Oleh :
Nadya Karlina Megananda
(196070300111005)
RINGKASAN
1. Konsep Berduka Komplek
1) Konsep Kehilangan
a. Pengertian kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan
sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2016) seperti kehilangan harta,
kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan.
b. Tahap Kehilangan
Menurut Twonsend, (2018), tahapan kehilangan atau berduka terdiri
dari:
a) Denial/ penolakan
Pada tahap ini, individu tidak mengakui bahwa kejadian yang
buruk telah terjadi. Dia mungkin katakan, "Tidak, itu tidak
benar!" atau "Itu tidak mungkin." Tahap ini dapat melindungi
individu dari rasa sakit psikologis dari kenyataan yang ada.
b) Anger / marah
Ini adalah tahap ketika realitas mulai terjadi. Perasaan yang
terkait dengan tahap ini termasuk kesedihan, rasa bersalah,
malu, tidak berdaya, dan putus asa. Ini adalah tahap ketika
realitas mulai terjadi. Perasaan yang terkait dengan tahap ini
termasuk kesedihan, rasa bersalah, malu, tidak berdaya, dan
putus asa. Menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang
lain bisa menimbulkan perasaan kemarahan terhadap diri sendiri
dan orang lain. Tingkat kecemasan mungkin meningkat, dan
individu mungkin mengalami kebingungan dan penurunan
kemampuan untuk berfungsi secara mandiri. Banyak sekali
keluhan somatik biasa terjadi.
c) Bargaining
Pada tahap ini individu berusaha tawar menawar dengan Tuhan
untuk kesempatan kedua atau untuk lebih banyak waktu. Orang
mengakui kerugian, atau kerugian yang akan datang, tetapi
bertahan berharap untuk alternatif tambahan, sebagaimana
dibuktikan oleh pernyataan seperti, "Seandainya saya bisa. . . "
atau "Kalau saja aku punya. . . . "
d) Depression / Depresi
Pada tahap ini, individu berduka atas apa yang telah atau akan
hilang. Ini adalah tahap yang sangat menyakitkan, di mana
individu harus menghadapi perasaan yang terkait dengan
kehilangan seseorang atau sesuatu yang bernilai (disebut depresi
reaktif). Sebuah Contohnya mungkin individu yang sedang
berkabung dengan perubahan citra tubuh. Perasaan yang terkait
dengan kerugian yang akan datang (disebut depresi persiapan)
juga dikonfrontasi. Regresi, penarikan, dan isolasi sosial dapat
diamati perilaku dengan tahap ini. Intervensi terapeutik harus
tersedia, tetapi tidak dipaksakan
e) Acceptance / menerima
Pada saat ini, individu memiliki bekerja melalui perilaku yang
terkait dengan tahap lain dan menerima atau mengundurkan diri
dari kerugian. Kecemasan berkurang, dan metode untuk
mengatasi kerugian telah ditetapkan. Klien kurang asyik dengan
apa yang telah hilang dan semakin tertarik dalam aspek
lingkungan lainnya. Perilaku-perilaku ini adalah mencoba untuk
memfasilitasi jalannya dengan perlahan melepaskan diri dari
lingkungan.
2) Konsep Berduka
a. Pengertian Berduka
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.
Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan
koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu
menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan
merupakan bagian dari proses kehidupan (Yusuf, 2015).
Kesedihan adalah reaksi umum untuk berkabung. Prigerson et al.
mencirikan kesedihan sebagai "protes psikologis terhadap kenyataan
kehilangan dan keengganan umum untuk melakukan adaptasi terhadap
kehidupan tanpa kehadiran orang yang dicintai" (Oflaz, 2008).
Bedasarkan penelitian terkait proses berduka dan masalah psikososial
yaitu sebanyak 90,9% dari faktor sosiokultural paling sering
ditemukan pada hilangnya orang yang spesial atau dicintai.
Kehilangan orang yang dicintai, yang terkait dengan proses berduka,
adalah salah satu faktor yang menyebabkan gangguan mental
(Fahrizal et al, 2010. Konflik keluarga membuat proses berduka
menjadi kompleks dan berkepanjangan (Delalibera et al, 2015).
Kehilangan adalah situasi perubahan dalam kehidupan bahwa
peristiwa berharga yang pernah dilalui tidak akanterjadi lagi dan
respon dari kehilangan adalah berduka (Fahrazi et al, 2020). Reaksi
berduka dipengaruhi oleh budaya, usia, dan waktu ketika kehilangan
terjadi (Howarth, 2011). Traumatis terhadap peristiwa kehilangan
adalah faktor risiko PTSD, depresi, dan perilaku menyimpang
(kejahatan dan penyalahgunaan narkoba), yang mengakibatkan
gangguan mental dan perilaku kekerasan dalam kelompok sosial
ekonomi yang rendah (Smith, 2014). Masa-masa berduka
berhubungan dengan peningkatan risiko timbulnya berbagai gangguan
mental (Keyes et al., 2014). Dampak yang muncul diantaranya
perasaan ketidakberdayaan dan risiko bunuh diri (NANDA, 2018).
Dampak positif dari berduka adalah meingkatkan kemampuan
individu dalam berempati kepada orang lain, memahami kehidupan
pribadi, apresiasi dan rasa terimakasih kepada kehidupan yang selama
ini telah dijalani, menmukan makna dari kehilangan, meningkatkan
tujuan hidup, meningkatkan kemampuan untuk mentoleransi
perubahan dan kesulitan yang dialami selama kehidupan berlangsung
(Sadowsk, 2017).
Berduka kompleks adalah perpanjangan dari yang proses berduka
yang normal dengan karakteristik yang berbeda dan merusak
kesehatan mental dan fisik serta berpotensi berdampak pada kualitas
hidup penderita dan keluarga mereka (Newson, 2011).
Berduka komplek adalah kondisi signifikan secara klinis yang
menyimpang dari kesedihan normal (sesuai dengan norma budaya)
dalam perjalanan waktu dan / atau intensitas gejala kesedihan
(misalnya, kesulitan pemisahan, kesulitan menerima kehilangan dan
melanjutkan kehidupan); serta dikaitkan dengan penurunan fungsi
signifikan di bidang kesehatan, sosial dan pekerjaan (Stroebe, Schut,
& van den Bout, 2013).
Berduka komplek dikaitkan dengan hasil psikologis yang parah,
termasuk penurunan kualitas hidup dan kecenderungan bunuh diri,
depresi, PTSD, atau kecemasan (mis., Latham & Prigerson, 2017).
Berduka komplek mengacu pada keadaan kesedihan yang
berkepanjangan dan menunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk
mengintegrasikan kematian ke dalam hidupnya dengan dicirikan oleh
kerinduan yang konstan dan mengingat almarhum, persisten dari
emosi almarhum dan intens dan menyakitkan (Prigerson,2008).
Intensitas kesedihan melarang orang tersebut mendapatkan kembali
atau bahkan mendekati keadaan pra-kehilangan fungsi sosial,
dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian (Stroebe,2011) dan
dengan konsekuensi kesehatan yang serius (Stroebe, 2007).
Berduka komplek sering digunakan untuk menggambarkan berkabung
setelah kehilangan orang yang dicintai yang berkepanjangan, terus-
menerus mengganggu banyak aspek kehidupan, dan membutuhkan
intervensi (Mason, 2018).
Berduka komplek disebut sebagai gangguan berkabung kompleks
yang persisten dalam. DSM-5 mendefinisikan gangguan berkabung
kompleks yang persisten sebagai pengalaman kematian orang yang
dicintai setidaknya 6 bulan dengan cirri-ciri sebagai berikut: kerinduan
yang intens dan gigih pada almarhum; sering sibuk dengan almarhum;
perasaan kekosongan atau kesepian yang intens; pikiran berulang
bahwa hidup tidak ada artinya atau tidak adil tanpa almarhum; atau
keinginan yang sering untuk bergabung dengan almarhum. Selain itu,
setidaknya 2 dari berikut ini diamati selama setidaknya 1 bulan:
merasa kaget, tertegun, atau mati rasa sejak kematian orang yang
dicintai; perasaan tidak percaya atau ketidakmampuan untuk
menerima kehilangan; perenungan tentang keadaan atau konsekuensi
dari kematian; kemarahan atau kepahitan tentang kematian;
mengalami rasa sakit yang diderita almarhum atau mendengar /
melihat almarhum; kesulitan mempercayai atau peduli dengan
lainnya; reaksi keras terhadap ingatan atau pengingat almarhum; atau
menghindari pengingat almarhum, atau kebalikannya, mencari
pengingat agar merasa lebih dekat dengan almarhum (Mason, 2018).
Tiga gejala utama dalam berduka kompek adalah merindukan orang
yang meninggal, kenangan dengan orang yang meninggal, dan merasa
kesepian (Pan, 2020).
b. Pathway Berduka Komplek
Shear et al (2011) mengeksplorasi disregulasi dan disfungsi pada
pasien berduka komplek mengungkapkan kekurangan dalam memori
dan pemecahan masalah. Penelitian lain telah mengungkapkan bahwa
orang yang mengalami berduka komplek menunjukkan peningkatan
katekolamin urin dan plasma, peningkatan denyut jantung, tekanan
darah dan resistensi perifer, dan stres kardiomiopati, semua berpotensi
terkait dengan peningkatan aktivasi sistem simpato-adrenal-medula
oleh proses berduka (O’Connor, 2013). Sebuah studi tindak lanjut
menemukan bahwa pasien dengan tingkat epinefrin tertinggi sebelum
pengobatan psikoterapi menunjukkan tingkat gejala berduka komplek
tertinggi setelah pengobatan. Efeknya, temuan O'Connor et al (2013)
menyarankan bahwa orang-orang dengan epinefrin tinggi (dan
perilaku hyperarousal dan penghindaran yang lebih tinggi) menderita
gangguan fungsi kognitif dan akan mendapat manfaat dari terapi
berduka komplek yang ditargetkan.
Intensitas tinggi, persisten, dan berkepanjangan dikaitkan dengan
respon stres fisiologis yang tinggi. Peningkatan kortisol, disregulasi
kortisol, disfungsi sistem kekebalan tubuh, dan peradangan sel juga
berhubungan dengan kematian, morbiditas, dan mortalitas (Zisook,
2016). Berduka komplek dikaitkan dengan kematian yang lebih tinggi,
penyakit jantung, kanker, dan keinginan bunuh diri dibandingkan
dengan berkabung normal, namun jalur fisiologis tetap tidak jelas (Ito,
2012; Mostofsky, 2012). Penelitian telah menunjukkan bahwa pada
populasi umum, kematian orang yang dicintai dapat memicu stres
emosional yang mengarah pada infark miokard hingga 6 bulan setelah
kematian, dengan tingkat yang lebih tinggi pada keluhan
dibandingkan dengan yang tidak. dalam pikiran ini, orang dewasa
bahkan dapat berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan berduka
komplek karena orang miskin status kesehatan secara keseluruhan,
tingkat kerusakan kognitif apa pun, dan / atau isolasi sosial. Untuk
beberapa orang lansia yang terisolasi, PCP adalah satu-satunya kontak
yang bisa dihubungi, terutama karena lansoa cenderung mengalami
kesedihan dengan cara yang lebih somatik daripada orang dewasa
(Ghesquiere, 2014).
c. Tahap Berduka
a) Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang
terdiri atas tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya,
perkembangan kesadaran, serta restitusi.
- Syok dan tidak percaya. Respons awal berupa
penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima
pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini
sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi
ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara
perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
- Perkembangan kesadaran. Gejala yang muncul adalah
kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai
cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam
perasaan yang dalam.
- Restitusi. Merupakan proses yang formal dan ritual
bersama teman dan keluarga membantu menurunkan sisa
perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
b) Fase Jangka Panjang
- Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih
lama.
- Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi
penyakit yang tersembunyi dan termanifestasi dalam
berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya
mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.
d. Rentang Respon Berduka
Berduka adalah respon adaptif terhadap proses perpisahan yang sehat,
yang mencoba untuk mengatasi stres akibat kehilangan. Berduka atau
berkabung, bukan proses patofisiologis ; hal ini adalah respon adaptif
terhadap stresor yang nyata. Tidak adanya berduka saat menghadapi
kehilangan menunjukkan maladaptif. Berikut adalah rentang respon
adaptif dan maladaptif dari respon emosional (Sutejo, 2019) :
8) Abraham Maslow
Menurut Maslow (1954 dalam Videbeck, 2020), tindakan manusia didukung
oleh hierarki kebutuhan yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis
(makanan, udara, air, tidur), kebutuhan keselamatan (tempat yang aman
untuk tinggal dan bekerja), kebutuhan keamanan dan kebutuhan yang
memiliki (hubungan yang memuaskan). Kebutuhan berikutnya termasuk
kebutuhan harga diri, yang mengarah pada perasaan kecukupan dan
kepercayaan diri (Videbeck, 2020). Maslow juga menyebutkan kebutuhan
seperti makanan, air, udara, termasuk suhu sekitar diperlukan dalam
mempertahankan kehidupan, sehingga seseorang memerlukan motivasi
untuk memenuhinya sebagai upaya mempertahankan kehidupan. Apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dan terjadi ketidak seimbangan maka
dapat menimbulkan kematian atau kehilangan (Taormina, 2013). Namun
ketika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka dapat diartikan jika
individu didukung oleh kebutuhan harga diri yang menimbulkan rasa
percaya diri yang adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah aktualisasi diri,
suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan. Apabila
kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau diabaikan karena suatu
alasan, individu mengalami suatu kehilangan (Videbeck, 2020). Beberapa
contoh kehilangan yang relevan dengan kebutuhan manusia dalam hierarki
Maslow adalah sebagai berikut:
a) Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat,
kehilangan fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu
ekstremitas, dan gejala atau kondisi somatik lain yang menandakan
kehilangan fisiologis. Contohnya termasuk amputasi anggota badan,
mastektomi atau histerektomi, atau kehilangan mobilitas (Videbeck,
2020).
b) Kehilangan keselamatan: Kehilangan lingkungan yang aman terbukti
dalam kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau kekerasan
publik. Rumah seseorang harus menjadi tempat yang aman ketika
anggota keluarga dapat memberikan perlindungan bukan kekerasan.
Beberapa lembaga publik, seperti sekolah dan gereja, sering dikaitkan
dengan keselamatan juga. Perasaan aman itu hilang ketika kekerasan
terjadi di kampus atau di tempat suci. Titik awal proses duka cita yang
panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia
dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai suatu kehilangan
keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa percaya antara
klien dan pemberi perawatan (Videbeck, 2020)
c) Kehilangan rasa aman dan rasa memiliki: Kehilangan orang yang
dicintai memengaruhi kebutuhan untuk mencintai dan perasaan
dicintai. Kehilangan menyertai perubahan dalam hubungan, seperti
kelahiran, pernikahan, perceraian, penyakit, dan kematian; karena
makna suatu hubungan berubah, seseorang dapat kehilangan peran
dalam keluarga atau kelompok (Videbeck, 2020)
d) Kehilangan harga diri: Setiap perubahan yang terjadi antar hubungan
teman di tempat kerja atau dengan dirinya sendiri dapat mengancam
harga diri. Harga diri seseorang dpat tertantang atau merasa
kehilangan ketika persepsi tentang dirinya sendiri berubah. Hal ini
merupakan perubahan atau persepsi seseorang yang berkaitan dengan
perubahan nilai. Kematian orang yang dicintai, hubungan yang
terputus, kehilangan pekerjaan, dan pensiun adalah contoh perubahan
yang mewakili kehilangan dan dapat mengakibatkan ancaman
terhadap harga diri. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan
persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu,
dapat terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang dicintai
(Videbeck, 2020)
e) Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat
terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal
menghambat upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan
tujuan atau arah akan menimbulkan periode duka cita yang pasti
ketika individu berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan
gagasan baru. Seseorang yang ingin berpendiidkan tinggi dan berkarir
mencapai titik kehidupan ketika terrcapai maka aktualisasi dirinya
tercapai. Namun ketika rencana itu tidak akan pernah terwujud atau
seseorang kehilangan harapan bahwa ia akan menemukan jodoh dan
memiliki anak maka perasaan kehilamgan akan muncul. Contoh lain
misalnya atau seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran
ketika mengejar tujuan menjadi artis atau composer (Videbeck. 2020).
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres.
Stressor predisposisi dibagi menjadi tiga yaitu stressor biologis, psikologis dan
sosial budaya (Stuart, 2013). Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor
predisposisi tersebut sebagai berikut:
1) Biologi
a. Riwayat keturunan
b. Riwayat kelainan fisik: Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik.
Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin
c. Riwayat trauma
d. Nutrisi: Adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan penurunan
BB, rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa.
e. Keadaan kesehatan secara umum: Berhubungan dengan iskemia lobus
temporal atau fontal : penyakit Alzheimer, kerusakan otak (trauma
kepala), tumor (kepala, leher atau medulla spinalis), hipoksisa
kronis/penurunan aliran darah serebral, Quadriplegi, penyakit SSD
(misal: miastenia gravis, multiplesklerosis atau distrofi otot), paralisis
pita suara, trauma oral atau trauma fasial, cedera serebrovaskular.
Dan afasia ekspresif dan reseptif
f. Berhubungan dengan gangguan berpikir, pikiran tidak realistis
sekunder terhadap skizofrenik, delusi, psikotik atau paranoid.
g. Berhubungan dengan hambatan kemampuan untuk menghasilkan
suara akibat: gangguan pernapasan, edema/infeksi laring, deformitas
oral, sumbing bibir, fraktur rahang, kehilangan gigi dan disartria.
h. Defek anatomi (misalnya: celah palatum, perubahan pada sistem
neuromuskuler visual, sistem pendengaran atau pita suara),
Sensitivitas biologi: penurunan sirkulasi ke otak akibat tumor otak dan
efek samping pengobatan
i. Hambatan fisik: trakeostomi, intubasi
j. Paparan terhadap racun : paparan virus influenza pada trimester 3
kehamilan dan riwayat keracunan CO, asbestos karena mengganggu
fisiologi otak.
2) Psikologi
a. Intelegensi: riwayat kerusakan struktur di lobus frontal dan kurangnya
suplay oksigen terganggu dan glukosa sehingga mempengaruhi fungsi
kognitif sejak kecil misalnya: mental retardasi (IQ rendah)
b. Ketrampilan verbal
a) Gangguan keterampilan verbal akibat faktor komunikasi dalam
keluarga, seperti : Komunikasi peran ganda, tidak ada
komunikasi, komunikasi dengan emosi berlebihan, komunikasi
tertutup,
b) Adanya riwayat gangguan fungsi bicara, akibatnya adanya
riwayat Stroke, trauma kepala
c) Adanya riwayat gagap yang mempengaruhi fungsi sosial pasien
c. Moral : Riwayat tinggal di lingkungan yang dapat mempengaruhi
moral individu, misalnya lingkungan keluarga yang broken home,
konflik, Lapas.
d. Kepribadian memainkan peran kunci dalam bagaimana seseorang
berduka, menginternalisasi kesedihan, dan mengintegrasikan
pemahaman dan makna tentang kehilangan orang yang dicintai (Piper,
Ogrodniczuk, Joyce, & Weideman, 2011). Proses penyesuaian
psikologis seseorang, dikombinasikan dengan gaya attachment dan
kemampuan koping, dapat membantu menentukan apakah ia berada
pada risiko lebih tinggi atau lebih rendah mengalami gejala berduka
komplek (Piper et al., 2011). Meskipun individu yang lebih baik akan
diharapkan untuk mengatasi kesedihan dan kehilangan yang lebih
baik, literatur tidak secara jelas mendukung hubungan ini (Mancini,
Sinan, & Bonanno, 2015; Piper et al., 2011). Ciri-ciri kepribadian
yang diidentifikasi berkorelasi dengan strategi koping yang lebih
buruk dan tekanan emosional yang berkepanjangan termasuk
kecemasan, rasa tidak aman, tingkat harga diri yang lebih rendah, dan
tingkat kognisi negatif yang lebih tinggi (Boelen, van den Bout, & van
den Hout, 2006; Piper et al., 2011).
Meskipun penelitian yang tidak meyakinkan mengenai hubungan
sebab akibat antara kepribadian dan keparahan kesedihan, kepribadian
tidak menjadi faktor dalam tingkat kesulitan yang dialami beberapa
individu ketika berurusan dengan kesedihan dan lamanya waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan gejala kesedihan (Piper et al., 2011).
Literatur menyajikan argumen yang meyakinkan bahwa tingkat
kecemasan dan kecemasan individu, bersama dengan gaya
keterikatannya, memainkan peran dalam kemampuan untuk
beradaptasi secara efektif setelah kehilangan (Schenck, Eberle, &
Rings, 2015). Misalnya, individu yang terlampir dengan aman
cenderung beradaptasi dan menyelesaikan kesedihan mereka lebih
efektif daripada mereka yang memiliki gaya keterikatan yang lebih
cemas (Piper et al., 2011). Mereka yang memiliki gaya keterikatan
terkait kecemasan yang lebih tinggi mungkin mengalami kesulitan
bergerak melalui proses kesedihan, mengelola emosi, dan
menyesuaikan diri setelah kehilangan (Piper et al., 2011). Individu
dengan gaya keterikatan cemas juga rentan terhadap tekanan
emosional yang berkepanjangan dan menampilkan perilaku
penghindaran maladaptif, menyebabkan mereka menekan emosi yang
dapat mengakibatkan gejala psikosomatik (Mancini et al., 2015).
Kognisi negatif yang terkait dengan gaya keterikatan yang disebutkan
sebelumnya menciptakan keyakinan tidak bisa hidup tanpa individu
yang meninggal, merasa tidak berharga tanpa kehadiran orang yang
meninggal, dan merasa seperti hidup tidak lagi memiliki makna
(Boelen et al., 2006). Kognisi negatif ini menyebabkan individu yang
berduka berkutat pada kehilangan mereka daripada fokus pada solusi
masalah atau emosi khusus (Mancini et al., 2015). Kognisi negatif
memainkan peran penting dalam memperpanjang tekanan emosional
dan berfungsi sebagai target untuk intervensi terapeutik untuk
membantu individu yang berduka berselisih dan merestrukturisasi
emikiran dan keyakinan maladaptif mereka (Boelen et al., 2006; Piper
et al., 2011). Intervensi perilaku yang mendukung berkurangnya
kognisi negatif dan perilaku menghindar melayani sebagai faktor
protektif dalam menyelesaikan kesedihan dan kehilangan (Mancini et
al., 2015).
Individu yang mengalami berduka komplek selama berkabung
cenderung menunjukkan perilaku ketergantungan yang lebih besar,
fokus terutama pada kognisi negatif tentang almarhum, sangat
emosional, mengalami tingkat kesepian yang lebih besar, dan
memegang persepsi negatif tentang dukungan yang akan mereka
terima jika mereka menjangkau orang lain untuk bantuan (Boelen et
al., 2006; Mancini et al., 2015; Piper et al., 2011). Individu yang
menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih besar selama berkabung
memiliki pandangan yang lebih baik tentang dukungan yang dapat
mereka harapkan dari orang lain, lebih mengandalkan sistem
dukungan mereka, secara terbuka berbagi perasaan mereka, dan lebih
sedikit khawatir tentang dukungan yang tersedia saat dibutuhkan
(Mancini et al., 2015).
Orang-orang yang berduka yang menunjukkan gejala-gejala berduka
komplek menunjukkan tingkat kesulitan pemisahan yang lebih besar
(Piper et al., 2011; Schenck et al., 2015). Integrasi kesedihan diperlukan
untuk menemukan makna dalam kehilangan dan untuk menemukan cara
mempertahankan rasa kedekatan dengan almarhum (Schenck et al.,
2015), menghasilkan coping adaptif yang memperkuat ketahanan
(Mancini et al., 2015).
e. Pengalaman masa lalu :
a) Orangtua yang otoriter dan selalu membandingkan
b) Konflik orangtua sehingga salah satu orang tua terlalu
menyayangi anaknya
c) Anak yang dipelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu
melindungi, dingin dan tak berperasaan
d) Ayah yang mengambil jarak dengan anaknya
e) Mengalami penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang
hidup klien baik sebagai korban, pelaku maupun saksi
f. Penilaian negatif yang terus menerus dari orang tua
g. Konsep diri : adanya riwayat ideal diri yang tidak realistis, identitas
diri tak jelas, harga diri rendah, krisis peran dan gambaran diri
negative
h. Motivasi: riwayat kurangnya penghargaan dan riwayat kegagalan
i. Pertahanan psikologi: ambang toleransi terhadap stres rendah dan
adanya riwayat gangguan perkembangan
j. Self control: adanya riwayat tidak bisa mengontrol stimulus yang
datang, misalnya suara, rabaan, penglihatan, penciuman, pengecapan,
gerakan.
3) Sosial Budaya
a. Faktor Relasional
Semakin dekat hubungannya dengan almarhum, semakin besar
kemungkinan individu tersebut mengalami berduka komplek.
Pasangan dan orang tua sangat rentan terhadap gejala berduka
komplek. Pasangan mungkin sangat saling tergantung satu sama lain
dan berbagi hubungan yang erat dan komitmen seumur hidup. Janda
dengan anak kecil mungkin menghadapi stres tambahan yang dapat
menyebabkan depresi dan meningkatkan tekanan psikologis (Yopp,
Park, Edwards, Deal, & Rosenstein, 2015). Karena orang tua biasanya
tidak mengharapkan anak untuk mendahului mereka dalam kematian,
perasaan bersalah dan penderitaan dapat terjadi. Lansia dapat
mengalami banyak kehilangan dalam waktu singkat yang
memperparah kesedihan dan menunda pemulihan (Newson et al.,
2011).
b. Gender : Riwayat ketidakjelasan identitas dan kegagalan peran gender
c. Pekerjaan : Pekerjaan stresful, Pekerjaan beresiko tinggi
d. Status sosial : Tuna wisma, Kehidupan terisolasi
e. Agama dan keyakinan : Riwayat tidak bisa menjalankan aktivitas
keagamaan secara rutin dan kesalahan persepsi terhadap ajaran agama
tertentu
f. Keikutsertaan dalam politik: riwayat kegagalan dalam politik
g. Pengalaman sosial : Perubahan dalam kehidupan, misalnya bencana,
perang, kerusuhan, perceraian dengan istri, tekanan dalam pekerjaan
dan kesulitan mendapatkan pekerjaan
h. Peran sosial: Isolasi sosial khususnya untuk usia lanjut, stigma yang
negatif dari masyarakat, diskriminasi, stereotype, praduga negative
i. Latar belakang Budaya : Tuntutan sosial budaya seperti paternalistik
dan adanya stigma masyarakat, adanya kepercayaan terhadap hal-hal
magis dan sihir serta adanya pengalaman keagamaan
j. Usia : berduka kompleks lebih banyak dialami oleh orang tua karena
orang tua lebih banyak mengalami kehilangan (Newson, 2011).
Dengan menggunakan skala bervariasi dan metode pengambilan
sampel, prevalensi CG telah ditemukan sekitar 6–25% pada individu
yang berduka dan 10-25% pada orang dewasa yang lebih tua
(Fujisawa et al., 2010; Kersting et al., 2011; Newson et al., 2011).
k. Kehilangan seorang anak adalah prediktor yang paling nyata untuk
berduka komplek, sementara kehilangan pasangan atau beberapa
orang terdekat juga merupakan indikator utama.
l. Pendidikan yang lebih rendah dan penghasilan rendah terkait dengan
kesedihan yang rumit (Tomarken et al., 2008), menunjukkan peran
keseluruhan untuk status sosial ekonomi.
m. Fungsi kognitif yang rendah juga ditemukan di antara orang yang
mengalami berduka komplek karena mengganggu pemrosesan
informasi (Maccallum dan Bryant, 2010).
4. Faktor Prespitasi
Komponen faktor presipitasi terdiri dari sifat, asal, waktu dan jumlah stressor.
Sifat stressor terdiri dari biologis, psikologis, dan sosial budaya. Menurut FK UI
(2016) factor prespitasi adalah :
1) Nature
a. Biologi. Kurang nutrisi, Ada gangguan kesehatan secara umum
(menderita tumor otak), Adanya hambatan fisik dalam berkomunikasi
(trakeostomi, intubasi, pelemahan sistem muskuloskeletal),
sensitivitas biologi (efek samping obat). Defek anatomi (misalnya:
celah palatum, perubahan nuromuskuler pada sistem penglihatan,
pendengaran dan aparatus fonatori). Selain itu, efek kesedihan dapat
menyebabkan penyalahgunaan zat atau menjadi diperparah oleh
penyalahgunaan zat yang ada (Parisi, 2019).
b. Psikologi. ada penurunan sirkulasi otak. Pengalaman masa lalu:
ketidakmampuan mempercayai orang lain. Kepribadian: mudah cemas
sampai dengan panik. Konsep diri: pemikiran yang tidak realistis
tentang dirinya, perubahan harga diri. Self kontrol: kurang mampu
mengendalikan emosi, mudah mengalami stres. Moral: kendala
lingkungan atau kurang informasi. Kondisi psikologis: kurang
stimulasi/stimulus. Perubahan persepsi.
c. Sosial. usia: regresi ke tahap perkembangan sebelumnya akibat
tidak dapat menyelesaikan tugas perkembangan. Perbedaan yang
berhubungan dengan usia perkembangan. Status sosial: menarik diri.
Perbedaan budaya. Pengalaman sosial: ketiadaan orang terdekat
2) Origin
Berdasarkan sifat stressor yang telah diuraikan diatas maka asal stressor
dapat didentifikasi melalui dua sumber yaitu internal dan eksternal. Sumber
internal digambarkan sebagai seluruh stresor yang berasal dari dalam
individu baik yang bersifaf biologis maupun psikologis misalnya Kegagalan
persepsi individu terhadap sesuatu yang diyakini. Sumber eksternal
merupakan sumber stressor yang berasal dari lingkungan eksternal individu
termasuk didalamnya hubungan interpersonal dan pengaruh budaya
misalnya Keluarga dan masyarakat mengalami kegagalan dalam merespon
sesuatu yang diyakin
3) Timing
Stuart (2013) menjelaskan bahwa waktu dilihat sebagai dimensi kapan
stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga
menyebabkan munculnya gejala Berduka komplek. Stres dapat terjadi dalam
waktu yang berdekatan, stress dapat berlangsung lama atau stres dapat
berlangsung secara berulang-ulang.
4) Number
Jumlah pengalaman stress yang dialami individu dalam satu waktu tertentu
juga menjadi faktor presipitasi terjadinya Berduka komplek (Stuart, 2013).
Jumlah stressor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu
akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stressor yang
dialami.
5. Penilaian Terhadap Stresor
Beberapa orang yang berduka mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda kesusahan
apa pun, sedangkan yang lain mengalami kelelahan, mimpi yang mengganggu,
rasa bersalah, atau ketidakpercayaan orang sebelum penerimaan akhirnya terjadi
(Perng, 2018).
Tanda dan gejala dapat diketahui dari respon klien terhadap stressor yang
meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial (Townsend 2014;
Herdman, 2012; Stuart, 2013)
1) Kognitif
Respon kognitif adalah penilaian individu secara kognitif terhadap suatu
stressor yang dialami. Kognitif memegang peranan penting dalam model ini
(stuart 2013). Respon kognitif menurut Videbeck (2020) antara lain
Gangguan asumsi dan kepercayaan, Mempertanyakan dan berusaha
memahami kehilangan dam Percaya pada kehidupan setelah kematian dan
seolah-olah yang terhilang adalah penuntun
2) Afektif
Respon afektif adalah penilaian individu secara afektif terhadap suatu
stressor. Respon afektif berkaitan dengan ekspresi emosi (respons emosi)
dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini bisa berupa perasaan sedih,
gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, tidak percaya, kaget.
Respon emosi tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stressor yang
diterima oleh individu. Mood adalah emosi yang mempengaruhi suasana
hati seseorang, sedangkan sikap (attitude) adalah kebiasaan bagi individu
dalam menghadapi suatu stressor dan biasanya sudah berlangsung lama
(Stuart, 2013). Respon efektif bisa mencerminkan lama dan intensitas
individu terpapar oleh stressor. Respon afektif menurut Videbeck (2020)
antara lain Kemarahan, kesedihan, dan kecemasan adalah respons emosional
yang dominan terhadap kehilangan. Orang yang berduka dapat
mengarahkan kemarahan dan kebencian terhadap orang yang meninggal dan
praktik kesehatannya, anggota keluarga, atau penyedia atau lembaga
perawatan kesehatan.
3) Fisiologis
Respon fisiologis diidentifikasi untuk mengetahui sejauh mana suatu
stressor dalam mempengaruhi kondisi fisik. Respon fisiologis adalah respon
fight atau flight yang dilakukan oleh individu dalam menghadapi suatu
permasalahan dimana distimulasi oleh sistem syaraf otonom serta
meningkatnya aktivitas dari pituitari adrenal (Stuart, 2013). Respon
fisiologis individu individu merupakan manifestasi dari adanya interaksi
neuroendokrin, yang dapat diketahui dari hasil pemeriksaan penunjang
seperti: hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik,
hormon luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin,
oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmitter
lain diotak. Menurut Videbeck (2020) antara lain Sakit kepala, insomnia,
Nafsu makan terganggu, penurunan berat badan, Kekurangan energy,
Palpitasi, gangguan pencernaan, Perubahan sistem kekebalan dan endokrin
4) Perilaku
Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respon emosi dan perubahan
fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif didalam menghadapi
suatu situasi yang penuh dengan stres (Stuart, 2013). Empat fase respon
perilaku seseorang adalah: fase satu yaitu perilaku yang merubah
lingkungan penyebab stres atau seseorang yang menghindari situasi
penyebab stres; fase dua yaitu perilaku yang membuat individu dapat
merubah lingkungan eksternal dan akibatnya; fase tiga yaitu perilaku
intrafisik yang terjadi untuk bertahan terhadap reaksi emosi yang tidak
menyenangkan; fase empat yaitu perilaku intrafisik yang membantu
seseorang untuk beradaptasi dengan suatu kejadian dan akibatnya dengan
melakukan suatu pengaturan internal (Stuart, 2013). Menurut Videbeck
(2020) antara lain menangis terisak dan tangisan yang tak terkendali,
Kegelisahan yang luar biasa, Lekas marah dan permusuhan, Respons
perilaku Mencari dan menghindari tempat dan kegiatan yang berhubungan
dengan kehilangan, menyimpan barang berharga, Mungkin
menyalahgunakan narkoba atau alkohol, Kemungkinan upaya bunuh diri
atau pembunuhan, ,encari kegiatan dan refleksi pribadi selama fase
reorganisasi.
5) Hubungan Sosial
Respon sosial yaitu cara pandang individu terhadap masalah yang dihadapi
baik berasal dari kegagalan mereka sendiri ataupun dari koping yang
dipergunakannya. Respon sosial setiap individu berbeda-beda, bisa pasif
atau justru bermusuhan. Hal yang mendasari respon sosial adalah mencari
makna, atribut sosial dan perbandingan sosial (Stuart, 2013). Setiap individu
mempunyai respon sosial terhadap stres yang beragam tergantung dari
persepsi individu terhadap permasalahan yang muncul. Menurut Videbeck
(2020) antara lain selama kehilangan, dalam dimensi spiritual pengalaman
manusia seseorang mungkin paling terhibur, tertantang, atau hancur. Orang
yang berduka mungkin menjadi kecewa dan marah kepada Tuhan atau
tokoh agama lain atau anggota ulama. Penderitaan ditinggalkan, kehilangan
harapan, atau kehilangan makna dapat menyebabkan penderitaan rohani
yang mendalam.
6. Sumber Koping
Sumber koping adalah beberapa sumber potensi baik secara internal
maupun eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan
masalah akibat stressor yang ada (Stuart, 2013).
1) Personal ability : Kemampuan dalam berkomunikasi secara verbal dan non
verbal, kemampuan dalam memecahkan masalah: mengidentifikasi masalah
yang dihadapi, mengidentifikasi penyebab dari masalah tersebut,
menguraikan alternative pemecahan yang dapat digunakan dan kemampuan
mencari sumber pendukung yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalahnya, hubungan interpersonal dengan orang lain di sekitarnya,
pengetahuan klien tentang tindakan atau cara yang dapat digunakan untuk
membantu merawat anggota keluarga yang sakit/ membutuhkan
pertolongan, adanya gangguan fisik (kesehatan secara umum) yang
menghambat upaya membantu anggota keluarganya yang sakit
2) Social Support : Hubungan yang baik atau kurang baik antar individu,
keluarga kelompok dan masyarakat, keterlibatan dalam organisasi
social/kelompok sebaya atau adanya komitmen organisasi kemasyarakatan
yang ada disekitarnya, adanya kader kesehatan jiwa yang dapat membantu
menguraikan atau membantu masalah kesehatan yang dihadapi oleh anggota
keluarganya
3) Material asset : Penghasilan secara individu: cukup atau tidak, keberadaan
asset harta benda pendukung pengobatan yang dimiliki (tanah, rumah,
tabungan) untuk melakukan perawatan anggota keluarganya yang sakit,
mempunyai fasilitas Jamkesmas, ASKES yang dapat digunakan untuk
mendukung pengobatan anggota keluarganya, akses pelayanan kesehatan
terdekat yang dapat didatangi oleh anggota keluarganya.
4) Positif belief : Keyakinan dan nilai positif tentang dirinya sendiri dan
keyakinan terhadap petugas kesehatan yang membantu merawatnya di
rumah sakit.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan
oleh klien untuk mengelola stres yang dihadapi (Stuart, 2013). Mekanisme
koping merupakan pertahanan diri yang digunakan klien dalam jangka
panjang dan sebagai mekanisme pertahanan ego dalam menghadapi suatu
stressor. Adapun mekanisme koping terhadap kehilangan menurut Sutejo (2019)
adalah :
1) Denial : Individu tidak mengakui bahwa kejadian yang buruk telah terjadi
2) Regresi : Klien kembali ke tingkat perkembangan terdahulu
3) Rasionalitas : Klien memberikan keterangan bahwa sikap atau tingkah
lakunya berdasarkan pada alasan yang seolah-olah rasional, sehingga tidak
menjatuhkan harga dirinya.
4) Intelektualisasi : Menggunakan logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang mengganggu perasaan
5) Supresi : Proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan, tetapi
sebetulnya merupakan analoh represi yang disadari
6) Proyeksi : Pengalihan pikiran atau impuls pada diri sendiri atau orang lain,
terutama keinginan. Perasaan emosional dan motivasi tidak dapat ditoleransi
8. Diagnosa Berduka Komplek
Menurut Sutejo (2019) diagnose harga diri rendah adalah sebagai berikut :
Berduka
Kehilangan
9. Intervensi Farmakologis
Depresi dan berduka komplek sering terjadi bersamaan, dan bukti awal
menunjukkan bahwa antidepresan dapat masuk pada pengobatan berduka
komplek (Bui, Nadal-Vicens, & Simon, 2012; Glickman, Shear, & Wall, 2016;
Hensley, Slonimski, Uhlenhuth, & Clayton, 2009 ; Simon et al., 2008; Simon,
Thompson, Pollack, & Shear, 2007; Zisook, Shuchter, Pedrelli, Sable, & Deaciuc,
2001). Studi percontohan telah menunjukkan efek positif dari inhibitor reuptake
serotonin selektif pada berduka komplek (Hensley et al., 2009; Simon, Thompson,
et al., 2007; Zygmont et al., 1998); Namun, sebuah uji klinis yang melibatkan 395
orang dengan berduka komplek menemukan bahwa pemberian kombinasi
citalopram (Celexa®) dan Complicated pada treatment berduka komplek
mengurangi depresi, tetapi tidak mengarah pada perbaikan spesifik pada berduka
komplek jika dibandingkan dengan pengobatan berduka komplek ditambah
dengan plasebo (Shear et al., 2016).
10. Prinsip Intervensi
Prinsip intervensi pada pasien berduka komplek menurut Yusuf (2015) adalah :
1) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah
memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan
cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu
yang mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk
bahu, dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan
singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan
memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya.
Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi
dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.
3) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan
takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi
tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa
bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah
membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan
cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
Sebagai contoh penelitian yang dilakukan cassaday (2018) tentang intervensi pada
ibu hamil yang kehilangan bayinya menyatakan bahwa duka setelah kehilangan
perinatal adalah kejadian umum dan normal. Meskipun sebagian besar wanita
tidak memerlukan intervensi apa pun untuk mengatasi kehilangan tersebut,
penting agar mereka diperiksa dan dipantau, terutama jika ada faktor risiko.
Penting bagi profesional perawatan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan
mereka mengidentifikasi faktor-faktor yang secara psikologis memengaruhi
kesedihan. Rekomendasi untuk semua orang tua yang berduka adalah intervensi
yang dapat diakses yang mencakup terapi berbasis rumah dan berbasis internet,
serta ruang untuk orang tua yang berduka.
untuk mendiskusikan dan mengalami kehilangan mereka. Rekomendasi untuk
orang tua dengan faktor risiko termasuk rencana perawatan khusus yang
menggabungkan intervensi berbasis bukti
seperti psikoterapi dan manajemen pengobatan. Seringkali, orang tua sudah
memilih nama, melengkapi kamar bayi, membeli
pakaian, dan membayangkan banyak kegiatan dengan anak mereka jauh sebelum
bayi dikenal ke seluruh dunia. Merekonstruksi kehidupan tanpa bayi mereka tentu
saja merupakan tugas yang paling menakutkan dari kehilangan perinatal, namun
di tengah-tengah pertumbuhan pribadi yang mendalam dan menyedihkan ini dapat
terjadi.
Sedangkan pada lansia menurut penelitian yang dilakukan oleh meichsner (2020)
menyatakan kesedihan adalah respons alami terhadap kehilangan yang ditemui
secara tidak proporsional pada lansia. Meskipun kesedihan adalah unik untuk
setiap orang dan setiap kehilangan, empat bentuk kesedihan yang dapat
diidentifikasi (yaitu, pra-kematian, akut, terintegrasi, atau berkepanjangan)
memberikan kerangka kerja untuk memandu penilaian dan pendekatan perawatan
oleh psikiater geriatri. Kesedihan seharusnya tidak diobati; namun, praktisi medis
dapat memberikan dukungan penting dengan memahami faktor-faktor yang
mendasari respons kesedihan, mengenali berbagai bentuk kesedihan dan
mengetahui bagaimana adaptasi terhadap kehilangan dapat difasilitasi. Praktisi
harus waspada terhadap kemungkinan kesedihan sebelum kematian, terutama di
antara pengasuh utama demensia dan pasien yang sakit parah. Intervensi
dukungan pengasuh harus mencakup komponen yang dirancang untuk
mengidentifikasi dan mendukung kesedihan sebelum kematian. Kesadaran tentang
bagaimana kesedihan secara alami terungkap, proses adaptasi terhadap kehilangan
dan kemungkinan hambatannya serta risiko medis lainnya setelah berkabung
memungkinkan penilaian yang ditargetkan dan rujukan tepat waktu untuk
perawatan psikoterapi jika diperlukan.
Sedangkan untuk anak-anak, seperti untuk orang dewasa, kesedihan yang rumit
mungkin memiliki profil yang berbeda dengan depresi atau gangguan stres pasca-
trauma (Spuij et al., 2012). Kesedihan yang rumit memiliki berbagai konsekuensi
spesifik untuk anak-anak: ini meningkatkan kemungkinan anak-anak didiagnosis
dengan penyakit mental karena variabilitas gejala atau pengalaman yang mungkin
mereka miliki; mungkin memiliki efek negatif pada kinerja akademik anak-anak;
mereka mungkin mengalami peningkatan masalah eksternalisasi (perilaku yang
mengganggu) dan / atau masalah internalisasi (kecemasan, depresi, dan rasa
bersalah); dan anak-anak dapat menunjukkan isolasi yang lebih besar dan / atau
tanda-tanda yang jelas dari penarikan sosial, baik di rumah maupun dengan teman
sebaya (Gerhardt et al., 2012; Heath & Cole, 2012; Lytje, 2018; Quinn-Lee, 2014)
11. Intervensi Keperawatan Jiwa pada Berduka Komplek
Psikoterapi yang diberikan bagi penderita berduka komplek yaitu terapi individu,
terapi keluarga dan terapi kelompok (Kaplan & saddock, 2005). Menurut hasil
wokshop Keperawatan Jiwa ke X (FK UI, 2016) terapi individu pada pasien
dengan Berduka komplek Cognitive Behaviour Therapu (CBT) dan Logo
Therapy. Terapi keluarga yaitu Triangle Therapy (TT) serta terapi kelompok
berupa Suportive Therapy (ST).
1) Psikoterapi Individu pada Berduka Komplek
Menurut hasil wokshop Keperawatan Jiwa ke X (FK UI, 2016) terapi
individu pada pasien dengan waham seperti Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) dan Logo Therapy
a. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
a) Pengertian
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour,
dan memiliki pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan
ansietas (Chambless & Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-
Christoph, 1998 dalam Cully & Teten, 2008). CBT adalah salah
satu bentuk terapi komunikasi (Kassel & Rais, 2010), Sehingga
dapat dikatakan bahwa CBT merupakan terapi yang
menggunakan pendekatan penyelesaian masalah dengan
mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui perubahan
persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.
b) Tujuan
Stallard (2002), menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi
terapeutik yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku
mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan proses
kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa afek dan tingkah
laku adalah produk dari kognitif oleh karena itu intervensi
kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan dalam
pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT pada dasarnya
bertujuan untuk mengubah keadaan atau status emosi individu,
akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara langsung.
Emosi dihasilkan dari adanya stimulasi internal dan eksternal
dan dipengaruhi oleh adanya perubahan pola pikir dan perilaku.
Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai menggunakan CBT
dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi
menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan
ketrampilan yang memungkinkan individu untuk meningkatkan
kesadaran akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi
bagaimana situasi, pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan
dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran dan
perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
c) Prosedur
Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5
sesi, setiap sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap
klien.
Sesi 1 CBT: Pengkajian
Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri seseorang
dapat menyebabkan hilangnya kemampuan memproses
informasi secara efektif, oleh Aaron T. Beck dikenal dengan
distorsi kognitif. Proses tersebut yang membuat seseorang sering
mempunyai pikiran negatif yang selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku yang ditunjukannya.
Sesi 2 CBT: Terapi Kognitif
Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan
suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self
talk) terhadap orang lain yang lebih positif. Selain itu, terapi
juga memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat
memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai
peristiwa kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi
pikiran negatif yang masih ada dan melanjutkan dengan melatih
mengatasi pikiran negatif yang kedua menggunakan pikiran
positif.
Sesi 3 CBT: Terapi Perilaku
Perilaku merupakan respon yang timbul secara eksternal,
dipengaruhi oleh stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara
primer oleh konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku dapat
diamati, diukur, & dicatat oleh diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui
reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray
dan Wilson disebut operant conditioning. Dalam operant
conditioning ini lingkungan sosial digunakan untuk membantu
klien dalam meningkatkan kontrol terhadap perilaku yang
berlebihan atau berkurang.
Sesi 4 CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku
Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pengalaman klien dengan masalah dengan menggunakan
analisis perilaku. Analisis ini terdiri dari tiga bagian (ABC dari
perilaku):
Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi sebelum perilaku
dan mengarah ke manifestasinya.
Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan
atau lakukan.
Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau
netral) orang berpikir hasil dari perilaku.
Sesi 5 CBT : Kemampuan Merubah Pikiran Negatif Dan
Perilaku Maladaptif Untuk Mencegah Kekambuhan
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran
yang positif akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang
positif dan dapat diterima oleh orang lain sehingga dapat
menimbulkan kenyamanan. Ketrampilan berpikir dan
berperilaku positif harus dilatih secara terus menerus sehingga
menjadi suatu kebiasaan dalam hidup
b. Logo Terapi
a) Pengertian
Dalam Bastaman (2007), dikatakan bahwa logoterapi
berdasarkan etimologinya mengandung dua arti. Logoterapi
berasal dari kata logos suatu istilah dalam bahasa Yunani yang
dapat berarti spiritual atau makna, sedangkan terapi berarti
penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi membantu individu
dalam menemukan nilai-nilai baru serta mengembangkan dan
mengajarkan individu dalam melihat nilai positif dari
penderitaan dan memberikan kesempatan untuk memberikan
rasa bangga terhadap penderitannya. Individu yang berada
dalam kesulitan yang mengganggu aktivitasnya dibantu untuk
menemukan makna hidupnya dengan cara bagaiman individu
dalam menghadapi masalah dan mengatasinya (Rochmawati
dkk, 2013)
b) Tujuan
Tujuan dilakukannya logoterapi menurut Bastaman (2007)
adalah memahami adanya potensi dan sumber daya rohani yag
secara umum ada pada diri individu, menyadari adanya potensi
potensi yang dimiliki individu tepai seringkali tidak digunakan,
tersembunyi, terhambat atau bahkan terlupakan dan
memanfaatkan potensi-potensi dan sumber daya tersebut untuk
memunculkan semangat hidup dan meningkatkan kualitas hidup
yang lebih bermakna.
c) Pelaksanaan
Penatalaksanaan logoterapi dapat dilakukan oleh psikolog,
psikiater, keperawatan dan pekerja sosial. Terapi ini
dapatdiberikan secara individu, berpasangan maupun kelompok.
Tahapan yang dilalui dalam pelaksanaannya melalui 4 fase
antara lain fase orientasi, fase mengidentifikasi masalah, fase
kerja dan fase terminasi (Marshal, 2011). Tugas utama terapis
harus mendengarkan, menarik dalam komunikasi terapeutik,
menjalin hubungan dan kekuatan yang baik anatara terapis dan
pasien. Teknik pelaksanaan logoterapi dalam penelitian
menggunakan metode medical ministry dsesi 3. Adapun sesi
logoterapi dengan metode medical ministry menurut Bastaman
(2007) antara lain :
Sesi 1 : mengidentifikasi masalah yang muncul pada pasien
Sesi ini bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik
dan nyaman antara terapis dan pasien rehablitasi. Selain itu pada
sesi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang
muncul akibat dari pemakaian narkoba. Pada tahap ini terapis
memperkenalkan diri , menanyakan perasaan pasien dan
menjelaskan tujuan serta manfaat dari logoterapi
Sesi 2 : mengidentifiksi reaksi dan respon pasien terhadap
masalah yang muncul, terkait keadan dan kondisi harga dirinya
saat ini . adapun respon tersebut seperti respon emosional,
respon perlaku, partisipasi pasien dalam kegiatan sehari-hari.
Terapis menanyakan cara yang dilakukan pasien untuk
mengatasi masalah yang dialami, serta mengidentifikasi masalah
yang belum teratasi.
Sesi 3 : teknik medical ministry
Pada sesi ketiga terapis membantu masalah pasien dan
mendiskusikan melalui teknik medical ministry. Terapis
membantu merealisasikan nilai-nilai bersikap sebagai salah satu
sumber dalam mencari makna hidupnya. Jiwa manusia akan
tetap sehat selama tetap sadar dengan tanggung jawabnya.
Tanggung jawab yang dimaksud adalah tanggung jawab dalam
mereaisasikan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai yang ditemukan
pada individu. Melalui teknik bimbingan rohani pasien didorong
kearah sikap yang positif terhadap penderitaanya sehingga
menemukan makna hidupnya dari masalah tersebut.
Sesi 4 : Evaluasi
Evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan
logoterapi melalui teknik medical ministry. Pada tahap ini
terapis juga mendiskusikan tindak lanjut dari masalah yang
belum teratasi.
2) Psikoterapi Keluarga pada Berduka Komplek
Salah satu terapi yang dapat diberikan pada keluarga adalah Triangle
Therapy
a. Pengertian
Triangle adalah suatu unit social yang fundamental, dan triangulasi
(keterlibatan pihak ketiga) adalah suatu proses social yang bisa terjadi
dimana saja. Terapi keluarga triangle merupakan salah satu terapi
yang dapat mempengaruhi atau memperbaiki respon koping keluarga
dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang
dirasakan oleh keluarga. (Shives, 2005)
b. Tujuan
Terapi triangle ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu
pasangan dan individu mengantisipasi berbagai cara dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul ( Kazak, Simms &
Rourke, 2002). Tujuan lainnya adalah untuk membantu keluarga
meningkatkan pengetahuan, menghentikan pengulangan hubungan
keluarga yang menimbulkan masalah dan membantu individu,
pasangan dalam hubungan keluarga.
c. Prosedur
Penting untuk dipahami bahwa sebelum melaksanakan terapi yang
harus dilakukan oleh terapis adalah mengidentifikasi keluarga yang
memiliki masalah. Setelah itu keluarga diberi penjelasan tentang terapi
ini, dan jika keluarga setuju buat kontrak dengan keluarga yang
meliputi pertemuan selama 6 sesi dan siapa anggota keluarga yang
akan mengikuti terapi ini adalah orang yang sama. Kemudian terapis
mengidentifikasi masalah klien dan keluarga secara terpisah, hal ini
dilakukan untuk mendapatkan persepsi yang sama. Setelah ditemukan
kesamaan dalam masalah yang dihadapi maka klien dan keluarga
dapat dipertemukan dalam terapi.
Sesi 1 : identifikasi masalah, dengan tujuan klien dan keluarga dapat
mengungkapkan perasaan, menjelaskan masalah yang dihadapi
keluarga dan memilih prioritas masalah yang akan diatasi. Pada sesi
ini terapis harus mengidentifikasi dimana triangle terjadi dan siapa
saja yang terlibat.
Sesi 2 : identifikasi kompetensi, dengan tujuan klien dan keluarga
dapat menjelaskan peran dalam keluarga, fungsi dalam keluarga, dan
cara berkomunikasi yang dilakukan dalam keluarga
Sesi 3 : kolaborasi, dengan tujuan klien dan keluarga dapat
menjelaskan rencana pemecahanan masalah, sumber-sumber
pendukung yang terlibat selama ini, dan harapan yang ingin dicapai
dari terapi.
Sesi 4 : penyelesaian masalah (system dan struktur keluarga) dengan
tujuan klien dan keluarga dapat menyampaikan cara mengatasi
masalah yang dipilih dan telah dilakukan, siapa saja yang membantu
mengatasi masalah, dan siapa saja yang membuat keputusan dalam
keluarga.
SESI 5 : penyelesaian masalah (hubungan dan cara merawat) dengan
tujuan klien dan keluarga dapat menjelaskan hambatan-hambatan
dalam menyelesaikan masalah, cara yang sudah dilakukan untuk
menangani hambatan, dan dukungan yang diberikan oleh keluarga
serta cara melakukan perawatan terhadap klien selama ini.
Sesi 6 : evaluasi hasil, dengan tujuan klien dan keluarga dapat
memanfaatkan kemampuan diri, sisten pendukung keluarga dan
system rujukan pelayanan kesehatan yang ada.
3) Psikoterapi Kelompok pada Berduka Komplek
Salah satu terapi yang dapat diberikan pada kelompok adalah Supportif
terapy (ST).
a. Pengertian
Terapi Suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana,
mengatur dan berespon secara langsung terhadap issue-issue dan
tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan.
b. Tujuan
Untuk memberikan support terhadap keluarga sehingga mampu
menyelesaikan krisis yang dihadapinya dengan cara membangun
hubungan yang bersifat suportif antara klien-terapis, meningkatkan
kekuatan keluarga, meningkatkan keterampilan koping keluarga,
meningkatkan kemampuan keluarga menggunakan sumber kopingnya,
meningkatkan otonomi keluarga dalam keputusan tentang pengobatan,
meningkatkan kemampuan keluarga mencapai kemandirian seoptimal
mungkin, serta meningkatkan kemampuan mengurangi distres
subyektif dan respons koping yang maladaptif.
c. Prosedur
Sesi 1 : Identifikasi Masalah Dan Sumber Pendukung Yang Ada
- Mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa yang dialami klien /
keluarga
- Mengidentifikasi sumber pendukung internal (caregiver, anak,
orang tua, dsb) dan kemampuannya
- Mengidentifikasi sumber pendukung eksternal (peer, kader,
PSM, puskesmas, RS, dsb) dan kemampuannya
Sesi 2 : Cara menggunakan sistem pendukung internal
- Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung internal
dan memvalidasinya
- Mendiskusikan hasil setelah menggunakan sumber pendukung
internal
Sesi 3 : Cara menggunakan sistem pendukung eksternal
- Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung eksternal
dan memvalidasinya
- Mendiskusikan hasil setelah menggunakan sumber pendukung
eksternal
Sesi 4 : Evaluasi
Mengevaluasi hasil dan hambatan menggunakan sumber pendukung
4) Interpersonal Therapy pada Berduka Komplek
a. Pengertian
Interpersonal Psikoterapi adalah sebuat psikoterapu yang memiliki
batasan waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan
memiliki tujuan untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi
interpersonal individu (Robertson et al, 2008).
b. Tujuan
Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien meningkatkan
keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal dalam
hubungan dan untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan yang
realistis terhadap peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta klien
mampu menghadapi berbagai stressor interpersonal yang muncul
(Cuijpers et al, 2016).
c. Prosedur
Sesi 1 : Initial assessment (tahap orientasi)
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan
bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk
berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap
ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk
membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data.
Pada tahap awal ini, dilakukan semacam pengukuran untuk melihat
kesesuaian karakteristik klien dengan pendekatan IPT.
Tahap ini kemudian ditutup dengan disepakatinya kontrak mengenai
proses terapi dengan menggunakan teknik IPT yang akan
dilaksanakan. Termasuk penjelasan mengenai IPT, tujuan IPT, jumlah
sesi yang akan dilangsungkan, dan hasil yang diharapkan.
Sesi 2 : Initial session (Identifikasi)
Sesi-sesi pertama mencakup beberapa jenis tugas, antara lain adalah
mengembangkan hipotesis detail mengenai penyebab klien mengalami
kesulitan dalam hubungan interpersonalnya. Dalam tahap ini, klien
juga diberikan ‘sick role’ terkait kondisinya dan diberikan penekanan
bahwa gejala-gejala yang ia rasakan tidak berbeda halnya dengan
penyakit fisik yang dapat ‘disembuhkan’ bila klien mau bekerja sama
dengan terapis. Dalam tahap ini terapis dan klien kemudian juga
mengembangkan interpersonal inventory (IPI) yang merupakan
catatan terstruktur mengenai konteks interpersonal klien terkait
dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Sesi 3 : Middle session
Pada tahap ini, berdasarkan perumusan IPT dalam tahap sebelumnya,
terapis kemudian dapat mengambil kesepakatan dengan klien
mengenai area permasalahan yang akan disasar untuk ditangani.
Terapis kemudian juga mengumpulkan lebih banyak informasi
mengenai area permasalahan yang telah ditentukan tersebut dan
mengklarifikasi temuan yang didapatkan dalam sesi. Terapis semakin
menekankan keterkaitan antara konteks interpersonal dengan
permasalahan yang dialami klien untuk kemudian bersama-sama
merumuskan pilihan-pilihan solusi yang dapat dilakukan. Beberapa
teknik IPT seperti analisis pola komunikasi, pengembangan
kemampuan problem solving, memodifikasi ekspektasi klien
mengenai hubungan sosial yang dimilikinya, dan pemberian edukasi
serta melatih keterampilan sosial baru dengan role-play. Dalam sesi-
sesi selanjutnya, solusi yang telah dipilih kemudian terus menerus
dilatih dan dikaji bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan sosial
klien.
Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam
fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran
kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya
Sesi 4 : Conclusion/termination sessions
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan
kemandirian klien setelah mengikuti proses terapi. Pada tahap ini
diharapkan klien merasa telah mengembangkan kompetensinya untuk
berinteraksi dalam hubungan sosial. Idealnya, klien telah memperoleh
kemampuan komunikasi yang baru, telah berhasil mengembangkan
insight mengenai pola komunikasi mereka dan kaitannya dengan
permasalahan yang timbul, dan telah mulai membangun jaringan
dukungan sosialuntuk membantu mereka jika nantinya menemui
permasalahan baru.
Pada tahap ini, terapis akan melakukan review terhadap
perkembangan yang telah dicapai oleh klien dan memberikan umpan
balik positif terhadap perkembangan tersebut. Perkembangan yang
dimaksud adalah penyelesaian masalah yang telah berhasil dilakukan,
juga perkembangan kemampuan klien dalam membina hubungan
sosial secara umum. Perlu ditekankan bahwa segala bentuk
keberhasilan adalah hasil dari usaha klien, bukan karena terapis,
meskipun terapis memang bertindak sebagai coach yang membantu.
Terapis juga mendiskusikan dengan klien kemungkinan kemunculan
permasalahan serupa dan perencanaan soal bagaimana klien akan
mengatasinya, termasuk juga mengantisipasi kemungkinan munculnya
permasalahan-permasalahan interpersonal baru. Terapis juga
mendiskusikan dengan klien mengenai permasalahan yang belum
terselesaikan melalui terapi dan mempertimbangkan proses
maintenance terapi dengan melakukan pembaharuan kontrak
kesepakatan terapi
5) Psychodynamic Therapy pada Berduka Komplek
a. Pengertian
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu
jenis psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis,
yaitu mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian;
meskipun dalam berbagai hal memiliki perbedaan dengan Freudian.
Terapi psikodinamik terdiri dari lima komponen yaitu aliansi
terapeutik, masalah psikodinamik inti, formulasi psikodinamik,
strategi untuk memfasilitasi perubahan dan terminasi (Summers, &
Barber, 2015).
Aliansi teraupetik yang terdiri dari 3 yaitu tujuan, tugas dan
hubungan. Tujuan yaitu penyamaan tujuan anatara terapis dan pasien.
Tugas yaitu pasien dtang pada sesi terapi mengungkapkan perasaan
dan pikirannya secara jujur kepada terapis dan bersedia
mendengarkan masukan dari terapis, sedangkan terapis yaitu
mendengarkan, memahami dan fokus pada yang disampaikan pasien
hingga membuat daftar masalah yang disampaikan pasien. Terapis
membantu membangun persepsi yang baru terhadap gambaran diri
dan konsep diri pasien kemudian juga berperan sebagai edukator bagi
pasien. Hubungan yaitu berkaitan dengan membangun BHSP antara
pasien dan perawat, pada pasien HDR terkadang sangat sensitif
terhadap terhadap kritikan dan masukan sehingga terapis harus
membangun empati dan memberikan perhatian kepada klien selama
terapi.
Mendiagnosis masalah psikodinamik, terdapat enam masalah
psikodinamik yaitu depresi, obsesifitas, rasa takut ditinggalkan, harga
diri rendah, kecemasan panik, dan trauma. Pada pasien harga diri
rendah yang ditunjukkan adalah perasaan tidak aman, kesepian dan
merasa rendah diri.
Formulasi psikodinamik adalah ringkasan singkat dari kondisi pasien
berdasarkan riwayat hidup yang dialami pasien. Dalam formulasi ini
akan terlihat identitas klien, peristiwa predisposisi dan presipitasi atau
penyebab dan pencetus kondisi klien saat ini, kemampuan hubungan
interpersonal klien, dan perilaku klien dalam hubungan sosial.
Kemudian akan di rumuskan diagnosis klien, riwayat keluarga,
psikopatologi masa kecil, riwayat pengobatan, riwayat penyakit medis
terdahulu, gangguan mental dan riwayat trauma. Selnjutnya yaitu
menjelaskan masalah inti yang sedang dihadapi klien kemudian upaya
yang sudah dilakukan klien, strategi koping yang telah digunakan
klien. Dan yang terakir melihat respon klien terhadap tindakan yang
telah di lakukan terapis, apakah klien fokus pada terapis, atau klien
bertahan dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah.
Memfasilitasi perubahan, ini merupakan langkah selanjutnya setelah
formulasi yaitu terapis membimbing klien mengungkapkan
perasaannya dan pikirannya (eksplorasi emosional), klien didorong
untuk membandingkan pengalaman yang membuatnya tidaknyaman
di masa lalu dengan pandangan situasi saat ini seperti
mengembangkan pandangan yang realistis dan perilaku yang sesuai.
Terapis juga membantu klien mencoba keterampilan baru dalam
hubungan interpersonal serta meningkatkan efektivitas hubungan
sosial klien.
Tahap Terminasi, yaitu tahap dimana terapis dan pasien menyepakati
bahwa tujuan dari terapi yang telah di sepakati di awal sudah tercapai
dan masalah klien dapat diselesaikan.
b. Indikasi
Terapi psikodinamik efektif diberikan kepada pasien dengan
gangguan jiwa, terjadi peningkatan psikologis yang signifikan dan
bertahan lama, bahkan sampai pengobatan selesai, psikodinamik
psikoterapi juga lebih hemat dalam segi biaya (Kennedy, 2018).
c. Prosedur
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang
terdiri dari 3 fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy,
P. 2019):
Fase 1 (sesi 1-4)
Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase
awal. Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk
kondisinya dan memiliki riwayat negative dengan para profesional
kesehatan. Satu-satunya cara bagi terapis untuk melakukannya
melawan perasaan ini adalah dengan validasi empati dan perasaan
kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi dengan mengakui
realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis dan pasien
memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.
mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang
yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien.
Fase 2 (sesi 5-12)
Terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi
awal dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan
proses bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola
perlekatan interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan
fokus pada kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini
pada diri yang diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan
orang lain. Di dinamyc interpersonal terapi, terapis secara aktif
mendorong dan mendukung perubahan. Di fase tengah terapis
menggunakan rangkuman penuh intervensi psikodinamik: (1)
mendukung intervensi (jaminan, dukungan, dan empati); (2) intervensi
yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi ekspresif seperti
pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada hubungan
transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis., mendorong
pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang lain).
Fase 3 (sesi 13-16)
Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses
perubahan terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat
tinggal" surat yang ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan
gambaran umum tentang (1) masalah yang muncul, (2) focus terapi,
(3) apa yang telah dicapai dalam hal berubah, dan (4) apa yang belum
tercapai. Surat ini sering memancing reaksi emosional yang sangat
kuat pada pasien.
Faktor Biologis
Berduka
Komplek
Faktor Psikologis
Mengancam tujuan
Perubahan actual/persepsi pribadi
seseorang terhadap nilai
Kegagalan dalam salah
satu tahap kehilangan Kehilangan aktualisasi diri
INTERVENSI : INTERVENSI :
Enggan mencoba dan mencari
CBT Logo Therapy
kesempatan yang lain
Berduka
Komplek
Faktor Sosial Budaya
KDRT dan tindak kekerasan Perceraian dengan pasangan Kematian orang yang
dalam public dicintai
Perubahan status
(janda/duda)
Respon kehiangan secara
Tidak punya perlindungan
emosioanl
Perubahan peran
Ketidakpercayaan INTERVENSI : yang baru Marah, sedih, cemas (emosi
pada anggota keluarga ITP
dominan yang lain)
yang lain
Tidak mampu adaptasi
dengan peran baru
Dapat bermusuhan dengan
orang yang meninggal,
Kehilangan lingkungan INTERVENSI :
Kegagalan adaptasi pada tahap INTERVENSI : lembaga perawatan,
yang aman ST
kehilangan tertentu TT anggota keluarga dan
masyarakat
Perasaan hancur
Penelataran angota keluarga
yang lain
Berduka
Berduka
Komplek
Disfungsional
12. Evaluasi Keperawatan
Proses evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan
dan strategi rencana tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi tindakan pada
pasien untuk menilai adanya penurunan atau peningkatan tanda dan gejala harga
diri rendah pasien serta kemampuan pasien dalam meningkatkan dan menyadari
kemampuan positif yang pasien miliki (Wuryaningsih, Windarwati, Dewi,
Deviantony & Hadi, 2018).
Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard;
Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal
Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis. American Journal of
Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.
Dayez, R.A.-S., Zech, E., Mac Cord, J., & Taverne, C. (2016). Daily life stressors and
coping strategies during widowhood: A diary study after one year of
bereavement. Death Studies, 40(8), 461–478.
doi:10.1080/07481187.2016.1177750
FIK UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X, Depok.
23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
FIK UI. (2016). Standart Asuhan Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-
X, Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
Fiore, J. (2019). A Systematic Review of the Dual Process Model of Coping With
Bereavement (1999–2016). OMEGA Journal of Death and Dying,
003022281989313. doi:10.1177/0030222819893139
Gerhardt, C. A., Fairclough, D. L., Grossenbacher, J. C., Barrera, M., Jo Gilmer, M.,
Foster, T. L.,& Vannatta, K. (2012). Peer relationships of bereaved siblings
and comparison classmates after a child’s death from cancer. Journal of
Pediatric Psychology, 37(2),209–219
Ghesquiere AR, Park M, Bogner HR, Greenberg RL, Bruce ML. The effect of
recent bereavement on outcomes in a primary care depression intervention
study. Am J Geriatr Psychiatry. 2014;22(12):1555-1564. https://doi.org/10
.1016/j.jagp.2013.12.005
Harvey, C., (2017). Family psychoeducation for people living with schizophrenia and
their families. BJPsych Advances. vol. 24: 9–19, doi: 10.1192/bja.2017.4
Heath, M. A., & Cole, B. V. (2012). Strengthening classroom emotional support for
children following a family member’s death. School Psychology
International, 33 (3), 243–262.
https://www.frazerconsultants.com/2018/02/grief-theories-series-exploring-the-
different-studies-on-grief/
https://www.frazerconsultants.com/2018/02/grief-theories-series-wordens-four-tasks-of-
mourning/
https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-theories-series--bergers-identities-of-
grievers/
https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-theories-series-continuing-bonds-
theory/
https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-theories-series-parkes-and-bowlbys-
four-phases-of-grief/
https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-theories-series-randos-six-r-process-
of-mourning/
Ito M, Nakajima S, Fujisawa D, et al. Brief measure for screening complicated grief:
reliability and discriminant validity. PloS One. 2012;7(2):e31209. https://
doi.org/10.1371/journal.pone.0031209
Lund, D., Caserta, M., Utz, R., & De Vries, B. (2010). Experiences and early coping of
bereaved spouses/partners in an intervention based on the dual process
model (dpm). Omega, 61(4), 291–313. https://doi.org/10.2190/OM.61.4.c
Maccallum, F., Bryant, R.A., 2010. Attentional bias in complicated grief. Journal of
Affective Disorders 125, 316–322
Neimeyer, R. A., & Harris, D. (2016). Bereavement and Grief. Encyclopedia of Mental
Health, 163–169. doi:10.1016/b978-0-12-397045-9.00175-0
Newson, R. S., Boelen, P. A., Hek, K., Hofman, A., & Tiemeier, H. (2011). The
prevalence and characteristics of complicated grief in older adults. Journal
of Affective Disorders, 132(1-2), 231–238. doi:10.1016/j.jad.2011.02.021
O’Connor MF, Shear MK, Fox R, et al. Catecholamine predictors of complicated grief
treatment outcomes. Int J Psychophysiol. 2013;88(3):349-352.
https://doi.org/10.1016/j.ijpsycho.2012.09.014.
Oflaz F, Hatipoglu S, Aydin H. Effectiveness of psychoeducation intervention on post-
traumatic stress disorder and coping styles of earthquake survivors. Journal
of clinical nursing.2008;17(5):677-87.
Parisi, A., Sharma, A., Howard, M. O., & Blank Wilson, A. (2019). The relationship
between substance misuse and complicated grief: A systematic review.
Journal of Substance Abuse Treatment, 103, 43
57. doi:10.1016/j.jsat.2019.05.012
Pérez, H. C. S., Ikram, M. A., Direk, N., & Tiemeier, H. (2018). Prolonged Grief and
Cognitive Decline: A Prospective Population-Based Study in Middle-Aged
and Older Persons. The American Journal of Geriatric Psychiatry, 26(4),
451–460. doi:10.1016/j.jagp.2017.12.003
Perng, A., & Renz, S. (2018). Identifying and Treating Complicated Grief in Older
Adults. The Journal for Nurse Practitioners, 14(4), 289–
295. doi:10.1016/j.nurpra.2017.12.001
Quinn-Lee, L. (2014). School social work with grieving children. Children and Schools,
36 (2), 93–103.
Richardson, V. (2010). The dual process model of coping with bereavement: A decade
later. Omega: Journal of Death and Dying, 61, 269–271.
Rochmawati, DH., Febriana, B., Nugroho, PA. (2013). Pengaruh Logoterapi terhadap
Konsep Diri dan Kemampuan Memaknai Hidup pada NarapidanaRemaja di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Semarang. Universitas Islam Sultan
Agung Semarang, Kampus Unissula, Semarang, Indonesia.
Spuij, M., Reitz, E., Prinzie, P., Stikkelbroek, Y., de Roos, C., & Boelen, P. A. (2012).
Distinctiveness of symptoms of prolonged grief, depression, and post-
traumatic stress in bereaved children and adolescents. European Child &
Adolescent Psychiatry, 21(12), 673–679
Stroebe, M. S. & Schut, H. A. W. (2016). Overload: A missing link in the dual process
model?. OMEGA-Jornal of Death and Dying, 74(1), 96-109. doi:
10.1177/0030222816666540.
Stuart G. W, Keliat, dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. St
Louis Missouri: Elsevier Mosby
Stuart, G. W & Laraia, M.T. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7
th Ed) St. Louis: Mosby
Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015).Practicing psychodynamic therapy: A casebook.
New York: The guilford press.
Sutejo. (2019). Keperawatan jiwa : konsep dan praktik asuhan keperawatan kesehatan
jiwa : Gangguan Jisa Psikososial. Yogyakarta : Pustaka Baru
Taormina, & Gao. (2013). Maslow and the Motivation Hierarchy: Measuring
Satisfaction of the Needs. The American Journal of Psychology, 126(2),
155. doi:10.5406/amerjpsyc.126.2.0155
Tomarken, A., Holland, J., et al., 2008. Factors of complicated grief pre-death in
caregivers of cancer patients. Psychooncology 17, 105–111
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. (2018).
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakaan & penerbitan
Universitas Jember.
Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.