan situasi saat ini seperti
mengembangkan pandangan yang realistis dan perilaku yang sesuai. Terapis juga
membantu klien mencoba keterampilan baru dalam hubungan interpersonal serta
meningkatkan efektivitas hubungan sosial klien.
4. Tahap Terminasi, yaitu tahap dimana terapis dan pasien menyepakati bahwa
tujuan dari terapi yang telah di sepakati di awal sudah tercapai dan masalah klien
dapat diselesaikan.
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri dari 3 fase
yaitu Fase 1 (sesi 1-4) Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari
fase awal. Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya
dan memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya cara
bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan validasi empati
dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi dengan mengakui realitas
penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis dan pasien memutuskan bersama
pada focus terapi yang akan dijalankan. mengacu pada pola hubungan atau kelekatan
afektif kognitif berulang yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala
pasien. Fase 2 (sesi 5-12) terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah
disusun di sesi awal dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan
proses bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan interpersonal
tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada kapasitas pasien untuk
merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang diwujudkan, orang lain, dan
hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc interpersonal terapi, terapis secara aktif
mendorong dan mendukung perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan
rangkuman penuh intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan,
dukungan, dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada hubungan
transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis., mendorong pasien untuk
mengubah cara dia berinteraksi dengan orang lain). Fase 3 (sesi 13-16) Berfokus pada
pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan terapi sendiri. Ini dimulai
dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat yang ditulis oleh terapis. Surat ini
memberikan gambaran umum tentang (1) masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3)
apa yang telah dicapai dalam hal berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini
sering memancing reaksi emosional yang sangat kuat pada pasien.
14. Terapi Komplementer
Terapi psikoreligius adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan yang
dianut oleh klien dan cenderung untuk menyentuh sisi spiritual manusia. Salah satu
bentuk terapi psikoreligius untuk umat muslim antara lain zikir. Terapi yang
menggunakan media zikir mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati
dan memfokuskan pikiran. Dengan bacaan do’a dan zikir orang akan menyerahkan
segala permasalahan kepada Allah, sehingga beban stress yang dihimpitnya
mengalami penurunan (Fanada, 2012).
Spiritualitas membuat manusia merasa bermakna, dan bertujuan serta mempunyai
panduan. Dengan spiritual yang bagus, orang akan berpikir positif, mempunyai
kendali dan harga diri, serta mempunyai metode pemecahan masalah yang spesifik
yang memperbaiki daya tahan mental. Pendekatan spiritual digunakan untuk membuat
remaja semakin dekat dengan agamanya sehingga para remaja memiliki makna hidup
serta panduan hidup yang jelas, sehingga mereka dapat mencari solusi dari setiap
masalahnya menggunakan koping yang adaptif (Akhmadi, 2012).
15. Implementasi, Evaluasi, Dokumentasi
Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat penting
dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan keperawatan yang
dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini juga merupakan media komunikasi
antara perawat maupun perawat- tenaga kesehatan lainnya sebagai pertimbangan
perencanaan tindakan selanjutnya (Wuryaningsih dkk, 2019).
Daftar Pustaka

Ariani, N. K.(2016). Interpersonal Therapy (IPT) Pada Pasien Paliatif. Tinjauan Pustaka
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa FK UDAYANA/RSUP
Sanglah Bali.
Azizah, L,M., Zainuri, I., Akbar,A. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Indomedika Pustaka

Bastaman, H, D. (2007). Logoterapi : psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih
hidup bermakna. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Fanada, M. (2012). Perawat dalam penerapan therapi psikoreligius untuk menurunkan
tingkat stress pada pasien halusinasi pendengaran di rawat inap bangau rumah sakit
ernaldi bahar Palembang. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan. Di akses dari
http://www. banyuasink ab. go.

FIK UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X,
Depok. 23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan
Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Fitriani. A. (2017). Cognitive Behavior Religious Therapy Untuk Menurunkan Tingkat


Episode Depresi Pada Pasien Depresi Dengan Gejala Psikotik. Fakultas Psikologi,
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang . Vol.12 (1) 2017, 77-87

Frankl. (2003). Logoterapi : terapi psikolog melalui pemaknaan eksistensi. Yogyakarta :


Kreasi Wacana
Gershon, E.S. (2013). Genetic Approaches to Mental Disorders. American Psychiatric Press,
Washington.

Herminsih, A., Barlianto, W., Kapti RE. (2017). Pengaruh terapi family psychoeducation
(FPE) terhadap kecemasan dan beban keluarga dalam merawat anggota keluarga
dengan skizofrenia di kecamatan bola kabupaten Sikka, NTT. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya

Kendler, K.(2005). A gen for.. the nature of gene action in psychiatric disorders. Am J
Psychiatric 162:124
Lewis, Dirksen. 2011. Medical Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical
Problems Eight Edition. United States of America: Elsevier Mosby

Mashall H. (2011). Logoterapi: pemaknaan hidup. Jakarta : EGC

Maslim, R. (2013). Buku saku : diagniosis gangguan jiwa, rujukan dari PPDGJ-III dan DSM
5. Jakarta : DPP PPNI
Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Imunologi. Jakarta: Salemba Medika

Okan, N., Eksi, H. (2017). Spirituality in logotherapy. Spiritual Psichology and Counseling.
DOI 10.12738/spc.2017.2.0028 -2017 August 2(2)  143–164
Peedicayil, P. (2014). A Brief History of Epigenetics in Psychiatry. Department of
Pharmacology and Clinical Pharmacology. Christian Medical College, Vellore,
India. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-417114-5.00003-6

Renzi, C., Provenca., Bassil, KC., Evers, K., Kihlbom, EJ., Kpupil, I., Myhsok, BM, Hanson
MG, Rutten, BPF. From Epigenetic Associations to Biological and Psychosocial in
Mental Health. Progress in Molecular Biology and Translational Science. ISSN
1877-117. https://doi.org/10.1016/bs.pmbts.2018.04.011

Rochmawati, DH., Febriana, B., Nugroho, PA. (2013). Pengaruh Logoterapi terhadap
Konsep Diri dan Kemampuan Memaknai Hidup pada NarapidanaRemaja di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Semarang. Universitas Islam Sultan Agung
Semarang, Kampus Unissula, Semarang, Indonesia

Saimun. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC


Stuart, G.W. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan jiwa stuart. Elseiver
Sutejo. (2019). Keperawatan jiwa : konsep dan praktik asuhan keperawatan kesehatan jiwa :
Gangguan Jisa Psikososial. Yogyakarta : Pustaka Baru.

Townsend, M. C. A. M., K. I. (2018). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in


evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis company.

Trimulyaningsih, N., & Subandi, M. A. (2010). Terapi Kognitif-Perilakuan Religius untuk


Menurunkan Gejala Depresi. Jurnal Intervensi Psikologi, 2(2), 205–227.
TsankovaJ, et al. (2007). Epigenetik regulation in psychiatric disorder, Nat rev Neurosci 8 :
355.

Tsuang, D. (2005). Schizophrenia: Genes and Environment. Biology of Psychiatry 47(3):210-


220

Varcarolis, E.M, Carson, V.B, Shoemaker, N.C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental
Health Nursing: a Clinical Approach. (5th ed). St. Louis: Saunders Elseviers.

Videback, S. L. (2020). Psychiatric-mental health nursing, Philadelphia, Lippincott williams


& Wilkins
Wade, Carol dan Carol Tavris. (2015). Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Yosep, I., Sutini, T. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa dan advance health mental nursing.
Bandung :Refika Aditama

Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai