Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUGAS KELOMPOK (LTK)

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA


KETIDAKBERDAYAAN”

oleh:
Nadya Karlina Megananda (196070300111005)
Sigit Yulianto (196070300111007)
Resti Ikhda Syamsiah (196070300111029)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketidakberdayaan merupakan perasaan atau persepsi bahwa tindakannya
tidak memiliki efek yang signifikan atau persepsi kurang kontrol terhadap
kejadian yang terjadi dalam hidupnya (Doenges et.al., 2008).
Ketidakberdayaan merupakan hasil pengalaman internal dan subjektif yang
termanifestasi menjadi kepercayaan yang menyebabkan seseorang merasa
tidak dapat mengontrol masalahnya (Brickman et al.,1982 dalam Prendes &
Thomas, 2011). Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
ketidakberdayaan adalah mengenali dan mengekspresikan emosi,
memodifikasi pola kognitif yang negatif (latihan berpikir positif),
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
perawatan dan termotivasi untuk aktif mencapai tujuan realistis (Standar
Asuhan Keperawatan, 2016). Jika terus dibiarkan ketidakberdayaan akan
berakhir dengan keputusasaan. Keputuasaan ini akan berujung dengan
keengganan melakukan perawatan yang akan memperburuk kondisi sakit
fisik yang dialami klien. Oleh karena itu, mengatasi masalah psikososial
khususnya ansietas dan ketidakberdayaan pada pasien merupakan hal yang
penting untuk mencegah manifestasi lebih lanjut dari ketidakberdayaan.

Kebanyakan individu secara subyektif mengalami perasaan


ketidakberdayaan dalam berbagai tingkat dalam bermacam-macam situasi.
Individu sering menunjukkan respon apatis, marah atau depresi terhadap
kehilangan kontrol (Carpenito-Moyet, 2009). Pada ketidakberdayaan, klien
mungkin mengetahui solusi terhadap masalahnya, tetapi percaya
bahwa hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut. Jika
ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah ke keputusasaan.
Perawat harus hati-hati untuk mendiagnosis ketidakberdayaan yang berasal
dari perspektif pasien bukan dari asumsi. Perbedaan budaya dan individu
terlihat pada kebutuhan pribadi, untuk merasa mempunyai kendali terhadap
situasi (misalnya untuk diberitahukan bahwa orang tersebut mempunyai
penyakit yang fatal (Wilkinson, 2007).

1.2 Tujuan
a. Menjelaskan konsep ketidakberdayaan
b. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien ketidakberdayaan
c. Menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan pada ketidakberdayaan
1.3 Manfaat
a. Mahasiswa mengetahui konsep ketidakberdayaan
b. Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien
ketidakberdayaan
c. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
ketidakberdayaan
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Ketidakberdayaan


a. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah ketidakmampuan dalam memobilisasi energi
dan ketiadaan upaya campur tangan terhadap penyakit (Sutejo, 2019).
Ketidakberdayaan (Powerlessness/helpnessness) adalah keadaan
ketika seseorang atau kelompok merasakan kurangnya kontrol pribadi
atas peristiwa atau peristiwa tertentu. Ketidakberdayaan adalah
persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan mempengaruhi hasil
secara bermakna; suatu keadaan individu kurang dapat mengendalikan
kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (Nanda, 2015).
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketidakberdayaan merupakan persepsi
individu yang memandang bahwa dirinya tidak dapat melakukan
sesuatu yang signifikan atau tidak dapat merubah terhadap suatu
keadaan.
Keputusaan berbeda dengan ketidakberdayaan. Hal ini dikarenakan
orang tanpa harapana (putus asa) tidak melihat adanya solusi atau
jalan keluar untuk mecapai apa yang diinginkan, meskipun dia merasa
dalam kendali. Sebaliknya, orang yang tidak berdaya bisa melihat
alternative atau jawaban, namun tidak mampu melakukan apapun
karena kurangnya control atau sumber daya (Sutejo, 2019).
b. Rentang Repson Ketidakberdayaan
Menurut Stuart (2013) rentang respon ketidakberdayaan masuk dalam
rentang respon emosional sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
c. Tingkat Ketidakberdayaan
Menurut Wilkinson (2007) ketidakberdayaan yang dialami klien dapat
terdiri dari tiga tingkatan antara lain :
1) Rendah
Klien mengungkapakan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat
energi dan bersikap pasif.
2) Sedang
Klien mengalami ketergantungan pada orang lain yang dapat
mengakibatkan ititabilitas, ketidaksukaan, marah dan rasa
bersalah. Klien tidak melakukan praktik perawatan diri ketika
ditantang. Klien tidak ikut memantau kemajuan pengobatan.
Klien menunjukkan ekspresi ketidakpuasan terhadap
ketidakmampuan melakukan aktivitas atau tugas sebelumnya.
Klien menujukkan ekspresi keraguan tentang performa peran.
3) Berat
Klien menunjukkan sikap apatis, depresi terhadap perburukan
fisik yang terjadi dengan mengabaikan kepatuhan pasien
terhadap program pengobatan dan menyatakan tidak memiliki
kendali (terhadap perawatan diri, situasi, dan hasil). Ditandai
dengan ekspresi verbal yang menunjukan tidak memiliki kuasa
dan kontrol terhadap lingkungan, merasa depresi terhadap
perburukan kondisi fisik, apatis, menangis dan menarik diri.
d. Pengkajian pada Ketidakberdayaan
a) Faktor Predisposisi
Berikut akan dijabarkan tentang faktor predisposisi yang
mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, dan sosial menjadi
stresor presipitasi menurut Stuart (2013) :
 Biologi. Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau
kedua orang tua menderita gangguan jiwa), Gaya hidup
(tidak merokok, alkhohol, obat dan zat adiktif) dan
Pengalaman penggunaan zat terlarang, Menderita penyakit
kronis (riwayat melakukan general chek up, tanggal
terakhir periksa), Ada riwayat menderita penjakit jantung,
paru-paru, yang mengganggu pelaksana aktivitas harian
pasien, Adanya riwayat sakit panas lama saat
perkembangan balita sampai kejang-kejang atau pernah
mengalami riwayat trauma kepala yang menimbulkan lesi
pada lobus frontal, temporal dan limbic, Riwayat
menderita penyakit yang secara progresif menimbulkan
ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker
terminal atau AIDS
 Psikologi. Pengalaman perubahan gaya hidup akibat
lingkungan tempat tinggal, Ketidaknmampuan mengambil
keputusan , Ketidakmampuan menjalankan peran, Kurang
puas dengan kehidupannya , Pola asuh orang tua pada saat
klien anak hingga remaja, Motivasi, Pengalaman aniaya
fisik, Self control, Kepribadian
 Sosial Budaya. Usia, Jenis kelamin, Pendidikan rendah,
Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses
penuaan , Adanya norma individu atau masyarakat yang
menghargai kontrol , Dalam kehidupan sosial, cenderung
ketergantungan dengan orang lain, Pengalaman social,
Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif
maupun secara pasif
b) Faktor Prespitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal
yang mengancam individu. Komponen faktor presipitasi terdiri
atas sifat, asal, waktu dan jumlah stressor (Stuart, 2013).
 Nature. Sifat stressor dapat diidentifikasi dalam tiga
komponen utama yaitu biologi, psikologis dan sosial. Tiga
komponen tersebut merupakan hasil dari ancaman
terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap sistem diri.
Ancaman terhadap integritas fisik terjadi karena
ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kemampuan
untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa mendatang.
Ancaman ini meliputi sumber internal dan sumber
eksternal. Sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi
virus atau bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan,
kehilangan perumahan yang adekuat, makanan, pakaian
atau trauma injuri. Sedangkan sumber internal meliputi
kegagalan mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem
imun, atau regulasi suhu. Perubahan biologis secara
normal dapat terjadi pada kehamilan dan kegagalan untuk
berpartisipasi dalam melakukan pencegahan merupakan
bagian lain dari sumber internal. Nyeri sering
diindikasikan sebagai ancaman terhadap integritas fisik.
Ketidakberdayaan ini akan memotivasi seseorang untuk
mencari pelayanan kesehatan. Ancaman terhadap
integritas fisik yang selanjutnya dilihat sebagai faktor
presipitasi biologis.
Faktor presipitasi psikologis dan sosial budaya berasal dari
adanya ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap
sistem diri diindikasikan mengancam identitas seseorang,
harga diri, dan fungsi integritas sosial. Ancaman terhadap
sistem diri juga terdiri atas dua sumber yaitu eksternal dan
internal. Sumber eksternal terdiri atas kehilangan orang
yang sangat dicintai karena kematian, perceraian,
perubahan status pekerjaan, dilema etik, dan tekanan
sosial atau budaya. Sumber internal meliputi kesulitan
hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja, dan
menjalankan peran baru seperti sebagai orang tua, pelajar
atau pekerja. Ancaman terhadap integritas fisik dapat juga
menjadi ancaman terhadap sistem diri karena
mental dan fisik saling berhubungan. Pembedaan kategori
tersebut tergantung pada respon seseorang terhadap
adanya stresor. Tidak ada kejadian stressful terjadi pada
orang yang sama terjadi pada waktu yang berbeda, karena
seluruh kejadian bersifat individual bagi setiap
orang.
 Origin. Berdasarkan sifat stressor yang telah diuraikan
diatas maka asal stressor ketidakberdayaan dapat
didentifikasi melalui dua sumber yaitu internal dan
eksternal. Sumber internal digambarkan sebagai seluruh
stresor ketidakberdayaan yang berasal dari dalam individu
baik yang bersifaf biologis maupun psikologis. Sumber
eksternal merupakan sumber ketidakberdayaan yang
berasal dari lingkungan eksternal individu termasuk
didalamnya hubungan interpersonal dan pengaruh budaya.
Pada ketidakberdayaan keluarga asal stresor lebih pada
stresor eksternal yaitu adanya anak yang sakit. Adanya
anak yang sakit ini dapat mempengaruhi kondisi
psikologis dan biologi yang berperan sebagai stresor
internal dan menambah stress bagi caregiver.
 Timing. Stuart (2013) menjelaskan bahwa waktu dilihat
sebagai dimensi kapan stresor mulai terjadi dan berapa
lama terpapar stressor sehingga menyebabkan munculnya
gejala ketidakberdayaan. Frekuensi paparan stressor
ketidakberdayaan juga dapat diindikasikan untuk melihat
terjadinya ketidakberdayaan pada caregiver. Pada
ketidakberdayaan keluarga, waktu terjadinya stresor
berupa anak yang sakit datang tiba-tiba dan tidak terduga.
Lamanya stresor ketidakberdayaan keluarga tergantung
pada kondisi kesehatan anak. Semakin berat tingkat
penyakit yang dialami anak akan memperpanjang lamanya
stresor yang dialami oleh keluarga sebagai caregiver.
Demikian sebaliknya pada kondisi penyakit anak yang
ringan, lamanya stresor yang dialami oleh keluarga
semakin pendek.
 Number. Jumlah pengalaman stress yang dialami individu
dalam satu waktu tertentu juga menjadi faktor presipitasi
terjadinya ketidakberdayaan (Stuart, 2013). Jumlah
stressor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam
satu waktu akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan
dengan satu stressor yang dialami. Jumlah stressor yang
dialami oleh keluarga yang anaknya dirawat di rumah
sakit pada awalnya satu yaitu anak yang sakit. Namun
ketika muncul respon terhadap stresor social tersebut
maka jumlah stresor akan bertambah sesuai dengan hasil
respon yang ditampilkan ketika menerima stresor sosial.
Stresor yang dialami oleh caregiver akan bertambah
dengan adanya stresor psikologis dan biologis. Pada
masing-masing stresor ini jumlah stresor tidak hanya satu
namun dapat lebih dari satu karena hasil respon yang
ditampilkan dari stresor utama adanya anak yang sakit.
c) Penilaian Terhadap Stresor
Berikut akan dijabarkan tentang respon terhadap stresor pada
klien ketidakberdayaan menurut Stuart (2013)
 Kognitif : Mengungkapkan ketidakpastian tentang
fluktuasi tingkat energy, Mengungkapkan ketidakpuasan
dan frustrasi terhadap kemampuan untuk melakukan tugas
atau aktivitas sebelumnya, Mengungkapkan keragu-raguan
terhadap penampilan peran, Mengungkapkan dengan kata-
kata bahwa tidak mempunyai kendali atau pengaruh
terhadap situasi, perawatan diri atau hasil,
Mengungkapkan ketidakpuasan karena ketergantungan
dengan orang lain dan Kurang dapat berkonsentrasi.
 Afektif : Merasa tertekan atau depresi terhadap penurunan
fisik yang terjadi dengan mengabaikan kepatuhan klien
terhadap program pengobatan, Marah, Iritabilitas,
ketidaksukaan, Perasaan bersalah, Takut terhadap
pengasingan oleh pemberian perawatan, Perasaan cemas
atau ansietas
 Fisiologis : Perubahan tekanan darah, Perubahan denyut
jantung dan frekuensi pernapasan, Muka tegang, Dada
berdebar-debar dan keluar keringat dingin, Gangguan
tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas
 Perilaku : Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat
mengakibatkan iritabilitas, Tidak ada pertahanan pada
praktik perawatan diri ketika ditantang, Tidak memantau
kemajuan pengobatan, Tidak berpartisipasi dalam
perawatan atau mengambil keputusan pada saat diberikan
kesempatan, Kepasifan hingga apatis, Perilaku menyerang,
Menarik diri, Perilaku mencari perhatian, Gelisah atau
tidak bisa tenang
 Hubungan Sosial : Enggan untuk mengungkapkan
perasaannya yang sebenarnya, Ketidakmampuan untuk
mencari informasi tentang perawatan, Tidak mampu
bersosialisasi dengan orang lain
d) Sumber Koping
Menurut Stuart (2013) sumber koping pada pasien
ketidakberdayaan antara lain adalah :
 Personal ability : Keterampilan pemecahan masalah.
Kesehatan secara umum, Keterampilan sosial,
Pengetahuan, Integritas ego
 Social Support : Dukungan sosial (social support) adalah
dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga,
teman, kelompok atau orang-orang disekitar pasien dan
dukungan terbaik yang diperlukan oleh pasien adalah
dukungan dari keluarga.
 Material asset : Penghasilan secara individu, fasilitas
Jamkesmas, ASKES yang dapat digunakan untuk
mendukung pengobatan anggota keluarganya, akses
pelayanan kesehatan terdekat yang dapat didatangi oleh
anggota keluarganya.
 Positif belief : Keyakinan dan nilai, Motivasi, Orientasi
e) Mekanisme Koping
 Konstruktif : Menilai pencapaian hidup yang realistis,
Mempunyai penilaian yang yang nyaman dengan
perubahan fisik dan peran yang dialami akibat
penyakitnya, Dapat menjalankan tugas perkembangannya
sesuai dengan keterbatasan yang terjadi akibat perubahan
status kesehatannya, Kreatif: pasien secara kreaktif
mencari informasi terkait perubahan status kesehatannya
sehingga dapat beradaptasi secara normal, Di tengah
keterbatasan akibat perubahan status kesehatan dan peran
dalam kehidupan sehari-hari, pasien amsih tetap produktif
menghasilkan sesuatu, Mampu mengembangkan minat
dan hobi baru sesuai dengan perubahan status kesehatan
dan peran yang telah dialami, Peduli terhadap orang lain
disekitarnya walaupun mengalami perubahan kondisi
kesehatan
 Destruktif : Tidak kreatif/kurang memiliki keinginan dan
minat melakukan aktivitas harian (pasif), Perasaan
menolak kondisi perubahan fisik dan status kesehatan
yang dialami dan marah-marah dengan situasi tersebut,
Tidak mampu mengekspresikan perasaan terkait dengan
perubahan kondisi kesehatannya dan menjadi merasa
tertekan atau depresi, Kurang atau tidak mempunyai
hubungan akrab dengan orang lain, kurang minat dalam
interaksi sosial sehingga mengalami menarik diri dan
isolasi social, Tidak mampu mencari informasi kesehatan
dan kurang mampu berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang dapat berakhir pada penyerangan terhadap
orang lain, Ketergantungan terhadap orang lain (regresi),
Enggan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya
(represi/supresi).
f) Diagnosa Ketidakberdayaan
Melaui data yang dapat dilihat dari gejala dan tanda yang
muncul, maka diagnose berupa : ketidakberdayaan. Berikut ini
merupakan pohon masalah diagnose ketidakberdayaan
berdasarkan Sutejo (2019).

Harga diri rendah

Ketidakberdayaan

Disfungsi proses berduka


BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Kasus:
Ibu X (67), sedang duduk sendirian di teras dengan pandangan kosong dan
berlinang air mata. Berdasarkan informasi dari ibu X merasa tidak bisa
melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan adiknya dalam sebuah
bencana.
1. Berdasarkan kasus diatas analisis sesuai dengan konsep asuhan
keperawatan jiwa psikososial
2. Identifikasi jenis terapi yang tepat untuk pasien tersebut
3. Jelaskan alasan pemilihan terapi
4. Jelaskan prinspi etik dan hokum yang harus diperhatikan dalam
pemberian terapi yang dipilih
3.2 Pembahasan Kasus:
1. Analisis Kasus atau Pengkajian Kasus
1) Faktor Predisposisi
a. Biologis
Dari kasus diatas, tidak ditemukan adanya factor predisposisis
biologis yang mengakibatkan masalah.
b. Psikologis
Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah
dicapai) diungkapkan dari merasa tidak bisa melakukan yang
terbaik untuk menyelamatkan adiknya dalam sebuah
bencanadan Self control tidak mampu mengontrol perasaan
dan emosi, mudah cemas, rasa takut, gaya hidup tidak berdaya
c. Sosial
Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan
Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses
penuaan
2) Faktor Presipitasi
a. Nature
Sifat stressor dapat diidentifikasi dalam tiga komponen utama
yaitu biologi, psikologis dan social. Ancaman terhadap
integritas fisik yang selanjutnya dilihat sebagai faktor
presipitasi biologis. Faktor presipitasi psikologis Konsep diri:
gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan
melakukan tanggungjawab peran. Dari factor sosbud
didapatkan hasil Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas
akibat proses penuaan dan Adanya perubahan dari status
kuratif menjadi status paliatif.
b. Origin
Berdasarkan sifat stressor yang telah diuraikan diatas maka
asal stressor ketidakberdayaan dapat didentifikasi melalui dua
sumber yaitu internal dan eksternal. Sumber internal adalah
rasa bersalah pada ibu X dan sumber ekstenal adalah musibah
yang dialami oleh adiknya.
c. Timing
waktu dilihat sebagai dimensi kapan stresor mulai terjadi dan
berapa lama terpapar stressor sehingga menyebabkan
munculnya gejala ketidakberdayaan
d. Number
Jumlah stressor lebih dari satu yang dialami oleh individu
dalam satu waktu akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan
dengan satu stressor yang dialami.
3) Penilaian terhadap stressor
a. Kognitif
Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustrasi terhadap
kemampuan untuk melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya
dan Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan
peran.
b. Afektif
Perasaan bersalah dan Perasaan cemas atau ansietas
c. Fisiologis
Pada umumnya akan merasa Perubahan tekanan darah,
Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan, Muka
tegang, Dada berdebar-debar dan keluar keringat dingin dan
Gangguan tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas
d. Perilaku
Menarik diri dan Gelisah atau tidak bisa tenang
e. Hubungan Sosial
Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan
dan Tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain.
4) Sumber Koping
a. Personal ability :
Keterampilan pemecahan masalah, Kesehatan secara umum
Keterampilan social, Pengetahuan dan Integritas ego
b. Social Support :
Hubungan yang kurang baik antar : individu, keluarga , kelp
dan masyarakat, Kurang terlibat dalam organisasi sosial/
kelompok sebaya, Ada konflik nilai budaya.
c. Material asset :
Kurang memiliki penghasilan secara individu, Sulit mendapat
pelayanan kesehatan, Tidak memiliki pekerjaan/ vokasi/ posisi
d. Positif belief :
Tidak mempunyai keyakinan dan nilai yang positif, Kurang
memiliki motivasi, Kurang berorientasi pencegahan (lebih
senang melakukan pengobatan )
5) Mekanisme Koping
Kurang atau tidak mempunyai hubungan akrab dengan orang
lain, kurang minat dalam interaksi sosial sehingga mengalami
menarik diri dan isolasi social
2. Identifikasi Jenis Terapi yang Tepat
1) Psikoterapi
a. Individu : CT dan logo terapi
b. Keluarga : FPE
c. Kelompok : Supportive Therapy
2) Terapi Komplementer : Spiritual
3) Interperpersonal Terapi
4) Psikodinamika Terapi
3. Alasan Pemilihan Terapi
1) Psikoterapi
a. Individu : CT dan Logo Terapi
CT berfungsi Pemberian terapi kognitif ini diharapkan klien
dapat merubah pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi
dan produktif sesuai dengan kondisi kesehatannya dengan
meningkatkan kepercayaan dirinya. Klien mengalami gangguan
kognitif karena merasa upaya yang dilakukan untuk
menyelamatkan adiknya kurang maksima.
Logoterapi membantu individu dalam menemukan nilai-nilai
baru serta mengembangkan dan mengajarkan individu dalam
melihat nilai positif dari penderitaan dan memberikan
kesempatan untuk memberikan rasa bangga terhadap
penderitannya. Individu yang berada dalam kesulitan yang
mengganggu aktivitasnya dibantu untuk menemukan makna
hidupnya dengan cara bagaiman individu dalam menghadapi
masalah dan mengatasinya (Rochmawati dkk, 2013). Jadi klien
setelah diberikan logo terapi diharapkan pasien mampu
memaknai pengorbanan yang sudah dilakukan pada adiknya.
b. Keluarga : FPE
Salah satu terapi yang dapat diberikan pada keluarga adalah
Family psycoeducation terapy (FPE) yang bertujuan untuk
mengurangi tingkat kekambuhan dengan mengurangi stres yang
timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu terlibat
melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Dalam hal ini keluarga diedukasi bagaimana merawat lansia
agar dapat beradaptasi dalam keadaan yang sudah terlanjur
terjadi.
c. Kelompok : Supportive Therapy
Terapi ini bertujuan untuk memberikan support terhadap
keluarga sehingga mampu menyelesaikan krisis yang
dihadapinya dengan cara membangun hubungan yang bersifat
suportif antara klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga,
meningkatkan keterampilan koping keluarga, meningkatkan
kemampuan keluarga menggunakan sumber kopingnya,
meningkatkan otonomi keluarga dalam keputusan tentang
pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga mencapai
kemandirian seoptimal mungkin, serta meningkatkan
kemampuan mengurangi distres subyektif dan respons koping
yang maladaptif.
2) Komplementer
Terapi psikoreligius adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan
keagamaan yang dianut oleh klien dan cenderung untuk menyentuh
sisi spiritual manusia. Salah satu bentuk terapi psikoreligius untuk
umat muslim antara lain zikir. Terapi yang menggunakan media zikir
mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan
memfokuskan pikiran. Dengan bacaan do’a dan zikir orang akan
menyerahkan segala permasalahan kepada Allah, sehingga beban
stress yang dihimpitnya mengalami penurunan (Fanada, 2012).
Spiritualitas membuat manusia merasa bermakna, dan bertujuan
serta mempunyai panduan. Dengan spiritual yang bagus, orang akan
berpikir positif, mempunyai kendali dan harga diri, serta mempunyai
metode pemecahan masalah yang spesifik yang memperbaiki daya
tahan mental. Pendekatan spiritual digunakan untuk membuat remaja
semakin dekat dengan agamanya sehingga para remaja memiliki
makna hidup serta panduan hidup yang jelas, sehingga mereka dapat
mencari solusi dari setiap masalahnya menggunakan koping yang
adaptif (Akhmadi, 2012).
3) Interperpersonal Terapi
Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien meningkatkan
keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal dalam
hubungan dan untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan
yang realistis terhadap peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta
klien mampu menghadapi berbagai stressor interpersonal yang
muncul.
4) Psikodinamika Terapi
Terapi psikodinamik merupakan jenis psikoterapi yang memfasilitasi
penggambaran ulang riwayat hidup pasien, gambaran dirinya baik di
masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, untuk membahas
pengalaman individu sehingga dapat mengevaluasi dan mencari
penyebab dari timbulnya permasalahan.
4. Prinsip Etik Dan Hukum Yg Harus Diperhatikan Dalam Pemberian
Terapi Yang Dipilih
Dalam melakukan terapi hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip etik
sebelum melakukan terapi tersebut kepada klien diantaranya yaitu
autonomy atau disebut juga dengan kemandirian dalam hal ini klien
berhak memilih terapi yang akan dilakukan untuk dirinya dan perawat
seharusnya menjelaskan kondisi klien secara rinci tanpa ada yang
dirahasiakan, kedua yaitu prinsip beneficence atau prinsip berbuat baik
dalam hal ini perawat memberikan terapi kepada klien harus sesuai
dengan ilmu dan kiat keperawatan serta memiliki manfaat yang jelas
sehingga akan mempercepat proses penyembuhannya. Prinsip yang ke
tiga yaitu fidelity atau menepati janji hal itu penting sekali dilakukan
oleh perawat ketika akan melakukan terapi kepada klien dengan kontrak
waktu yang telah disepakati Bersama maka perawat harus menepati
janji atau komitmen yang telah dibuat sehingga membuat klien merasa
dirinya benar-benar diperhatikan dan dianggap penting oleh perawat.
Prinsip ke empat yaitu non-maleficence yang berarti bahwa terapi yang
akan diberikan kepada klien seharusnya tidak membahayakan atau
menimbulkan cidera baik fisik maupun memperberat kondisi psikologis
klien. Prinsip ke lima yaitu justice atau adil yang berarti perawat dalam
memberikan terapi tidak boleh membeda-bedakan antara klien satu
dengan lainnya serta memperhatikan keadilan sesuai standar praktik dan
hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan, D., (2019) yang menyatakan bahwa
secara umum prinsip etika pada penelitian dapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak subjek dan
prinsip keadilan.
Hukum yang mengatur tentang keperawatan jiwa diatur oleh undang-
undang dasar 1945 diantaranya yaitu: UUD 1945 pasal 28H (1) Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan, (2) Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain itu
terdapat di Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Selain diatur oleh UUD 1945 ternyata dituliskan juga
dalam undang-undang no. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa serta
dalam undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 147
ayat (1) “Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat”. Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan yang
menyatakan “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama
sebagai warga negara”
BAB 4
PENUTUP

3.3 Kesimpulan
Hasil analisis pada pasien yang menunjukan perilaku ketidakberdayaan
ditandai dengan ibu X merasa tidak bisa melakukan yang terbaik untuk
menyelamatkan adiknya dalam sebuah bencana padahal ibu X sudah
berusaha menyelamatkan adiknya tetapi ibu X etap saja merasa menyesal.
Terapi yang dapat diberikan sesuai dengan kasus diatas adalah psikoterapi
individu yaitu cognitive Therapy (CT) dan logo terapi, psikoterapi keluarga
yaitu FPE dan psikoterapi kelompok yaitu supportive therapy. Interpersonal
dan psikodinamik terapi juga dapat diberikan pada klien. Serta diberikan
terapi komplemneter berupa terapi religious.
3.4 Saran
Diharapkan perawat mampu memberikan tindakan keperawatan yang
didapatkan sesuai dengan perkembangan kondisi pasien dan situasi pasien
terkini. Pemberian intervensi ners dapat dipadukan dengan terapi ners
spesialis.
DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H, D. (2007). Logoterapi : psikologi untuk menemukan makna hidup


dan meraih hidup bermakna. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Carpenito, L. J & Moyet. (2009). Nursing diagnosis application to clinical


practise. Lippincott: Wlliams & Wilkins

Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard;
Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal
Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis. American Journal of
Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.

Cully, J. A., Teten, A.L .(2008). A therapist’s guide to brief Cognitive


Behavioural Therapy. Department of Veterans Affairs. Honston

Dryer, D. E. (2007) the phenomenon of powerlessness in the eldery. The Ruth &
Tes Braun Award For Writing Exellence At Saginaw Valley
University

Fanada, M. (2012). Perawat dalam penerapan therapi psikoreligius untuk


menurunkan tingkat stress pada pasien halusinasi pendengaran di
rawat inapbangau rumah sakit ernaldi bahar Palembang. Badan
Diklat Provinsi SumateraSelatan. Di akses dari http://www.
banyuasink ab. go.

FIK UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X,
Depok. 23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan
Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
FIK UI. (2016). Satuan Asuhan Keperawatan. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X,
Depok. 23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan
Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Gershon, E.S. (2013). Genetic Approaches to Mental Disorders. American


Psychiatric Press, Washington.
Harvey, C., (2017). Family psychoeducation for people living with schizophrenia
and their families. BJPsych Advances. vol. 24: 9–19, doi:
10.1192/bja.2017.4

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (11 Eds.). (2018). NANDA International nursing
diagnoses : definition & classification, 2018-2020. Oxfort: Wiley
Blackwell

Kaplan & Saddock. (2010). Comprehensive texbook of psychiatry. (8th ed),


Lippincot: Williams & Wilkins

Kendler, K.(2005). A gen for.. the nature of gene action in psychiatric disorders.
Am J Psychiatric 162:124

Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. (2019). Psychodynamic therapy in


patients with somatic symptom disorder. Contemporary
Psychodynamic Psychotherapy, 191–206. doi:10.1016/b978-0-12-
813373-6.00013-1 

Mashall H. (2011). Logoterapi: pemaknaan hidup. Jakarta : EGC

Nanda International. (2015). Nursing diagnoses: Definitions and classification


2012-2014. Made Sumarwati, Et Al (Penerjemah). Jakarta: EGC.

NANDA. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &


Classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

Peedicayil, P. (2014). A Brief History of Epigenetics in Psychiatry. Department of


Pharmacology and Clinical Pharmacology. Christian Medical
College, Vellore, India.https://doi.org/10.1016/B978-0-12-417114-
5.00003-6

Renzi, C., Provenca., Bassil, KC., Evers, K., Kihlbom, EJ., Kpupil, I., Myhsok,
BM, Hanson MG, Rutten, BPF. From Epigenetic Associations to
Biological and Psychosocial in Mental Health. Progress in Molecular
Biology and Translational Science. ISSN 1877-117.
https://doi.org/10.1016/bs.pmbts.2018.04.011
Robertson, Michael, Rushton, dkk. (2008). Interpersonal Psychotherapies : An
Overview. Psychotheraphy in Australia. Vol 14(3), May 2008

Rochmawati, DH., Febriana, B., Nugroho, PA. (2013). Pengaruh Logoterapi


terhadap Konsep Diri dan Kemampuan Memaknai Hidup pada
NarapidanaRemaja di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Semarang.
Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Kampus Unissula,
Semarang, Indonesia

Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour Therapy


Workbook for Children.England: John Wiley & Sons Ltd.

Stuart G. W, Keliat, dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan


Jiwa. St Louis Missouri: Elsevier Mosby

Stuart, G. W & Laraia, M.T. (2013). Principles and Practice of Psychiatric


Nursing. (7 th Ed) St. Louis: Mosby

Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015). Practicing psychodynamic therapy: A


casebook. New York: The guilford press.

Sutejo. (2019). Keperawatan jiwa : konsep dan praktik asuhan keperawatan


kesehatan jiwa : Gangguan Jisa Psikososial. Yogyakarta : Pustaka
Baru.

Townsend, M. C. A. M., K. I. (2018). Psychiatric mental health nursing:


Concepts of care in evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis
company.

TsankovaJ, et al. (2007). Epigenetik regulation in psychiatric disorder, Nat rev


Neurosci 8 :355.

Tsuang, D. (2005). Schizophrenia: Genes and Environment. Biology of


Psychiatry47(3):210-220

Varcarolis, E.M., & Halter, M.J. (2010). Foundations of psychiatric mental health
nursing: a clinical approach. Missouri: saunders Elsevier
Wade, Carole., Tavris, Carol & Garry, Maryanne. 2014. “Psikologi: Edisi
Kesebelas Jilid 1”. Jakarta: Erlangga.

Wahyuningsih, S. (2015). Hubungan Faktor Keturunan Dengan Kejadian


Gangguan Jiwa Di Desa Banaran Galur Kulor Progo Yogyakarta.
Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
‘Aisyiyah Yogyakarta

Wilkinson, J.M. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta: Penebit Buku
Kedokteran
EGC

Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E.


(2018). Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakaan &
penerbitan Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai