Anda di halaman 1dari 18

LTM

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA HARGA DIRI RENDAH


KRONIK (HDRK)”

Oleh :
Nadya Karlina Megananda
(196070300111005)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
RINGKASAN

1. Konsep Dasar Harga Diri Rendah Kronik


Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan tidak berdaya
akibat evaluasi negative terhadap diri sendiri dan kemampuan diri dalam waktu
yang lamam dan terus menerus (SDKI, 2016). Harga diri rendah kronik
merupakan evaluasi diri negative yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri dan
kemampuan diri (Herdman & Kamitsuru, 2018). Harga diri rendah kronik
merupakan perasaan yang timbul akibat evaluasi diri atau perasaan tentang diri
atau kemampuan diri negative yang sudah berlangsung lama (Townsend, 2017).
Jadi dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah adalah suatu keadaan dimana
seorang individu merasa dirinya tidak berarti dalam waktu yang lama dan terus
menerus.
Menurut Sutejo (2019) harga diri rendah kronis merupakan gangguan yang terjadi
pada diri klien akibat harga diri rendah situasional yang tidak terselesaikan atau
ketidaktersediaan umpan balik positif dari lingkungan klien sebelumnya serta
respon negative dari lingkungan juga turut berperan terhadap gangguan harga diri
kronis. Klien awalnya dihadapkan pada stressor (krisis) dan berusaha untuk
menyesaikannya tetapi tidak tuntas lalu hal ini menimbulkan pikiran bahwa ia
tidak mampu atau gagal dala menjalankan fungsi dan perannya. Penilaian negative
atas kegagalannya ini merupakan kondisi harga diri rendah situasional yang
kemudian menjadi harga diri rendah kronis akibat tidak adanya dukungan positif
atau penyalahan secara terus menerus pada klien.
Harga diri merupakan salah satu komponen dalam konsep diri (Stuart, 2016).
Konsep diri terdiri dari semua nilai-nilai, keyakinan dan ide-ide yang berkontriksi
terhadap pengetahuan diri dan mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang
lain, termasuk persepsi seseorang tentang karakteristik dan kemampuan pribadi
serta tujuan dan cita-cita seseorang. Untuk memberikan perawatan terbaik,
perawat perlu memahami rentang respon konsep diri.
Berikut penjelasan tentang rentang respon pada respon diri menurut (Sutejo,
2019) :
1) Aktualisasi diri (self-actualization). Pernyataan diri tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman yang nyata, sukses dan diterima.
2) Konsep diri positif (positive self-concept). Kondisi individu yang memiliki
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri.
3) Harga diri rendah (low self-esteem) merupakan transisi atau peralihan
respon konsep diri adaptif dengan konsep maladaptif.
4) Identitas kacau (identity diffusion). Kegagalan individu dalam
mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam
kematangan aspek psikososial kepribadian pada masa dewasa yang
harmonis.
5) Depersonalisasi (depersonalization) merupakan perasaan yang tidak realistis
dan asing terhadap diri sendiri yang memiliki kaitan dengan ansietas,
kepanikan, serta tidak dapat membedakan dirinya sendiri.

2. Predisposisi Harga Diri Rendah Kronik


1) Faktor biologis
Menurut hasil Workshop Keperawatan Jiwa ke-X Univeritas Indonesia
(2016) factor predisposisi gangguan konsep diri harga diri rendah pada
factor biologis yaitu :
a. Genetik
Riwayat adanya trauma yang menyebabkan lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik. Pada anak yang kedua orangtuanya tidak
menderita, kemungkinan terkena penyakit adalah satu persen.
Sementara pada anak yang salah satu orangtuanya menderita
kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orangtuanya
penderita maka resiko terkena adalah 35 persen. Riwayat janin pada
saat prenatal danperinatal meliputi trauma, penurunan oksigen pada
saat melahirkan, prematur, preeklamsi, malnutrisi, stres, ibu perokok,
alkohol, pemakaian obatobatan, infeksi, hipertensi dan agen
teratogenik.
b. Nutrisi
Adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan penurunan BB,
rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa 3.Keadaan kesehatan
secara umum. Riwayat kesehatan umum, misalnya kurang gizi, kurang
tidur, gangguan irama sirkadian, Kelemahan, Infeksi.
c. Kondisi kesehatan secara umum
Gangguan harga diri kronis biasanya terjadi karena adanya kondisi
sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja hormone secara umum. Hal
ini juga bedampak pada keseimbangan neurotransmitter di otak,
seperti menurunnya kadar serotonin yang dapat mengakibatkan klien
mengalami depresi. Pada klien depresi kecenderungan harga diri
rendah kronis semakin besar karena klien lebih dikuasai oleh pikiran-
pikiran negative dan tidak bedaya. Strutur otak yang mungkin
mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah kronik adalah
system limbic (pusat emosi); hipotalamus yang mengatur mood dan
motivasi; thalamus sebagai system pengatur arus informasi sensori
yang berhubungan dengan perasaan; dan amigdala yang berhubungan
dengan emosi.
d. Sensitivitas biologi
Riwayat peggunaan obat, Riwayat terkena infeksi dan trauma, Radiasi
dan riwayat pengobatannya
e. Paparan terhadap racun
Paparan virus influenza pada trimester 3kehamilan, Riwayat
keracunan CO, asbestos.
2) Faktor Psikologis
Menurut Sutejo (2019) factor predisposisi gangguan konsep diri harga diri
rendah dipengaruhi oleh beberapa factor psikologis yaitu :
Harga diri kronis berhubungan dengan pola asuh dan kemampuan individu
dalam menjalankan peran dan fungsi. Dari segi psikologis hal-hal yang
dapat mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis dapat
meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, orang
tua yang tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya, peran yang tidak
sesuai dengan jenis kelamin, serta peran dalam pekerjaan.
Menurut hasil Workshop Keperawatan Jiwa ke-X Univeritas Indonesia
(2016) factor predisposisi gangguan konsep diri harga diri rendah
dipengaruhi oleh beberapa factor psikologis yaitu :
a. Intelegensi
Riwayat kerusakan struktur di lobus frontal dimana lobustersebut
berpengaruh kepada proses kognitif. Suplay oksigen terganggu dan
glukosa, Ketrampilan verbal, Gangguan keterampilan verbal akibat
faktor komunikasi dalam keluarga, seperti : Komunikasi peran ganda,
tidak ada komunikasi, omunikasi dengan emosi berlebihan,
komunikasi
tertutup, Riwayat kerusakan yang mempengaruhi fungsi bicara,
misalnya Stroke, trauma kepala
b. Moral
Riwayat tinggal di lingkungan yang dapat mempengaruhi moral
individu, misalnya lingkungan keluarga yang broken home, konflik,
Lapas.
c. Kepribadian
Mudah kecewa, Kecemasan tinggi, Mudah putus asa, menutup diri
d. Pengalaman masa lalu
Orangtua yang otoriter, selalu membandingkan, Konflik orangtua,
Anak yang dipelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi,
dingin dan tak berperasaan, Ayah yang mengambil jarak dengan
anaknya, Penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup
klien, Penilaian negatif yang terus menerus dari orang tua
e. Konsep diri
Ideal diri tidak realistis, Identitas diri tak jelas, HDR, Krisis peran,
Gambaran diri negatif
f. Motivasi: Riwayat kurangnya penghargaan dan kegagalan
g. Pertahanan psikologi
Ambang toleransi terhadap stress rendah, Riwayat gangguan
perkembangan Self control: Riwayat tidak bisa mengontrol stimulus
yang datang, misalnya suara, rabaan, englihatan, penciuman,
pengecapan, gerakan
3) Faktor social
Menurut Sutejo (2019) factor predisposisi gangguan konsep diri harga diri
rendah dipengaruhi oleh beberapa factor social yaitu :
Factor social yang mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah kronis
adalah status ekonomi, lingkungan dan kultur yang berubah. Factor cultural
dapat dilihat dari tuntutan peran sesuai kebudayaan yang sering menjadi
pemicu meningkatnya kejadian harga diri rendah kronis, seperti pada kasus
wanita sudah harus menikah jika umur mencapai dua puluhan ataupun
perubahan kultur kearah gaya hidup individualism.
Menurut hasil Workshop Keperawatan Jiwa ke-X Univeritas Indonesia
(2016) factor predisposisi gangguan konsep diri harga diri rendah pada
factor social yaitu :
a. Usia : Riwayat tugas perkembangan yang tidak selesai
b. Gender: Riwayat ketidak jelasan identitas,
c. Riwayat kegagalan
d. Pendidikan : Pendidikan yang rendah, Riwayat putus dan gagal
sekolah
e. Pendapatan : Penghasilan rendah
f. Pekerjaan : Pekerjaan stresful, Pekerjaan beresiko tinggi
g. Status sosial Tuna wisma, Kehidupan terisolasi
h. Latar belakang Budaya : Tuntutan sosial budaya seperti paternalistik,
Stigma masyarakat
i. Agama dan keyakinan: Riwayat tidak bisa menjalankan aktivitas,
keagamaan secara rutin. Kesalahan persepsi terhadap ajaran agama
tertentu.
j. Keikutsertaan dalam politik :Riwayat kegagalan dalam politi
k. Pengalaman sosial : Perubahan dalam kehidupan, mis bencana,
perang, kerusuhan, dll, Tekanan dalam pekerjaan, Kesulitan
mendapatkan pekerjaan
l. Peran sosial: Isolasi sosial khususnya untuk usia lanjut, Stigma yang
negatif dari masyarakat Diskriminasi, Stereotype, Praduga negatif
3. Prespitasi Harga Diri Rendah Kronik
Menurut hasil Workshop Keperawatan Jiwa ke-X Univeritas Indonesia (2016)
factor prespitasi gangguan konsep diri harga diri rendah pada factor social yaitu :
1) Nature
a. Biologi : genetik, nutrisi kesehatan secara umum, sensitivitas biologi
paparan racun
b. Psikologis : intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian,
pengalaman masalalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis,
self control
c. Sosial budaya: usia,gender, pendidikan, pekerjaan, statussosial,latar
belakang budaya, agama dan keyakinan, keikutsertaan dalam
kehgiatan politik, pengalaman sosial, peransosial.
d. Origin : internal persepsi individu saat mengalami perubahan konsep
diri.
Eksternal,keluarga dan masyarakat menganggap klien menunjukan
tanda gejala perubahan konsep diri
2) Timing : stresor muncul disaat yang tidak tepat, saling berdekatan dan
sering berulang
3) Number : banyak stresor dan kualitasnya tinggi

4. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronik


Menurut Sutejo (2019) klien dengan konsep harga diri rendah kronis memeliki
batasan karakteristik sebagai berikut :
1) Ucapan-ucapan negative atau kritik negative terhadap diri sendiri
2) Ekspresi rasa malu atau rasa bersalah
3) Mengevaluasi diri sendiri sebagai akibat dari ketidakmampuan menghadapi
kejadian
4) Merasionalisiasi penolakan atau adanya penolakan terhadap umpan balik
positif serta melebih-lebihkan umpan balik negative terhadap diri sendiri
5) Ragu dalam mencoba hal atau situasi baru
Selain batasan karakteristik yang disebut sebelumnya, Townsend (2017)
menyatakan batasan karakteristik lainnya yang meliputi :
1) Kurangnya kebersihan dalam pekerjaan maupun peristiwa lainnya
2) Adaptasi yang bersifat eksesif atau berlebihan, sehingga terlalu tergantung
pada pada pendapat orang lain
3) Kurangnya kontak mata
4) Ketidakmampuan mengambil keputusan
5) Tindakan pencarian kenyamanan atau ketrentraman yang berlebihan

5. Penilaian Terhadap Stressor


1) Koginitif
Menurut Carpenito-Monyet (2009) dalam Sutejo (2019), standar pengkajian
harga diri rendah kroonis pada factor kognitif meliputi :
a. Klien merasa gagal
b. Klien merasa tidak berguna
c. Klien merasa tidak mempunyai kemampuan positif
d. Klien merasa melalukan apapun
2) Afektif
Klien merasa :
a. Malu
b. Sedih
c. Tidak berguna
d. Murung
3) Fisiologis
a. Klien sulit tidur
b. Nafsu makan menurun
c. Klien merasa lemas
d. Klien merasa pusing
e. Klien merasa mual
4) Perilaku
a. Klien menghindari orang lain
b. Menunduk
c. Bergerak lamban
d. Bicara pelan
e. Kurangnya kontak mata
5) Faktor social
a. Klien lebih sering menyendiri
b. Klien membatasi interaksi dengan orang lain
c. Klien cenderung lebih banyak diam

6. Sumber Koping
Menurut Sutejo (2019) sumber koping pada harga diri rendah kronik meliputi :
1) Kepercayaan (Beliefs)
a. Klien mempunyai keinginan untuk sembuh
b. Klien mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan
2) Kemampuan personal (Personal ability)
a. Klien mampu mengenal dan menilai aspek positif yang dimiliki
b. Klien mampu melatih kemampuan yang masih dapat dilakukan di
rumah sakit
c. Klien mampu melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
3) Dukungan social (Social Support)
a. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan harga diri rendah
b. Klien mendapat dukungan dari masyarakat
4) Aset material (Material assets)
a. Social ekonomi
b. Rutin berobat
c. Adanya kader kesehatan jiwa
d. Jarak pelayanan kesehatan mudah dijangkau

7. Mekanisme Koping
Mekanisme jangka pendek pendek harga diri rendah yang biasa dilakukana adalah
:
1) Tindakan untuk lari sementara dari krisis, misalnya pemakaian obat-obatan,
kerja keras, atau menonton televise secara terus menerus
2) Kegiatan mengganti identitas sementara, misalnya ikut kelompok social,
keagamaan atau public
3) Kegiatan yang member dukungan sementara, seperti mengikuti suatu
kompetisi atau kontes
4) Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara, seperti
penyalahgunaan obat-obatan.
Apabila mekanisme koping jangka pendek tidak memberi hasil pada individu,
maka individu akan mengembangkan mekanisme koping jangka panjang. Dalam
mekanisme koping jangka panjang ini, individu menutup identitas; keadaan ketika
individu terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi oleh orang-orang yang
berarti tanpa memperhatikan hasrat atau potensi diri. Selain menutup identitas,
mekanisme jangka panjang yang dilakukan adalah identitas negative; asumsi
identitas yang tidak sesuai dengan perasaan, ansietas, bermusuhan dan merasa
bersalah (Stuart, 2016). Mekanisme pertahanan ego yang dilakukan adalah fantasi,
regresi, disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan amarah berbalik pada diri
sendiri dan orang lain.

8. Diagnosis Harga Diri Rendah Kronik


Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis

Perubahan sensori persepsi : halusinasi

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


kronis

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


situasional

9. Intervensi Keperawatan Kronik


Interpersonal Psikoterapi adalah sebuat psikoterapu yang memiliki batasan waktu
yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan memiliki tujuan untuk
menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal individu (Robertson
et al, 2008). Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien meningkatkan
keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal dalam hubungan dan
untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan yang realistis terhadap
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta klien mampu menghadapi berbagai
stressor interpersonal yang muncul (Cuijpers et al, 2016). Berikut adalah beberapa
rincian dari tujuan tersebut:
1) Membantu klien mengerti mengenai masalah interpersonalnya dan
memperbaiki fungsi sosialnya
2) Menyadarkan mengenai pentingnya interaksi dengan orang lain, terutama
dengan pasangan
3) Menyadari akan pentingnya memiliki hubungan interpersonal
4) Memodifikasi hubungan interpersonal yang sudah terdistorsi
5) Mengubah pandangan yang salah mengenai hubungan interpersonal yang
selama ini diyakini dan dimiliki
6) Menguasai peran sosial agar lebih mampu beradaptasi dalam situasi
interpersonal
7) Membangun kemampuan interpersonal
8) Menyadari kekuatan diri dan kelemahan diri yang pada akhirnya
mengakibatkan dilakukannya perilaku maladaptif selama berhubungan.
Peplau membagi 6 peranan berbeda dari perawat yang timbul pada bermacam
macam fase hubungan perawat-pasien.
1) Peranan Orang Asing (Stranger)
Antara perawat dan pasien disini adalah sebagai orang asing/tidak mengenal
satu sama lain. Perawat harus bersikap ramah dan emosi yang wajar, tidak
mendikte pasien tapi dapat menerima keadaan pasien apa adanya.
2) Peranan sebagai narasumber (Resource Person)
Perawat harus mengemukakan jawaban yang spesifik, khususnya yang
berkenaan dengan informasi kesehatan dan interpretasi (penilaian) pasien
terhadap rencana perawatan dan pengobatan.
3) Peranan sebagai Pendidik (Teaching Role) Peplau memisahkan Taching
Role ini ke dalam dua kategori :
a. Instruksioal : berisi pemberian informasi dan penjelasan dalam ruang
lingkup pendidikan.
b. Exprerensial: Menggunakan pengalaman sebagai dasar dari kemajuan
hasil pengarahan.
4) Peranan sebagai Pemimpin (Leadership Role) Ini melibatkan proses
demokratis. Perawat membantu pasien menghadapi masalahnya dengan cara
bekerjasama dan partisipasi aktif..
5) Peranan sebagai Pengganti (Surrogate Role) Disini pasien berperan seperti
perawat. Sikap dan perilaku perawat tentu menciptakan perasaan tertentu
bagi pasien dan ini akan direspon dalam hubungan perawat-pasien.
6) Peranan sebagai konseling (Conseling Role) Perawat memberi respon bagi
pasien yang memerlukan. Bimbingan untuk menolong pasien mengingat dan
memahami secara utuh apa yang terjadi.
Teknik-teknik konseling yang digunakan dalam IPT adalah eksplorasi baik secara
directive maupun non-directive, klarifikasi, mendorong klien untuk memunculkan
afek (encouragement of affect), analisis pola komunikasi, role play, teknik
pemecahan masalah (problem solving atau decision analysis), dan tentu saja
mengembangkan hubungan terapeutik (Robertson et al, 2008).
Terdapat empat tahap yang berbeda dalam struktur pendekatan IPT, kelima tahap
tersebut antara lain adalah:
1) Initial assessment (tahap orientasi)
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan
dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara
efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana
perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi
pengumpulan data.
2) Initial session (Identifikasi)
Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan
memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat
memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan
untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif
dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa
partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat,
individu mandiri terpisah dari perawat, individu yang tak berdaya dan
sangat tergantung pada perawat.
3) Middle session (Fase eksplorasi)
Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan
sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti
hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu
klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang
terlibat didalamnya.
4) Conclusion/termination sessions (Fase resolusi)
Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini
memungkinkanpenguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan menyalurkanenergi kearah realisasi potensi.
No Fase Keterangan
1 Orientasi Masalah terdefinisi fase
2 Identifikasi Pemilihan bantuan profesional yang tepat
3 Eksploitasi Penggunaan bantuan profesional untuk
pemecahan masalah alternative
4 Resolusi Pemutusan hubungan professional

10. Implementasi Keperawatan Kronik


1) Initial assessment (tahap orientasi)
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan
dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara
efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana
perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi
pengumpulan data.
Pada tahap awal ini, dilakukan semacam pengukuran untuk melihat
kesesuaian karakteristik klien dengan pendekatan IPT. Beberapa
karakteristik klien yang dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan
pelaksanaan IPT antara lain ialah:
a. Secara umum memiliki pola attachment yang cukup secure
b. Dapat mengemukakan narasi yang cukup koheren dan elaboratif
mengenai jaringan interpersonal serta bentuk interaksi interpersonal
yang selama ini dimiliki
c. Adanya fokus distres interpersonal yang spesifik
d. Akses kepada jaringan dukungan sosial
Tahap ini kemudian ditutup dengan disepakatinya kontrak mengenai proses
terapi dengan menggunakan teknik IPT yang akan dilaksanakan. Termasuk
penjelasan mengenai IPT, tujuan IPT, jumlah sesi yang akan dilangsungkan,
dan hasil yang diharapkan.
2) Initial session (Identifikasi)
Sesi-sesi pertama mencakup beberapa jenis tugas, antara lain adalah
mengembangkan hipotesis detail mengenai penyebab klien mengalami
kesulitan dalam hubungan interpersonalnya. Dalam tahap ini, klien juga
diberikan ‘sick role’ terkait kondisinya dan diberikan penekanan bahwa
gejala-gejala yang ia rasakan tidak berbeda halnya dengan penyakit fisik
yang dapat ‘disembuhkan’ bila klien mau bekerja sama dengan terapis.
Dalam tahap ini terapis dan klien kemudian juga mengembangkan
interpersonal inventory (IPI) yang merupakan catatan terstruktur mengenai
konteks interpersonal klien terkait dengan permasalahan yang sedang
dihadapi, di dalamnya tercakup informasi mengenai:
a. Hubungan sosial yang sekarang dimiliki klien
b. Riwayat kemunculan permasalahan klien terkait dengan hubungan
sosial yang dimiliki
c. Informasi lain yang relevan dengan proses penyelesaian masalah,
misalnya pola attachment, pola komunikasi, dan sebagainya
d. Kembali menegaskan hasil yang diharapkan dan merumuskan tujuan
terapi secara realistis.
3) Middle session
Pada tahap ini, berdasarkan perumusan IPT dalam tahap sebelumnya, terapis
kemudian dapat mengambil kesepakatan dengan klien mengenai area
permasalahan yang akan disasar untuk ditangani. Terapis kemudian juga
mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai area permasalahan yang
telah ditentukan tersebut dan mengklarifikasi temuan yang didapatkan
dalam sesi. Terapis semakin menekankan keterkaitan antara konteks
interpersonal dengan permasalahan yang dialami klien untuk kemudian
bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan solusi yang dapat dilakukan.
Beberapa teknik IPT seperti analisis pola komunikasi, pengembangan
kemampuan problem solving, memodifikasi ekspektasi klien mengenai
hubungan sosial yang dimilikinya, dan pemberian edukasi serta melatih
keterampilan sosial baru dengan role-play. Dalam sesi-sesi selanjutnya,
solusi yang telah dipilih kemudian terus menerus dilatih dan dikaji
bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan sosial klien.
Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini
perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh
aspek yang terlibat didalamnya
4) Conclusion/termination sessions
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan kemandirian
klien setelah mengikuti proses terapi. Pada tahap ini diharapkan klien
merasa telah mengembangkan kompetensinya untuk berinteraksi dalam
hubungan sosial. Idealnya, klien telah memperoleh kemampuan komunikasi
yang baru, telah berhasil mengembangkan insight mengenai pola
komunikasi mereka dan kaitannya dengan permasalahan yang timbul, dan
telah mulai membangun jaringan dukungan sosialuntuk membantu mereka
jika nantinya menemui permasalahan baru.
Pada tahap ini, terapis akan melakukan review terhadap perkembangan yang
telah dicapai oleh klien dan memberikan umpan balik positif terhadap
perkembangan tersebut. Perkembangan yang dimaksud adalah penyelesaian
masalah yang telah berhasil dilakukan, juga perkembangan kemampuan
klien dalam membina hubungan sosial secara umum. Perlu ditekankan
bahwa segala bentuk keberhasilan adalah hasil dari usaha klien, bukan
karena terapis, meskipun terapis memang bertindak sebagai coach yang
membantu.
Terapis juga mendiskusikan dengan klien kemungkinan kemunculan
permasalahan serupa dan perencanaan soal bagaimana klien akan
mengatasinya, termasuk juga mengantisipasi kemungkinan munculnya
permasalahan-permasalahan interpersonal baru. Terapis juga mendiskusikan
dengan klien mengenai permasalahan yang belum terselesaikan melalui
terapi dan mempertimbangkan proses maintenance terapi dengan melakukan
pembaharuan kontrak kesepakatan terapi.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
peneliti memilih Interpersonal Psikoterapi sebagai alternatif untuk
mengatasi depresi yang dialami subjek. Dengan memfokuskan interpersonal
subjek, sifat-sifat dan kelemahannya, serta meningkatkan hubungan
tersebut. Intervensi ini dipilih karena apabila seseorang memiliki hubungan
yang kuat, sehat, dan penuh dukungan dari orang lain, kecil kemungkinan
untuk menjadi depresi atau mempertahankan kondisi depresinya, sehingga
individu tersebut akan merasa bahagia. Terapi ini sangat cocok dalam kasus
subjek yang menginjak usia remaja, karena psikoterapi interpersonal ada
yang telah memodifikasi untuk kasus remaja dan hasilnya adalah signifikan
untuk menurunkan depresi pada remaja (Klomek, Zalsman, & Mufson,
2007). Interpersonal Psikoterapi ini efektif untuk mengurangi depresi yang
dialami oleh remaja putri dengan orangtua bercerai. (Noviza & Koentjoro,
2014). Interprofesional Psikoterapi pada individu ini dapat melibatkan
keluarga (Young. 2017). Auerbach dan Ho (2012) menjelakan bahwa
konflik keluarga merupakan pemicu besar penyebab stres interpersonal.
Stres tersebut memberikan kontribusi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu
gejala depresi. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
erat kaitannya antara konflik interpersonal dengan gejala depresi. Sehingga
dengan memperbaiki konflik interpersonal gejala depresi akan menurun.
Komunikasi yang tidak efektif merupakan alasan utama seseorang
mengalami konflik interpersonal (Robertson & Rushton, 2008). Dalam
Psikoterapi Interpersonal, terapis harus secara khusus memperbaiki
komunikasi yang gagal menjadi lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Auerbach, R. P., & Ho. R. (2012). A Cognitive-Interpersonal Model of Adolescent


Depression: The Impact of Family Conflict and Depressogenic Cognitive
Styles. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology. 41, 792-802.

Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard; Markowitz,
John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal Psychotherapy for
Depression: A Meta-Analysis. American Journal of Psychiatry. 168 (6):
581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (11 Eds.). (2018). NANDA International nursing
diagnoses : definition & classification, 2018-2020. Oxfort: Wiley Blackwell

Klomek, B. A., Zalsman, G., & Mufson, L. (2007). Interpersonal Psychotherapy for
Depressed Adolescent. Psychiatric Relat Sci. 44.(1), 40-46.

Noviza. (2014). Efektivitas Psikoterapi Interpersonal Untuk Menurunkan Depresi Pada


Remaja Putri Dengan Orangtua Bercerai. Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 6
No. 1 Juni 2014.

PPNI. (2016). Standar diagnose keperawatan Indonesia : definisi dan idnikator


diagnistik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Robertson, M., Rushton, P., & Wurm, C. (2008). Interpersonal psychotherapy: An


overview. Psychotherapy in Australia.

Stuart G. W, Keliat, dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. St
Louis Missouri: Elsevier Mosby

Sutejo. 2019. Keperawatan jiwa, Yogyakarta : Pustaka Baru Press


Townsend, M. C. A. M., K. I. (2017). Psychiatric mental health nursing: Concepts of
care in evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis company.
Young, JF. (2015). Family-Based Interpersonal Psychotherapy Is A Promising Treatment
For Preadolescent Depression. Evid Based Mental Health November 2015
Vol 18 No 4. Downloaded from http://ebmh.bmj.com/

Anda mungkin juga menyukai