Anda di halaman 1dari 31

“ANALISIS DAN KRITISI TEORI FILOSOFI KEPERAWATAN

JEAN WATSON ”

Disusun Oleh :
1. Mira Wahyu Kusumawati 196070300111001
2. Nadya Karlina Megananda 196070300111005
3. Febriyanti 196070300111006
4. Sigit Yulianto 196070300111007
5. Devanda Faiqh Albyn 196070300111008
6. Alifia Dian Sukmaningtyas 196070300111016
7. I Dewa Gede Candra Dharma 196070300111018
8. Amin Aji Budiman 196070300111020
9. Ratna Wulandari 196070300111024
10. Liana 196070300111026
11. Resti Ikhda Syamsiah 196070300111029
12. Wahyi Sholehah Erdah S 196070300111039
13. Yosef Andrian Beo 196070300111045

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Sains dalam Keperawatan dengan judul “Analisis Dan Kritisi Teori Filosofi
Keperawatan Jean Watson ”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Malang, 18 Agustus 2019

Penulis
BAB 1
LATAR BELAKANG

1.1 Latar belakang


Keperawatan jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi dari praktik
keperawatan, yang menerapkan teori perilaku sebagai ilmunya dan
penggunaan diri secara terapeutik sebagai kiatnya. Ada banyak model
konseptual keperawatan jiwa yang ada yang bisa diterapkan dalam dunia
keperawatan, salah satu Model Konseptual Keperawatan jiwa adalah
Caring. Konsep ini tidaklah mudah seperti yang banyak orang kira. 
Begitu banyak hal yang harus dimengerti dan juga dipahami untuk
bisa melaksanakan tugas dengan baik sebagai seorang perawat. Didalam
keperawatan ada empat konsep utama yaitu manusia, lingkungan, sehat sakit
dan keperawatan itu sendiri. Semua itu merupakan buah pikir  pakar
keperawatan yang menjadi dasar pengembangan keilmuan keperawatan atau
teori model konseptual. Dan dari banyak pakar yang mengungkapkan hal
tersebut, disini kelompok akan menjelaskan teori model konseptual yang
dikemukakan oleh Jean Watson, seorang theorist keperawatan dengan
model konsep teorinya yaitu  Human Caring.
Caring dikenalkan oleh Jean Watson yang merupakan salah
seorang perawat dan filosof metha teori yang bersal dari Amerika. Watson
diangkat sebagai profesor keperawatan dan psikologi, Master di bidang ilmu
caring di Universitas Colorado Fakultas Keperawatan. Berkembangnya
teori Caring diawali dengan adanya kepercayaan, nilai dan asumsi Watson
tentang perawatan. Beliau mencatat bahwa dalam sejarahnya, keperawatan
melibatkan caring dan berkembang dari caring.

1.2 Tujuan
Tujuan dari lembar tugas ini adalah :
1.2.1 Mengetahui konsep teori dari Jean Watson
1.2.2 Mengimplemetasikan teori Caring terhadap kasus yang ada
1.2.3 Problem solving kasus
1.3 Manfaat
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami konsep teori dari Jean Watson
1.3.2 Mahasiswa dapat mengimplemetasikan teori caring terhadap kasus yang ada
1.3.3 Mahasiswa mampu melakukan problem solving kasus terkait konsep caring
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori Jean Watson
Salah satu filosof dalam metha teori adalah Dr. Jean Watson. Watson
adalah perawat Amerika yang dilahirkan di Virginia Barat dan sekarang
tinggal di Boulder, Colorado sejak 1962. Watson juga merupakan
cendekiawan di American Academy of Nursing dan telah menerima
beberapa gelar kehormatan dan doctoral di tingkat nasional dan
internasional. Dari Universitas Colorado, Watson memperoleh gelar BSN di
bidang keperawatan dan psikologi, Master di bidang Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan melanjutkan PhD di bidang psikologi dan konseling
pendidikan. Watson diangkat sebagai Profesor Keperawatan di bidang Ilmu
Caring di Univ. Colorado, Fakultas Keperawatan. Beliau juga pendiri Pusat
Human Caring di Colorado. Beliau telah mempublikasikan sejumlah tulisan
yang menggambarkan cara pandangnya dan teori Human Caring, yang
dipelajari oleh perawat di berbagai Negara (Cara, 2003).
Berkembangnya teori caring adalah diawali dari adanya kepercayaan,
nilai dan asumsi Watson tentang perawatan. Menurut Watson (1985)
merawat, cinta, menyusun jiwa dan merupakan inti dari sifat
perikemanusiaan. Beliau mencatat bahwa dalam sejarahnya, keperawatan
melibatkan caring dan berkembang dari caring. Selain itu, beliau
menyebutkan bahwa caring akan menentukan kontribusi keperawatan dalam
memanusiakan manusia di dunia (De Laune dan Ladner, 2002).
Teori caring menekankan bahwa nilai-nilai, pengetahuan dan praktik
perawatan diintegrasikan dengan proses penyembuhan dari dalam diri dan
pengalaman hidup klien, sehingga memerlukan seni perawatan,
penyembuhan dan kerangka kerja yang disebut faktor carative. Faktor ini
bersifat melengkapi, tapi berbeda dengan faktor kuratif. Kuratif
dikembangkan oleh dokter, sementara carative dikembangkan oleh perawat
(Parker, 2001). Menurut Watson (1997), di awal perkembangannya
keperawatan memiliki ruang lingkup praktik yang sangat sempit, sangat
dipengaruhi oleh paradigma kedokteran dan ilmu biomedik tradisional. Hal
tersebut tidak sesuai karena paradigma keperawatan seharusnya berfokus
pada perawatan-penyembuhan, bukan diagnosis-penatalaksanaan medis
yang berfokus pada penyakit dan patologinya seperti paradigma kedokteran
(Fawcett, 2002).
Evolusi teori caring yang digagas oleh Jean Watson diantaranya
sebagai berikut :

1979 Nursing: the philosophy and science of caring


1985 Nursing: human science and human care
1988 New dimensions of human caring theory
1989 Watson’s philosophy and theory of human caring in nursing
2.2 Definisi dan Konsep Mayor
Caring didefinisikan sebagai suatu orientasi human science dan
kemanusiaan terhadap proses, fenomena, dan pengalaman perawatan
manusia. Caring merupakan proses interpersonal yang terdiri dari intervensi
yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan manusia (Potter dan Perry,
2005). Transpersonal caring mengakui kesatuan dalam hidup dan
hubungan-hubungan yang terdapat dalam lingkaran perawatan yang
konsentrik dari individu, pada orang lain, pada masyarakat, pada dunia,
pada planet Bumi, pada alam semesta (Watson, 2004).
Caring dipandang lebih dari sebuah exisestensial philosophy atau
dasar spiritual. Caring adalah ideal moral dari keperawatan. Manusia akan
eksis bila dimensi spiritualnya meningkat, yang ditunjukkan dengan
penerimaan diri, tingkat kesadaran diri yang tinggi, kekuatan dari dalam
diri, dan intuitif. Caring sebagai esensi dari keperawatan berarti juga
pertanggungjawaban hubungan antara perawat-klien, di mana perawat
membantu partisipasi klien, membantu klien memperoleh pengetahuan, dan
meningkatkan kesehatan (Cara, 2003).
Konsep mayor dalam teori Watson adalah : (a) Faktor Carative, (b) The
Transpersonal Caring Relationship, dan (c) Momen/Waktu Caring. Berikut
penjelasan masing-masing konsep mayor dari teori Watson :
2.2.1 Faktor Carative
Dikembangkan pada tahun 1979, dan direvisi pada tahun 1985 dan
1988, Watson memandang Faktor Carative sebagai panduan inti dari
keperawatan. Beliau menggunakan istilah Carative untuk membedakan
dengan kedokteran yaitu faktor kuratif. Dalam faktor Carative beliau
berusaha untuk menghargai dimensi manusia dalam keperawatan dan
kehidupan serta pengalaman pribadi seseorang yang kita beri perawatan
(Watson, 2004). Faktor Carative terdiri dari 10 elemen :
a. Sistem nilai humanistik dan altruistik (mengutamakan kepentingan
orang lain).
b. Kejujuran dan harapan.
c. Sensitifitas pada pribadi seseorang dan orang lain.
d. Rasa tolong menolong-Saling percaya, hubungan antar sesama
manusia.
e. Mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
f. Proses pemecahan masalah keperawatan yang kreatif.
g. Proses belajar mengajar transpersonal.
h. Lingkungan fisik, social, spiritual dan mental yang supportif,
protektif, dan korektif.
i. Pertolongan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
j. Kekuatan spiritual fenomenologikal eksistensial (Watson, 1979/1985).
Konsep proses caritas klinis diperkenalkan Watson bersamaan dengan
beliau mengembangkan teori ini, yang kini menggantikan faktor carative-
nya. Watson (2001) menjelaskan kata caritas berasal dari bahasa Yunani,
yang berarti untuk memberikan kebahagiaan dan untuk memberikan
perhatian/kasih sayang yang spesial (De Laune dan Ladner, 2002). Berikut
merupakan translasi faktor carative dalam proses caritas klinis.
a. Praktik Perawatan yang secara sadar diberikan dengan keramahan dan
ketenangan hati.
b. Mampu menampilkan, memungkinkan dan mempertahankan sistem
kepercayaan mendalam dan kehidupan subyektif seseorang atau orang
yang diberi perawatan.
c. Mengupayakan praktik spiritual dan transpersonal seseorang,
mengesampingkan ego pribadi, membuka cara pandang orang lain
dengan sensitifitas dan perasaan kasihan.
d. Mengembangkan dan mempertahankan hubungan perawatan dengan
rasa tolong menolong dan saling percaya.
e. Mampu menampilkan, mendukung, perasaan negatif dan positif yang
berhubungan dengan jiwa terdalam diri dan orang yang diberikan
perawatan.
f. Menggunakan proses pemecahan masalah yang kreatif dan sistematis,
digabungkan dengan pengetahuan perawatan yang dimiliki, serta
melibatkan seni praktik perawatan-penyembuhan.
g. Mendukung proses belajar-mengajar transpersonal yang menggunakan
pengalaman untuk mempersatukan pemahaman, dan melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain.
h. Menyediakan lingkungan fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang
supportif, protektif, dan korektif yang kondusif untuk proses
perawatan pada setiap level (lingkungan fisik sebaik lingkungan non
fisik, lingkungan yang penuh energi positif di mana kebersamaan,
kenyamanan, harga diri, dan kedamaian tumbuh dengan maksimal).
i. Membantu pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan memuaskan,
dengan penuh kesadaran, memberikan perawatan dengan body
language yang baik, dengan memperhatikan seluruh aspek perawatan,
merawat baik kesadaran jiwa maupun spiritual.
j. Mengijinkan kekuatan spiritual-fenomenal-eksistensial menjadi
pembuka dimensi misteri-spiritual dan eksistensial kehidupan dan
kematian seseorang, perawatan jiwa bagi diri sendiri dan orang yang
diberikan perawatan.
2.2.2 Transpersonal Caring Relationship
Hubungan perawatan transpersonal mencirikan jenis hubungan
perawatan spesial, yang tergantung pada:
a. Komitmen moral perawat dalam melindungi dan meningkatkan harga
diri manusia yang setinggi-tingginya.
b. Kesadaran perawat dalam berkomunikasi untuk memelihara dan
menghargai jiwa seseorang, sehingga tidak menyamakan status
seseorang tersebut dengan obyek (benda).
c. Kesadaran perawat dalam memberikan perawatan berpotensi
menyembuhkan, sehubungan dengan pengalaman, persepsi, dan
hubungan yang intensif berperan dalam penyembuhan (Cara, 2003).
Hubungan perawatan transpersonal menggambarkan bagaimana
perawat berperan, dalam melakukan pengkajian yang objektif juga tetap
memperhatikan subyektif orang yang diberi perawatan dan pemahamannya
tentang kesehatan serta pelayanan kesehatan yang diinginkan. Kesadaran
perawat dalam memberikan perawatan sangat penting, sehingga bisa
memahami perspektif orang yang diberikan perawatan. Pendekatan ini
menekankan pada keunikan pribadi perawat dan yang diberi perawatan, dan
hubungan yang saling menguntungkan antara 2 individu, yang merupakan
dasar dari sebuah hubungan. Perawat dan yang diberi perawatan, keduanya
sama-sama mencari arti dan kebersamaan, dan mungkin juga pemahaman
spiritual tentang sakit (Watson, 2004). Kata transpersonal berarti
meninggalkan ego pribadi, sehingga membuat seseorang mampu mencapai
pemahaman spiritual mendalam yang membuatnya mampu meningkatkan
kenyamanan dan kesembuhan pasien. Tujuan utama dari hubungan
perawatan transpersonal berhubungan dengan melindungi, meningkatkan,
dan memunculkan harga diri, kemanusiaan, kebersamaan dan inner
harmony seseorang.
2.2.3 Momen/Waktu Caring
Waktu perawatan adalah saat di mana (terbatas pada waktu dan
tempat) perawat dan orang yang diberi perawatan bersama-sama dalam
suatu kondisi pemberian perawatan. Keduanya, dengan pandangan uniknya,
dimungkinkan untuk saling tukar menukar perasaan dan pemahaman.
Menurut Watson, pandangan unik seseorang didasarkan pada
pengalamannya yang melibatkan emosi, sensasi tubuh, pemikiran,
kepercayaan, tujuan, pengharapan, kondisi lingkungan dan persepsi
seseorang terhadap sesuatu, semuanya berdasarkan pengalaman masa lalu,
saat ini dan pandangan terhadap masa depan (Cara, 2003).
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu untuk menyadari
pemahaman dan pengertiannya tentang bagaimana harus bersikap selama
memberikan perawatan. Dalam kata lain, baik perawat dan yang diberi
perawatan bisa dipengaruhi oleh waktu perawatan melalui pilihan-pilihan
dan perilaku yang diputuskan ketika hubungan berlangsung, sehingga
mempengaruhi dan menjadi bagian dari cerita kehidupan mereka. Waktu
perawatan menjadi transpersonal jika melibatkan kedua belah pihak,
ditambah keterbukaan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan
suatu individu (Fawcett, 2002).
2.3 Asumsi Mayor
2.3.1 Manusia
Manusia didefinisikan sebagai makhluk hidup yang terdiri dari tiga
hal yaitu pikiran-tubuh-jiwa, yang dipengaruhi oleh konsep diri, yang unik
dan bebas menentukan pilihan. Definisi ini menekankan pada interelasi
antara manusia dan lingkungannya. Lingkungan yang mendukung
kesembuhan bisa meningkatkan kesadaran dan kemauan manusia, serta
keterpaduan pikiran-tubuh-jiwa. Manusia yang memerlukan perawatan
adalah individu atau kelompok yang mengalami ketidakharmonisan pikiran,
jiwa dan raga, yang membutuhkan bantuan terhadap pengambilan keputusan
tentang kondisi sehat-sakitnya untuk meningkatkan harmonisasi, self-
control, pilihan, dan self determination. Dalam pandangan teori caring
manusia harus dihargai untuk dirawat, dihormati, dipelihara, dipahami dan
dibantu sebagai diri yang terintegrasi dan berfungsi penuh (Cara , 2003).
2.3.2 Kesehatan
Teori caring mendefinisikan kesehatan sebagai suatu pengalaman
subjektif, bukan kondisi tidak adanya penyakit. Kesehatan juga berarti
keseimbangan, harmoni, antara pikiran-tubuh-jiwa, berhubungan dengan
derajat keserasian antara persepsi diri dan pengalaman. Teori ini meyakini
bahwa jika seseorang telah berhasil mengharmonisasikan pikiran-tubuh-jiwa
akan memiliki derajat kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tiga
unsur yang perlu ditambahkan dalam definisi kesehatan WHO menurut teori
ini adalah fungsi fisik yang optimal, kemampuan beradaptasi yang baik, dan
tidak adanya suatu penyakit (Cara, 2003).
2.3.3 Keperawatan
Keperawatan dalam teori caring dimaksudkan sebagai penerapan art
dan human science melalui transaksi transpersonal caring untuk membantu
manusia mencapai keharmonisan pikiran, jiwa dan raga yang menimbulkan
self knowledge, self-control, self-care, dan self healing (Watson, 2004;
Muhsin dan Ichsan, 2008). Keperawatan berkaitan dengan mempromosikan
kesehatan, mencegah penyakit, merawat dan memulihkan kesehatan dari
kondisi sakit.
2.3.4 Lingkungan
Lingkungan adalah tempat/kondisi di mana interaksi transpersonal
caring terjadi antara klien dan perawat. Lingkungan yang mendukung
kesembuhan bisa meningkatkan kesadaran dan kemauan manusia, serta
keterpaduan pikiran-tubuh-jiwa. Oleh karena itu, teori caring menyarankan
pentingnya ruang perawatan yang menenangkan, menyembuhkan dan
mendukung peningkatan kondisi spiritual klien (Cara, 2003).
2.4 Penerimaan dalam Keperawatan
2.4.1 Praktik
Keperawatan adalah gabungan antara ilmu dan seni. Keduanya harus
muncul saat perawat memberikan perawatan, baik pada klien maupun
keluarganya. Menurut Watson, 1999, perawat harus memiliki ketrampilan
merawat dan menyembuhkan klien dengan cara-cara kreatif sebagai bagian
dari seni perawatan. Misalnya bagaimana cara meningkatkan kenyamanan
klien, membantu klien mengurangi nyeri, stress dan penderitaan, untuk
meningkatkan kesembuhan dan kesejahteraan klien bukan dengan obat-
obatan, tetapi dengan membantu klien menemukan apa arti dari sakit dan
membantunya mencapai kembali harmoni jiwa-raga-pikirannya (Cara,
2003). Caring adalah inti dari keperawatan. Caring lebih menyehatkan
daripada curing. Sepuluh faktor carative dalam teori caring dapat dijadikan
sebagai dasar perilaku caring yang dimunculkan perawat dalam berinteraksi
dengan klien dan keluarga (Muhlisin dan Ichsan, 2008). Perawatan klien
sesuai dengan teori caring, memerlukan waktu interaksi yang cukup lama
antara perawat-klien baik secara intensitas dan frekuensinya. Akan tetapi,
keintensifan ini dapat meningkatkan self healing klien dan mampu
memperpendek lama perawatan.

Muhlisin dan Ichsan (2008), menginventarisir perilaku caring perawat


dalam dimensi caring (Caring Dimensions Inventory = CDI). Daftar
dimensi caring tersebut antara lain:

a. Membantu klien dalam ADL.


b. Membuat catatan keperawatan mengenai klien.
c. Merasa bersalah/menyesal kepada klien
d. Memberikan pengetahuan kepada klien sebagai individu
e. Menjelaskan prosedur klinik
f. Berpakaian rapi ketika bekerja dengan klien
g. Duduk dengan klien
h. Mengidentifikasi gaya hidup klien
i. Melaporkan kondisi klien kepada perawat senior
j. Bersama klien selama prosedur klinik
2.4.2 Pendidikan
Menurut pandangan teori caring, seorang perawat professional harus
mampu memberikan perawatan yang menyembuhkan dan meningkatkan
keterpaduan jiwa-raga-pemikiran klien yang diberikan perawatan, dengan
memperhatikan dimensi spiritual, metafisikal dan eksistensial manusia. Hal
ini tentunya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan ilmiah dan
teknologi. Menurut Fawcett (2002), untuk mendapatkan kemampuan
tersebut pendidikan akademik saja tidak cukup, minimal perawat harus
berlatar belakang pendidikan profesi dan spesialis, atau doktoral. Setiap
pendidikan profesi keperawatan harus diawali dengan pendidikan akademik
yang mendalami ilmu perawatan dan kesehatan, seperti pendidikan pra-
perawat. Di masa depan, diharapkan pendidikan profesi adalah entry level
profesi keperawatan dan bergerak dengan cepat ke tingkat master dan
doktoral, sehingga bisa sejajar dengan profesi kesehatan yang lain.
2.4.3 Penelitian
Sampai saat ini fokus pelayanan keperawatan masih diperdebatkan,
masih rancu antara asuhan keperawatan dengan asuhan medis dan asuhan
keperawatan dengan pengobatan tradisional. Perkembangan ilmu
kedokteran modern juga turut mempengaruhi fokus pelayanan keperawatan.
Hal ini juga disebabkan karena keperawatan bersifat multiparadigmatik.
Teori caring dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan riset
pengembangan ilmu dan praktik keperawatan karena caring merupakan inti
dari nilai-nilai, pengetahuan dan pondasi etik-moral untuk pengembangan
ilmu dan praktik yang berhubungan dengan proses penyembuhan dan
keterpaduan jiwa-raga-pikiran (Fawcett, 2002).

Watson mengemukakan bahwa caring merupakan inti dari


keperawatan. Dalam hal ini caring merupakan perwujudan dari semua faktor
yang digunakan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam
melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien
dengan menerima kelebihan maupun kekurangan klien. Watson juga
mengemukakan bahwa respon setiap individu terhadap suatu masalah
kesehatan unik, artinya dalam praktik keperawatan, seorang perawat harus
mampu memahami setiap respon yang berbeda dari klien terhadap
penderitaan yang dialaminya dan memberikan pelayanan kesehatan yang
tepat dalam setiap respon yang berbeda baik yang sedang maupun akan
terjadi. Selain itu, caring hanya dapat ditunjukkan dalam hubungan
interpersonal yaitu hubungan yang terjadi antara perawat dengan klien,
dimana perawat menunjukkan caring melalui perhatian, intervensi untuk
mempertahankan kesehatan klien dan energi positif yang diberikan pada
klien. Watson juga berpendapat bahwa caring meliputi komitmen untuk
memberikan pelayanan keperawatan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan. Dalam praktiknya, perawat di tantang untuk tidak ragu dalam
menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam praktik keperawatan
(Alligood, M R. 2014).
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Teori Jean Watson dalam Keperawatan Jiwa


Perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa perlu memperoleh
keterampilan komunikasi terapeutik dan empati, dan memiliki tingkat
caring yang lebih tinggi (Sitzman & Watson, 2013). Penelitian Alhadidi,
Abdalrahim dan Hussami (2016) yang mengumpulkan data dari 205 perawat
yang direkrut dari tiga rumah sakit jiwa di Yordania mengungkapkan bahwa
perawat sampel memiliki tingkat kepedulian dan empati yang tinggi. Hal ini
pun sesuai dengan penelitian Barron, Deery dan Sloan (2017) yang
menyatakan bahwa seorang perawat jiwa perlu memiliki perasaan kasih
sayang dan caring dalam menerapkan psikoterapi. Perawat dalam
melakukan psikoterapi membutuhkan caring sebagai dasar pondasi dalam
melakukan interaksi dengan pasien (Wheeler, 2013). Perawat psikoterapi
diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang penuh rasa cinta,
menunjukkan sikap tanpa menghakimi, pengertian, mampu mendengarkan
dengan baik, jujur dan memiliki sikap empati terhadap pasien (Wheeler,
2013). Hal ini sesuai dengan konsep teori caring Jean Watsons dimana
dalam teorinya terdapat 10 proses caritas klinis yang berfungsi memandu
perawat dalam melaksanakan teorinya yaitu (Sitzman & Watson, 2013)

3.1.1 Praktik Perawatan yang secara sadar diberikan dengan keramahan dan
ketenangan hati.
3.1.2 Mampu menampilkan, memungkinkan dan mempertahankan sistem
kepercayaan mendalam dan kehidupan subyektif seseorang atau orang
yang diberi perawatan.
3.1.3 Mengupayakan praktik spiritual dan transpersonal seseorang,
mengesampingkan ego pribadi, membuka cara pandang orang lain dengan
sensitifitas dan perasaan kasihan.
3.1.4 Mengembangkan dan mempertahankan hubungan perawatan dengan rasa
tolong menolong dan saling percaya.
3.1.5 Mampu menampilkan, mendukung, perasaan negatif dan positif yang
berhubungan dengan jiwa terdalam diri dan orang yang diberikan
perawatan.
3.1.6 Menggunakan proses pemecahan masalah yang kreatif dan sistematis,
digabungkan dengan pengetahuan perawatan yang dimiliki, serta
melibatkan seni praktik perawatan-penyembuhan.
3.1.7 Mendukung proses belajar-mengajar transpersonal yang menggunakan
pengalaman untuk mempersatukan pemahaman, dan melihat sesuatu dari
sudut pandang orang lain.
3.1.8 Menyediakan lingkungan fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang supportif,
protektif, dan korektif yang kondusif untuk proses perawatan pada setiap
level (lingkungan fisik sebaik lingkungan non fisik, lingkungan yang
penuh energi positif di mana kebersamaan, kenyamanan, harga diri, dan
kedamaian tumbuh dengan maksimal).
3.1.9 Membantu pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan memuaskan,
dengan penuh kesadaran, memberikan perawatan dengan body language
yang baik, dengan memperhatikan seluruh aspek perawatan, merawat baik
kesadaran jiwa maupun spiritual.
3.1.10 Mengijinkan kekuatan spiritual-fenomenal-eksistensial menjadi pembuka
dimensi misteri-spiritual dan eksistensial kehidupan dan kematian
seseorang, perawatan jiwa bagi diri sendiri dan orang yang diberikan
perawatan.
Pelaksanaan praktik keperawatan jiwa yang tepat pada pasien dengan
gangguan mental, merupakan hal yang sangat penting untuk pemulihan
(Marques, Siqueira & Antonia, 2016). Cleary, Horsfall dan Escott (2015)
menyatakan bahwa konsep kepedulian, kasih sayang, dan empati adalah
pusat dari setiap layanan kesehatan mental berkualitas tinggi. Konsep
tersebut sejalan dengan konsep 10 proses caritas klinis milik Jean Watson
dimana asuhan keperawatan perlu diberikan dengan keramahan dan
ketenangan hati. Kebaikan hati yang dimiliki perawat ini perlu diterapkan
dalam asuhan keperawatan jiwa untuk meningkatkan kesejahteraan pasien
(Cleary & Horsfall, 2016). Hal ini didukung oleh penelitian Yang,
Hargreaves dan Bostrom (2014) pada 1098 perawat yang menyatakan
bahwa perawat yang menunjukkan sikap empati yang tinggi dapat
menurunkan penggunaan restrain dan pengurungan pada pasien gangguan
jiwa. Selain itu, penerapan teori caring dapat membantu menurunkan
tingkat depresi, ansietas pada pada pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian
Tektas dan Cam (2017) yang menyatakan bahwa aplikasi teori human
caring milik Jean Watson mampu menurunkan nilai depresi, ansietas dan
perasaan putus asa yang dirasakan pasien yang mengalami keguguran.

Dalam literature lain juga dijelaskan bahwa konsep caring Jean


Watson ini dapat digunakan untuk mengurangi stress pada pasien yang
mengalami infertilitas. Kepedulian perawat terhadap pasien dapat meprcepat
proses penyembuhan dengan menamamkan rasa saling percaya, kasih
sayang, peduli dan memberikan harapan yang positif saat melakukan asuhan
keperawatan kepada pasien (Ozan, Okumus & Lash, 2015). Selain stress
konsep caring juga dapat digunakan untuk mengurangi kondisi kecemasan
pasien (Cam & Yalciner, 2017). Peran perawat jiwa dalam hal ini yaitu
melakukan manajemen stress dan mengarahkan koping yang positif.
Perawat dapat bertindak sebagai nurse educator dengan memberikan
informasi kepada wanita infertil dan memberikan beberapa latihan yang
dapat menurunkan stress yaitu menggunakan metode kognitif terapi dan
latihan relaksasi (Ozan & Okumus, 2017). Menurunkan stress dapat
menggunakan program terapi kelompok, pelatihan psiko-sosial, penyesuaian
diri, terapi perilaku dan kognitif (Cam & Yalciner, 2017).

Konsep Jean Watson ini juga diterapkan oleh perawat psikiatrik dalam
fase pemulihan kondisi pasien. Perawat memberikan perawatan
Biopsikososio cutural yang komperhensif sehingga pasien dapat
memperoleh perawatan dari aspek emosional, sosial, kognitif, mental dan
fisik. Perawat psikiatrik perlu memahami apa kesulitan yang dihadapi
individu dan pencapaian seperti apa yang diinginkan sehingga tercapai
hubungan teraupetik dan mempercepat pemulihan. Perawat juga dapat
memberikan edukasi kepada pasien dan keluaraga untuk mengembalikan
kepatuhan pasien terhadap regimen terapi terutama bagi pasien yang
mengalami putus obat. (Savasan & Cam, 2017). Dukungan sosial dapat
meningkatkan kualitas dan self efikasi pada pasien dengan gangguan mental
(Cam & Yalciner, 2017).

3.2 Kelebihan dan Kekurangan Teori Jean Watson


3.2.1 Kelebihan Teori Jean Watson
a. Teori caring dapat digunakan untuk memandu dan meningkatkan
praktik karena dapat membekali penyedia layanan kesehatan dengan
aspek praktik yang memuaskan untuk mencapai perawatan yang
holistic (Gonzalo, 2016).
b. Mudah dipahami sebagai dasar moral dan filosofis dalam keperawatan
c. Lingkup kerangka mencakup aspek yang luas dari fenomena
kesehatan penyakit, dimana teori ini membahas seperti aspek promosi
kesehatan, mencegah penyakit dan mengalami kematian secara damai
(Gonzalo, 2016).
d. Memberikan panduan dalam proses interaksi antara pasien dan
perawat (Gonzalo, 2016).
e. Mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengutamakan nilai
kemanusiaan dan secara suka rela untuk menolong orang lain tanpa
berharap imbalan dengan tidak memperhatikan kepentingan diri
sendiri (Alligood and Jesse, 2017).
f. Menumbuhkan keyakinan dan harapan dengan dasar nilai humanistic
dan altruistic sehingga dapat mewujudkan proses asuhan keperawatan
yang holistic dan kesehatan yang positif sehingga kesejahteraan pasien
dapat meningkat serta membantu menerapkan perilaku sehat
(Alligood and Jesse, 2017).
g. Memberikan rasa sensitifitas atau kepekaan pada diri sendiri dan
orang lain. Dimana perawat merasa lebih peka, tulus dan ikhlas dalam
merawat pasien (Alligood and Jesse, 2017).
h. Meningkatkan rasa tolong menolong dan saling percaya, antar sesama
manusia. Dimana dalam hal ini hubungan antara pasien dan perawat
(Alligood and Jesse, 2017).
i. Mengekspresikan perasaan positif dan negative (Alligood and Jesse,
2017).
j. Proses pemecahan masalah keperawatan yang kreatif (Alligood and
Jesse, 2017).
k. Proses belajar mengajar interpersonal, dimana perawat sebagai
fasilitator yang memfasilitasi pasien dalam memenuhi kebutuhannya
sendiri (Alligood and Jesse, 2017).
l. Lingkungan fisik, sosial, spiritual dan mental yang supportif, protektif,
dan korektif (Alligood and Jesse, 2017).
m. Penggabungan antara ilmu pengetahuan dengan kemanusiaan
sehingga mempunyai latar belakang liberal dan seni yang tinggi
sehingga dapat memahami budaya lain yang dapat membantu dalam
pelaksanaan teori caring (Alligood and Jesse, 2017).
3.2.2 Kekurangan Teori Jean Watson
a. Asuhan keperawatan yang diterapkan hanya bersifat interpersonal
antara perawat dan pasien, dimana tidak melibatkan keluarga dalam
proses asuhan keperawatan (Alligood and Jesse, 2017).
b. Teori ini tidak memberikan gambaran eksplisit tentang apa yang harus
dilakukan untuk mencapai hubungan kepedulian dalam proses
penyembuhan (Gonzalo, 2016).
c. Dalam praktik pelaksanaannya teori caritas membutuhkan waktu yang
cukup lama penerapannya (Gonzalo, 2016).

3.3 Apilakasi Teori Pada Kasus


3.3.1 Aplikasi Theory of Human Caring Pada Kasus Pasien Harga Diri Rendah
Studi kasus tentang penerapan teori human caring dipaparkan
berdasarkan laporan studi kasus yang dilakukan oleh Hasniah (2014)
tentang aplikasi theory of human caring pada pasien harga diri rendah
(HDR) di Ruang Antareja RS H. Marzoeki Mahdi Bogor. Pasien yang
dirawat berjumlah 20 orang dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah.
Karakteristik pasien yang dirawat meliputi usia, jenis kelamin, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, onset dan frekuensi rawat. Usia
responden paling banyak berada pada kelompok usia 21-40 tahun sejumlah
13 orang (65%). Semua pasien berjenis kelamin laki-laki (100%) karena di
ruang tersebut adalah ruang rawat khusus laki-laki. Status perkawinan
pasien paling banyak adalah belum menikah sebanyak 12 orang (60%).
Sebagian besar pasien sudah bekerja sebanyak 13 orang (65%), dengan
riwayat pendidikan terbanyak adalah SMP sejumlah 9 orang (45%). Lama
sakit yang dialami oleh pasien > 3 tahun sejumlah 17 orang (85%).
Frekuensi dirawat di rumah sakit sejumlah < 3 kali sebanyak 13 orang
(65%).
Faktor predisposisi pada pasien terdiri dari faktor biologis, psikologis,
dan sosial kultural. Sebagian besar pasien memiliki faktor predisposisi
berupa faktor biologis yaitu memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya
sebanyak 16 orang (80%). Faktor biologis lainnya karena pernah mengalami
trauma/penyakit fisik, penyalahgunaan NAPZA, dan herediter. Sebagian
besar pasien juga memiliki faktor predisposisi psikologis yaitu memiliki
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan sebanyak 20 orang
(100%). Faktor psikologis yang lainnya yaitu memiliki tipe kepribadian
introvert, memiliki gangguan konsep diri, dan pernah mengalami
kegagalan/kehilangan. Sebagian besar pasien juga memiliki faktor
predisposisi berupa faktor sosial kultural yaitu status sosial ekonomi rendah
dan masalah pekerjaan sebanyak 15 orang (75%). Faktor sosial kultural
lainnya yaitu masalah pernikahan dan masalah sekolah.
Faktor presipitasi penyebab harga diri rendah pada pasien terdiri dari
faktor biologis, psikologis, sosial kultural. Faktor presipitasi biologis adalah
putus obat yaitu sebanyak 16 orang (80%), sisanya adalah pasien yang baru
berobat pertama kali. Penyebab pasien putus obat karena pasien merasa
bosan minum obat dalam waktu yang lama, merasa sudah sembuh sehingga
mengehentikan obat dan tidak mau kontrol. Pada faktor psikologis, sebagian
besar pasien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi yaitu sejumlah 18
orang (90%). Keinginan yang tidak terpenuhi tersebut berupa keinginan
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, melanjutkan
pendidikan, menikah, mendapatkan penghargaan dari orang lain, suami atau
istri dan mendapatkan perhatian orang tua. Pada faktor sosial budaya adalah
masalah ekonomi sebanyak 15 pasien (75%) karena sebagian besar
pekerjaan pasien adalah buruh kasar, buruh bangunan, buruh pabrik, dan
pedagang kecil sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Rata-rata lama waktu stressor pasien sebagian besar adalah > 2 bulan yaitu
sebanyak 13 pasien (65%).
Tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh pasien HDR tampak pada
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon kognitif
menunjukkan bahwa pasien merasa tidak berguna dan menjadi beban bagi
orang lain (100%), sulit konsentrasi (75%), tidak mempunyaki kemampuan
(55%), menunjukkan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain (50%).
Respon afektif menunjukkan bahwa pasien merasa sedih (100%), kecewa
(85%), bingung (75%) dan malu (60%). Respon fisiologis menunjukkan
bahwa pasien mengalami gangguan pola tidur (60%), gangguan pola makan
(50%) dan keluhan fisik (25%). Respon perilaku menunjukkan bahwa
pasien sering mengkritik negatif pada diri sendiri (100%), motivasi menurun
(75%) dan perilaku merusak diri (10%). Respon sosial menunjukkan bahwa
pasien mengalami gangguan hubungan sosial dengan orang lain (81%),
aktivitas terbatas (75%) dan menghindari interaksi (50%). Hasil penilaian
terhadap kemampuan pasien didapatkan bahwa pasien tidak mampu
mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki (60%), tidak
mampu memilih kegiatan yang dapat dilakukan (65%), tidak mampu
melakukan kegiatan yang dipilih (70%), tidak mampu mengidentifikasi
pikiran otomatis negatif (100%), tidak mampu menggunakan tanggapan
rasional terhadap pikiran otomatis negatif (100%), tidak mampu
mengidentifikasi manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negatif (100%), tidak mampu memanfaatkan support system (100%).
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien HDR dalam kasus tersebut
diberikan oleh ners generalis dan ners spesialis. Tindakan keperawatan oleh
ners generalis diberikan dalam bentuk strategi pelaksanaan pasien HDR.
Tindakan keperawatan oleh ners spesialis bertujuan untuk mengoptimalkan
tujuan perawatan. Tindakan keperawatan oleh ners spesialis diberikan
dalam bentuk psikoterapi berupa terapi kognitif dan terapi perilaku kognitif
(CBT) dengan pendekatan teori human caring. Konsep utama dalam teori
human caring adalah 10 carative factor, transpersonal relationship, caring
moment or caring occasion dan caring-healing modalities. Pemilihan pasien
yang diberikan terapi kognitif dan CBT berdasarkan berat ringannya tanda
dan gejala yang muncul pada pasien. Pasien yang menunjukkan perilaku
maladaptif berupa sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan diri sendiri,
perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri, menjauhi orang lain,
menolak kenyataan, merusak diri, muncul gejala fisik psikosomatik,
kekerasan, penggunaan zat terlarang, minum alkohol, makan berlebihan dan
tidak mampu mengambil keputusan terapi adalah indikasi pasien yang
diberikan terapi CBT. Pasien yang diberikan tambahan terapi kognitif
sebanyak 10 orang (50%), sedangkan pasien yang diberikan tambahan terapi
CBT sebanyak 10 orang (50%).
Pemberian terapi kognitif terdiri dari 4 sesi terapi. Terapi kognitif sesi
1 berupa identifikasi pikiran otomatif negatif, sesi 2 berupa penggunaan
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, sesi 3 berupa manfaat
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, dan sesi 4 berupa
support system. Pelaksanaan terapi pada setiap pasien dilakukan dalam
waktu rata-rata 6 kali pertemuan karena terkadang diperlukan pertemuan
ulang pada beberapa pasien. Pemberian CBT terdiri dari 5 sesi terapi. Fokus
terapi CBT sesi 1 tentang identifikasi pikiran otomatis negatif, serta akibat
negatif terhadap perilaku, sesi 2 tentang penggunaan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis negatif, sesi 3 tentang modifikasi perilaku negatif
menjadi positif dengan token, sesi 4 tentang evaluasi perkembangan pikiran
dan perilaku positif, serta sesi 5 tentang menjelaskan pentingnya
psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya untuk mencegah kekambuhan,
mempertahankan dan membudayakan pikiran dan perilaku positif.
Pelaksanaan terapi pada setiap pasien diberikan dalam waktu rata-rata
sekitar 5-6 kali pertemuan. Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan
menggunakan indikator perubahan tanda dan gejala.
Hasil evaluasi pada pasien yang mendapatkan kombinasi terapi
generalis dan terapi kognitif menunjukkan peningkatan kemampuan antara
sebelum dan sesudah terapi. Nilai rerata kemampuan pasien sebelum
diberikan terapi adalah 0,9, sesudah diberikan terapi meningkat menjadi 6,6.
Begitu pula dengan tanda dan gejala yang ditunjukkan juga mengalami
perubahan. Penurunan tanda dan gejala yang signifikan yaitu pada respon
kognitif (pre= 2,9; post=0,7), afektif (pre=3,3; post=1,1), fisiologis
(pre=1,8; post=0,9), perilaku (pre=2; post=0,5), dan sosial (pre=1,2;
post=0,5).

Hasil evaluasi pada pasien yang mendapatkan kombinasi terapi


generalis dan CBT juga menunjukkan peningkatan kemampuan antara
sebelum dan sesudah terapi. Nilai rerata kemampuan pasien meningkat dari
0,7 menjadi 4,6. Begitu pula dengan tanda dan gejala yang dialami pasien
juga mengalami penurunan. Perubahan tanda dan gejala tampak pada respon
kognitif (pre=3; post=0,5), afektif (pre=2,8; post=1,1), fisiologis (pre=1,5;
post=0,5), perilaku (pre=2,25;post=0,5) dan sosial (pre=0,8; post=0,3).

3.3.2 Pembahasan Kasus

Aplikasi teori human caring pada kasus pasien HDR tampak pada
pelaksanaan proses keperawatan. Tahap pengkajian pada pasien HDR
dilakukan melalui interaksi perawat-pasien melalui komunikasi terapeutik
untuk mengumpulkan data dan informasi tentang status kesehatan pasien.
Pada tahap ini, terjadi proses interaksi perawat pasien. Dalam 10 carrative
factor, maka tahap pengkajian merupakan tahap ke-4 yaitu membangun
hubungan kemanusiaan yang paling percaya dan saling bantu. Tanpa
hubungan saling percaya, perawat tidak akan dapat melakukan tindakan
keperawatan karena pasien HDR mengalami krisis kepercayaan kepada
orang lain. Wujud aplikasi caring perlu adanya hubungan saling percaya dan
saling membantu (Watson 1979 dalam Parker & Smith, 2010).

Perilaku caring perawat tampak pada komunikasi yang dilakukan


perawat sesuai dengan tingkat usia pasien. Dalam melakukan proses
pengkajian, perawat perlu mempertimbangkan usia pasien. Hal ini akan
berdampak pada kenyamanan pasien dalam membina hubungan terapeutik
dengan perawat, muncul rasa dihargai, dan diterima. Perilaku caring lainnya
yang tampak adalah sikap mendengar aktif perawat ketika pasien
mengutarakan keluhannya. Perawat mendengarkan dengan penuh empati
sebagai sikap peduli terhadap masalah yang dialami pasien. Hubungan
terapeutik perawat pasien tidak akan terjalin jika perawat tidak mampu
menanamkan rasa percaya dan memberikan perawatan dengan penuh
kenyamanan (Stuart, 2013).

Perilaku caring perawat juga ditunjukkan pada setiap pasien tanpa


memandang status sosial ekonomi. Kondisi status sosial ekonomi
merupakan hal yang sensitif bagi pasien untuk dibicarakan karena sebagian
faktor pencetus HDR diakibatkan oleh kondisi sosial ekonomi (pekerjaan,
penghasilan). Perawat yang berperilaku caring dapat menghilangkan
hambatan ini dengan cara meningkatkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan
orang lain serta bersikap kredibel (Alligood, 2014).

Selama proses perawatan berlangsung, perawat perlu menyiapkan diri


dalam menghadapi berbagai ekspresi perasaan yang dialami pasien baik
positif maupun negatif. Pasien akan menunjukkan perilaku, perasaan atau
pengalaman apapun saat mereka dirawat. Untuk itu, perawat diharapkan
mampu menghadirkan diri secara terapeutik untuk mendengar, menampung
serta memfasilitasi pasien keluar dari masalahnya. Perilaku caring tercermin
dari kesiapan perawat mendampingi pasien dan hadir sepenuhnya bagi
pasien. Hal ini merupakan wujud dari aspek ke-5 dari 10 carrative factor,
yaitu promotion and acceptance of the expression of positive and negative
feelings (Watson 1979 dalam Parker & Smith, 2010).

Perawat memfasilitasi proses belajar mengajar yang bertujuan untuk


memandirikan pasien dalam memenuhi kebutuhannya dan memberikan
kesempatan untuk perkembangan pribadinya. Hal ini merupakan wujud dari
perilaku caring perawat pada aspek ke-7 dalam 10 carrative factor yaitu
promotion of transpersonal teaching-learning (Watson 1979 dalam Parker
& Smith, 2010). Sikap caring perawat ditunjukkan dengan memberikan
perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien, memberikan informasi tentang
masalah HDR yang dialami pasien. Dalam pemberian informasi tentang
kondisi pasien, perawat menyesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien
dan kemampuannya dalam menerima informasi. Hal ini membutuhkan
perhatian perawat terkait gangguan kognitif yang dialami pasien. Pasien
diberikan bahan ajar/lembar balik untuk meningkatkan pengetahuan pasien
tentang kondisi HDR yang dialami.

Perilaku caring perawat dilakukan dengan cara memberikan


keamanan dan kenyamanan untuk mengikuti perawatan. Perawat perlu
menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, dan atau
memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual karena hal ini berkaitan
dengan lama sakit yang dialami pasien. Semakin lama seorang mengalami
sakit maka kemungkinan meraka akan bosan dalam proses perawatan.
Perawat perlu memberikan pemahaman kepada pasien bahwa pengobatan
yang dijalankan bertujuan membawa pasien ke arah yang lebih baik, dengan
cara-cara yang dapat diterima pasien dengan menghadirkan lingkungan yang
kondusif. Hal ini merupakan bentuk caring perawat pada aspek ke-8 dari 10
carrative factor yaitu provision for a supportive, protective, and/or
corrective mental, physical, societal, and spiritual environment. Alligood
(2014) menjelaskan lebih lanjut bahwa sangat perlu menyediakan
lingkungan eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi kesehatan
pasien, seperti menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman serta
keleluasaan pribadi pasien.

Selanjutnya, perawat bersama pasien menetapkan masalah


keperawatan yang dihadapi pasien, menentukan tujuan yang akan dicapai,
mengidentifikasi cara atau rencana kegiatan, serta melaksanakan kegiatan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Hal ini merupakan wujud caring
perawat pada aspek ke-6 dari 10 carrative factor yaitu systematic use of a
creative problem solving. Penyelesaian masalah pasien dilakukan melalui
pemberian tindakan keperawatan generalis dan dan spesialis berupa terapi
kognitif dan CBT.
Terapi kognitif diberikan pada pasien HDR berdasarkan identifikasi
masalah pasien yang didapatkan bahwa ada pikiran otomatif negatif
sehingga pasien tidak mampu lagi berpikir secara rasional. Tujuan terapi
kognitif yaitu membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional,
berfikir realistis dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-
pesan internal. Terapi kognitif berfokus pada pemrosesan pikiran dengan
segera, yaitu bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasi
pengalamannya dan menentukan bagaimana cara dia merasakan dan
berperilaku (Stuart, 2013; Videbeck, 2017). Pemberian terapi kognitif
mambantu pasien mengubah pernyataan dirinya yang mempengaruhinya ke
arah pikiran yang lebih positif. Hasil intervensi didapatkan penurunan tanda
dan gejala pada respon kognitif afektif, fisiologis, psikomotor dan sosial.

Terapi CBT bertujuan mengidentifikasi dan mengubah distorsi pikiran


negatif atau uneralistic yang pada akhirnya dapat mempengaruhi emosi dan
tingah laku pasien. CBT adalah terapi kombinasi, aspek perilaku membantu
pasien mengidentifikasi reaksi kebiasaan terhadap situasi yang merepotkan
dan aspek kognitif berfokus pada pola pemikiran menyimpang yang
menyebaban perasaan tidak enak atau gejala gangguan jiwa. CBT
berorienntasi pada pemecahan masalah, dengan pandangan pasien sebagai
pembuat keputusan utama terkait tujuan dan masalah yang akan ditangani
selama pelaksanaan terapi. CBT adalah terapi yang dapat membantu pasien
membuat keputusan dengan mengubah pikiran dan perilakunya dari negatif
menjadi positif dan berfokus pada keadaan atau masalah yang dihadapi
pasien saat ini. Perawat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki
pasien dan membiarkan pasien memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya
pada waktu yang telah ditentukan.

Watson percaya bahwa perawat mempunyai tanggung jawab pada 10


carrative factor dan memfasilitasi pengembangan pasien dalam area
promosi kesehatan melalui aksi pencegahan (preventif). Tujuan ini dapat
dipenuhi dengan cara mengajarkan pasien tentang perubahan personal untuk
mempromosikan kesehatan, menyiapkan situasi yang mendukung,
mengajarkan metode pemecahan masalah dan mengenali kemampuan
koping dan adaptasi terhadap kehilangan.
BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dr. Jean Watson adalah seorang filosof dalam metha theory yang
menciptakan teori human caring. Dalam teory human caring lebih
menekankan pada konsep carative dimana konsep carative ini lebih sesuai
dengan paradigma keperawatan yang seharusnya berfokus pada perawatan-
penyembuhan. Konsep mayor dalam teori Watson adalah Faktor Carative
yang membedakan keilmuan perawat dan dokter, The Transpersonal Caring
Relationship yang membahas hubungan perawat traspersonal, dan
Momen/Waktu Caring yaitu keterbatasan waktu dan tempat dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
konsep carrative ini berubah menjadi faktor caitas yang didalamnya
mencakup 10 elemen yang merupakan translasi faktor carative dalam proses
caritas klinis.

Teori caring merupakan teori mendasar dalam setiap asuhan


keperawatan. Termasuk dalam keperawatan jiwa dimana seorang perawat
jiwa harus memiliki tingkat kepedulian dan empati yang tinggi. Perawat
dalam melakukan psikoterapi membutuhkan caring sebagai dasar pondasi
dalam melakukan interaksi dengan pasien dengan membangun lingkungan
yang penuh dengan rasa cinta. konsep kepedulian, kasih sayang, dan empati
adalah pusat dari setiap layanan kesehatan mental berkualitas tinggi. Dalam
beberapa penelitian, penerapan konsep caring ini memunculkan input yang
posifitif diantaranya mampu menurunkan nilai depresi, ansietas dan
perasaan putus asa yang dirasakan pasien yang mengalami keguguran,
mengurangi stress pada pasien yang mengalami infertilitas denga perawat
sebagai educator dan mengembalikan kepatuhan pasien terhadap regimen
terapi terutama bagi pasien yang mengalami putus obat. Setelah
diaplikasikan dalam asuhan keperawatan, ternyata muncul kelebihan dan
kekurangan pada teori caring ini. Kelebihan dari teori ini adalah lingkup
kerangka mencakup aspek yang luas dari fenomena kesehatan penyakit,
dimana teori ini membahas seperti aspek promosi kesehatan, mencegah
penyakit dan mengalami kematian secara damai. Namun kekurangan yang
terdapat pada teori ini adalah asuhan yang diterapkan dilakukan secara
interpesonal antara perawat dan pasien sehingga tidak ada keterlibatan
keluarga dan sosial.

Pada asuhan keperawatan yang lebih spesifik yaitu utamanya


keperawatan jiwa, konsep caring ini dapat diterapkan pada pasien dengan
HDR. Pada suatu kasus, beberapa pasien HDR diberikan asuhan
keperawatan dengan menggunakan konsep caring dengan menggunkan
terapi CBT dan kognitif. Aplikasi teori human caring pada kasus pasien
HDR tampak pada pelaksanaan proses keperawatan yang ternyata dalam
proses asuhan keperawatan tersebut muncul 5 elemen dari 10 elemen
konsep caring. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode caring ini sesuai
digunakan dalam setiap asuhan keperawatan terutama pada keperawatan
jiwa yang dasar pemberian asuhannya harus bersifat caring.

b. Saran
Perawat perlu memahami lebih mendalam tentang teori human caring
terutama pada perawat yang bekerja pada rumah sakit jiwa karena konsep
mendasar dari teori ini yang mebahas tentang interpersonal antar pasien dan
perawat merupakan bekal mendasar pada asuhan keperawatan jiwa. Perawat
yang bekerja di rumah sakit jiwa perlu memperoleh keterampilan
komunikasi terapeutik dan empati, dan memiliki tingkat caring yang lebih
tinggi. Selain itu juga perlu dilakukan pengkajian lebih dalam untuk
menentukan terapi apa saja yang sesuai dengan konsep dasar teori caring
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alhadidi, M. M. B., Abdalrahim, M. S., & Al-Hussami, M. (2016). Nurses’


caring and empathy in Jordanian psychiatric hospitals: A national
survey. International Journal Of Mental Health Nursing, 25(4), 337–
345. https://doi.org/10.1111/inm.12198
Alligood, M R. (2014). Nursing Theorists and Their Work (8 ed.). Louis: Mosby
Elsevier.
Barron, K., Deery, R., & Sloan, G. (2017). Community mental health nurses’ and
compassion: an interpretative approach. Journal Of Psychiatric And
Mental Health Nursing, 24 (4), 211–220.
https://doi.org/10.1111/jpm.12379
Cam, O., & Yalciner, N. (2017). Mental illness and recovery. Journal Of
Psychiatric Nursing , 9 (1), 55-60.
Cara. (2003). A Pragmatic View of Jean Watson’s Caring Theory. Closing key
note conference. XVI Jornades Catalanes d’infermeria Intensiva,
Barcelone, Espagne.
Cleary, M., & Horsfall, J. (2016). Kindness and Its Relevance to Everyday Life:
Some Considerations for Mental Health Nurses. Issues In Mental
Health Nursing, 37 (3), 206–208. https://doi.org/10.3109/01612840.201
Cleary, M., Horsfall, J., & Escott, P. (2015). Compassion and Mental Health
Nursing. Issues In Mental Health Nursing, 36(7), 563–565.
https://doi.org/10.3109/01612840.2015.1053771
De Laune dan Ladner. (2002). Fundamentals of Nursing: standard and Practice
2nd edition. USA: Thompsons Learning Inc.
Fawcett. 2002. The Nurse Theorist: 21st Century Update-Jean Watson. Nursing
Science Quarterly, 15 (3), Juli 2002: 214-219.
Gonzalo., A. 2016. Jean Watson : Theory of human Caring. Nurses Lab.
https://nurseslabs.com/jean-watsons-philosophy-theory-transpersonal-
caring/
Marques, d. O., Siqueira Júnior, A. C., & Antonia Regina, F. F. (2016).
Perceptions on psychiatric nursing care at a general hospital inpatient
unit. Acta Scientiarum.Health Sciences, 38(1), 39-47.
doi:http://dx.doi.org/10.4025/actascihealthsci.v38i1.28673
Muhlisin dan Ichsan. (2008). Aplikasi Model Konseptual Caring dari Jean
Watson dalam Asuhan Keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan, 1 (3),
September 2008 :147-150.
Ozan, YD, Okumus, H, Lash AA. 2015. Implementation of Watson’s Theory of
Human Caring: A Case Study. International Journal of Caring Sciences
January-April 2015 Volume 8 Issue 1 Page 25.
Ozan YD , Okumus H. 2017. Effects of Nursing Care Based on Watson’s Theory
of Human Caring on Anxiety, Distress, And Coping, When Infertility
Treatment Fails: A Randomized Controlled Trial. Journal of Caring
Sciences, 2017, 6 (2), 95-109. doi:10.15171/jcs.2017.010. http://
journals.tbzmed.ac.ir/ JCS.
Parker, M. E., & Smith, M. C. (2010). Nursing theories and nursing practice (3rd
ed.). United States of America: F. A. Davis Company.
Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses
dan Praktik. Edisi 4. Alih bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC.
Savasan A, Cam O. The Effect of the Psychiatric Nursing Approach Based on the
Tidal Model on Coping and Self-esteem in People with Alcohol
Dependency: A Randomized Trial. Arch Psychiatr Nurs 2017;31:274–
81.
Sitzman, K., & Watson, J. (2013). Caring science, mindful practice:
Implementing watson's human caring theory. Retrieved from
https://search.proquest.com
Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of psychiatric nursing. St Louis
Missouri: Elsevier Mosby.
Tektaş, P., & Çam, O. (2017). The Effects of Nursing Care Based on Watson’s
Theory of Human Caring on the Mental Health of Pregnant Women
After a Pregnancy Loss. Archives Of Psychiatric Nursing, 31(5), 440–
446. https://doi.org/10.1016/j.apnu.2017.07.002
Videbeck, S. (2017). Psychiatric mental health nursing (7th ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer.
Watson, J. (2004). Theory of Human Caring. (online),
(http://www.uchsc.edu/son/caring),

Wheeler, K. (Ed.). (2013). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric


nurse, second edition: A how-to guide for evidence-based practice.
Retrieved from https://search.proquest.com
Yang, C-P. P., Hargreaves, W. A., & Bostrom, A. (2014). Association of empathy
of nursing staff with reduction of seclusion and restraint in psychiatric
inpatient care. Psychiatric Services (Washington, D.C.), 65(2), 251–
254. https://doi.org/10.1176/appi.ps.201200531.

Anda mungkin juga menyukai